12 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Konseptual 1. Wakaf
a. Definisi wakaf
Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa”.
Asal kata “waqafa” berarti “menahan atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau tetap berdiri”. Kata “waqafa-yaqifu-waqfan” yang berarti berhenti, berdiam ditempat, berdiri, atau menahan. Kata waqafa sama dengan “habasa-yahbisu-tahbisan” yaitu menahan (Suhrawardi K, 2010, 3). Maksud berhenti dari pengertian wakaf secara bahasa berkaitan dengan pengertian waqaf dalam ilmu tajwid ataupun wuquf dalam ibadah haji yaitu menghentikan atau menahan kepemilikan harta dan dapat dimanfaatkan untuk umum tanpa memberikan imbalan digunakan sesuai kehendak pemberi wakaf (Ali, 1988, 80).
Sedangkan secara istilah wakaf menurut empat Imam Mazhab, menurut Imam Syafi’i bahwa tetapnya harta wakaf untuk dimanfaatkan pada yang dibolehkan syara’ sehingga berubah status kepemilikan. Perubahan kepemilikan yang dimaksud adalah harta yang diwakafkana dikembalikan kepada Allah SWT sehingga menjadi milik umat. Aset wakaf yang harus tetap dapat memberikan manfaat secara umum dalam jangka waktu tertentu bahkan selamanya (Kencana, 2017, 4). Wakaf menurut Imam Abu Hanifah adalah menahan harta wakaf tanpa merubah kepemilikan untuk diambil manfaatnya (Permana, 2021, 158). Definisi wakaf tersebut menjelaskan perwakafan atas manfaatnya bukan aset hartanya untuk dimanfaatkan oleh siapa saja dalam hal tujuan kebajikan sehingga wakif tetap menjadi pemilik harta.
Imam Maliki mendefinisikan wakaf yang berarti menahan penggunaan harta wakaf oleh pemilik harta dan memberikan
13
manfaatnya secara wajar tanpa merubah kepemilikan dalam jangka waktu tertentu (Zuhaili, 2008, 151). Wakaf yang dimaksud berarti memanfaatkan harta wakaf dalam jangka waktu sesuai keinginan wakif dengan harta wakaf tetap menjadi kepemilikan wakif. Menurut Imam Hambali wakaf berarti menahan pemilik harta untuk menggunakan hartanya supaya tetap utuh dan manfaatnya digunakan dalam hal kebaikan di jalan Allah SWT (Haq, 1994, 7). Harus tetapnya harta untuk dapat dimanfaatkan tanpa mengurangi pokoknya oleh umat sesuai yang disyariatkan.
Beberapa definisi wakaf secara terminologi menurut pendapat para ahli fiqih di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah suatu bentuk pemberian yang menghendaki penahanan asal harta mendermakan hasilnya pada jalan yang bermanfaat dalam waktu tertentu atau selamanya sesuai kehendak wakif. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Wakaf bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dari beberapa pengertian wakaf tersebut, sesuai dengan Pasal 5 UU Wakaf yang menyatakan bahwa wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Pengertian wakaf Pasal 215 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam bahwa awakaf adalah perbuatan hukum wakif (seseorang, sekelompok orang atau badan hukum) yang memisahkan sebagian harta miliknya dan melembagakannya selamanya untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lain sesuai ajaran Islam. Berdasarkan pengertian wakaf baik dalam hukum Islam mauapun hukum positif di Indonesia peruntukan tanah wakaf menjadi hak wakif sebagai pemilik harta untuk dimanfaatkan dalam hal kebajikan seperti bentuk ibadah atau
14
kepentingan umum lainnya sesuai ajaran agama Islam selama jangka waktu tertentu atau selamanya.
b. Sejarah Wakaf
Sejarah wakaf dalam Islam ada perbedaan pendapat antara ulama mengenai penentuan wakaf pertama, masjid Quba menjadi harta yang pertama diwakafkan menurut sebagian ulama (Lubis, 2010, 78). Kaum Muhajirin mengatakan wakaf pertama adalah wakaf yang dilakukan oleh Umar ra sedangkan kaum Anshor berpendapat bahwa wakaf pertama yaitu wakaf yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Umar bin Khathab memiliki tanah di Khaibar yang merupakan harta paling berharga, kemudian Umar ra datang menemui Rasulullah SAW untuk meminta pendapat beliau. Rasulullah SAW berpendapat
“jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya” (HR. Bukhari Muslim). Hadits ini menjadi dasar hukum dalam wakaf untuk menahan harta wakaf sehingga tetap utuh dan dikelola untuk diperoleh hasil manfaatnya yang diberikan kepada seluruh umat.
Pada masa sahabat Rasulullah SAW, Usman bin Affan mewakafkan sumur yang dibeli dari orang Yahudi. Sebab kaum muslim saat awal hijrah ke Madinah membutuhkan air jernih yang hanya dimiliki orang Yahudi yang hanya berbagi air umurnya dengan cara jual beli. Selain itu Usman juga mewakafkan kebun kurma yang dikelola dengan baik dan semakin baik sejak masa pemerintahan Turki Usmani sampai kerajaan Arab Saudi berdiri. Hasil kebun setengah diberikan kepada anak-anak yatim dan fakir miskin, setengahnya lagi disimpan di bank dengan rekening atas nama Usman bin Affan.
Perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan sesudahnya harta wakaf disalurkan untuk membangun lembaga pendidikan, perpustakaan, biaya pendidikan bagi pelajar, sampai pada gaji tenaga pendidiknya. Kebijakan yang ditetapkan oleh Shalahuddin al-Ayyubi ketika memerintah di Mesir bahwa diwajibkan membayar
15
bea cukai bagi orang kristen dari Iskandaria yang berdagang kemudian dikumpulkan untuk diwakafkan menjadi sarana kepentingan politik dan misi alirannya untuk mempertahankan kekuasaannya.
Taubah bin Ghar al-Hadhramiy adalah hakim Mesir yang pertama kali membentuk lembaga pengelola wakaf di Basrah di bawah departemen kehakiman pada masa dinasti Umayyah. Hasil dari pengelolaan wakaf tersebut disalurkan kepada yang membutuhkan.
‘Sadr al-Wuquf merupakan lembaga wakaf yang bertugas mengurus administrasi dan memilih staf pengeola lembaga wakaf yang dibentuk pada masa dinasti Abbasiyah (Departemen Agama RI, 2008, 11).
Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk, raja al-Dzahir Biber al-Bandaqdari (1260-1277 M/ 658-676 H) mengesahkan undang- undang wakaf. Dinasti Turki Usmani juga mengesahkan undang- undang yang mengatur dari pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, serta mencapai peruntukan tanah wakaf.
