• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP UMUM PARTAI POLITIK

D. Teori Partai Politik

Terdapat tiga teori asal mula terbentuknya partai politik yang dikemukakan oleh Lapalombara dan Weiner, yaitu: (1) teori kelembagaan, yang melihat adanya hubungan antara parlemen awal dengan timbulnya partai politik, (2) teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara

23 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.409

luas, dan (3) teori pembangunanyang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.24

1. Teori Kelembagaan

Menurut teori ini, partai politik pertama kari terbentuk pada lembaga legislatif dan eksekutif, karena adanya kebutuhan anggota legislatif (yang ditentukan dengan pengangkatan) untuk berhubungan dengan masyarakat dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Terbentuknya partai politik seperti ini sering juga disebut sebagai partai politik Intra-Parlemen. Setelah partai politik Intra-Parlemen terbentuk dan menjalankan fungsinya maka kemudian muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kelompok masyarakat lain karena mereka menganggap bahwa partai politik yang lama tidak mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka. Partai yang tebentuk ini disebut sebagai partai Ekstra-Parlemen.25

Kita bisa memahami kemunculan partai26 pertama kali dengan memahami kronologis sejarah munculnya ide pembentukan partai politik yang bermula pada abad ke-18. Latar belakang terbentuknya sebuah partai intra parlemen pada masa ini dikarenakan kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan tiap-tiap daerah. Pada tahun 1789 di Versailles, dari perwakilan-perwakilan provinsi pada General State mengadakan pertemuan. Sekelompok anggota legislatif dari daerah yang

24 Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik, (Jakarta: Gramedia WidiasaranaIndonesia, 2007), h.113.

25 Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.4-5

26 Kita jangan sampai disesatkan oleh istilah "partai" pada masa awal-awal ini.Hal ini kaiena pada masa ini partai dalam arti yang sesungguhnya belum ada. Katapartai digunakan untuk menggambarkan faksi-faksi dalam republik-republik masaialu, pasukan-pasukan yang terbentuk di sekitar condottieipada masa Renesans Itali,klubJclubtempat berkumpulnya anggota dewan-dewan revolusi, komite-komite yangmempersiapkan pemilihan umum dalam monarki konstitusional, dan organisasiorganisasi sosial yang membentuk opini publik dalam negara demokrasi modern.Penggunaan kata yang sama ini dapat dibenarkan karena semua lembaga tersebutberpiran memenangkan kekuasaan politik dan menerapkannya.

29

sama tersebut berkumpul untuk memperjuangkan kepentingan daerah mereka masing-masing. Kegiatan ini pertama kali dilakukan oleh para wakil dari Breton. Mereka secara reguler melakukan pertemuan dengan menyewa sebuah kafe.Di sana mereka berbagi pendapat terkait masalah-masalah daerah merekadan terbentuklah apa yang mereka sebut dengan

"Breton CIub". Dalam perkembangannya anggota klub ini tidak hanya beranggotakan para wakil rakyat dari Breton saja. Mereka juga membuka kesempatan kepada parawakil daerah lain untuk bertukar pendapat sehingga topik pembahasan mereka sampai kepada isu-isu nasional.

Dengan perkembangan inilah mereka menjelma menjadi kelompok ideologis. Selain Breton CIub, perkembangan awal seperti ini juga dialami oleh Girondin CIub.27

Setelah partai politik yang diinisiatif oleh pemerintah tersebut terbentuk dan menjalankan fungsinya, barulah mulai muncul partai politik lain yang dibentuk oleh masyarakat dengan skala yang lebih kecil.

Munculnya partai politik dari luar parlemen ini disebut Ekstra-parlemen.

pemimpin kelompok masyarakat membuat partai ini dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang tidak dapat sepenuhnya ditampung perhatikan oleh partai yang dibentuk oleh pemerintah tersebut.

