• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Medepleger Yang Dinyatakan Bersalah Tanpa Di Pidananya Pleger Dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Tinjauan Yuridis Putusan PN NO: 2442/PID.B/2011/PN-MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Medepleger Yang Dinyatakan Bersalah Tanpa Di Pidananya Pleger Dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Tinjauan Yuridis Putusan PN NO: 2442/PID.B/2011/PN-MDN)"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

BERENCANA (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN PN NO :

2442/PID.B/2011/PN-MDN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

WISMAN GOKLAS

090200413

HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

2

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEDEPLEGER YANG

DINYATAKAN BERSALAH TANPA DI PIDANANYA PLEGER

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

BERENCANA (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN PN NO :

2442/PID.B/2011/PN-MDN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

WISMAN GOKLAS

090200413

HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP : 195703261986011001 Dr. M. Hamdan SH. M. H.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr.Madiasa Ablisar, SH. M.S. Dr. Marlina, SH, M. Hum. NIP: 196104081986011002 NIP : 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya :

Nama : Wisman Goklas

NIM : 090200413

Judul : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEDEPLEGER YANG DINYATAKAN BERSALAH TANPA DI PIDANANYA PLEGER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN NO : 2442/PID.B/2011/PN-MDN.

menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia mempertanggunjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Medan, Januari 2014

(4)

4

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEDEPLEGER YANG DINYATAKAN BERSALAH TANPA DI PIDANANYA PLEGER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (TINJAUAN YURIDIS

PUTUSAN PN NO : 2442/PID.B/2011/PN-MDN)

ABSTRAK

Dr. Madiasa Ablisar, SH.,M.S.* Dr. Marlina, SH.,M. Hum**

Wisman Goklas***

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap tindak pidana pembunuhan berencana yang dapat dipidananya medepleger tanpa di pidananya pleger. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pengaturan hukum, pertanggungjawaban pidana dan pertimbangan hakim dalam pembuktian pelaku penyertaan tindak pidana pembunuhan berencana dalam putusan No; 2442/Pid.B/2011/PN-MDN.

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya (studi putusan).

Berdasarkan hasil penelitian penulis mengambil kesimpulan bahwa Pengaturan hukum tindak pidana pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP ialah pembunuhan dalam arti pasal 338 KUHP ditambah dengan adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu, lebih berat ancaman pidana pada pembunuhan berencana jika dibandingkan dengan pembunuhan dalam Pasal 338 maupun Pasal 339 KUHP, diletakkan pada adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Penyertaan diatur dalam pasal 55 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Pertimbangan hakim dalam putusan No : 2442/pid.B/2011/PN-MDN terhadap terdakwa Sun An Anlang yang dijatuhkan hukuman pidana penjara seumur hidup adalah keliru, bahwa penulis berpendapat unsur-unsur dalam Pasal 340 jo Pasal 55 KUHP tidak terpenuhi.

Kata kunci: Medepleger yang dinyatakan bersalah tanpa di pidananya pleger *) Dosen pembimbing I

**) Dosen pembimbing II

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan hormat syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa dan anakNya Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang hidup yang telah mencurahkan berkat dan karuniaNya yang melimpah sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan masa studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul ” TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEDEPLEGER YANG DI NYATAKAN BERSALAH TANPA DI PIDANANYA PLEGER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA(TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN PN NO : 2442/PID.B/2011/PN-MDN . Tiada gading yang tak retak, andaipun retak jadikanlah sebagai ukiran, demikian halnya skripsi ini juga yang masih jauh dari sempurna dalam penyusunan, pemilihan maupun merangkai kata demi kata, serta kelalaian dalam proses pengeditan. Dengan segala kerendahan hati, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi acuan bagi penulis dalam karya penulisan berikutnya.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf-stafnya.

2. Bapak Dr. M. Hamdan SH.,M.H. selaku Ketua Departemen Hukum Pidana dan Ibu Liza Erwina SH.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk membuat skripsi ini.

(6)

6

4. Ibu Dr. Marlina SH.,M.Hum selaku Pembimbing ke II, yang telah meyediakan dan meluangkan waktunya untuk memberikan segala bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menyelesaikan studinya.

6. Terkhusus kepada kedua orang tua ku tercinta, Ayahanda Drs. Hotman Siagian,MM dan Ibunda Dra Lina ria Panjaitan, terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan, telah mendidik, membesarkan, memberikan segala kasih sayang, perhatian, dukungan, dan doa kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini. Semua hal yang telah kalian berikan tidak mungkin dapat tergantikan. Saya berjanji membuat ayahanda dan ibunda bangga

7. Kakak saya tercinta Sariaty siagian,Apt,S.Farm, terimakasih atas dukungan dan doanya. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk kedepannya. 8. Keluarga besar Fakultas Hukum, abang dan kaka senior, adik-adik, serta

teman-teman saya yang saya cintai.

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ... i

ABSTRACT ... ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... ... iii

KATA PENGANTAR ... ... iv

DAFTAR ISI ... ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ... 1

B. Perumusan Masalah ... ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... ... 6

D. Keaslian Penulisan ... ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... ... 8

1. Medepleger ... ... 8

2. Pleger ... ... 11

3. Pengertian pembunuhan dalam perspektif hukum ... ... 11

F. Metode penelitian ... ... 13

G. Sistematika penulisan ... ... 14

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA. A. Tindak pidana Pembunuhan dan Pembunuhan berencana Unsur – unsur tindak pidana pembunuhan dan pembunuhan berencana ... 17

B. Penyertaan tindak pidana pembunuhan berencana(perkara in casu) ... 20

(8)

8

B. Sistem Pembebanan Tanggung Jawab ... 35

C. Bentuk – bentuk Penyertaan ... 36

a) Mereka yang melakukan (pleger) ... 36

b) Mereka yang menyuruh melakukan ... 37

c) Mereka yang turut serta melakukan ... 39

d) Orang yang sengaja menganjurkan ... 40

e) Pembantuan ... 43

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PEMBUKKTIAN PELAKU PENYERTAAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA. A. Pembuktian ... 47

B. Teori pembuktian dalam perkara tindak pidana ... 52

C. Kedudukan keyakinan hakim dalam memutus perkara tindak pidana ... 61

D. Pertimbangan hakim ... 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 95

(9)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEDEPLEGER YANG DINYATAKAN BERSALAH TANPA DI PIDANANYA PLEGER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (TINJAUAN YURIDIS

PUTUSAN PN NO : 2442/PID.B/2011/PN-MDN)

ABSTRAK

Dr. Madiasa Ablisar, SH.,M.S.* Dr. Marlina, SH.,M. Hum**

Wisman Goklas***

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap tindak pidana pembunuhan berencana yang dapat dipidananya medepleger tanpa di pidananya pleger. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pengaturan hukum, pertanggungjawaban pidana dan pertimbangan hakim dalam pembuktian pelaku penyertaan tindak pidana pembunuhan berencana dalam putusan No; 2442/Pid.B/2011/PN-MDN.

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya (studi putusan).

Berdasarkan hasil penelitian penulis mengambil kesimpulan bahwa Pengaturan hukum tindak pidana pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP ialah pembunuhan dalam arti pasal 338 KUHP ditambah dengan adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu, lebih berat ancaman pidana pada pembunuhan berencana jika dibandingkan dengan pembunuhan dalam Pasal 338 maupun Pasal 339 KUHP, diletakkan pada adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Penyertaan diatur dalam pasal 55 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Pertimbangan hakim dalam putusan No : 2442/pid.B/2011/PN-MDN terhadap terdakwa Sun An Anlang yang dijatuhkan hukuman pidana penjara seumur hidup adalah keliru, bahwa penulis berpendapat unsur-unsur dalam Pasal 340 jo Pasal 55 KUHP tidak terpenuhi.