Pengelolaan wakaf di Arab Saudi dilakukan oleh sebuah badan di bawah kementerian haji dan wakaf yang bertugas menjaga harta wakaf dan mengembangkan dan mengarahkan wakaf sesuai yang disyaratkan oleh wakif. Sehingga diatur dalam ketetapan Nomor 574 oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi sesuai dengan surat keputusan kerajaan Nomor M/35 Tahun 1386 H (Hasanah, 1997, 81). Berbagai bentuk wakaf di Arab Saudi mulai dari hotel, tanah, bangunan rumah untuk penduduk, toko, kebun, sampai tempat ibadah, dan lain-lain yang mana pemanfaatan hasil wakaf untuk memperbaiki dan embangun harta wakaf sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan wakif. Pada dasarnya praktik pemanfaatan harta wakaf yang mengacu pada tujuan yang wakif inginkan untuk mengoptimalkan hasil pemanfaatan kemudian dikembangkan seperti pembuatan hotel-hotel.
Pengelolaan wakaf pada awalnya terabaikan ketika pemerintahan Muhammad Ali Pasya yang lebih fokus pada stabilitas politik. Setelah masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya berakhir,
16
dilakukan penertiban tanah wakaf, perlindungan terhadap mustahik, dan membentuk lembaga wakaf. Namun muncul persoalan bahwa tidak adanya rasa keadilan yang ditunjukkan wakif akibat aturan mengneai hak dan kewajiban wakif dengan pihak lain. Persoalan- persoalan wakaf yang muncul mendesak pemerintah Mesir untuk membuat dan terus melakukan pembahruan regulasi mengenai wakaf.
hingga akhirnya Mesir berhasil mengembangkan harta wakaf secara produktif pada sektor ekonomi.
Wakaf juga berkembang di Pakistan yang melalui proses perubahan regulasi secara bertahap sebab tidak dapat berlaku efektif.
Kemudian dilakukan pembentukan direktorat konservasi Punjab untuk menyelamatkan aset wakaf ditandai dengan keberhasilannya mendirikan Akademi Ulama, Tabligh Cell, rumah sakit, masjid besar, pusat riset data, dan memberika bantuan keuangan kepada yang mampu dan para janda. Sedangkan perkembangan wakaf di Bangladesh dikembangkan secara modern, harta wakaf tidak hanya bersifat properti melainkan dalam bentuk wakaf uang. Keberhasilan Bangladesh mengelola harta wakaf dilakukan dalam tiga bentuk, dengan cara wakaf dikelola oleh yayasan wakaf yang terdaftar dalam Kantor Administrasi Wakaf Kementerian Agama Bangladesh. Wakaf juga dikelola oleh mutawailis, serta wakaf yang dikelola oleh Kantor Administrasi Wakaf. Wakaf uang diperkenalkan oleh M.A Mannan dengan Social Investment Bank Ltd (SIBL) di Bangladesh, instrumen ini melakukan pengembangan pada pasar modal sosial dan instrumen keuangan Islam lain (Djunaidi, 2006, 43).
Perjalanan wkaf di Sri Lanka mengalami perkembangan regulasi yang mengatur wakaf untuk melindungi dan memanfaatkan harta wakaf sesuai kepentingan dan kesejahteraan umat dari penyalahgunaan serta kasus hilangnya tanah wakaf di Sri Lanka.
Dibentuk pula badan wakaf untuk mengawasi dan menyelesaikan masalah wakaf, namun mendapat kritikan atas cara penyelesaian
17
masalah wakaf. langkah Sri Lanka mengatasi hal tersebut dengan membentuk Kementerian Agama, mengamandemen undang-undang, dan selanjutnya membentuk Pengadilan Syariah. Permasalahan wakaf dan cara mengatasinya meunjukkan bahwa kekuatan hukum wakaf penting diperkuat sehingga tidak mudah diselewengkan.
Pengelolaan wakaf di Yordania secara produktif seperti memaksimalkan tanah-tanah wakaf untuk pertanian dan wisata yang hasilnya untuk hal-hal lain untuk umat. Kebijakan wakaf sesuai dengan peruntukan tanah wakaf yang ada dalam undang-undang wakaf. Merencanakan hasil pengembangan wakaf oleh Direktorat Keuangan dan dibelanjakan Kementerian Wakaf. Sistem perwakafan di Brunei Darussalam terdapat dua bentuk yaitu terdaftar dan tidak.
Segala urusan perwakafan Brunei Darussalaam diserahkan pada Majlis Ulama Islam sesuai peraturan yang berlaku. Peruntukan tanah wakaf di Malaysia yang tidak hanya untuk tempat ibadah menunjukkan berkembangnya pengelolaan wakaf sampai pada memiliki wakaf saham, membangun pusat perdagangan yang kemudian disewakan. Seperti lembaga pengelola wakaf Johor Corporation Berhad bergerak pada bidang investasi pada sektor ekonomi, rumah sakit, saham di bawah kerajaan negeri Johor (Fauza, 2015, 169).
Sebelum Islam datang ke Indonesia, ada kebiasaan secara adat dikenal dengan huma serang pada suku di Cibeo Banten Selatan yang berarti ladang-ladang yang dikelola bersama dan hasilnya digunakan untuk kepentingan bersama setiap tahunnya. Terdapat tanah negara yang dibebaskan dari pajak landrente yang diserahkan kepada desa- desa, subak, dan candi yang disebut tanah pareman di Lombok digunakan untuk kepentingan bersama (Usman, 2009, 74). Kebiasaan- kebiasaan dalam adat ada bentuk wakaf dalam bentuk pendermaan harta yang diambil manfaatnya digunakan bersama.
18
Ketika kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada tahun 916 H/
1511 M dibentuk kanun meukuta alam atau kanun al-asyi yang menjadi undang-undang dasar terdapat lemabaga balai meusara bertugas mengelola hal yang berkaitan dengan wakaf. Pada masa kesultanan di Jawa Tengah, masjid-masjid di Semarang Kendal, Kaliwungu, dan Demak memiliki tanah sawah bondo yang digunakan untuk membiayai pemeliharaan dan perbaikan masjid, halaman dan makam wali yang ada di lingkungan masjid diatur dalam Bijblad 7760 (Yusuf, 2001, 80). Aturan-aturan menggenai wakaf yang dibuat menunjukkan perkembangan wakaf yang penting di masyarakat untuk ditertibkan.
Setelah kemerdekaan Indonesia melalui departemen agama mengenal wakaf tanah pada 22 Desember 1953, diterbitkan surat edaran jawatan urusan agama Nomor 5 Tahun 1956 mengenai prosedur perwakafan tanah dan surat edaran jawatan urusan agama Nomor 3/D/1956 tentang wakaf yang bukan milik masjid (Wajdy, 2007, 44). Semakin mendapatkan perhatian mengenai wakaf di Indonesia dan menyadari akan potensinya untuk kesejahteraan masyarakat. Pembaharuan hukum wakaf terus dilakukan seiring dengan perkembangan dan pemberdayaan wakaf sesuai kebutuhan masyarakat. Dikeluarkannya UU Wakaf di era reformasi untuk merepon adanya wakaf yang bukan lagi bentuk tanah melainkan ada wakaf tunai disebut juga wakaf uang. Dibentuk dan didirikan lembaga wakaf nasional yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI).
c. Landasan Hukum Wakaf
Wakaf di Indonesia berlandaskan dan berdasar pada hukum Islam dan hukum positif. Dasar hukum wakaf dalam hukum Islam berdasarkan al-qur’an, hadits, ijma’, dan ijtihad ahli hukum Islam.
dasar hukum wakaf dalam hukum positif di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Hukum positif memberikan kekuatan dan kepastian hukum yang menjadi pedoman praktik wakaf
19
di masyarakat sehingga terarah dan dapat menjadi solusi penyelesaian sengketa wakaf.