Sebagai contoh pada negara yang dijajah, masyarakar membentuk partai politikuntuk memperjuangkan kemerdekaan bagi negaranya. Sedangkan padanegara maju, kelompok masyarakat yang minoritas membentuk partainyasendiri untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya yang tidak terwakili dalam sistem kepartaian yang ada. Contohnya serikat buruh di Inggris dan Australia membentuk partai Buruh, kelompok keagamaan di Belanda membentuk Partai Kristen Historis, dan sebagainya.28

27 Ichlasul Amal,Teori-Teori Mutakhir Partai Politik,(Yogyakarta: Tiara WacanaYogya, 1996), h.1

28 Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.6

2. Teori Situasi Historik

Menurut Teori situasi Historik, partai politik terbentuk ketika suatu sistem politik mengalami masa transisi karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, misalnya dari masyarakat tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat yang lebih modern yang berstruktur kompleks. Teori ini berangkat dari adanya kebutuhan untuk menampung kompleksitas struktur masyarakat yang semakin meningkat. Peningkatan rersebut seperti pertambahan penduduk karena peningkatan kesehatan, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi (penduduk), perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media,urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-harapan baru, dan munculnya gerakan-gerakan populis.

Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan timbulnya riga macam krisis, yaitu: (1) krisis legitimasi, (2) krisis integrasi, dan (3) krisis partisipasi.29 a. Krisis legitimasi yaitu perubahan yang menyebabkan masyarakat

mempertanyakan legitimasi kewenangan pemerintah. Partai politikyang didukung oleh masyarakat secara penuh diharapkan dapat membentuk suatu hubungan yang terlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat.

b. Krisis integrasi yaitu perubahan yang menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai suatu bangsa. Partai politik yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat berfungsi sebagai sarana integrasi berbagai latar belakang masyarakat.

c. Krisis partisipasi yaitu perubahan yang mengakibatkan tuntutan yang semakin besar untuk ikut serta dalam proses politik. Partai politik juga diharapkan mampu untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.

Dalam upaya mengatasi tiga krisis yang terjadi tersebut maka dibentuklah partai politik. Dengan terbentuknya partai politik yang berakar

29 Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik,h.145.

31

kuat di masyarakat maka diharapkan pemerintahan yang terbentuk kemudian mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat. Partai politik juga diharapkan dapat berperan sebagai integrator bangsa dengan cara lebih bersifat terbuka bagi berbagai golongan. Selain itu, partai politik juga harus mampu untuk menyalurkan keinginan masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi politiknya melalui mekanisme pemilu.30

3. Teori Pembangunan

Modernisasi sosial ekonomi ditandai dengan meningkatnya pembangunan di sektor sosial dan ekonomi seperti pembangunan teknologi komunikasi, peningkatan kualitas pendidikan, industrialisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan segala aktivitas yang menimbulkan kebutuhan untuk membentuk suatu organisasi politik yang mampu menyalurkan aspirasi mereka. Dapat disimpulkan bahwa teori pembangunan menyatakan bahwa partai politik merupakan konsekuensi logis dari modernisasi sosial ekonomi.31

30 Ramlan Surbakti, Memahami IImu Politik,h.146.

31 Muhammad Labolo, Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori, Konsep dan Isu Strategis), h.7

32 A. Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU,adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifatnasional, tetap, dan mandiri.1Pemilu di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KPU menjalankan tugasnya secara berkesinambungan dan dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

KPU berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia, KPU Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Dalam menjalankan tugasnya, KPU dibantu oleh Sekretariat Jenderal; KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota masing-masing dibantu oleh sekretariat. Jumlah anggota KPU sebanyak 7 (tujuh) orang; KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) orang; dan KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang. Keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Ketua KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dipilih dari dan oleh anggota. Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mempunyai hak suara yang sama. Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). Masa keanggotaaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. KPU pertama pasca reformasi dibentuk pada tahun 1999-2001 dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie.

1 Lihat Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 22 Tahun 2007TentangPenyelenggara Pemilihan Umum

33

Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah atau janji. Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri;

jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum;

keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.2

1. Visi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Menjadi Penyelenggara Pemilihan Umum yang Mandiri, Professional, dan Berintegritas untuk Terwujudnya Pemilu yang LUBER dan JURDIL.

2. Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

a. meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang efektif dan efisien, transparan, akuntabel, serta aksesibel;

b. meningkatkan integritas, kemandirian, kompetensi dan profesionalisme penyelenggara Pemilu dengan mengukuhkan code of conduct penyelenggara Pemilu;

c. menyusun regulasi di bidang Pemilu yang memberikan kepastian hukum, progesif, dan partisipatif;

d. meningkatkan kualitas pelayanan Pemilu untuk seluruh pemangku kepentingan;

2 https://kpud-medankota.go.id/sejarah-pemilu/, diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 19.24 WIB

e. meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih dalam Pemilu, Pemilih berdaulat Negara kuat; dan

f. mengoptimalkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Pemilu.3

B. Sejarah dan Perkembangan Pilkada di Indonesia

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di daerah. Ini merupakan perkembangan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam pemerintahan Indonesia, salah satu prinsip yang dikenal adalah prinsip otonomi, yang artinya adanya keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Pilkada meru-pakan sarana untuk memilih kepala daerah dan wakil-wakil rakyat di DPRD, dimana mereka dipilih langsung oleh masyarakat di daerahnya. Dengan demikian, legitimasi kedudukan Kepala Daerah dan Anggota DPRD menjadilebih representatif, bila Pilkada ini dilaksanakan secara demokratis dan sesuai dengan prosedur yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan.4Pemilihan sistem pilkada merupakan perjalanan politik panjang yang diwarnai tarik-menarik antara kepentingan elit politik dan kehendak publik, kepentingan pusat dan daerah atau bahkan antara kepentingan nasional dan internasional.

Di Indonesia, sejarah politik lokal hampir setua umur penjajahan kolonial, desentralisasi kekuasaan, dan administrasi pemerintahan itu sendiri. Bahkan apabila kita menelusuri jauh ke belakang, ke jaman kerajaan yang pernah berdiri dengan megahnya di seantero nusantara, para bangsawan mempergunakan politik lokal untuk memperluas wilayah dan kekuasaannya. Sehingga politik lokal dapat dikatakan bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan karakter bangsa dan

3 https://www.kpu.go.id/page/read/4/visi-dan-misi, diakses pada Tanggal 25 Juni 2021 Pukul 19.32 WIB

4 Prayudi, Ahmad Budiman dan Aryojati Ardipandanto, Dinamika PolitikPilkada Serentak, (Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RISekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia, 2017), h.2

35

negara hingga saat ini. Sejarah politik lokal terbagi dalam beberapa tahapan masa, yaitu:.5

1. Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang

Di awal masa penjajahan sebelum tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda menerapkan aturan hukum berupa Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) yang sangat konservatif.

Aturan tersebut menjelaskan tentang sentralisasi kekuasaan di Hindia Belanda bukan sebaliknya. Di samping menjalankan sentralisasi, dekonsentrasi memberikan kekuasaan kepada wilayah-wilayah administratif secara hirarkhis, namun hanya terbatas di pulau Jawa saja.

Lahirnya istilah seperti Gewest kemudan berubah menjadi Residentie, Afdeeling, District, dan Onder-district, merupakan pertanda adanya bentuk perwakilan kewenangan pemerintah Belanda pada wilayah-wilayah di daerah jajahannya. Sehingga, desentralisasi sesungguhnya bukanlah hal baru di bumi Indonesia, karena pada masa penjajahan kolonial Belanda di tahun 1903 para elit Eropa di Hindia Belanda diberikan wewenang mendirikan pemerintahan sendiri, namun secara terbatas. Kerajaan Belanda menerbitkan Wethoundende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie (Stb. 1903/329), lebih dikenal sebagai Decentralisatiewet 1903. Menurut Harry J. Benda, undang-undang ciptaan bangsa penjajah tersebut tidak memberikan landasan apapun dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Hanya daerah-daerah besar sajalah mendapat perhatian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Hindia Belanda. Selanjutnya, dapat ditebak bahwa titik berat penyelenggaraan otonomi daerah hanya fokus pada provinsi dan kabupaten besar saja. Pada tahun 1922, terbit Undang-undang tentang desentralisasi, menjadi dasar lahirnya provinsi-provinsi baru dengan otonomi administratif cukup besar. Namun demikian Sutherland mengatakanbahwa pemberian otonomi tersebut bukanlah ditujukan