Kata kunci: Medepleger yang dinyatakan bersalah tanpa di pidananya pleger *) Dosen pembimbing I

**) Dosen pembimbing II

(10)

9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyertaan dalam pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 bagian

yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan

dikatakan terjadi jika dalam suatu peristiwa tindak pidana terlibat lebih

dari satu orang. Keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana ini dapat

dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

pertanggungjawaban masing-masing orang yang terlibat dalam peristiwa

pidana tersebut. Harus dicari sejauh mana peranan masing-masing,

sehingga dapat diketahui sejauh mana pertanggungjawabannya.

Menurut JE Sahetapy “untuk memasukkan unsur pasal 55 ayat 1

ke-1 KUHP harus dijelaskan peranan masing-masing dari tindak pidana

tersebut. Pasal 55 menjeleskan masing-masing pelaku tindak pidana

tersebut, maka akan dapat dilihat peranan dan kadar kejahatan yang

dilakukan oleh masing-masing pelaku tindak pidana. Tanpa menguraikan

peranan masing-masing sebagaimana yang dimaksud akan mengakibatkan

dakwaan dan tuntutat menjadi kabur dan tidak jelas.”1

1

Mohammad eka putra dan Abul khair, percobaan dan penyertaan, Medan, USU Press,2009 hal 39

Jika dikaitkan

dengan putusan no :2442/pid.B/2011/PN-MDN bahwa mereka yang

(11)

terdakwa Sun An Anlang diputus telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan

berencana. Menurut Van Hamel yang dikutip oleh Moch. Anwar

penyertaan adalah ajaran pertanggungjawaban atau pembagian

pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut

pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku

dengan tindakan secara sendiri.

Menurut Utrecht, pelajaran tentang turut serta (penyertaan) ini

justru dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan (bukan

pembuat). Pelajaran turut serta ini justru tidak dibuat untuk menghukum

orang-orang yang perbuatannya memuat semua anasir-anasir peristiwa

pidana yang bersangkutan.2

2

Ibid hal 40

Pelajaran umum turut serta ini justru dibuat

untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan

pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu

sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun

mereka bukan pembuat yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua

anasir-anasir peristiwa pidana, masih juga mereka (turut) bertanggung

jawab atau dapat dituntut pertanggungjawaban mereka atas dilakukannya

peristiwa pidana itu, karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu

(12)

11

Menurut Satochid, hubungan tiap-tiap peserta (orang-orang yang terlibat)

dalam penyelesaian tindak pidana itu dapat berbentuk sebagai berikut:

a. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik.

b. Mungkin seorang saja yang mempunyai kehendak dan merencanaka

delik, akan tetapi delik itu tidak dilakukannya sendiri, bahkan ia

mempergunakan orang lain untuk melaksanakan delik tersebut;

c. Dapat pula terjadi, bahwa seorang saja yang melakukan delik, sedangkan

orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan delik.

Selanjutnya disebutkan, bahwa menurut doktrin para sarjana, deelneming menurut

sifatnya dapat dibagi atas:

a. Zelfstandige vormen van deelneming

Dalam bentuk ini maka pertanggungjawaban dari tiap-tiap peserta

dihargai sendiri-sendiri;

b. Onzelfstandige vormen van deelneming

Dalam onzelfstandige atau accessoire deelneming, pertanggungjawaban

dari peserta yang satu digantungkan kepada perbuatan peserta yang lain,

artinya: apabila oleh peserta yang lain dilakukan suatu perbuatan yang

dapat dihukum, maka peserta yang satu juga dapat dihukum.3

3

Ibid, hal 41

Berdasarkan ketentuan pasal 55 KUHP dapat diketahui bahwa orang

yang dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan

(13)

1. Mereka yang melakukan tindak pidana (pleger)

2. Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak

pidana (doen pleger)

3. Mereka yang ikut serta melakukan tindak pidana (medepleger)

4. Mereka yang menggerakan orang lain untuk melakukan tindak

pidana (uitlokker)4

Teori ini akan membahas pada bentuk penyertaaan yang pertama yaitu

mereka yang melakukan tindak pidana(pleger). Penulis juga akan membahas

tentang penyertaan yang ketiga yaitu mereka yang ikut serta dalam suatu tindak

pidana(medepleger). Penyertaan ini dilakukan terhadap tindak pidana

pembunuhan berencana yang akan membahas tentang dapatkah dipidananya

medepleger tanpa dipidananya pleger dalam kasus tindak pidana pembunuhan

berencana.

Menurut kitab undang-undang hukum pidana pasal 340 pembunuhan

berencana ialah barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih

dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan

direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara

sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Direncanakan lebih dahulu artinya

antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaan nya itu masih ada

4

(14)

13

tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara

bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan. 5

Terkait ketentuan undang-undang bagi mereka yang melakukan tindak

pidana atau bagi mereka yang terbukti melakukan penyertaan tindak pidana ialah

pada pasal 55 KUHP yang berbunyi “(1) dihukum sebagai orang yang melakukan

peristiwa pidana, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut

melakukan perbuatan itu, (2e)orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah

memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau

Dikaitkan dengan kasus yang ada dimana terdakwa di putuskan dalam

persidangan turut serta melakukan pembunuhan berencana yang mana pada

dakwaan jaksa penuntut umum mengajukan terdakwa ke persidangan dengan

tuduhan melakukan yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan

perbuatan itu dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa

orang lain yaitu korban Kho Wi To dan korban Dora halim. Pada dakwaan jaksa

penuntut umum sudah terlihat keliru dalam menyusun pertanggungjawaban

pidana terhadap terdakwa, dimana pada satu sisi disebut “melakukan” kemudian

ditambah “menyuruh melakukan” lalu ditambah “turut serta melakukan”. Jika kita

menafsirkan perkalimat dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut maka akan

menghasilkan tiga penafsiran yakni, yang pertama melakukan, artinya orangnya

ikut langsung bekerja, yang kedua menyuruh melakukan yang artinya menyuruh

orang lain untuk melakukan, dan yang ketiga ialah turut serta melakukan artinya

ikut bersama-sama melakukan.

5

(15)

dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk

untuk melakukan sesuatu perbuatan”.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang di atas adapun permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana pengaturan hukuman dalam penyertaan tindak pidana

pembunuhan berencana?

2. Bagaimanakah pertanggung jawaban pidana terhadap penyertaan dalam

tindak pidana?

3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam pembuktian pelaku penyertaan

tindak pidana pembunuhan berencana dalam putusan PN No :

2442/Pid.B/2011/PN-MDN?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan penelitian:

1. Mengetahui pengaturan hukuman dalam penyertaan tindak pidana

pembunuhan berencana

2. Mengetahui pertanggung jawaban pidana terhadap penyertaan dalam

tindak pidana

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam pembuktian penyertaan

(16)

15

Manfaat penelitian:

1. Manfaat teoritis

Manfaat penelitian ini diharapkan penulis dapat menjadi bahan bacaan dan

penambahan ilmu bagi para pembaca khususnya para kalangan akademis

dan pihak-pihak yang terkait dengan topik penelitian ini. Selain itu,

penelitian ini juga diharapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan

acuan untuk perkembangan ilmu hukum terkhususnya dalam bidang

tindak pidana penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan berencana

dan apabila memungkinkan dapat bermanfaat bagi perkembangan

undang-undang di Indonesia.