Wakaf tidak disebutkan secara tegas eksplisit dalam ayat al- qur’an, namun secara umum terdapat ayat yang menyebutkan mengenai menafkahkan harta yang dapat dikonotasikan dalam bentuk zakat, sedekah, hibah, wakaf, dan lain-lain. Para ulama menafsirkan wakaf telah tercakup dalam ayat al-qur’an (Halim, 2005, 49). Ayat al- qur’an lebih membicarakan mengenai infak, sedekah, dan amal jariyah, wakaf dapat dikategorikan dalam amal jariyah.
Firman Allah dalam al-qur’an surat al-Baqarah ayat 267 disebutkan sebagai berikut:
اْوُمَّمَيَ ت َلاَو ِِۖضْرَلأا َنِ م ْمُكَل اَنْجَرْخَأ اَِّمَِو ْمُتْ بَسَك اَم ِتَبِ يَط ْنِم اْوُقِفْنَأ اْوُ نَمَاء َنْيِذَّلا اَهُّ يََيَ
:ةرقبلا( ٌدْيَِحَ ٌِّنَِغ َالله َّنَأ اْوُمَلْعاَو ِِۚهْيِف اْو ُضِمْغُ ت ْنَأ َّلاِإ ِهِذِخَِبِ ْمُتْسَلَو َناْوُقِفْنُ ت ُهْنِم َثْيِبَْلْا )۲۶۷
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik, dan dari apa yang kamu keluarkan untuk dari alam bumi. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk daripadanya untuk kemudian kamu infakkan padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata (enggan). Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. al-Baqarah [2]: 267)
Al-qur’an surat al-Imran ayat 92 disebutkan mengenai menafkahkan harta yang dikonotasikan seperti wakaf, sebagai berikut:
)۹۲ : نارمعلا( ٌمْيِلَع ِهِب َالله َّنِإَف ٍئَش ْنِم اْوُقِفْنُ ت اَمَة ِۚ
َنْوُّ بُِتُ اَِّمِ ْاوُقِفْنُ ت َّتََّحَِّبِْلااوُلاَنَ ت ْنَل
Artinya: “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. al-Imran [3]: 92)
20
Menurut jumhur ulama pengertian umum infak dapat dilakukan dengan cara wakaf. Anjuran dari Allah untuk berbuat kebajikan dalam al-qur’an surat al-Hajj [22] ayat 77 sebagaimana amalan kebaikan dalam melakukan wakaf sehingga dapat dijadikan dasar hukum dibolehkannya ibadah wakaf (Ghofur, 2006, 19).
Perbuatan wakaf yang bertujuan untuk kemasalahatan berarti juga perbuatan kebajikan sebagaimana dalam al-qur’an surat al-Hajj [22]
ayat 77 berikut ini:
)۷۷:جلحا( َنْوُحِلْفُ ت ْمُك َّلَعَل َْيَْْلْا اْوُلَعْ فاَو ْمُكَّبَر اْوُدُبْعاَو اْوُدُجْساَو اْوُعَكْرا اْوُ نَماَء َنْيِذَّلااَهُّ يََيَ
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. al-Hajj [22]: 77)
Kisah wakaf tanah milik Umar ra, terdapat dalam teks hadits yang menjadi dasar hukum wakaf secara produktif sebab pada tanah di Khaibar yang dimiliki Umar ra adalah tanah terbaik sehingga menghasilkan kemanfaatan yang terus mengalir sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:
ملسو هيلع الله ىلص َّ ِبَِّنلا ىَتأَف ََبِْيَِبِ اًضْرَأ َرَمُع َباَصَأ :لاق امهنع الله يضر رمع نبا نع ْيِدْنِع ُسُفْ نَأ َوُه ُّطَق َلااَم ْبِصأ َْلَ ََبِْيَِبِ اًضْرَأ ُتْبِصُأ ْ ِ نِّإ الله َلْوُسَر َيَ :َلاَقَ ف اَهْ يِف ُرِمْأَتْسَي اَهُل ْصَا َتْبَسَح َتئِش ْنِإ ملسو هيلع للهاىلص الله ُلْوُسَر ُهَل َلاَقَ ف .ِهِب ْ ِنُّرُم َْتَ اَمَف ُهْنِم ءاَرَقُفُلا ِْف اَِبِ َقَّدَصَتَو َلاَق .ُثَرْوُ تَلاَو ُبَه ْوُ ت َلاَو ُعاَبُ تَلا اََّنََّأ ,َرَمُع اَِبِ َقَّدَصَتَ ف اَِبِ َتْقَّدَصَتَو اَهْ نِم َل ُكَْيَ ْنَأ اَهُ يِلَو ْنَم ىَلَع َحاَنُجَلا ِفْيَّضلاَو ِلْيِبَّسلا ِنْباَو لله ِلِْيِبَس ِفَوِباَقِ رلا ِْفَو َبَْرُقلا ِف َو )ملسم هاور( لومَتُمَْيَْغ ُمِعْطُيَو ِفْوُرْعَلمِبِ
Artinya: “dari Ibnu Umar ra (dilaporkan) bahwa Umar Ibn al-Khattab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, lalu beliau datang kepada Nabi SAW untuk minta instruksi beliau tentang tanah
21
tersebut. Katanya: wahai Rasulullah, saya memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang selama ini belum pernah saya peroleh harta yanag lebih berharga dari saya dari padanya. Apa instruksimu mengenai harta itu? Rasullah bersabda: jika engkau mau, engkau dapat menahan pokoknya (melembagakan bendanya) dan menyedekahkan manfaatnya. [Ibnu Umar lebih lanjut] melaporkan: maka menyedekahkannya tanah itu dengan ketentuan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Ibnu Umar berkata: Umar menyedekahkannya kepada orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibn sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi orang yang menguasai tanah wakaf itu (mengurus) untuk makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta.” (HR. Bukhari)
Pada hadits lain disebutkan bahwa ada tiga perbuatan yang pahalanya akan terus mengalir meskipun telah meninggal dunia salah satunya adalah amal jariyah seperti wakaf (Anwar, 2007, 79). Hadits disebutkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
ْنِم َّلاِإ ُهُلَمَع َعَطَقْ نِا ُناَسْنِلإا َتاَم اَذِإ َلاَق ملسو هيلع الله ىلص الله ُلْوُسَر َّنَأ َةَرْ يَرُه ِبَِأ ْنَع ُهَل ْوُعْدَي ٍحِلاَص ٍدَلَوَو َأ ِهِب ُعَفَ تْ نُ ي ٍمْلِعَو َأ ٍةَيِراَج ٍةَقَدَص ْنِم ٍةَث َلَِث
Artinya: “dari Abu Hurairah ra (dilaporkan bahwa Rasullah SAW bersabda: apabila seseorang meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah yang mengalir, ilmu yang di manfaatkan atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR.