5 Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), (FISIP Universitas Tadulako; Jurnal AcademicaVol.04 No. 01 Februari Tahun 2012), h.743

memberikan jalan bagi pertumbuhan demokratisasi lokal, namun sebagai benteng penangkal nasionalisme saja. Pemberian kewenangan otonomi administratif hanya menimbulkan kekacauan belaka akibat semakin tajam perbedaan antara kaum aristokrat kolonial dengan pribumi dalam mengatur pemerintahan. Pada tahun 1931, pemberontakan kekuatan komunis di Jawa Barat dan Sumatera Barat memaksa penjajah kolonial menarik kembali kewenangan otonomi lokal ke sentral (sentralisasi). Ciri dari sistem pemerintah kolonial sebelum kemerdekaan adalah sebagai berikut: Pemerintahan tidak langsung, Pemberlakukan aturan double standart, Hukum eropa konservatif bagi elit Eropa dan hukum adat bagi pribumi, berkembangnya elit pribumi berdasarkan garis keturunan kerajaan sebagai waki pemerintah kolonial di luar pulau Jawa, Isolasi gerakan nasionalis dan Pengendalian ketat daerah-daerah pedesaan dan daerah luar Jawa oleh elit pribumi tradisional patuh pada kekuasaan kolonial.6

Rezim pemerintahan Belanda berganti oleh pemerintahan Jepang.

Pada Pemerintahan Jepang di Indonesia telah dikeluarkan 3 (tiga) undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 (tiga) osamu sirei 1942/27 yaitu Undang-Undang Nomor 27 tentang perubahan sistem pemerintahan (tertanggal 6-8-2602), Undang-Undang Nomor 28 tentang perubahan syuu (tertanggal 7-8-2602) dan Undang-Undang Nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1-9-2602). Pemerintahan Jepang membagi daerah menjadi karesidenan yang disebut syuu dan residennya disebut syuutyoo.

Setelah karedisidenan terdapat dua pembagian daerah yang disebut ken dan si yang dikepalai oleh Kentyoo dan Sityoo. Di tingkat kawedana, keasistenan dan desa dikenal dengan nama Gunson, sedangkan kepala

6Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), h.744

37

daerahnya disebut Guntyoo, Sotyoo dan Kutyoo dimana pengangkatannya ditunjuk oleh Pemerintah Jepang.7

2. Masa Era Kemerdekaan

Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1945, Belanda yang terusir dari bumi Hindia Belanda karena kekalahannya melawan Jepang berusaha merebut kembali kekuasaannya di Indonesia.

Segala dalih politik pun direncanakan demi merebut ambisi menduduki kembali bumi Indonesia, karena kerajaan Belanda masih memandang bahwa Indonesia sebagai koloninya. Di bawah tekanan dunia internasional, Belanda dipaksa menunaikan tanggung jawab moralnya sebagai eks-penjajah dengan membantu merancang tata administrasi pemerintahan negara Indonesia yang masih sangat belia. Pada saat itu, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa serangkaian misi perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah kerajaan Belanda dijalankan. Negara-negara kuat, seperti Inggris, memantau perkembangan perundingan dengan seksama. Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, negosiasi diplomatik terjadi antara pemerintah Indonesia dan pemerintahan kerajaan Belanda. Di bulan September 1946 perwakilan Indonesia memulai pertemuan dengan perwakilan pemerintah kerajaan Belanda di Linggarjati dengan difasilitasi oleh pemerintah Inggris.