2. Manfaat praktis

Kegunaan atau manfaat penelitian umum dapat dibedakan menjadi dua

kategori yaitu, kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Kegunaan teoritis

terkait dengan kontribusi tertentu dari penyelenggaraan penelitian terhadap

perkembangan teori dan ilmu pengetahuan serta dunia akademis,

sedangkan kegunaan pragtis berkaitan dengan kontribusi praktis yang

diberikan dari penyelenggara penelitian terhadap obyek penelitian, baik

(17)

D. KEASLIAN PENULISAN

Dalam penelitian ini, penulis menyajikan penelitian yang berdasarkan

pada fakta dan sumber yang bersifat otentik. Selain itu penulis juga

memperhatikan sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini untuk

menghindari terjadinya duplikasi atau pun plagiasi dari hasil karya penelitian

akademisi lainnya. Penelitian ini juga berdasarkan pada surat persetujuan dari

perpustakaan hukum USU yang menyatakan bahwa judul penelitian “Tinjauan

Yuridis Terhadap Medepleger yang Dinyatakan Bersalah Tanpa Di Pidananya

Pleger Dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana(Tinjauan Yuridis

Putusan PN No : 2442/PID.B/2011/PN-MDN)” belum ada yang mengangkatnya

sebagai judul penelitian. Dengan kata lain penulisan penelitian ini merupakan

hasil karya penulis sendiri.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Medepleger

Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger),

oleh MvT WvS Belanda diterangakn bahwa yang turut serta melakukan

ialah setiap orang yang sengaja turut berbuat (meedoet) dalam melakuka

suatu tindak pidana. Pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet)

itu ilaha bahwa pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan

yang sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang

(18)

17

sebuah kediaman, dimana mereka berdua sama-sama masuk melalui

jendela yang tidak terkunci dan sama-sama pula mengangkat objek televisi

tersebut kedalam mobil yang telah disediakan di pinggir jalan. Pada

contoh ini perbuatan A dan perbuatan B sama-sama (bersama)

mengangkat televisi, pencurian terjadi karena perbuatan yang sama, dan

tidak dapat mengangkat televisi hanya satu orang. Jelas perbuatan mereka

telah sama-sama memenuhi rumusan tindak pidana. Sama seperti

perbuatan seorang pembuat (dader). Bedanya ialah seorang dader dia

sebagai pembuat tunggal. Pandangan yang sempit ini dianut oleh Van

Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turut serta melakukan

terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur

tindak pidana. Pandangan seperti ini lebih condong pada ajaran objektif.6

1. Menurut Van Hamel dalam E.Y. Kanter dan S.R. sianturi,

bahwa dianggap ada persoalan ikut serta (medepleger) jika

setiap pelaku yang ikut serta harus memenuhi semua unsur

delik. Jadi mereka masing-masing sebagai pelaku dari delik itu

dan terhadap kawannya mereka satu sama lain menjadi pelaku

peserta. Di luar hal-hal itu maka adalah bentuk penyertaan yang

berupa pembantuan. Mengikut jalan pikiran ini, maka jika R Banyak pendapat yang dikemukakan khususnya yang terkait dengan

masalah pemenuhan unsur-unsur bagi para peserta dalam bentuk ikut serta

ini, antara lain adalah sebgai berikut :

6

(19)

melakukan pembongkaran sedangkan yang mengambil

(mencuri) sesuatu barang adalah T, maka R bukan pelaku

peserta (orang yang ikut serta) dari pencurian dengan jalan

merusak/membongkar (pasal 365 ayat(1) ke-5), melainkan

hanyalah pembantu.

2. Menurut Hoge Raad, bahwa tidak perlu semua peserta, dalam

penyertaan yang berbentuk ikut serta harus memenuhi semua

unsur tindak pidana yang dilakukan. Ada kalanya memang

harus memenuhi tetapi dapat pula tidak memenuhi unsur tindak

pidana yang dilakukan. Yang terpenting menurut hoge raad

adalah dipenuhinya syarat-syarat ikut serta. Begitu pula

Mahkamah Agung RI juga berpendapat bahwa dalam ikut

serta para peserta tidak harus memenuhi semua unsur dalam

tindak pidana. Mahkamah Agung RI dalam putusan kasasinya

tertanggal 26 juni 1971 nomor 15k/Kr./1970 telah memberikan

putusan, yang antara lain berbunyi.” perbuatan terdakwa II

mengancam dengan pistol tidak memenuhi semua unsur di

dalam pasala 339 KUHP, terdakwa I lah yang memukil si

korban dengan sepotong besi yang mengakibatkan matinya si

korban. Karena itu untuk terdakwa II kualifikasi yang tepat

adalah “turut melakukan” tindak pidana (medepleger).

(20)

19

3. Menurut Simons dalam Loeby Loqman, bahwa dalam ikut serta

semua peserta harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana

yang dilakukan. Misalnya, A dan B melakukan pencurian,

kedua-duanya harus memenuhi semua unsur dari pasal

pencurian. Jika umpanya A hanya berdiri di luar rumah korban,

sedangkan B yang masuk ke dalam rumah dan mengambil

barang-barang korban, maka A tidak dianggap sebagai ikut

serta dalam tindak pidana pencurian.7

2. Pleger

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ada dibedakan antara pelaku

dalam arti sempit dan pelaku dalam arti luas. Pelaku dalam arti sempit

adalah hanya mereka yang melakukan tindak pidana, sedangkan pelaku

dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku, yaitu mereka yang

melakukan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang ikut serta

melakukan dan mereka yang menggerakkan atau membujuk. Mereka yang

melakukan tindak pidana(pleger) adalah orang yang karena

perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana itu8

3. Pengertian pembunuhan dalam perspektif hukum .

Pada pasal 338 KUHP pembunuhan diartikan ialah “barang siapa dengan

sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati,

dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun(K.U.H.P 35,

104 s, 130, 140 s, 184 s, 336, 339 s, 350, 437)

7

Mohammad eka putra dan Abul khair, Op.cit,percobaan dan penyertaan, hal. 56-57.

8

(21)

Kejahatan dinamakan “makar mati” atau “pembunuhan” (doodslag). Disini

diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan

kematian itu disengaja. Artinya dimaksud termasuk dalam niatnya.

Apabila kematiannya itu tidak dimaksud, tidak masuk dalam pasal ini

mungkin pasal 359 (karena kurang hati-hatinya menyebabkan matinya

orang lain), atau pasal 351 sub 3 (penganiayaan biasa berakibat matinya

orang), atau pasal 353 sub 3 (penganiayaan dengan direncanakan lebih

dahulu, berakibat mati), atau pasal 354 sub 2 (penganiayaan berat

berakibat mati). Atau pasal 355 sub 2 (penganiayaan berat dengan

direncanakan lebih dahulu, berakibat mati. Pembunuhan biasa(doodslag),

bukan pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu(moord), diancam

hukuman lebih berat apabila dilakukannya dengan diikuti, disertai atau

didahului dengan peristiwa pidana yang lain, akan tetapi pembunuhan itu

dilakukan harus dengan maksud untuk menyiapkan atau memudahkan

peristiwa pidana itu atau jika tertangkap tangan akan melindungi dirinya

atau kawan-kawannya dari pada hukuman atau akan mempertahankan

barang yang didapatnya dengan melawan hak.