Muslim)
Maksud dari sedekah yang mengalir adalah perbuatan derma yang terus dimanfaatkan, hal ini sama dengan berwakaf yang mana harta pokok wakaf tetap dan harta wakaf yang terus dimanfaatkan mengalirkan amal yang terus mengalir sebagai amal jariyah meskipun orang yang berwakaf telah meninggal dunia. Para ulama sepakat
22
(ijma’) bahwa wakaf menjadi amal jariyah yang diperbolehkan dalam Islam dan dianjurkan untuk melakukannya. Perbuatan wakaf juga dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat-sahabat hingga sekarang (Soemitra, 2010, 435-436).
Pengamalan wakaf pada masa Nabi SAW yang terus menerus dilakukan hingga berkembang di seluruh dunia, maka wakaf merupakan ijma ‘amali (Athoillah, 2012, 40). Maksudnya adalah perbuatan kebajikan yang diperbolehkan dan mengalirkan manfaat tanpa putus. Selain ijma’ para ahli hukum Islam berijtihad seperti bolehnya mewakafkan dinar yang dikemukakan oleh Imam al-Zuhri.
Kebolehannya dengan menjadikan dinar sebagai modal usaha kemudian keuntungannya diberikan kepada yang berhak menerima.
Sumber-sumber pengaturan wakaf dalam hukum di Indonesia pada tahun 1977 terbit Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan tanah milik dan tata cara pendaftaran tanah mengenai perwakafan tanah milik. Diatur pula peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978. Peraturan wakaf diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2002 merespon gagasan baru yang di usung praktisi ekonomi Islam mengenai konsep pengelolaan wakaf uang untuk meningkatkan kesejahteraan umat, dikeluarkannya fatwa yang membolehkan wakaf uang/cash waqf/waqf al-nuqud.
Kemudian lahir UU Wakaf pada tahun 2004 di era reformasi yang diikuti dengan aturan-aturan lain seperti Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan UU Wakaf, Peraturan Badan Wakaf Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang sebagai bentuk upaya memberdayakan wakaf secara produktif dan modern. Wakaf produktif dapat berupa uang atau surat-surat berharga, di Indonesia Lembaga otonom Dompet Dhuafa Republika
23
memberikan layanan kesehatan secara permanen untuk masyarakata miskin memperoleh haknya tanpa membayar biaya rumah sakit (Penyusun, 2004, 140-141).
d. Macam-macam Wakaf
Macam-macam wakaf di Indonesia dilihat dari segi tujuan, batasan waktu dan penggunaan barangnya (Rida, 2005, 161-162), yaitu:
1) Wakaf berdasarkan tujuan:
a) Wakaf sosial (wakaf khairi) yaitu untuk kebaikan masyarakat peruntukan tanah wakafnya untuk umum. Seperti wakaf masjid; wakaf produktif yang hasilnya untuk beasiswa.
b) Wakaf keluarga (wakaf dzurri) yaitu peruntukan tanah wakaf untuk wakif, keluarga, keturunan dan orang-orang tertentu tanpa melihat apakah kaya atau miskin, sakit atau sehat, tua atau muda. Misalnya wakaf rumah yang boleh ditempati wakif, keluarga, dan orang tertentu.
c) Wakaf gabungan (wakaf mushtarak) yaitu peruntukan tanah wakaf untuk umum dan keluarga secara bersama-sama.
Mislanya wakaf kebun di Khaibar yanag dilakukan oleh sayyidina Umar.
2) Wakaf berdasarkan batasan waktu:
a) Wakaf abadi (wakaf mu’abbad) yaitu wakaf barang yang bersifat abadi, seperti tanah dan bangunan dengan tanahnya, atau barang bergerak yang ditentukan oleh wakif sebagai wakaf abadi dan produktif, dimana sebagian hasilnya disalurkan sesuai peruntukan tanah wakaf, sedangkan sisanya untuk biaya perawatan wakaf dan mengganti kerusakannya.
b) Wakaf temporer (wakaf mu’aqqat) yaitu apabila barang yang diwakafkan berupa barang yang mudah rusak ketika dipergunakan tanpa memberi syarat untuk mengganti bagian yang rusak. Wakaf sementara juga bisa dikarenakan oleh
24
keinginan wakif memberi batasan waktu ketika mewakafkan barangnya.
3) Wakaf berdasarkan penggunaan barang:
a) wakaf langsung (wakaf ‘am) yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk mencapai tujuan, seperti masjid untuk shalat, sekolah untuk kegiatan belajar mengajar, rumah sakit untuk mengobati orang sakit, dsb.
b) Wakaf produktif (wakaf istitsmari) adalah wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi dan hasilnya diberikan sesuai dengan peruntukan tanah wakaf.
4) Wakaf dilihat dari segi peruntukan harta wakafnya dalam Buku Pintar Wakaf yang diterbitkan Badan Wakaf Indonesia (2019) sebagai berikut:
a) Wakaf ‘am yaitu wakaf yang peruntukannya diberikan untuk umum yang tidak ditentukan secara spesifik oleh wakif
b) Wakaf khash yaitu wakaf yang peruntukannya ditentukan secara spesifik oleh wakif
e. Rukun dan Syarat Wakaf
Wakaf dalam Islam dilaksanakan dengan cara berikrar yang harus memenuhi rukun dan syarat. Sifat akad wakaf yang mengikat menurut jumhur ulama artinya wakif tidak dapat menarik kembali harta yang telah diwakafkan, menjual ataupun mewariskannya. Rukun wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam sama dengan pendapat jumhur ulama dan Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf (2005) sebanyak 4 beserta syarat-syarat yang melekat pada masing-masing rukun sebagai berikut:
1) Wakif (orang yang mewakafkan hartanya)
Wakif antara lain meliputi perseorangan, organisasi ataupun badan hukum, berikut ini syarat-syarat wakif:
25
a) Memiliki kecakapan hukum meliputi dewasa, merdeka, berakal sehat, pemilik sah harta benda wakaf, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum (Haq, 1994, 17).
b) Wakif organisasi dapat berwakaf apabila memnuhi ketentuan organisasi yaitu sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
c) Apabila wakif badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurus yang sah menurut hukum.