Pemerintah Belanda memaksa berlakunya sistem negara federal di Indoenesia.8

Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah diatur dalam sejumlah undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan

7 Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, (PusatPenelitian dan Pengembangan Sistem Hukum NasionalBadan Pembinaan Hukum Nasional;

Jurnal Rechtsvinding Volume 4 Nomor 1April Tahun 2015), h.4-5

8 Joseph Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.26-27

Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.9

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh pemerintah pusat.10 Sementara menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Kepala Daerah Propinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD.11 DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah kepada pemerintah pusat. Namun sejak Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 hingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan, yaitu mengikuti ketentuan sebagai berikut:

(1) Kepala Daerah dipilih oleh DPRD;

(2) Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;

(3) Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.12

9 Suharizal, Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, (Jakarta; Rajawali Pers, 2012), h.15

10 Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

11 Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapanaturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

12 Suharizal, Pemilukada : Regulasi, dinamika dan konsep mendatang, h.16

39

3. Masa Orde Baru (Era Reformasi)

Terhitung sejak itu pada tahun 1999, Indonesia mencatatkan sejarah dalam memasuki era desentralisasi sesungguhnya. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi membuka peluang politik lokal mencari jalan keluar menuju kemandirian daerah. Dapat dibayangkan semangat euphoria putra-putra daerah memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah berarti juga memberikan kesempatan mereka untuk menjadi “Raja-raja” baru daerah.

Langkah-langkah strategis Presiden Habibie saat itu selain memberikan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut menjadi merdeka sepenuhnya. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi administratif yang sangat banyak kelemahannya.13

Setelah reformasi bergulir, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pilkada dilakukan dengan menggunakan sistem demokrasi tidak langsung dimana Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan asas desentralisasi yang kuat. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah.

Rekrutmen Kepala Daerah sepenuhnya berada pada kekuasaan DPRD.

Sementara pemerintah pusat hanya menetapkan dan melantik Kepala Daerah berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD setempat.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah. DPRD berada di luar pemerintah daerah, yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Di masa ini, kepala

13 Sudirman, Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial), h.750

daerah dipilih sepenuhnya oleh DPRD, tak lagi ada campur tangan Pemerintah Pusat. Berbeda dengan sistem sebelumnya, yaitu kepala daerah diangkat oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, yang diajukan atau diusulkan oleh DPRD. Jika kita lihat perbandingan pilkada pada masa reformasi dan zaman orde baru, dapat dikatakan pemilihan kepala daerah di era reformasi lebih demokratis. Namun fakta menunjukkan bahwa kewenangan DPRD dan Fraksi-fraksi sangat kuat dan mengakibatkan penyalahgunaan wewenang seperti maraknya politik uang di tingkat DPRD.14

Pada prinsipnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 berusaha mendekatkan pemerintahan daerah agar lebih responsif kepada rakyatnya dan memberikan ruang transparansi lebih besar demi mencapai devolusi kekuasaan. Peran pemerintah pusat hanyalah terbatas sebagai penjaga malam saja karena sisa tanggung jawab setelah menjadi urusan daerah adalah meliputi: pertahanan keamanan nasional, kebijaksanaan luar negeri, masalah-masalah fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi makro, sumber-sumber alam, kehakiman, dan eagama. Daerah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan umum, pendidikan dan kebudayaan, pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan, investasi, masalah-masalah lingkungan, koperasi, tenaga kerja, dan tanah.

Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin mencuat ke permukaan dengan bantuan liputan berbagai media.

Masalah-masalah seperti korupsi, kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang melaksanakan pada konstituennya, kemudian wakil rakyat yang hanya mementingkan “perut” sendiri, memaksa pemerintahannya melahirkan Undang-Undang “penangkal” baru, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, masing-masing tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Malley, pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen Undang-Undang yang ada, tetapi

14 Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, h.6

41

malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara langsung bukan simbol-simbol partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya di bilik-bilik pemilihan. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan

malah menggantinya sama sekali. Sekalipun demikian, perubahan tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan terbilang tidak mengalami hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di bulan juni 2005 berlangsung lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara langsung bukan simbol-simbol partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon pilihannnya di bilik-bilik pemilihan. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan