• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENELITIAN

2.3 Landasan Teori

2.3.2 Teori Pembelajaran

Selain teori linguistik – fonetik, teori pembelajaran juga menjadi salah satu teori yang berperan krusial dalam penelitian ini. Hal ini tentu berkaitan dengan pola belajar setiap mahasiswa dalam memahami ilmu yang berkaitan dengan front office dan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Artinya, bagaimana cara mereka menyerap materi dan berlatih menggunakannya dalam kegiatan praktikum. Terdapat dua teori pembelajaran yang digunakan, yaitu teori belajar behaviorisme dan nativisme.

11

2.3.2.1Teori Belajar Behaviorisme

Salah satu cara yang sesuai diterapkan dalam konteks berbicara adalah pengoptimalan teori behaviorisme dalam aspek pengajaran bahasa Inggris. Teori behaviorisme berasal dari kata behavior yang bermakna „tingkah laku‟. Teori ini menyoroti dua hal utama, yaitu aspek perilaku kebahasaan seseorang yang dapat diamati secara langsung dan keterkaitan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Dengan adanya reaksi yang tepat terhadap rangsangan kebahasaan yang diberikan berdampak pada perilaku bahasa yang efektif. Teori ini lebih menekankan pada penerapannya pada pemerolehan bahasa pertama meskipun hal serupa juga berlaku pada pemerolehan bahasa kedua ataupun bahasa asing.

Salah satu tokoh behaviorisme yang terkemuka adalah Burrhusm Frederic Skinner meskipun John Broadus Watson dianggap sebagai pelopor utama

teori ini. Secara spesifik, teori ini juga memaparkan istilah „tabula rasa‟ yang

merujuk pada pemahaman bahwa setiap bayi yang dilahirkan diumpamakan

seperti kertas kosong yang nantinya akan „ditulisi‟ dengan beragam pengalaman,

termasuk pengalaman linguistik/kebahasaan. Untuk selanjutnya, kecakapan kebahasaan seseorang dapat dipantau melalui tingkat kemajuan dari prinsip stimulus-respons. Di samping itu, ditambah dengan proses imitasi (peniruan –

bagaimana seseorang memahami bahasa dan aspek-aspek linguistik di dalamnya dengan cara meniru orang lain di sekitarnya).

Tarigan (2009: 114) memaparkan kaitan teori behaviorisme yang mendasari pengajaran kemampuan berbicara, yaitu mengembangkan dalam diri para peserta didik kemampuan yang (setidaknya) menyerupai kemampuan para penutur asli. Teori behaviorisme menitikberatkan pendekatan pembelajaran

11

terhadap aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respons) yang dapat mengubah tingkah laku seseorang. Dapat dikatakan bahwa anak mempelajari bahasa pertama melalui respons yang tepat terhadap kondisi sekitarnya.

Terkait dengan pemerolehan bahasa, baik bahasa kedua maupun bahasa asing, Lado (1964) juga memaparkan bahwa seseorang akan cenderung menerapkan aturan atau kaidah kebahasaan yang ada dalam bahasa pertama saat mulai mempelajari bahasa kedua, terlebih lagi saat mempelajari bahasa asing. Hal ini berdampak pada kesalahan pembentukan pola frasa hingga kalimat yang diproduksi. Contoh, seorang anak berbahasa pertama bahasa Indonesia dapat saja

mengatakan frasa „buku baru‟, „mobil mahal‟, dan „kucing hitam‟ sebagai „book

new‟, „car expensive‟, dan „cat black‟ yang seharusnya menjadi „new book‟,

expensive car‟, dan „black cat‟. Fenomena ini dapat terjadi karena struktur pola

frasa dalam bahasa Indonesia berbeda dengan yang ada pada bahasa Inggris. Dalam struktur frasa bahasa Indonesia, kata benda (contoh: buku, mobil, dan kucing) yang ada diikuti oleh kata sifat (contoh: baru, mahal, dan hitam). Di sisi lain, struktur yang dimiliki bahasa Inggris meletakkan kata sifat (contoh: new, expensive, dan black) sebelum kata benda (contoh: book, car, dan cat). Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang baik dan latihan yang intensif agar dapat menerapkan struktur yang sesuai dalam bahasa kedua ataupun asing melalui pelafalan yang tepat (proper pronunciation).

Secara keseluruhan, teori ini juga mengenal adanya konsep „peniruan‟

dan „pengulangan – latihan berulang-ulang (drill)‟. Istilah „drill‟ di sini merujuk

11

menerus dan berkesinambungan. Artinya, seseorang dapat melaksanakan suatu kegiatan, terutama kegiatan berbahasa, dengan meniru cara pihak lain dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui melatih diri melaksanakannya secara konsisten. Dua konsep ini selanjutnya menjadi dua kunci keberhasilan seseorang dalam proses belajar menurut teori behaviorisme. Berdasarkan pemahaman sebelumnya, dapat dicermati bahwa jika terdapat banyak aspek linguistik yang serupa antara bahasa pertama dan bahasa kedua ataupun bahasa asing, maka seseorang dapat memperoleh atau memahami struktur bahasa kedua atau bahasa asing dengan jauh lebih mudah.

Di lain pihak, jika struktur bahasa pertama berbeda, bahkan sangat jauh berbeda dengan bahasa kedua atau bahasa asing, maka seseorang dapat mengalami kesulitan atau kendala dalam memahaminya. Selain proses imitasi/peniruan, paham ini juga menganjurkan agar seseorang membiasakan diri (proses habituation) dengan aspek linguistik yang ada saat mempelajari bahasa baru. Satu hal lain yang tidak kalah krusial adalah dalam teori pembelajaran bahasa behaviorisme juga terdapat pengembangan metode drill atau lebih memperbanyak latihan penggunaan bahasa tersebut, baik secara lisan maupun tertulis.

Proses pembelajaran dapat dikatakan telah berjalan dengan baik jika peserta didik mampu menunjukkan perubahan tingkah lakunya menuju arah yang positif atau pada akhirnya terdapat perbedaan kondisi kebahasaan atau ilmu pengetahuan pada peserta didik (dalam hal ini telah meningkat). Dalam proses pembelajaran sedapat mungkin tersedia peranti pembelajaran tertentu yang dapat menstimulus minat peserta didik untuk tertarik kepada materi yang diberikan.

11

2.3.2.2Teori Belajar Nativisme

Istilah nativisme berasal dari kata native yang bermakna „asli‟ atau „asal‟. Teori ini meyakini bahwa setiap manusia sudah dibekali dengan alat

pemerolehan bahasa (language acquisition device atau LAD) sejak dilahirkan. Hal inilah yang kemudian berperan signifikan dalam menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut selanjutnya.

Salah satu tokoh nativisme yang terkemuka adalah Noam Chomsky. Ia berpendapat bahwa perilaku berbahasa merupakan sesuatu yang diturunkan secara genetik sementara lingkungan hanya berperan kecil dalam proses pematangan bahasa. Ia memperjelas pendapatnya dengan menyatakan bahwa lingkungan bahasa anak tidak mampu menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa serumit yang telah dipahami oleh orang dewasa. Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan mampu menguasai sistem bahasa yang rumit.

Terkait dengan sikap yang berlawanan dengan teori behaviorisme, dalam Kristianty (2006: 32) dipaparkan bahwa teori nativisme juga berpendapat

bahwa ujaran seorang anak bukan merupakan „tiruan‟ dari apa yang didengarnya

dan terlebih dalam beberapa kasus ditemukan bahwa anak-anak dapat membentuk kalimat atau ujaran yang belum pernah didengar. Dua hal ini dapat menjadi sebuah indikator bahwa teori nativisme juga dapat berpengaruh terhadap proses komprehensi seseorang dalam pemerolehan bahasa kedua (atau asing sekalipun) selain teori behaviorisme.

11

Dokumen terkait