2) Mauquf bih (benda yang diwakafkan)
Syarat sahnya harta wakaf menurut Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf (2005) sebagai berikut:
a) Benda harus mempunyai nilai atau bermanfaat
b) Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan
c) Benda yang diwakafkan harus diketahui ketika terjadinya akad, terbebas dari pembebanan, ikatan, dan sengketa
d) Benda yang diwakafkan telah menjadi milik tetap wakif 3) Mauquf alaih (pihak yang menerima wakaf)
Nazhir yang bertugas menerima, menjaga, melindungi dan mengelola harta wakaf sesuai dengan peruntukannya. Berikut ini syarat sebagai nazhir yang diatur dalam Pasal 219 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a) Nazhir perseorangan harus seoranng Warga Negara Indonesia (WNI), beragama Islam, dewasa, sehat jasmani dan rohani, tidak berada di bawah pengampuan, dan bertempat tinggal di Kecamatan tempat harta yang diwakafkan
b) Bagi nazhir berbentuk badan hukum harus badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dan memiliki perwakilan di Kecamatan tempat harta diwakafkan
4) Sighat (pernyataan kehendak wakif untuk mewakafkan sebagian harta yang dimiliki)
26
Syarat menyatakan ikrar wakaf sebagai berikut:
a) Pelafalanya harus jelas
b) Sighat dilakukan seketika dan selesai pada saat itu c) Terdapat 2 orang saksi
d) Tidak disertai syarat yang dapat merusak akad
e) Tidak mengandung pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang sudah dilakukan
Unsur wakaf dalam UU Wakaf selain empat rukun wakaf di atas ada peruntukan harta wakaf dan jangka waktu wakaf. Harta wakaf hanya dapat diperuntukan untuk sarana ibadah, kegiatan dan prasarana pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada anak terlantar, fakir miskin, yatim piatu dan beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan syariah. Secara umum para ulama berpendapat bahwa pokok harta wakaf harus selamanya, sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa boleh wakaf dalam waktu tertentu. Zat wakaf harus kekal yang dapat diambil manfaatnya terus menerus menurut golongan Hanafiyah (Permana, 2021,165).
2. Wakaf Tanah
Berdasarkan Pasal 16 Ayat 2 UU Wakaf harta yang dapat diwakafkan yang termasuk dalam tidak bergerak yaitu hak atas tanah, bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah, hak atas satuan rumah susun, dan benda tidak bergerak lain yang sesuai ketentuan syariah dan peraturan yang berlaku. Berikut urutan tata cara wakaf tanah yang dapat dilakukan oleh calon wakif:
a. Calon wakif baik perorangan atau badan hukum datang sendiri untuk melaksanakan ikrar wakaf atas tanah hak miliknya di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
b. Berkas-berkas yang perlu disiapkan oleh calon wakif sebelum ikrar wakaf tanah:
1) Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah
27
2) Surat Keterangan Kepala Desa diperkuat oleh Camat setempat mengenai kebenaran pemilikan tanah dan tidak dalam sengketa 3) Surat Keterangan pendaftaran tanah
4) Ijin Bupati/ Walikotamadya c.q. Sub Direktorat Agraria setempat, hal ini dalam rangka tata kota
c. PPAIW melakukan screening terhadap berkas-berkas calon wakif, syarat-syarat, saksi, dan mengesahkan susunan nazhir
d. Wakif mengucapkan kehendaknya untuk berwakaf pada nazhir di hadapan PPAIW dan dua orang saksi
Ikrar wakaf diucapkan dengan jelas dan tegas. Wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan Kantor Departemen Agama sebab tidak dapat hadir menghadap PPAIW sendiri kemudian naskah surat dibacakan dihadapan nazhir, serta semua yang hadir ikut menandatangani ikrar wakaf
e. PPAIW segera membuat AIW rangkap empat yang sudah dibubuhi materai.
PPAIW harta wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala Kantor Urusan Agama dan/atau pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf. Notaris yang menjadi pembuat AIW harus ditetapkan oleh Menteri.
Apabila dilakukan penggantian AIW seperti pada kasus perbuatan wakaf yang belum dituangkan dalam AIW sedangkan perbuatan wakaf sudah diketahui berdasarkan berbagai petunjuk dan dua orang saksi serta AIW tidak mungkin dibuat karena wakif sudah meninggal dunia atau tidak diketahui lagi keberadaannya (Kementerian Agama RI, 2006, 73). Maka melalui tata cara sebagai berikut dibuat akta pengganti AIW:
a. Penggantian AIW dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat atau saksi yang mengetahui keberadaan harta wakaf dikuatkan dengan petunjuknya
b. Kepala desa setempat wajib memohon AIW pengganti kepada PPAIWsetempat
28
c. Atas nama nazhir PPAIW wajib menyampaikan akta pengganti AIW beserta dokumen pelengkap kepada kepala kantor pertanahan setempat guna pendaftaran wakaf tanah paling lama 30 hari sejak penandatanganan AIW pengganti
Ada dua syarat sahnya pendaftaran tanah wakaf hak milik yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil berkaitan dengan pihak wakif dan nazhir dalam pelaksanaan wakaf tanah. Sedangkan syarat formil yaitu AIW harus menjadi bukti wakaf tanah. Harta wakaf tanah bersifat right to use artinya nazhir hanya mempunyai hak mempergunakan tanah yang diwakafkan untuk kepentingan peribadatan atau sosial lainnya sesuai dengan fungsinya (Santoso, 2014, 79).
Wakif dapat mewakafkan hartanya untuk jangka waktu tertentu, namun untuk harta wakaf berupa tanah hak milik harus diwakafkan untuk selamanya, hal ini diatur dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf. Sehingga harta menjadi milik Allah SWT, untuk diambil manfaatnya demi kepentingan umum. Wakaf tanah hak milik juga diatur dalam Pasal 49 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa perwakafan tanah hak milik dilindungi dan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik.
3. Akta Ikrar Wakaf
Akta merupakan salah satu alat bukti tertulis berupa surat yang dibubuhi tanda tangan para pihak dalam peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan dibuat dengan sengaja dari semula. Sebelum pembuatan AIW dilakukan ikrar wakaf dalam Majelis Ikrar Wakaf yang ditandatangani oleh wakif, nazhir, dua orang saksi, dan PPAIW sebagai bentuk peristiwa wakaf. Sesuai dengan Pasal 1869 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa suatu akta harus ditandatnagi dengan tujuan untuk
29
membedakan dengan akta lainnya. AIW sebagai bukti pernyataan kehendak wakif yang mewakafkan harta miliknya untuk dikelola oleh nazhir sesuai dengan peruntukan yang tertera di dalamnya.
