• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PEMBUKKTIAN

B. Teori pembuktian dalam perkara tindak pidana

Sistem pembuktian perkara pidana menganut prinsip bahwa yang harus dibuktikan adalah ditemukannya kebenaran materiil. Maksudnya adalah agar rangkaian setiap kejadian dan fakta dalam perkara pidana, haruslah dapat dibenarkan menurut kejadian atau peristiwa itu sendiri, apa adanya secara objektif impersonal. Material objektif artinya, bahwa kebenaran itu bukan sekedar

34

61

bentuk peristiwa itu saja secara formal (sebagaimana dalam pembuktian perkara perdata). Dalam perkara pidana harus dapat diungkapkan juga mengenai kebenaran substansi, isi, hakekat, nature, dan sifat dari peristiwa atau kejadian itu. Materiil impersonal, artinya isi kebenaran itu tidak tergantung kepada siapa/orang yang mengungkapkannya. Fakta itu benar karena memang begitulah adanya, kebenaran itu muncul dan ditemukan setelah peristiwa diketahui terbukti. Bukan sebaliknya, kebenaran itu sudah dirumuskan lebih dahulu dalam pikiran menurut imajinasi perumus, lalu untuk itu dibentuk premis-premis yang membuktikan pikiran si perumus itu. Itu lazim dinamakan rekayasa kebenaran, yang seharusnya peristiwa dan kejadian itu lebih dahulu ada sebagai fakta, barulah sesudah itu pikiran dirumuskan untuk menimbang penilaian terhadap keterbuktian fakta itu. Sudah tentu, prinsip pembuktian ini akan menjadi rumit dan sulit karena hal yang akan dibuktikan itu merupakan peristiwa atau kejadian yang sudah berlalu.35

Betapa tidak mudah untuk membuktikan kebenaran putusan hakim, di dalam peradaban hukum modern dikenal adanya tiga teori sistem pembuktian. Ketiga teori itu bukan berarti bisa dipilih begitu saja, seperti memilih barang belanja di pasar menurut selera peminat dan kemampuan daya beli, tetapi teori yang satu pernah diterapkan oleh masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu, lalu dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, kemudian disadari teori itu mengandung kelemahan atau kekurangan sehingga dikembangkan lagi teori selanjutnya yang lebih baik, demikian seterusnya teori yang satu melengkapi atau

35

memperbaiki yang lama, seraya ada bagian dari yang lama tetap bisa digunakan. Ketiga teori sistem pembuktian itu bisa diketahui sebagaimana berikut ini.

Pertama, sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Pembuktian menurut teori ini senantiasa didasarkan hanya kepada alat-alat pembuktian yang sudah ditentukan melulu secara limitatif, terbatas, hanya berdasarkan dan oleh undang-undang secara positif. Disebut positif, karena kepastiannya didasarkan hanya undang-undang saja. Dengan itu, suatu peristiwa atau perbuatan hanya perlu dibuktikan apakah itu sudah sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut di dalam undang-undang saja. Tidak diperlukan lagi keyakinan hakim terhadap benar atau tidaknya peristiwa itu sebagai fakta sehingga toeri ini disebut juga pembuktian formal. Menurut D.simons, teori ini dikritik karena berusaha menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim. Teori ini telah mengikat hakim secara ketat sekali kedalam peraturan undang-undang melalui pembuktian yang keras. Di dalam sejarahnya, teori ini dianut di eropa pada waktu masih berlakunya sistem pemeriksaan inquisitoir dalam acara pidana, tetapi kemudian oleh minkenhoff dinyatakan bahwa teori sistem pembuktian ini sudah tidak dianut lagi di eropa karena terlalu mengandalkan hanya pada kekuatan pembuktian yang disebutkan didalam undang-undang saja. Bagaimana di Indonesia? Menurut wirjono prodjodikoro, teori ini ditolak di Indonesia, karena bagaimana pun, hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan keyakinannya sendiri tentang hal kebenaran itu. Lagi pula, menurut

63

wirjono, keyakinan seorang hakim yang jujur dan sudah banyak pengalaman mungkin sekali sudah sesuai dengan keyakinan masyarakat.36

Kedua, sistem pembuktian berdasarkan keyakinan. Teori ini merupakan sistem pembuktian yang melulu berdasarkan keyakinan hakim saja. Ini secara dikotomis berbeda sebaliknya dengan berdasarkan undang-undang saja. Dalam sistem pembuktian ini, dasar keyakinan hakim dilandasakan kepada integritas personal yang meliputi, kejujuran, kehormatan, martabat, dan kharisma hakim itu sendiri untuk menyusun pertimbangan yang dilakukannya dengan sadar. Pengkuan yang diberikan oleh terdakwa dan saksi-saksi saja masih belum tentu kebenarannya. Terdakwa dan saksi yang memberikan keterangan itu tetap harus dinilai sebagai manusia biasa yang mungkin lupa, emosional, dan subjektif. Mereka itu tidak akan selalu bersikap netral terhadap peristiwa yang dialaminya sendiri, hakim lah yang harus menjadi netral dan objektif terhadap peristiwa yang dialami terdakwa dan saksi-saksi. Dengan netralitas dan objektivitas memandang peristiwa itu apa adanya, lalu hakim menyusun pertimbangan untuk menilai. Ukuran penilaian itu adalah keyakinan hati nuraninya sendiri dan integritas pribadi dalam jabatan hakim yang diembannya. Sistem pembuktian seperti ini antara lain pernah dianut di Prancis dengan peradilan juri. Pemidanaan terdakwa didalam sistem ini tidak didasarkan kepada alat-alat bukti menurut undang-undang, tetapi hakimlah yang menentukan kesalahan apa dan hukuman apa yang akan dikenakan kepada terdakwa. Di Indonesia, menurut wirjono prodjodikoro, sistem ini pernah dianut pada masa pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten.

36

Dikatakan bahwa pada sistem ini bahkan dimungkinkan seorang hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya dalam memutuskan kesalahan dan hukuman kepada terdakwa. Bisa dibayangkan, betapa bebas dan besarnya kuasa atau wewenang hakim dalam sistem seperti ini, bahkan untuk diawasi agar memberikan pertanggungjawaban atas putusannya pun tidak mungkin dilakukan. Lagi pula pembelaan oleh terdakwa dan penasehat hukumnya akan percuma saja dilakukan atau bisa jadi sebaliknya, hakim yang kurang ahli tentang hukum dibandingkan pembelanya akan mengikuti saja segala yang diutarakan didalam pembelaan terdakwa, oleh sebab itu menurut minkenhoff, pada praktik sistem pembuktian ini dulu di prancis sering kali banyak menimbulkan putusan bebas yang aneh-aneh. Menurut kami, sistem pembuktian seperti ini tidak dapat ditelusuri lagi rasionalitas pertimbangan dan keyakinan hakim untuk menilai peristiwa dan fakta perkara yang dihadapkan kepadanya.37

Ketiga, sistem pembuktian berdasarkan keyakinan atas alasan yang logis. Sistem ini dapat dikatakan sebagai jalan tengah atau perbaikan kumulatif dari dua Sehingga menjadi tidak mungkin dilakukan upaya hukum atau jika pun ada peluang untuk upaya itu, maka pengadilan itu pun akan memutuskan lagi berdasarkan keyakinannya yang tidak bisa diduga sebelumnya.

Pada intinya, kepastian kebenaran hukum didalam putusan pengadilan dengan sistem pembuktian seperti ini menjadi sangat tergantung kepada integritas pribadi subjek hakim yang memeriksa dan mengadili perkara, dan itu juga mengandaikan kesucian hakim tersebut.

37

65

sistem yang terdahulu. Menurut sistem pembuktian berdasarkan keyakinan yang logis, dimaksudkan bahwa satu putusan tentang bersalah atau tidaknya terdakwa adalah didasarkan kepada motivasi keyakinan yang dituntut oleh dasar-dasar pembuktian, disertai dengan satu kesimpulan atau konklusi yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Dalam hal menentukan keyakinannya itu, hakim bebas secara sadar untuk memilih alasan-alasan menurut pembuktian yang diikutinya. Lalu, dari pilihan itu, hakim menentukan putusan dengan dasar keyakinan yang bebas. Oleh karena itu, teori ini disebut juga sebagai pembuktian yang bebas menurut keyakinan. Teori pembuktian ini sebagai jalan tengah, melahirkan pula dua subsistem atau subteori yang lain, yakni pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis dan pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Namun, kedua subteori itu tetap memiliki kesamaan, yaitu bahwa suatu putusan terhadap terdakwa apakah bersalah atau tidak adalah sama-sama ditentukan oleh motivasi keyakinan yang bebas dari hakim. Perbedaan dari kedua subteori itu adalah bahwa alasan yang logis dimaksudkan sebagai titik tolak keyakinan hakim, yang didasarkan kepaa suatu kesimpulan yang logis tidak melulu hanya kepada undang-undang saj, tetapi juga kepada keyakinan menurut sistem ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh hakim itu sendiri dan keyakinan itu diperoleh menurut pilihannya sendiri supaya dapat melaksanakan pembuktian yang mana akan dipergunakannya. Pada intinya, ada kesimpulan, lalu terhadap kesimpulan itu dibuat pertimbangan menurut keyakinan hakim.38

