• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II INDEPENDENSI HAKIM DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN

C. Teori Pembagian Kekuasaan dan kaitannya dengan kekuasaan

Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal state

atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut

rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Meskipun kedua istilah rechtsstaat dan rule of law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian yan berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. pembatasaan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau

29

constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.19

Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak berhenti hanya degan munculnya gerakan pemisahan antara kekuasaan raja dan kekuasaan pendeta serta pimpinan gereja. Upaya pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan mengadakan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara ke dalam beberapa fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini, yang dapat dianggap paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu dengan teori trias politica-nya, yaitu cabang kekuasaan legislatif, cabang eksekutif atau administratif, dan cabang kekuasaan yudisial.

Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748), yang

mengikuti jalan pikiran Jhon Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga (3) cabang yaitu; (i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang; (ii) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan; dan (iii) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagia kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif ( the legislative function ),

19

Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ( jakarta : rajawali pers, 2010), h. 281.

eksekutif ( the executive or adminitrative function), dan yudisial ( teh judicial function ).20

Istilah trias politika berasal dari bahasa Yunani yang artinya “politik tiga serangkai”. Menurut ajaran trias politika dalam tiap pemerintahan negara harus ada tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan harus masing-masing kekuasaan itu terpisah.

Ajaran trias politica ini nyata-nyata bertentangan dengan kekuasaan yang bersimaharajalela pada zaman feodalisme dalam abad pertengahan. Pada zaman itu yang memegang ketiga kekuasaan dalam negara iyalah seorang raja, yang membuat sendiri undang-undang, yang menjalankannya dan menghukum segala pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan dijalankan oleh raja tersebut.21

Pengalaman ketatanegaraan indonesia, memandang istilah “pemisahan kekuasaan” ( separation of power ) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan ( division of power ) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politika Montesquieu.22

20

Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 282-283. 21

C.S.T. Kansil, Sisitem Pemerintahan Indonesia, ( jakarta : bumi aksara, 1993 ), h. 11. 22

31

1. Kekuasaan legislatif

Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletak dalam suatu badan yang berhak khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak diletakkan pada suatu badan terentu, maka mungkinlah tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi maka peraturan perundangan harus berdasarkan kedalatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang dan ialah yang dinamakan

legislatif.23

Lembaga Perwakilan Rakyat memiliki empat (4) fungsi pokok yaitu sebagai berikut:

a. Fungsi representasi (perwakilan) 1) Representasi formal

2) Representasi aspirasi b. Funfsi pengawasan (kontrol)

1) Pengawasan atas penentuan kebijakan (control of policy making) 2) Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan (control of policy executing) 3) Pengawasan atas penganggaran dan belanja negara (control of budgeting)

23

4) Pengawasan atas pelaksanaan anggaran dan belanja daerah (control of budget implementation)

5) Pengawasan atas kinerja pemerintahan (control of goverment performances)

6) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials) dalam bentuk pengawasan atau penolakan, ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR. c. Fungsi pengaturan atau legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu:

1) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation) 2) Pembahasan rancangan undang-undang ( law making process)

3) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval)

4) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).

d. Fungsi deliberasi dan resolusi konflik:

1) Perdebatan publik dalam rangka rule and policy making 2) Perdebatan dalam rangka menjalankan pengawasan

33

4) Memberikan solusi saluran damai terhadap konflik sosial24 2. Kekuasaan eksekutif

Kekuasaan menjalankan undang-undang ini dipegang oleh kepala negara. Kepala negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu kekuasaan dari kepala negara dilimpahkannya (didelegasikannya) kepada pejabat-pejabat pemerintahan/negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana undang-undang (badan eksekutif). Badan inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan eksekutif.25 Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi pemerintahan negara tertinggi.26

3. Kekuasaan yudisial

a. Kedudukan kekuasaan kehakiman

Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan. Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary

merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) itu menghendaki bahwa para hakim dapat

24

Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 309-310. 25

C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, h. 12. 26

bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif.27

Salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apa pun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan yang dianut, pelaksanaan theprinciples of independence and impartiality of the judiciary harus benar-benar dijamin di setiap negara demookrasi konstitusional.28

b. Beberapa prinsip pokok kehakiman

Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan, yaitu (i) teh principle of judicial independence, dan (ii) the principle judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state.

Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja,

27

Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 310. 28

35

pengembangan karier, sistem penggajian, dan pemberhentian para hakim. Prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakkan (the principle of impartiality). Dalam praktik, ketidakberpihakkan atau

impartiality itu sendiri mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imarsial (to appear to be imparcial). Dalam the bangalore principle,

tercantum adanya enam (6) prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-prinsip independence, impartiality, integrity, propriety, equality, dan competence and diligence.29

29

36

A.Sejarah dan Dasar Hukum Peradilan Hubungan Industrial 1. Zaman Hindia Belanda

Zaman Hindia Belanda, perselisihan perburuhan biasanya dibeda-bedakan antara perselisihan hak (rechtsgeschillen) dan perselisihan kepentingan (belangen-geschillen). Reglement op de rechtelijke organisatie en het beleid der justitie in indonesie (R.O. Stbl. 1847 nr. 23) pasal 116g menetapkan bahwa perselisihan hak diadili oleh hakim residensi (residentie rechter). Perselisihan hak dianggap terjadi karena salah satu pihak melakukan wanprestasi atau melanggar perjanjian kerja. Anggapan ini merupakan penjelmaan dari prinsip-prinsip umum hubungan kerja yang berkembang dalam alam liberal. Hubungan kerja dipandang sebagai perjanjian yang secara bebas diadakan para pihak yang kedudukannya sama kuar dengan tujuan tukar menukar pekerjaan dengan pembayaran upah. Jadi dianggap sebagai perjanjian biasa sebagaimana perjanjian yang diatur dalam Undang-Undang hukum perdata (KUHPerdata). Oleh karena itu, penyelesaian perselisihan hak merupakan yurisdiksi hakim residensi (semacam peradilan negeri).1

Adapun penyelesaian perselisihan kepentingan diproses oleh dewan pendamai (verzoeningsraad). Tugas dewan pendamai adalah memberi

1

37

perantara jika diperusahaan timbul atau akan timbul perselisihan perburuhan yang akan atau telah mengakibatkan suatu pemogokan atau dapat merugikan kepentingan umum. Pada tahun 1939 ditetapkan peraturan tentang panitia penyelidik perselisihan perburuhan di perusahaan swasta di luar perusahaan kereta api dan trem (Stbl. 1939 No. 407). Menurut peraturan ini, jika timbul perselisihan perburuhan diusahakan pendamaian dan anjuran oleh seorang atau beberapa orang pegawai atau suatu panitia yang ditunjuk oleh direktur justisi.2

Meskipun pada zaman penjajahan, hubungan perburuhan baru ada pada titik awal, namun pemerintah hindi belanda telah menyiapkan institusi dan peraturan untuk melindungi tenaga kerja. Bahkan perselisihan perburuhan sudah mulai mendapat perhatian dari pemerintah dan disalurkan dengan baik.sedangkan selama pendudukan Jepang , gerakan buruh sangat tertekan. Bahkan organisasi buruh yang bebas dihapuskan dan dalam kondisi ekonomi perang, perekonomian dihadapkan pada kesulitan yang luar biasa. Industri yang ada dialihkan untuk mendukung kepentingan perang. Dengan demikian kondisi kehidupan hubungan industrial ada pada titik nadirnya.3

2

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, h, 8. 3

Oetoyo Oesman, Perkembangan Hubungan Industrial Di Indonesia, Artikel dimuat dalam Majalah Hubungan Industrial no. 6 th, III, 2002.