Peran penting PPAIW dalam perwakafan sebagai pejabat yang bertugas dan berwenang membuat AIW atas penetapan Menteri Agama Republik Indonesia. Wewenang PPAIW menurut terminologi hukum melekat pada tugas sebagai manifestasi dalam menjalankan dan mengoptimalkan fungsinya. Berikut ini yang menajdi tugas dan wewenang PPAIW dalam UU Wakaf seperti yang tertera dalam buku yang disusun oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (2013):
a. Sebelum pelaksanaan ikrar wakaf, PPAIW harus memastikan terbentuknya Majelis Ikrar Wakaf yang terdiri dari wakif, nazhir, dua orang saksi, mauquf alaih, dan PPAIW sendiri
b. Meneliti kelengkapan persyaratan administrasi perwakafan dan keadaan fisik harta yang akan diwakafkan
c. Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf dalam Majelis Ikrar Wakaf d. Mengesahkan AIW yang telah ditandatangani oleh wakif, nazhir, dan
dua orang saksi
e. Membuat berita acara serah terima harta wakaf dari wakif kepada nazhir serta penjelasan tentang rincian harta wakaf yang ditandatangani wakif dan nazhir
f. Mengesahkan nazhir baik perseorangan, badana hukum maupun organisasi
g. Menyampaikan salinan AIW kepada wakif, nazhir, Kantor Pertanahan Kota/ Kabupaten dalam hal harta wakaf berupa tanah
h. Membuat Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf berdasarkan permohonan masyarakat atau saksi yang mengetahui keberadaan harta wakaf, atau pihak yang ditentukan oleh peraturana perundang-undangan
i. Atas nama nazhir, PPAIW wajib menyampaikan APAIW beserta dokumen pelengkap lainnya kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dalam rangka pendaftaran wakaf tanah yang bersangkutan
30
dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan APAIW
j. Penyerahan kelengkapan administrasi pelaksanaan wakaf kepada Badan Pertanahan Kabupaten/Kota dan instansi terkait bertujuan untuk mengurus diterbitkannya sertifikat harta wakaf yang menjadi otoritas Badan Pertanahan Kabupaten/Kota dan/atau instansi terkait
k. PPAIW atas nama Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia wajib mendaftar nazhir di lingkup wilayah tugasnya
l. Memproses penggantian nazhir lama yang berhenti karena kedudukannya sebab meninggal duunia, berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh BWI
m. Menginventarisasi data tanah wakaf, baik yang sudah bersertifikat maupun masih dalam proses di BPN setempat
n. Ikut membantu penyelesaian bila terjadi masalah yang berkaitan dengan persertifikatan tanah wakaf
Setelah dilakukan ikrar wakaf selambatnya dalam waktu satu bulan berkas ikrar wakaf harus didistribusikan pada PPAIW, Kantor Subdit Agraria setempat, Pengadilan Agama setempat. Salinan Akta Ikrar Wakaf dapat dimiliki oleh wakif, nazhir, Kantor Departemen Agama, dan Kepala Desa setempat. Syarat pembuatan AIW untuk harta wakaf tidak bergerak dengan menyerahkan sertifikat hak atas tanah atau sertifikat satuan rumah susun atau tanda bukti kepemilikan tanah lainnya. Isi AIW paling sedikit diatur dalam Pasal 21 UU Wakaf yang memuat mengenai:
a. Nama dan identitas wakif, nazhir, dan saksi b. Data dan keterangan harta wakaf
c. Peruntukan harta wakaf d. Jangka waktu wakaf
Jangka waktu wakaf boleh dalam waktu tertentu atau selamanya namun dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf bahwa Sedangkan harta wakaf berupa tanah hak milik harus diwakafkan untuk selamanya. Sehingga dalam AIW
31
tidak perlu ada penulisan mengenai jangka waktu wakaf. Apabila wakif atau nazhir adalah organisasi atau badan hukum maka nama dan identitas dalam akta tertulis nama pengurus organisasi atau direksi badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar masing- masing.
AIW menjadi salah satu bentuk akta otentik sesuai dengan Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa AIW bentuk akta yang ditentukan oleh UU Wakaf, dibuat dihadapan PPAIW di KUA. Akta otentik dapat berdiri sendiri sebagai bukti tanpa alat bukti lain (Qohar, 2011, 29). Akta otentik mengikat para pihak dan hakim, sehingga hakim harus menjadikan AIW sebagai dasar fakta untuk mengambil keputusan.
Adanya AIW memberikan perlindungan akan pentingnya pencatatan perwakafan di Indonesia untuk menghindari adanya sengketa wakaf dikemudian hari (Bukido dan Misbahul, 2020, 255).
Tidak jelasnya status dan kedudukan harta wakaf yang kemudian wakif meninggal dunia dan ahli waris menolak mengakui harta tersebut harta wakaf dapat menjadi salah satu sengketa wakaf yang muncul dikemudian hari. Masih ada pelaksanaan wakaf yang hanya memenuhi syarat sah wakaf dalam hukum Islam tanpa ada pencatatan secara tertulis dalam bentuk AIW (Dewi, 2010, 16). Perlu meningkatkan kesadaran masyarakat atau calon wakif mengenai urgensi AIW dalam berwakaf.
4. Peruntukan Tanah Wakaf
Peruntukan tanah wakaf dalam AIW ditulis “peruntukan” yang berisi mengenai untuk apa harta tersebut diwakafkan. Regulasi wakaf di Indoensia tidak mendefinisikan peruntukan wakaf, tidak konsisten dalam menyebutkan kata “peruntukan” yaitu digunakan untuk makna kegunaan fungsional yang menjadi acuan nazhir dan kadang bermakna mauquf alaih yaitu pihak yang berhak menerima manfaat wakaf (Nurkaib, 2015).
Namun dalam regulasi sering menggunakan peruntukan sebagai kegunaan fungsional. Badan Wakaf Kuwait yaitu Kuwait Public AWQAF Foundation (KAPF) menyebutkan bahwa mauquf alaih adalah pihak yang
32
akan menerima hasil pengelolaan harta wakaf. Hal ini sama dengan Badan Otoritas Urusan Keislaman dan Perwakafan (al-Hai’ah al-‘Ammah li al- Syu’un al-Islamiyyah wa al Awqaf) Uni Emirat Arab, Yayasan Waqaf Malaysia, dan juga Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS).
Salah satu tugas nazhir yang disebutkan dalam UU Wakaf adalah mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya. Selain untuk tujuan ibadah, tujuan harta wakaf berdasarkan UU Wakaf juga untuk pendidikan, dan kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi dan/atau kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan syariah. Dimensi peruntukan tanah wakaf adalah ibadah dan sosial, namun yang menjadi tujuan utama adalah ibadah.
Ibadah dalam hal ini hubungan antara manusia dengan Allah SWT untuk mencari ridho dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga wakif menganggap tidak perlu melakukan pengurusan wakaf secara resmi atau bahkan memikirkan peruntukan tanah wakaf yang memiliki potensi untuk dikembangkan secara produktif yang sesuai dan tepat untuk keberlanjutan harta wakaf dapat dimanfaatkan selamanya. Mengelola harta wakaf dengan tepat sesuai tujuannya akan terus mengalir terus menerus dalam hal dimensi sosial.
Peruntukan tanah wakaf terbagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, secara umum peruntukan tanah wakaf menghubungkan interaksi antar manusia untuk melakukan perbuatan kebajikan sebagai upaya lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT (Al-Kabisi, 2004, 83). Interaksi manusia pada perbuatan kebajikan dapat dilakukan oleh seorang yang memiliki perbedaan kondisi bagi diberikan kelebihan oleh Allah untuk membantu yang mengalami kekurangan. Wakaf memiliki peran dan fungsi sosial yang dapat diwujudkan dengan tujuan yang jelas.
Secara khusus peruntukan tanah wakaf dalam batasan-batasan maksud syariat Islam untuk semangat keagamaaan, motivasi keluarga,
33
dorongan kondisional (Khoerudin, 2018, 8). Perbuatan wakaf sebagai sebab keselamatan, menambah pahala, dan dosa terampuni sehingga menambah semangat seseorang untuk melakukan wakaf. Dengan berwakaf dapat memelihara kesejahteraan keluarga yang menjamin kelangsungan kehidupan keturunannya. Kondisi seseorang yang membutuhkan bantuan dapat diambilkan dari manfaat harta wakaf.
Batasan jangka waktu tertentu dalam berwakaf dapat menambah semangat berwakaf bagi umat tanpa memindahkan kepemilikan hartanya hanya pemanfaatan harta wakaf dalam jangka waktu tertentu seperti sewa.