38

Berdasarkan undang-undang secara negatif, dalam arti bahwa titik tolak keyakinan hakim itu didasarkan pada aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif hanya oleh dab di dalam undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti lagi dengan keyakinan hakim sendiri. Pada intinya, ada konklusi, lalu terhadap kesimpulan itu dibuat pertimbangan menurut keyakinan terhadap bukti limitatif hanya disebut dalm undang-undang. Perhatikanlah perbedaan makna keyakinan dalam dua hal di atas itu. Yang pertama, keyakinan bisa juga menurut sistem ilmu pengetahuan yang ada dikuasai oleh hakim itu sendiri, yang kedua, keyakinan hanya berdasarkan aturan pembuktian yang diatur dalam undang-undang, sehiongga tidak boleh ada keyakinan di luar undang-undang itu, walaupun keyakinan itu masih dapat dipertanggungjawabkan menurut ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan itu hanya bisa digunakan sebagai dasar keyakinan bilaman telah dimasukkan sebagai aturan ke dan di dalam undang-undang. Ini juga bisa berarti bahwa keyakinan hakim yang diperoleh dari pengetahuan bisa digunakan memperkuat keyakinannya sendiri terhadap alat-alat bukti.

KUHAP,HIR dan hukum acara pidana belanda yang lama maupun yang baru, semuanya menganut teori sistem pembuktian berdasar undang-unndag secara negatif. Keyakinan hakim tetap ada, tetapi bukan atas keyakinan itu saja yang menjadi pembuktian final. Keyakinan itu menjadi dasar pertimbangan untuk menilai apakah alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang sudah terpenuhi. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa bukan keyakinan hati nurani yang menjadi alat bukti, tetapi alat-alat bukti itulah yang diyakini dengan sah.

67

Oleh sebab itu, disebut dengan terbukti secara sah dan meyakinkan. Negatif yang dimaksudkan itu adalah tidak ada alat bukti diluar undang-undang dan tidak ada keyakinan terhadap pengetahuan selain daripada keyakinan terhadap alat-alat bukti yang disebut undang-undang itu saja.

Pasal 183 KUHAP jo 294 HIR ditentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.39

Patut dicermati juga penjelasan dalam pasal itu yang menyatakan lagi bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Makna dari penjelasan itu menegaskan bahwa putusan hakim adalah kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. Ini menjadi nyata sejalan dengan tujuan hukum acara pidana untuk menemukan kebenaran hukum yang pasti, dan sekaligus itulah yang menjadi keadilan. Sekali lagi, itu tampak sangat penting karena menjadi karakter khas ilmu hukum acara pidana. Pada intinya esensi makna putusan hakim itu adalah ditemukannya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum dalam satu kesatuan atau dengan kata lain, didalam putusan hakim itu ada tiga hal yang mengkristal jadi satu, yaitu kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum.40 39 Ibid hal 243 40 Ibid hal 244

Sistem pembuktian yang dianut ketentuan pasal 183 itu bermakna bahwa keyakinan hakim ditujukan terhadap ditemukannya minimal dua alat bukti yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim itu juga ditujukan terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar terdakwa yang melakukannya. Dengan demikian, titik tolak keyakinan hakim diperoleh dari dua alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat bukti itu juga membenarkan pelakunya adalah terdakwa. Tentang isi putusan yang hanya ada tiga, yakni mempidana, bebas atau lepas. Ketiga putusan itu hanya bisa diyakini oleh hakim, melulu karena ada dasar alasan yang logis dalam kesimpulan terhadap alternatif tiga macam isi putusan berikut. Pertama, bilamana sah alat-alat bukti minimal dua dan bahwa sah pelaku tindak pidana benar dapat di hukum, maka isi putusan mempidana pelaku. Kedua, alternatifnya, bilamana keyakinan hakim dari kesimpulan yang logis menyatakan bahwa alat-alat bukti tidak sah minimal dua, maka isi putusan harus membebaskan pelaku. Ketiga, alternatif lagi bilamana alat-alat bukti minimal dua adalah sah, tetapi pelaku tindak pidana tidak boleh dihukum, maka isi putusan harus melepaskan si pelaku. Intinya terdapat dua isntrumen pembuat keputusan hakim, yakni keyakinan dan alat-alat bukti. Keyakinan itu sendiri bukanlah alat bukti hukum, tetapi itu dapat disebut saja sebagai instrument pembuat kesimpulan keterbuktian keputusan menemukan kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum.41

Terhadap sistem pembuktian yang dianut KUHAP itu, D.Simons dinyatakan sebagai pembuktian berganda, yang berganda itu adalah keyakinan

41

69

hakim, yang keyakinan itu sendiri berpatokan dasar kepada undang-undang. Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem ini hendaklah dipertahankan di Indonesia, agar setiap hakim dalam memutuskan setiap kesalahan tetap didasarkan pada keyakinan atas kesalahan terdakwa itu dam agar hakim diikat untuk meyusun keyakinannya sendiri berdasarkan patokan-patokan tertentu yang harus diikuti dalam melaksanakan pengadilan.

Dokumen terkait