2. Pasca Kemerdekaan

a. Instruksi Mentri Perburuhan No. PBU 1022-45/U 4091 Tahun 19511 Sebelum pengakuan kedaulatan, perselisihan perburuhan belum meningkat pada taraf yang penting, karena pada waktu itu rakyat indonesia termasuk buruh dan organisasinya sibuk mencurahkan perhatian pada cita-cita kemerdekaan. Oleh karena itu, perjuangan buruh pada waktu itu cenderung bersifat politis. Lagipula perusahaan-perusahaan yang penting dikuasai negara sehingga perselisihan antar buruh dan majikan tidak terasa. Setelah pengakuan kedaulatan, kaum pekerja menyadari hal-hal yang sebelumnya masih bersifat perjuangan politis, sedikit demi sedikit mulai menuntut soal kesejahteraan sosial, perbaikan upah, tunjangan, jaminan kesehatan dan lain-lain. Aksi mereka tidak selalu berjalan mulus. Kadang-kadang malah mendapattantangan dari pihak majikansehingga terjadi perselisihan perburuhan yang berujung pada aksi pemogokan.

Pemerintah pada priode ini sagat mendorong kehidupan demokrasi dan pertumbuhan serikat pekerja menjamin hak berorganisasi, sayangnya dalam kehidupan berorganisasi, tujuan hubungan industrial untuk mencapai ketenangan kerja mengalami kendala karena organisasi pekerjanya terfragmentasi mengikuti polarisasi ideologi politik. Posisi buruh menjadi lemah dan kesejahteraannya kurang mendapat perhatian.4

4

39

Sampai pada pemulaan tahun 1951, indonesia belum mempunyai Undang-undang yang khusus untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan. Sengketa yang terjadi antara majikan dan buruh diselasaikan dan diurus oleh mereka sendiri secara sukarela dan kapan perlu di intervensi oleh pegawai kementrian perburuhan baik di daeraha maupun pusat yang berpedoman pada instruksi mentri perburuhan tanggal 20 Oktober 1950 no. Pbu 1022-45/u 4091 tentang cara penyelesaian perselisihan perburuhan. Kantor-kantor perburuhan memproses penyelesaian secara aktif melalui perantara atau pendamaian dan jika dikehendaki oleh para pihak yang berselisih dapat diselesaikan melalui pemisahan.5

b. Peraturan Kekuasaan militer No. 1 Tahun 1951

Cara penyelesaian perselisihan perburuhan yang bersifat sukarala ternyata tidak dapat mengatasi situasi kegelisahan di dunia perburuhan yang terus meningkat akibat pemogokan yang sangat banyak terjadi. Oleh karena itu, berdasarkan Undang-Undang keadaan perang dan territorium mengeluarkan peraturan yang oleh umum dikenal sebagai larangan mogok di perusahaan-perusahaan vital. Akan tetapi pemogokan terus terjadi dan sebagai upaya meredakan situasi yang tidak menentu pada waktu itu. Kekuasaan militer pusat dengan persetujuan dewan

5

menteri menetapkan peraturan penyelesaian pertikaian perburuhan (peraturan kekuasaan militer tanggal 13 Februari 1951 No. 1).6

Menurut peraturan ini, penyelesaian perlisihan di perusahaan vital diputuskan secara mengikat oleh panitia penyelesaian pertikaian perburuhan (P4) yang berada di pusat. Sedangkan perselisihan perburuhan di perusahaan yang tidak vital di selesaikan secara mendamaikan (conciliation) oleh instansi penyelesaian pertikaian perburuhan (IP3) di daerah-daerah. Apabila usaha penyelasaian pertikaian oleh instansi tidak berhaasil, maka kasusnya diajukan kepada P4 untuk memperoleh anjuran terakhir.7

c. Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Peraturan kekuasaan militer juga dianggap tidak begitu efektif mengatasi persoalan di bidang perburuhan terutama dalam hal pelaksanaannya. Peraturan ini pada hakekatnya melarang buruh untuk mogok. Larangan mogok ini dianggap bertentangan dengan pasal 21 UUDS 1950. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah pada 17 september 1951 mencabut Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1 tahun 1951 dan menetapkan UU Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan. Meskipun Undang-Undang darurat ini belum sempurna tetapi dalam beberapa hal sudah dianggap sebagai

6

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, h. 132. 7

Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial: Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, (Jakarta: Jala Permata Kasara, 2008), h. 10.

41

pembaruan jika dibandingkan dengan peraturan kekuasaan militer tersebut. Tujuan Undang-Undang darurat adalah menyelesaikan perselisihan antara buruh dan majikansecara damai sebelum mempergunakan senjata pemogokan atau lock out (penutupan perusahaan).8

Perselisihan hak menurut reglement op de rechtlijke organisatieen het beeid der justitie jo. Undang-Undang darurat tersebut masuk wewenang pengadilan negeri. Oleh karena itu, soal perselisihan hak dapat diajukan kepada pengadilan negeri disamping perkaranya diurus oleh panitia yang diadakan oleh Undang-Undang darurat tersebut. Sedangkan buruh perseorangan hanya dapat megajukan perkara perselisihan hak kepada pengadilan negeri.9

Sedangkan perselisihan kepentingan diselesaikan melalui beberapa tahapan. Pertama melalui perundingan dan apabila gagal diajukan ke panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah (P4D). Jika proses P4D juga gagal, dapat diajukan ke panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat 9P4p). Putusan P4P dapat berupa anjuran atau putusan yang mengikat. Yaitu apabila dianggap perlu untuk mengakhiri

8

Wirjono Projodikuro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu (Bandung: Ghali Bandung 1961), h. 83.

9

perselisihan disuatu perusahaan yang amat penting yang dapat membahayankan kepentingan umum atau kepentingan negara.10

Pelaksanaan Undang-Undang darurat seringkali mendapat kecaman dari pihak serikat buruh karena dianggap sebagai peraturan pengkangan hak mogok. Pihak yang hendak mengadakan tindakan (pemogokan atau penutupan perusahaan) harus memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada P4D. Pelanggaran atas ketentuan ini diancam dengan pidana. Rangkaian ketentuan ini tidak memungkinkan serikat buruh untuk menekan pihak majikan dengan jalan pemogokan.11

d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja

Pemerintah dengan persetujuan perlemen pada tanggal 8 april 1957 mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yang dinyatakan mulai berlaku 1 juni 1958 dan sekaligus mencabut Undang-Undang darurat Nomor 16 tahun 1951.12 Menurut Undang-Undang ini, perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh. Berhubung dengan tidak

10

Supomo Soeparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial: Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, h. 11.

11

Supomo Soeparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial , h. 13.

12

43

adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.13

Undang-Undang tersebut hanya mengatur penyelesaian perselisihan antara majikan dan serikat buruh. Perselisihan antara majikan dan buruh perseorangan atau sekelompok buruh tidak lagi diatur. Dengan hanya memperkenankan serikat buruh atau gabungan serikat buruh untuk berperkara, dikandung maksud agar semua buruh akan masuk menjadi anggota serikat buruh. Di era Undang-Undang ini semua jenis perselisihan merupakan wewenang panitia penyelesaian perselisihan. Dengan demikian maka perselisihan hak tidak lagi menjadi wewenang pengadilan negeri.14

Hal terpenting dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 adalah perubahan susunan panitia penyelesaian perselisihan. Di puasat tidak lagi terdiri dari menteri-menteri dan di daerah tidak hanya terdiri dari wakil-wakil kementrian, tetapi susunannya sudah berbentuk dewan tripartit dengan ketua wakil kementrian perburuhan dan anggota terdiri dari wakil-wakil kementrian perindustrian, keuangan, pertanian, perhubungan, lima wakil buruh dan lima wakil pengusaha.15

13

Supomo Soeparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial: Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, h. 15.

14

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan , h. 137. 15

Supamo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial: Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, h. 13.

Susunan panitia penyelesaian perseisihan dengan demikian, perbandingan wakil pemerintah, buruh dan pengusaha pada pnitia daerah dan pusat adalah 5:5:5 dengan adanya badan tripartit ini diharapkan penyelesaian perselisihan perburuhan akan lebih dapat mempertimbangkan keentingan buruh, pengusaha dan umm sebagai kepentingan bersama.16

Tahap penyelesaian perselisihan terlebih dahulu harus diselesaikan melalui perundingan. Jika proses perundingan gagal maka para pihak dapat memilih penyelesaian melalui arbitrase. Jika para pihak tidak memilih arbitrase maka penyelesaian perselisihan diserahkan kepada pegaewai perantara. Perselisihan yang tidak selesai di tahap perantara, selanjutnya diserahkan kepada panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah (P4D). P4D berhak memberikan putusan yang bersifat anjuran dalam hal-hal tertentu dan berhak pula memberikan putusan yang bersifat mengikat. Terhadap putusan P4D yang bersifat mengikat, salah satu pihak dapat melakukan permintaan pemeriksaan ulang pada panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat (P4P). Putusan P4P bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan dalam waktu 14 hari setelah putusan itu, apabila menteri perburuhan tidak membatalkan putusan atau menunda putusan tersebut untuk kepentingan umum. Hal lai yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat (P4P) sebagai objek sengketa tata usaha

16

45

negara, sebagaiamana diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan menjadi semakin panjang.17 Dengan demikian maka putusan P4P tidak lagi mengikat dan final karena dapat digugat di pengadilan tinggi tata usaha negara (PTTUN). Untuk selanjutnya, terhadap putusan PTTUN yang ditolak, dapat diajukan kasasi ke mahkamah angung.

e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Puluhan tahun lamanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 ini berlaku, sampai akhirnya dicabut setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial (UU PPHI) pada tanggal 14 januari 2004.

Dalam konsiderannya antara lain dinyatakan bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tetap adil dan murah.

17

Penjelasan umum menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan yang terjadi karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif.18

Lahirnya UU PPHI ini membawa perubahan fundamental, utamanya mengenai mekanisme yang harus ditempuh dalam setiap perselisihan. Karena atas dasar UU PPHI inilah didirikannya pengadilan hubungan industrial dalam lingkungan peradilan umum (dalam hal ini pengadilan negeri).19 Hal ini juga membawa perubahan baik dari segi kelembagaan, mekanisme maupun mengenai jenis-jenis perselisihan hubungan industrial. Dengan demikian, maka mulai tahun 2006 komunitas perburuhan di indonesia memasuki babak baru dalam tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

B.Penyelesaian Sengketa Di Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial 1. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan

Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial sebelum dilangsungkan di pengadilan negeri selalu diupayakan dilaksanakan penyelesaian

18

Gunawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia (Jakarta: Dradhika Binangkit Press, 2006), h. 102-103.

19

Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 160.

47

sengketa hubungan industrial di luar pengadilan, dengan maksud agar ada upaya damai antaran ke duabelah pihak, namun apabila antara mereka tidak bisa di damaikan barulah penyelesaian sengketa di lakukan melalui pengadilan negeri atau litigasi. Jenis perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU 2/2004 meliputi: (a) Perselisihan hak, (b) Perselisihan kepentingan, (c) Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan (d) Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Adapun tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan (non litigasi), terdiri atas:

a. Penyelesaian Melalui Bipartit

Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih secara musyawarah mufakat tanpa ikut campur pihak lain, sehingga dapat memperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.20 Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Pasal 3 ayat (1) UU 2/2004 mengatur secara substansial bahwa: "Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat." Selanjutnya, Pasal 136 ayat (1) UU 13/2003, juga mengatur bahwa: "Penyelesaian perselisihan

20

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan (jakarta: pt raja grafindo persada, 2004), h. 53.

hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat." Perundingan bipartit, merupakan:21 "Perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih."

Dari ketentuan tersebut pada gilirannya diperoleh pemahaman

Dokumen terkait