Pengelolaan wakaf dalam jangka waktu tertentu secara maksimal dan tepat untuk diambil manfaatnya dapat mencapai peruntukan tanah wakaf. Jangka waktu wakaf dalam fiqih masih menjadi perdebatan, para ulama umumnya berpendapat wakaf untuk selamanya selain mazhab Hanafi dan mazhab Maliki yang membolehkan wakaf jangka waktu tertentu (Supani, 2019, 113). Peruntukan tanah wakaf tertulis dengan jelas dalam AIW dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana tujuan dan fungsi wakaf yang diatur dalam UU Wakaf. Pengelolaan harta wakaf secara efektif dan efisien sesuai peruntukan tanah wakaf seperti untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umat yang berpotensi meningkatkan perekonomian.
Pelaksanaan peruntukan tanah wakaf yang tidak sesuai dengan ikrar wakaf maka wakaf menjadi tidak sah. Dalam hal mencapai tujuan dan fungsi wakaf terdapat peran penting seorang nazhir yang bertugas mengelola harta wakaf. Kemampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf harus dipertimbangkan, sebab nazhir harus memenuhi syarat-syarat pengelolaan secara produktif. Untuk itu peruntukan tanah wakaf harus dinyatakan secara jelas dan tegas dalam AIW. Wakif yang tidak menetapkan peruntukan tanah wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukan harta wakafnya sesuai fungsi wakaf (Sari, 2007, 57-58).
34 B. Landasan Teori
1. Teori Efektivitas Hukum
Efektivitas berhubungan dengan pencapaian tujuan, pengukuran tercapainya tujuan yang sudah dilakukan identifikasi. Aturan yang dibuat sejalan dengan perencanaan yang ditetapkan dalam mencapai tujuan (Pringgodigdo, 1973, 261). Tujuan yang harus tercapai perlu perencanaan dan aturan yang saling mendukung. Gambaran target sebagai bentuk perencanaan-perencanaan yang menjadi acuan tercapainya tujuan (Sedarmayanti, 2009, 59). Secara etimologi kata efektif berarti kemampuan untuk mencapai hasil yang terukur (Soekanto, 2007, 42).
Efektivitas berarti ukuran keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Efektivitas menurut The Liang Gie (1981) merupakan keadaan yang terjadi sebab adanya efek yang dikehendaki.
Peraturan yang telah ditetapkan dan tidak dipatuhi masyarakat menunjukkan bahwa tidak efektifnya ketentuan yang dapat dipengaruhi beberapa faktor. Efektif atau tidaknya sebuah peraturan dapat dikaji dengan teori efektivitas hukum. Menurut Soerjono Soekanto (2007) dikatakan efektif hukum yang berlaku apabila dapat mencapai tujuan yang diharapkan oleh pembentuk dan pelaksananya. Masyarakat yang patuh terhadap kehendak hukum dapat dikatakan peraturan yang dibuat telah efektif. Kajian teori efektivitas hukum fokus pada pembahasan sebagai berikut (Salim dan Erlies, 2013, 303):
a) Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum
Norma hukum yang ditaati baik oleh masyarakat dan aparat hukum dilaksanakan sesuai kehendak hukum dapat dikatakan berhasil atau efektif.
b) Kegagalan dalam pelaksanaan hukum
Tidak tercapainya tujuan sesuai dengan kehendak hukum dalam pelaksanaannya maka dapat dikatakan peraturan yang dibuat gagal.
c) Faktor-faktor yang mempengaruhi
35
Pelaksanaan penegakan hukum dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut (Soekanto, 2007, 17):
1) Faktor hukumnya sendiri
Peraturan yang dibentuk untuk tercapainya tujuan hukum secara efektif harus jelas, tegas, mudah dipahami tidak membingungkan.
Terkadang perlu penafsiran untuk memahami peraturan hukum, pelaksanaan penegakan hukum sulit tercapai apabila peraturan yang dibuat ada kendala seperti tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksanaan yang menerapkan undang-undang, ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran penafsiran dan penerapannya. Terjadi pertentangan antara peraturan dengan keadilan sebab peraturan ditentukan secara normatif dan konsepsi peraturan yang bersifat abstrak (Ishaq, 2012, 246).
2) Faktor penegak hukum
Peran penegak hukum dalam mengambil keputusan tidak terikat oleh hukum sebab tidak ada peraturan yang dapat mengatur perilaku manusia secara sempurna, keterlambatan dalam menyelesaikan peraturan dengan perkembangan masyarakat sehingga timbul ketidakpastian, kurangnya biaya dalam menerapkan peraturan, adanya kasus individual sehingga perlu penanganan secara khusus. Menurut pendapat Ali (2009) bahwa pemahaman tugas yang dibebankan kepada penegak hukum dan penegakan peraturan perundang-undangan secara profesional dan optimal dalam melaksanakan perannya.
3) Faktor sarana atau fasilitas
Perlunya sarana yang mendukung penegakan hukum di masyarakat yang mencakup pada sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
36
memadai, keuangan yang cukup apabila tidak terpenuhi dapat mempengaruhi keberhasilan tercapainya tujuan.
4) Faktor masyarakat
Bukan hanya sekedar membuat peraturan namun harus memperhatikan keadaan masyarakat, penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Tercapainya peraturan hukum dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat terhadap hukum yaitu kepatuhan masyarakat (Ishaq, 2012, 246).
5) Faktor kebudayaan
Nilai-nilai yang menjadi dasar hukum mengenai apa yang dianggap baik dan buruk di masyarakat menjadi budaya hukum yang dapat mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum.
Kaidah hukum yang berlaku baik secara yuridis, sosiologis, dan filosofis menjadi syarat yang harus terpenuhi dalam efektivitas hukum.
Kelima faktor yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto di atas saling berkaitan yang menjadi tolak ukur efektivitas hukum. Tercapainya sebuah tujuan sebab adanya keberhasilan dalam sebuah organisasi melalui proses perencanaan sebagai ukuran efektif (Ulum, 2004, 294). Artinya penilaian efektif dan tidak dinilai dari proses pelaksanaannya. Terwujudnya efektivitas hukum diukur dengan adanya sistem hukum yang baik. Hukum yang baik dibentuk berdasarkan karakter masyarakatnya, perbedaan masyarakat menurut Chambliss dan Seidman ada dua model masyarakat.
Pertama, masyarakat yang menganut kesepakatan akan nilai-nilai merupakan masyarakat dengan tingkat perkembangan yang sederhana.
Model masyarakat kedua yakni dengan model masyarakat yang berlandasan konflik nilai-nilai telah mengalami perkembangan lebih maju ada pembagian kerja secara lebih lanjut (Rahardjo, 1980, 49-50).
Hukum hidup dan berkembang dalam masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman secara umum. Tingkah laku
37
masyarakat yang tidak terkendali diperlukan kontrol sosial yang didukung dengan adanya sanksi.
2. Teori Maslahah
a. Pengertian Maslahah
Secara etimologi, kata al-maslahah adalah seperti lafazh al- manfa’at, baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah, seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u. Al- maslahah juga merupakan bentuk mufrad (tunggal) dari kata al- mashalih yang berarti kepentingan, kemanfaatan, kemaslahatan (Ali dan Ahmad, 2003, 1736). Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan penyakit (Syafe’i, 2015, 117).
Sedangkan menurut istilah maslahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah SWT. untuk hamba-hambanya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri mereka, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun berupa pemeliharaan harta kekayaan (Asmawi, 2011, 127-128). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2013, 884) kata maslahat berarti sesuatu yang mendatangkan (keselamatan dsb), faedah, dan guna.
Maslahah menurut beberapa ulama ushul menyimpulkan bahwa hakikat al-maslahah dalam syariat Islam adalah setiap manfaat yang tidak didasarkan pada nash khusus yang menunjukkan mu’tabar (diakui) atau tidaknya manfaat itu (Syafe’i, 2015, 120). Imam Malik menganggap maslahah sebagai salah satu dalil syara’ yang berdiri sendiri. Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahat dapat ditinjau dari tiga segi yaitu (Syafe’i, 2010, 118):
1) Melihat maslahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan.
Adanya kemaslahatan pada kasus akan tetapi tidak didasarkan pada
38
dalil yang menunjukkan kemalahatan tersebut. Kemaslahatan tersebut masih sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at Islam. Hal ini disebut al-maslahah al-mursalah.
2) Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al- munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Maksudnya adalah kemaslahatan sudah sesuai dengan tujuan syara’ tetapi, kesesuaian tersebut tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Oleh karena itu, dari sisi ini disebut al-munasib al-mursal yaitu kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil syara’ yang khusus.
3) Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Proses ini disebut istislah yaitu menggali dan menetapkan suatu maslahah.
Tujuan utama dalam hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemasalahatan. Memelihara harta adalah salah satu tujuan hukum Islam, harta wakaf harus dipelihara dan dijaga untuk tujuan-tujuan yang tepat. Peruntukan tanah wakaf yang dikehendaki oleh wakif hendaknya dapat mewujudkan banyak maslahah, Wujud pemanfaatan tanah wakaf sesuai dengan peruntukan tanah wakaf sehingga menghasilkan manfaat yang lebih luas. Menurut Imam al-Ghazali berdasarkan pendekatan maqasid syariah bahwa maslahah merupakan sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat dan menghindari keburukan (Al-Ghazali, 1998). Hal ini berarti bahwa perbuatan yang lebih banyak mendatangkan kemanfaatan dan lebih memilih untuk menghindari kemudharatan.
Berlaku kaidah fiqh dalam pengurusan harta wakaf “jalbu al- masalih wa dar-u mafasid” mencari kebaikan dan menghindari kemudharatan. “laa dharara wa la dhirara” artinya dapat menambah kebaikan harta dari sumber dan penggunaannya atau memilih untuk menolak sebab menjaga harta dari kerusakan atau berkurangnnya nilai manfaat. Berdasarkan pendapat Ibnu Taimiyah bahwa harta wakaf
39
yang tidak lagi dapat diambil manfaatnya dan ada yang lebih bermanfaat maka harta wakaf dapat dijual atau ditukar. Dapat dipahami bahwa kebolehan menjual atau menukar harta wakaf dengan dua syarat yaitu keadaan mendesak dan maslahah yang lebih kuat seperti masjid yang sudah tidak layak digunakan atau diramaikan sehingga tidak dapat memenuhi peruntukan tanah wakaf dapat dijual kemudian digantikan dengan yang lebih bermanfaat.
Sahabat Umar bin Khattab pernah memindahkahkan masjid Kufah lama ketempat yang baru sedangkan tempat yang lama dijadikan pasar dijelaskan dalam hujah Imam Ahmad. Ibnu Aqil dan Qudamah berpandangan bahwa harta wakaf yang tidak dapat digunakan manfaatnya sesuai peruntukan tanah wakaf maka boleh untuk diganti dengan yang serupa. Boleh menukar harta wakaf dengan tujuan maslahah, ada yang lebih baik. Seperti wakaf hewan yang mana hewan tersebut hampir mati atau dapat dipastikan kematiannya maka ahli fiqh pendukung madzhab Syafi’i membolehkan untuk disembelih sebab keadaan dharurat. Imam ar Ramli melihat dari segi maslahahnya bahwa kematian hewan tidak dapat dipastikan meskipun hilang manfaat tidak boleh disembelih sebagaimana membebaskan hamba yang sudah diwakafkan. Pendapat lain mengatakan bahwa hewan wakaf tersebut dapat dijual dalam keadaan masih hidup.
Mempertimbangkan maslahahnya untuk memenuhi tujuan memelihara agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta dilihat dari tingkat kebutuhan atau keperluan (dharuriyyah), kehendak (hajiyyah), dan keselarasan (tahsiniyyah) (Fisol, et.al, 2017, 683-692).
Mengutamakan maslahah dalam memenuhi tujuan sesuai dengan tingkat kebutuhan. Perubahan dalam peruntukan tanah wakaf yang lebih maslahah sesuai dengan kaidah fiqih mencari kebaikan dan mencegah keburukan (jalb al-manfa’ah wa daf’ al madarrah) (Fisol, Akli, dan Fadhilah, 2021, 51). Untuk memperoleh manfaat secara
40
maksimal dalam mengurus harta wakaf harus dipastikan keadilan dan kebajikannya.
b. Landasan Hukum Maslahah
Dalil diperbolehkannya teori maslahah dalam hukum Islam berdasar pada al-qur’an, hadits, dan ijma’. Berdasarkan firman Allah SWT al-qur’an surat Yunus ayat 58 disebutkan sebagai berikut:
)۵۸ :سنوي( َنْوُعَمَْيَ اَِّ مِ ٌْيَْخ َوُه اْوُحَرْفَ يْلَ ف َكِلَذِبَف ِهِتَْحََرِبَو ِالله ِلْضَفِب ْلُق
Artinya: “Katakanlah: dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira, karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
(QS. Yunus [10]: 58).
Dan dalam firman Allah SWT al-qur’an surat al-Anbiya’ ayat 107 disebutkan bahwa:
)۱۰۷ :أيبنلاا( َْيِمَلَعْلِل ًةَْحََر َّلاِإ َكَنْلَسْرَأ اَمَو
Artinya: “dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 107).
Berdasarkan firman Allah SWT al-qur’an surat Yunus ayat 58 bahwa karunia yang dimaksud adalah al-qur’an sedangkan rahmat yang dimaksud adalah agama, keimanan, beribadah kepada Allah SWT. Atas rahmat dan nikmat karunia tersebut maka bergembiralah sehingga melegakan jiwa, menambah rasa syukur, semangat, dan senang dengan ilmu serta keimanan. Kegembiraan dalam hal ini adalah gembira yang terpuji.
Berdasarkan firman Allah SWT al-qur’an surat al-Anbiya’ ayat 107 bahwa maksud dari surat tersebut adalah mengutus Nabi Muhammad SAW untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah mengabarkan dan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta. Hal ini mengajarkan kepada seluruh manusia untuk menerima rahmat dan mensyukuri nikmat yang telah Allah