Apabila pembunuhan yang didahului,disertai dan diikuti dengan peristiwa

pidana lain dsb. Itu berupa pembunuhan dengan direncanakan terlebih

dahulu (moord), maka tetap dikenakan pasal 340 KUHP dalam bentuk

gabungan (samenloop).9

9

(22)

21

F. METODE PENELITIAN

1. JENIS PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian

yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dan

penerapan peraturan atau undang-undang yang dilengkapi dengan studi kasus. .10

a) Bahan hukum primer 2. Data dan Sumber Data

Sumber penelitian ini diambil melalui data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh diluar koresponden dalam arti bahwa data yang

diperoleh adalah data tidak langsung, yang dapat dibagi antara lain:

Bahan hukum primer ini adalah berbagai ketentuan dan peraturan

perundang-undangan maupun undang-undang yang telah berlaku di

Indonesia. Yang dalam penelitian ini bahan hukum primernya merupakan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

b) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum ini adalah bahan yang berkaitan dengan bahan hukum

primer dan merupakan bahan pendukung dari bahan hukum primer. Dalam

penelitian ini penulis mengambil bahan hukum sekunder dari studi

kepustakaan, seperti mengumpulkan data dari library, literature.

10

Bambang sungguno, metode penelitian hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,

(23)

c) Bahan hukum tersier

Merupakan bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Dimana peneliti mendapatkannya malalui berbagai

jurnal maupun arsip-arsip penelitian.

3.Teknik pengumpulan data

Tehknik pengumpulan data tekhnik pengumpulan data lewat studi

kepustakaan, dimana penulis memperoleh data dengan mengumpulkan dan

membahas bahan-bahan penelitian yaitu bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tersier penelitian ini.11

Berisi pendahuluan yang mengemukakan latar belakang penulis mengambil

topik penulisan skripsi ini. Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan,

perumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian

penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, serta sistematika penulisan. G. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan bertujaun untuk memudahkan para pembaca untuk

membaca dan mengerti isi dari karya ilmiah. Sistematika penulisan merupakan

gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya ilmiah, dalam hal ini

adalah penulisan skripsi.

Skripsi ini terdiri dari 5 BAB, yaitu;

BAB I

11

(24)

23

BAB II

Berisi tentang pengaturan hukum mengenai tindak pidana pembunuhan

berencana.

C. Tindak pidana Pembunuhan dan Pembunuhan berencana

D. Unusur – unsur tindak pidana pembunuhan dan pembunuhan berencana E. Penyertaan tindak pidana pembunuhan berencana (perkara in casu) BAB III

Bab ini berisi tentang bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap

penyertaan tindak pidana.

D. Penyertaan pidana

E. Sistem Pembebanan Tanggung Jawab F. Bentuk – bentuk Penyertaan :

f) Mereka yang melakukan (pleger) g) Mereka yang menyuruh melakukan h) Mereka yang turut serta melakukan i) Orang yang sengaja menganjurkan j) Pembantuan

BAB IV

Merupakan bab yang berisi tentang pertimbangan hakim dalam pembuktian

pelaku penyertaan tindak pidana pembunuhan berencana dalam putusan PN

NO : 2442/PID.B/2011/PN-MDN.

E. Pembuktian

F. Teori pembuktian dalam perkara tindak pidana

(25)

BAB V

Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan skripsi

ini dan saran yang di harapkan dapat menjadi bahan masukkan dalam hal

perlindungan hukum terhadap medeplger yang dinyatakan bersalah tanpa

(26)

BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

A.Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana

1. Tindak pidana pembunuhan

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh kitab

undang-undang hukum pidana dewasa ini berlaku telah disebut sebagai suatu

pembunuhan. untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus

melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan

meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus

ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut. Kiranya sudah

jelas bahwa yang tidak dikehendaki oleh undang-undang itu sebenarnya ialah

kesengajaan menimbulkan akibat meninggalnya orang lain12

12

P.A.F.Lamintang,Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, & Kesehatan, Jakarta, Sinar Grafika, 2012 hal 1

. Akibat yang

dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang seperti itu didalam

doktrin juga disebut sebagai constitutief-gevolg atau sebagai akibat konstitutif.

Jadi tindak pidana pembunuhan itu merupakan suatu delik materiil atau materiil

delict ataupun yang oleh Prof. Van Hamel juga telah disebut sebagai suatu delict

met materiele omschrijving yang artinya delik yang dirumuskan secara materiil,

yakni delik yang baru dapat dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh

(27)

oleh undang-undang. 13

1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus

midrijven), adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal

338-350.

Kejahatan terhadap nyawa(misdrijven tegen het leven)

adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang

dilindungi dan yang merupakan objek kejahatan ini adalah nyawa (leven)

manusia. Kejahatan terhdapa nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atas dua dasar

yaitu(1) atas dasar unsur kesalahan dan (2) atas dasar objek nya (nyawa).

Atas dasar kesalahan nya ada 2 kelompok kejahatan terhadap nyawa,ialah :

2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja

(cullpose misdrijeven), dimuat dalam Bab XXI(khusus pasal 359). 14

Menurut pasal 338 KUHP kejahatan terhadap jiwa orang ialah barang

siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain dihukum, karena makar

mati,dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. Kejahatan ini

dinamakan “makar mati”atau “pembunuhan” (doodslag). Disini diperlukan

perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian itu

disengaja, artinya dimaksud, termasuk dalam niatnya. Apabila kematiannya itu

tidak dimaksud, tidak dimaksud dalam pasal ini mungkin masuk pasal 359(karena

kurang hati-hatinya menyebabkan mati nya orang lain).15

13

Ibid hal 2

14

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh&Nyawa, jJakarta, Rajawali Press, 2001 hal 55

15

(28)

27

2.Pembunuhan Berencana (moord)

Pembunuhan dengan rencana lebih dulu atau disingkat dengan

pembunuhan berencana, adalah pembunuhan yang paling berat ancaman

pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manuasia, diatur dalam

Pasal 340 KUHP yang dirumuskan: Barang siapa dengan sengaja dan dengan

rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orsang lain, dipidana karena

pembunuhan dengana rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.

Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam arti Pasal 338

ditambah dengan adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Lebih berat

ancaman pidana pada pembunuhan berencana, jika dibandingkan dengan

pembunuhan dalam Pasal 338 maupun Pasal 339, diletakkan pada adanya unsur

dengan rencana terlebih dahulu itu. Dan pembunuhan berencana dapat dianggap

sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri (een zelfstandingmisdrijf) lepas dan lain

dengan pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (338).16

Dan Simons berpendapat orang hanya dapat berbicara tentang adanya

perencanaan lebih dulu, jika untuk melakukan suatu tindak pidana itu pelaku telah

menyusun keputusannya dengan mempertimbangkannya secara tenang, demikian

pula telah mempertimbangkan tentang kemungkinan-kemungkinan dan tentang

akibat-akibat dari tindakannya. Antara waktu seorang pelaku menyusun

rencananya dengan waktu pelaksanaan dari rencana tersebut selalu harus terdapat

16

(29)

suatu jangka waktu tertentu, dalam hal seorang pelaku dengan segera

melaksanakan apa yang ia maksud untuk dilakukan, kiranya sulit untuk berbicara

tentang adanya suatu perencanaan lebih dulu. Dan pertimbangan secara tenang itu

bukan hanya diisyaratkan bagi pelaku pada waktu ia menyusun rencananya dan

mengambil keputusannya melainkan juga pada waktu ia melakukan

kejahatannya.17

B.Unsur-unsur tindak pidana pembunuhan dan pembunuhan berencana

1. Unsur-unsur tindak pidana pembunuhan

Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (pembunuhan)

dalam bentuk pokok, dimuat dalam pasal 338 KUHP yang rumusannya adalah

barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Apabila rumusan

tersebut dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari:

a) Unsur obyektif:

1) Perbuatan, menghilangkan nyawa

2) Obyeknya: nyawa orang lain

b) Unsur subyektif: dengan sengaja.

Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain)terdapat 3 syarat

yang harus dipenuhi,yaitu:

1) Adanya wujud perbuatan:

2) Adanya suatu kematian orang lain

17

(30)

29

3) Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara

perbuatan dan akibat kematian(orang lain)

Antara unsur subyektif sengaja dengan dengan wujud perbuatan

menghilangkan terdapat syarat yang juga harus di buktikan, ialah

pelaksanaan perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) harus tidak

lama setelah timbulnya kehendak(niat) untuk menghilangkan nyawa orang

lain itu. Oleh karena apabila terdapat tenggang waktu yang cukup lama

sejak timbuklnya atau terbentuknya kehendak untuk membunuh dengan

pelaksanaanya, dimana dalam tenggang waktu yang cukup lama itu

penindak dapat memikirkan tentang berbagai hal, misalnya memikirkan

apakah kehendaknya itu akan diwujudkan dalam pelaksanaan ataukah

tidak, dengan cara apa kehendak itu akan diwujudkan dan sebagainya,

maka pembunuhan itu akan masuk dalam pembunuhan berencana (340),

dan bukan lagi pembunuhan biasa.

Rumusan pasal 338 KUHP dengan menyebut unsur tingkah laku sebagai

“menghilangkan nyawa” orang lain, menunjukkan bahwa kejahatan

pembunuhan adalah suatu tindak pidana materiil. Tindak pidana materiil

adalah suatu tindak pidana yang melarang menimbulkan akibat tertentu

(akibat yang dilarang) untuk dapat terjadi atau timbulnya tindak pidana

materiil secara sempurna, tidak semata-mata digantungkan pada selesainya

perbuatan , melainkan apakah dari wujud perbuatan itu telah menimbulkan

akibat yang terlarang ataukah belum atau tidak. Apabila karenanya

(31)

lain, kejadian ini baru merupakan percobaan pembunuhan (338 jo 53), dan

belum atau bukan pembunuhan secara sempurna sebagaimana dimaksud

pasal 338 KUHP.18

2. Unsur tindak pidana pembunuhan berencana

Tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu yang oleh

pembentuk undang-undang telah disebut dengan kata moord itu diatur

dalam pasal 340 KUHP, yang rumusannya ialah “ barang siapa dengan

sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa

orang lain, karena bersalah telah melakukan suatu pembunuhan dengan

direncanakan lebih dahulu, dipidana dengan pidana mati atau dipidana

penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara sementara

selama-lamanya dua puluh tahun.

Dari rumusan ketentuan pidana pembunuhan dengan direncanakan lebih

dahulu diatas dapat diketahui bahwa tindak pidana pembunuhan

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 340 KUHP itu mempunyai

unsur-unsur sebagai berikut:

A. Unsur subjektif: dengan sengaja dan atau direncanakan terlebih

dahulu

B. Unsur obyektif: menghilangkan , nyawa, orang lain.

Semua unsur tindak pidana pembunuhan di atas itu telah dibicarakan pada

waktu membicarakan tindak pidana pembunuhan dalam bentuk pokok,

kecuali unsur dengan direncanakan terlebih dahulu. 19

18

(32)

31

Pasal 340 dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur

dalam pasal 338, kemudian ditambah dengan satu unsur lagi yakni

“dengan rencana terlebih dahulu”. Oleh karena dalam pasal 340

mengulang lagi seluruh unsur pasal 338, maka pembunuhan berencana

dapat dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri, lepas dan lain

dengan pembunuhan biasa dalam bentuk pokok(338). Apalagi

pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang

sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan.

Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya

mengandung 3 syarat yaitu,

1) Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.

2) Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai

dengan pelaksanaan kehendak.

3) Pelaksanaan kehendak dalam suasana tenang.

Memutuskan kehendak dalam suasana tenang, adalah pada saat

memutuskan kehendak untuk membunuh itu dilakukan dalam suasana

(batin) yang tenang. Suasana (batin) yang tenang, adalah suasana tidak

tergesa-gesa atau tiba-tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang

tinggi. Sebagai indikatornya ialah sebelum memutuskan kehendak untuk

membunuh itu, telah dipikirnya dan dipertimbangkannya, telah dikaji

untung dan ruginya. Pemikiran dan pertimbangan seperti itu hanya dapat

19

P.A.F.Lamintang,,Theo Lamintang,,op.cit,kejahatan terhadap nyawa,tubuh dan

(33)

dilakukan apabila ada dalam suasana tenang, dan dalam suasana tenang

sebagaimana waktu ia memikirkan dan mempertimbangkan dengan

mendalam itulah ia akhirnya memutuskan kehendak untuk berbuat.

Ada tenggang waktu yang cukup, antara sejak timbulnya/diputuskannya

kehendak sampai pelaksanaan keputusan kehendaknya itu. Waktu yang

cukup ini relatif, dalam arti tidak diukur dari lama nya waktu tertentu,

melainkan bergantung pada keadaan atau kejadian kongkrit yang berlaku.

Tidak terlalu singkat karena jika terlalu singkat, tidak mempunyai

kesempatan lagi untuk berpikir-pikir karena tergesa-gesa, waktu yang

demikian sudah tidak menggambarkan suasana yang tenang. Begitu juga

tidak boleh terlalu lama, sebab bila sudah terlalu lama sudah tidak lagi

menggambarkan ada hubungan antara pengambilan putusan kehendak

untuk membunuh dengan pelaksanaan pembunuhan.

Dalam tenggang waktu itu masih tampak adanya hubungan antara

pengambilan putusan kehendak dengan pelaksanaan pembunuhan. Sebagai

adanya hubungan itu dapat dilihat dari indikatornya bahwa dalam waktu

itu: (1) dia masih sempat untuk menarik kehendaknya dalam membunuh,

(2) bila kehendaknya sudah bulat, ada waktu yang cukup untuk

memikirkan misalnya bagaimana cara dan dengan alat apa

melaksanakannya, bagaimana cara untuk menghilangkan jejak, untuk

menghindari dari tanggung jawab, punya kesempatan untuk memikirkan

(34)

33

Mengenai adanya cukup waktu, dalam tenggang waktu mana ada

kesempatan untuk memikirkan dengan tenang untung ruginya

pembunuhan itu dan lain sebagainya, sebagaimana yang diterangkan

diatas, dapat disimak dalam suatu arrest yang menyatakan bahwa “untuk

dapat diterimanya suatu rencana terlebih dahulu, maka adalah perlu

adanya suatu tenggang waktu pendek atau panjang dalam mana dilakukan

pertimbangan dan pemikiran yang tenang. Pelaku harus dapat

memperhitungkan makna dan akibat-akibat perbuatannya dalam suatu

suasana kejiwaan yang memungkinkan untuk berpikir” 20

Tiga unsur/syarat dengan rencana lebih dulu sebagaimana yang

diterangkan sebelumnya bersifat kumulatif dan saling berhubungan, suatu

kebulatan yang tidak terpisahkan. Sebab bila sudah terpisah/terputus maka

sudah tidak ada lagi dengan rencana terlebih dahulu.

Mengenai syarat yang ketiga, berupa pelaksanaan pembunuhan itu

dilakukan dalam suasana (batin) tenang. Bahkan syarat ketiga ini diakui

oleh banyak orang sebagai yang terpenting. Maksudnya suasana hati

dalam saat melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana yang

tergesa-gesa, amarah yang tinggi, rasa takut yang berlebihan dan lain

sebagainya.

21

20

Loc.cit hal 54 21

(35)

C.Penyertaan tindak pidana pembunuhan berencana(perkara in casu)

Masalah penyertaan (deelneming) diatur dalam buku pertama tentang aturan

umum, bab V pasal 55 sampai dengan pasal 62 KUHP

Ajaran tentang penyertaan ini lahir pada abad ke 18, dipelopori oleh Von

Fauerbach yang menemukan suatu paham bahwa dalam mengusut tindak pidana

harus dibedakan antara pelaku dan peserta. Yang dimaksud dengan pelaku adalah

orang atau orang-orang yang memegang peranan utama dalam pelaksanaan suatu

tindak pidana sedangkan peserta adalah orang atau orang-orang yang ikut

melakukan perbuatan yang pada dasarnya membantu atau melancarkan

terlaksananya tindak pidana tersebut. Sebelum abad ke18, tidak dipersoalkan

peranan seseorang dalam suatu tindak pidana itu, apakah ia itu sebagai pelaku atau

hanya sebagai peserta.

Dalam menguraikan penyertaan melakukan tindak pidana, harus diketahui lebih

dahulu siapa pelaku tindak pidana, sebab pada hakikatnya penyertaan dalam suatu

tindak pidana akan mencari siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya suatu

tindak pidana. Dalam hal ini pelaku tindak pidana dibedakan antara pelaku

menurut doktrin dan pelaku menurut KUHP. Pelaku tindak pidana menurut

doktrin adalah mereka yang telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang

dituduhkan. Sedangkan pelaku menurut KUHP adalah sesuai dengan ketentuan

yang termuat dalam KUHP, sehingga terjadi kemungkinan seseorang yang tidak

memenuhi unsur dari tindak pidana dapat diklasifikasikan sebagai pelaku.

Subjek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana

(36)

35

yang terdapat didalam ketentuan pasal 338 dan 362 KUHP itu merujuk pada satu

orang, bukan banyak orang, jika terjadi suatu peristiwa pembunuhan dimana A

membunuh B dengan sebuah pisau, sedangkan C yang hanya memegang tangan B

agar B tidak melawan tidaklah mengakibatkan kematian pada B, tetapi B

mempunyai andil dalam kelancaran peristiwa pembunuhan ini. Dalam hal ini jika

hanya didasarkan pada rumusan pasal 338 KUHP saja maka B tidak dapat

dipidana atas keterlibatannya dalam peristiwa pembunuhan tersebut, karena apa

yang dilakukan oleh B itu tidak memenuhi unsur dari tindak pidana pembunuhan (

pasal 338 KUHP). Agar C dapat dipidana harus ada ketentuan lain yang mengatur

tentang hal ini.

Pasal 55 dan pasal 56 KUHP diberikan klasifikasi tentang siapa orang

yang dianggap sebagai pelaku dan pembantu dalam suatu tindak pidana. Ternyata

didalam pasal tersebut yang dianggap sebagai pelaku bukan saja mereka yang

memenuhi unsur suatu kejahatan, akan tetapi juga mereka yang terlibat dalam

tindak pidana itu.

UTRECHT mengatakan bahwa “Pelajaran umum penyertaan ini justru

dibuat untuk menuntut pertanggungan jawaban mereka yang memungkinkan

pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak

memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut, pembuat yaitu perbuatan mereka

tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, masih juga mereka

bertanggung jawab atas dilakukannya peristiwa pidana, karena tanpa turut

sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. Tindak

(37)

setiap orang melakukan wujud-wujud tingkah laku mereka, dari tingkah laku

itulah melahirkan suatu tindak pidana. Pada peristiwa senyatanya, kadang sulit

dan kadang juga mudah untuk menentukan siapa diantara mereka perbuatannya

benar-benar telah memenuhi rumusan tindak pidana, artinya dari perbuatannya

yang melahirkan tindakan pidana itu.

Ketentuan penyertaan yang dibentuk dan dimuat dalam KUHP bertujuan agar

dapat dipertanggungjawabkan dan dipidananya orang-orang yang terlibat dan

mempunyai andil baik secara fisik (obyektif) maupun psikis (subyektif).

Pembentuk Undang-Undang merasa perlu membebani tanggung jawab pidana dan

yang sekaligus besarnya bagi orang-orang yang perbuatannya semacam itu untuk

menjadi pegangan hakim dalam menjatuhkan pidana.

Terkait pada kasus penyertaan pembunuhan berencana yang saya ambil

ialah jika kita melihat pada isi dakwaan jaksa penuntut umum yakni dakwaan

pertama yang berbunyi “Jaksa Penuntut Umum mengajukan terdakwa ke

persidangan dengan tuduhan melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang

turut serta melakukan perbuatan itu dengan sengaja dan dengan rencana terlebih

dahulu merampas nyawa orang lain yaitu korban khowito dan dora halim”. Dan

dengan dakwaan kedua nya yang berbunyi “ melakukan, yang menyuruh

melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan itu dengan sengaja dan dengan

rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain yaitu korban khowito dan

korban dora halim.

Bahwa dari dakwaan pertama dan dakwaan kedua terlihat jaksa penuntut

(38)

37

terdakwa, dimana pada satu sisi disebut melakukan kemudioan ditambah

menyuruh melakukan lalu ditambah turut serta melakukan. Bilamana dipenggal

perkalimat, maka terdapat penafsiran antara lain:

1) Melakukan artinya orangnya ikut langsung bekerja.

2) Menyuruh melakukan artinya menyuruh orang lain.

3) Turut serta melakukan artinya ikut bersama-sama melakukan.

Bahwa dengan dakwaan demikian tidak relevan uraian dakwaan yang

berisi tudingan kepada terdakwa yang dituduh melakukan kejahatan dengan

berbagai posisi. Tudingan tersebut harusnya dapat dirinci dengan tepat pada posisi

apa terdakwa berada, apakah pada posisi melakukan? Menyuruh? Atau turut

serta?. Lebih lanjut lagi dalam dakwaan jaksa penuntut umum menjelaskan

bahwasanya terdakwa bersama dengan angho,acui,acuan,hok khian dan hok khim

dan akok merencanakan pembunuhan terhadap sarwo pranoto. Bahwa setelah

achui (belum tertangkap) menetapkan waktu pembunuhan ternyata empat orang

laki-laki pelaku pembunuhan tersebut salah sasaran dalam pelaksanaannya,

mereka malah membunuh khowito dan Dora Halim, akan tetapi hingga saat ini

ke-4(empat) orang yang katanya laki-laki tersebut (dalam dakwaan) belum

tertangkap.

Bahwa jika diteliti lebih jauh pada surat dakwaan tersebut, peristiwa

hukum tindak pidana perencanaan pembunuhan ataupun pelaku pembunuhan

tidak dilakukan oleh terdakwa. Melainkan dilakukan oleh Achui sebagai otak

pelaku dan 4 (empat) orang laki-laki tidak dikenal sebagai pelaksana atau dapat

(39)

Sun An Alang hanya sebatas menyiapkan mobil rental tanpa menguraikan

hubungan hukum untuk apa mobil tersebut dirental oleh terdakwa, dan terdakwa

bukan sebagai pelaku yang ikut melakukan pembunuhan terhadap Khowito dan

Dora Halim, karena yang diduga sebagai pelaku pembunuhan didalam dakwaan

Jaksa Penuntut Umum adalah orang lain ( empat orang laki-laki yang belum

tertangkap). Berdasarkan uraian saya diatas maka Jaksa Penuntut Umum telah

salah dalam meminta pertanggungjawaban pidana terhadap terdakwa. Karena

yang seharusnya bertanggungjawab adalah para eksekutor pembunuh korban Kho

(40)

39

BAB III

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PENYERTAAN TINDAK PIDANA.

A.Penyertaan pidana.

Penyertaan diatur dalam pasal 55 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang

atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua

orang atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana.

Secara luas dapat disebutkan bahwa seseorang turut serta ambil bagian dalam

hubungannya dengan orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana,

mungkin jauh sebelum terjadinya (misalnya: merencanakan), dekat sebelum

terjadinya (misalnya : menyuruh atau menggerakkan untuk melakukan,

memberikan keterangan atau sebagainya), pada saat terjadinya (misalnya: turut

serta bersama-sama melakukan atau sesorang itu dibantu oleh orang lain) atau

setelah terjadinya suatu tindak pidana (menyembunyikan pelaku atau hasil

tindak pidana pelaku).22

Menurut utrecht, pelajaran umum tentang turur serta (penyertaan) ini justru

dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan (bukan pembuat).

Pelajaran umum turut serta ini justru tidak dibuat untuk menghukum orang-Menurut van hamel dalam moch. Anwar penyertaan adalah ajaran

pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu

tindak pidana yang menurut pengertian perundang-undangan dapat

dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan secara sendiri.

22

(41)

orang yang perbuatanya memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang

bersangkutan. Pelajaran umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut

pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan

peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua

ansir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan pembuat yaitu

perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, masih

juga mereka (turut) bertanggungjawab atau dapat dituntut pertanggungjawaban

mereka atas dilakukannya peristiwa pidana itu, karena tanpa turut sertanya

mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. Inilah ratio pasal

55 KUHP.

Dalam penyertaan melakukan tindak pidana, seperti pembujukan

(uitlokkiing) dan pembantuan (medeplichtigheid) sangat tergantung (accessoir)

pada fakta atau delik pokok yang melibatkan pelaku langsung dan pelaku

penyerta yang setara dengannya. Penyertaan baru dapat dipidana jika diikuti

oleh suatu tindak pidana atau percobaan yang dapat dipidana. Jan remelink

menyebutkan, bahwa bentuk penyertaan tertentu mempunyai sejumlah ciri-ciri,

misalnya satu bentuk pembujukkan mensyaratkan bahwa tindakan yang

dianjurkan betul terjadi dan diancam pidana. Sekalipun sekadar dalam bentuk

percobaan atau tindak persiapan yang diancam pidana, demikian juga

penyertaan dalam bentuk pembantuan, kejahatan yang menjadi delik pokok

harus terjadi tuntas.23

23

Mohammad eka putra dan abul khair, percobaan dan penyertaan, medan, usu press, 2009 hal 40

Bahkan pasal 163 bis KUHP yang mengatur tentang

(42)

41

perumusannya tetap tidak dapat menghapus karakter accessoir kejahatan ini

pada delik utama yang terkait dengannya.

Bab penyertaan sebagaimana yang diatur dalam KUHP ini memungkinkan

seorang peserta dapat dihukum atas perbuatannya walaupun perbuatan tersebut

hanya memenuhi sebagian saja dari perumusan tindak pidana, atau peserta

tersebut hanya memberikan sumbangan maupun bantuan dalam bentuk

perbuatan-perbuatan tertentu kepada orang lain untuk melakukan tindak pidana

nya. Dengan demikian ajaran penyertaan pidana ini mempersoalkan peranan

atau hubungan tiap-tiap peserta (orang yang terlibat) dalam suatu pelaksanaan

tindak pidana, sumbangan apa yang diberikan oleh tiap-tiap peserta agar tindak

pidana itu dapat diselesaikan, serta pertanggungjawabannya atas sumbangan

bantuan itu.

Menurut satochid, hubungan tiap-tiap peserta (orang-orang yang terlibat)

dalam penyelesaian tindak pidana itu dapat berbentuk sebagai berikut:

1) Beberapa orang melakukan bersama-sama suatu delik.

2) Mungkin seorang saja yang mempunyai kehendak dan merencanakan

delik, akan tetapi delik itu dilakukannya sendiri, bahkan ia

mempergunakan orang lain untuk melaksanakan delik tersebut.

3) Dapat pula terjadi, bahwa seorang saja yang melakukan delik,

sedangkan orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan delik.24

dalam menguraikan penyertaan melakukan tindak pidana, harus diketahui

lebih dahulu siapa pelaku tindak pidana sebab pada hakekatnya penyertaan

24

(43)

dalam suatu tindak pidana akan mencari siapa yang bertanggung jawab atas

terjadinya tindak pidana.

Pelaku tindak pidana dibedakan antara pelaku menurut doktrin dan pelaku

menurut KUHP. Pelaku tindak pidana menurut doktrin adalah mereka yang

telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dituduhkan, pelaku

menurut KUHP adalah sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam KUHP,

terjadi kemungkinan seseorang yang tidak memenuhi unsur dari tindak

pidana dapat diklasifikasikan sebagai pelaku.

Pasal 55 dan 56 KUHP memberikan klasifikasi tentang siapa orang yang

dianggap sebagai pelaku dan pembantu dalam suatu tindak pidana.

Ternyata berdasarkan pasal 55 KUHP, yang dianggap sebagai pelaku bukan

saja mereka yang memenuhi unsur delik, akan tetapi juga mereka yang

tidak memenuhi semua unsur delik namun terlibat didalam peristiwa tindak

pidana tersebut.

Pasal 55 KUHP berbicara tentang para pembuat, pasal 56 KUHP

semata-mata tentang pembantu pembuat. Lebih-lebih karena dalam pasal 57 KUHP

pidana maksimum kejahatan itu dikurangi sepertiganya bagi si pambantu

pembuat, sehingga orang harus percaya bahwa pembuat undang-undang

dengan tegas hendak memisahkan antara pembantu pembuat dari si

pembuat sendiri. pembantuan itu bukan merupakan bagian dari pembuat.

Selain keempat macam pembuat (pelaku) sebagaimana disebutkan dalam

(44)

43

KUHP. Kedua kategori ini, baik pembuat dan pembantu membentuk

penyertaan. 25

B.Sistem pembebanan tanggung jawab

` sehubungan dengan pertanggungjawabannya, maka dikenal beberapa

penanggung jawab suatu tindak pidana yang masing-masing berbeda

pertanggungjawabannya. Berdasarkan hal itu, mustafa abdullah dan ruben

achmad menyatakan bahwa dalam hukum pidana dibedakan beberapa macam

penanggung jawab peristiwa pidana yang secara garis besar dapat

diklasifikasikan atas dua bentuk, yaitu :

1) Penanggung jawab penuh.

2) Penanggung jawab sebagian.

Penanggung jawab penuh adalah orang yang menyebabkan (turut serta

menyebabkan) peristiwa pidana, yang diancam dengan pidana setinggi

pidana pokoknya. Yang termasuk kategori penanggung jawab penuh

adalah:

a) Dader, adalah penanggung jawab pidana atau orang yang sikap

tindaknya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan

tindak pidana, baik berupa delik materiil maupun formil.

b) Mededader dan medepleger, yaitu sebagai orang yang menjadi

kawan pelaku, sedangkan medepleger adalah orang yang ikut serta

melakukan tindak pidana. Perbedaannya adalah terletak pada

25

(45)

peranan orang-orang yang menciptakan/menyebabkan peristiwa

pidana tersebut.

c) Doen pleger, adalah seseorang yang menyuruh orang lain untuk

melakukan suatu peristiwa pidana. Dalam bentuk ini, yuridis

merupakan sustu syarat bahwa orang yang disuruh tersbut tidak

mampu bertanggung jawab, jadi tidak dapat dipidana.

d) Uitloker, adalah orang yang membujuk orang lain supaya

melakukan peristiwa pidana atau dinamakan juga perencan,

intelectueel dader,sedangkan orang yang dibujuk adalah

uitgelokte.

Sedangkan orang yang disebut sebagai penanggung jawab sebagian

adalah apabila seseorang bertanggung jawab atas bantuan, percobaan suatu

kejadian yang diancam dengan pidana sebesar 2/3 pidana kejahatan yang

selesai, termasuk dalam kategori ini meliputi :

a) Poger, orang yang melakukan poging (percobaan).

b) Medeplichtige, yaitu penanggung jawab bantuan.26

C.Bentuk-bentuk penyertaan

a) Mereka yang melakukan (pleger)

Pelaku atau petindak adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan

yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung

jawab atas kejahatan. Ia melakukan dengan tangannya sendiri atas

26

(46)

45

sesuatu yang terjadi. Inilah yang tepat digambarkan dengan istilah

tangan memincang bahu memikul. Dapat saja ia menggunakan alat,

tetapi alat itu hanyalah merupakan benda yang sepenuhnya dalam

kendalinya. Termasuk binatang sekalipun, yang secara normal berada

dibawah kendalinya.27

Kedudukan pleger dalam pasal 55 KUHP janggal karena pelaku

bertanggung jawab atas perbuatannya (pelaku tungggal) dapat

dipahami, pasal 55 menyebutkan sispa-siapa yang disebut sebagai

pembuat, jadi pleger masuk di dalamnya. Mereka yang bertanggung

jawab adalah yang berkedudukan sebagai pembuat(pompe).28

b) Mereka yang menyuruh melakukan

Bentuk yang kedua ini merupakan varian dari bentuk yang pertam.

Dalam bentuk penyertaan menyuruh melakukan, mereka tidak

melakukan sendiri suatu perbuatan melainkan menyuruh orang lain

melakukan. Dalam kehidupan di tengah masyarakat dapat dikenali ada

rang yang jahat sekaligus berani. Tipe orang semacam ini jika berniat

jahat akan melakukan sendiri kejahatannya. Tetapi ada juga orang yang

jahat tetapi kurang berani, tipe kedua ini berniat jahat tetapi takut

melakukan dengan tangan sendiri. Untuk mewujudkan keinginan nya ia

memerlukan tangan orang lain, jika orang yang disuruh melakukan

merupakan orang yang juga dapat dianggap bertanggung jawab di

depan hukum pidana, maka penyertaan berikut ini disebut penganjuran.

27

ibid, hal 176

28

(47)

Tetapi yang dibahas dalam poin ini adalah dalam hal orang yang

disuruh melakukan adalah orang yang tidak mampu bertanggung jawab

atas tindakannya.

Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan

perantaraan orang lain, sedang perantara itu tidak dapat diminta

pertanggungjawaban didepan hukum pidana. Kalau orang yang disuruh

sama kedudukan hukumnya dengan orang yang menyuruh maka tidak

dinamakan dengan menyuruh lakukan, tetapi disebut menganjurkan

(uitloking) dan orang yang dianjurkan disebut uitgelokte. Dengan

demikian, ada dua pihak, yaitu pembuat langsung(manus

ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung (manus

domina/auctor intellectualis).

Unsur-unsur pada doenpleger adalah :

1) Alat yang dipakai adalah manusia.

2) Alat yang diapakai berbuat.

3) Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat

dipertanggungjawabkan adalah:

1) Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (pasal 44)

2) Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48)

3) Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (pasal 51

(2))

(48)

47

5) Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk

kejahatan yang bersangkutan.

Bila yang disuruh itu adalah binatang anjing atau monyet misalnya, itu

tidak tergolong pada doen pleger melainkan masuk kategori pleger. Anjing

atau monyet dianggap sebagai alat atas perintah si pelaku.

c) Orang yang turut serta (medepleger)

Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut

berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu,

kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.

Syarat adanya medeplger:

1) Ada kerja sama secara sadar, kerja sama dilakukan secara

sengaja untuk melakukan tindak pidana.

2) Bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang

undang-undang.

3) Ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan

selesainya delik yang bersangkutan.

Banyak tindak pidana yang memang dengan sendirinya tidak mungkin

dapat dilakukan oleh seseorang, melainkan harus dilakukan oleh banyak

orang, minimal lebih dari seorang. Dalam tindak pidana korupsi misalnya,

hampir dipastikan bahwa terjadinya suatu tindak pidana korupsi minimal

(49)

Pada umumnya, dalam tindak pidana non konvensional, pelaku biasanya

selalu melibatkan banyak orang.

Dalam proses pemidanaan, sering menjadi pertanyaan adalah jika

dalam terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh banyak orang,

beberapa orang misalnya sudah ditangkap dan diproses sementara orang

lain yang justru sebagai pelaku utama atau intelectual dader nya belum

ditangkap, apakah proses peradilan berkewajiban membuktikan

keseluruhan peran serta masing-masing pelaku utama dan pelaku peserta?

Menjawab pertanyaan demikian, berdasarkan yurisprudensi berdasarkan

putusan mahkamah agung No tgl.22-11-1969 No.7K/Kr/1969 menyatakan

bahwa keberatan yang diajukan penuntut kasasi: bahwa dalam perkara ini

pelaku utamanya tidak diadili, tidak dapat diterima, karena untuk

memeriksa perkara terdakwa pengadilan tidak perlu menunggu

diajukannya terlebih dahulu pelaku utama dalam perkara itu.

d) Penganjur (uitlokker)

Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk

melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana

yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi

atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,

kekerasan,ancaman atau penyesatan, dengan memberi kesempatan,

(50)

49

Mengapa ia disebut penganjuran bukan menyuruh lakukan? Dalam

praktik, lebih banyak digunakan istilah menyuruh daripada

menganjurkan. Hal ini disebabkan bahwa dalam hukum pidana

pertanggungjawaban bersifat individual. Masing-masing subjek hukum

pidana dianggap sebagai pribadi yang mandiri, yang jika ia tidak

bersepakat dengan orang yang menyuruh melakukan suatu tindak

pidana, seharusnya ia dapat menghindarkan diri dari keharusan

melakukan tindak pidana.

Oleh karena itu digunakan istilah penganjuran. Penganjuran (uitlokker)

mirip dengan menyuruh lakukan (doenplegen), yaitu melalui perbuatan

orang lain sebagai perantara, namun perbedaanya terletak pada :

1) Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu

(limitatif) yang tersebut dalam undang-undang KUHP,

sedangkan menyuruh lakukan menggerakkannya dengan sarana

yang tidak ditentukan.

2) Pada penganjuran, pembuat materiel dapat

dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruh melakukan

pembuat materiel tidak dapat dipertanggungjawabkan

Syarat penganjuran yang dapat dipidana :

1) Ada kesengajaan menggerakkan orang lain menggerakkan

dengan sarana /upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP

2) Putusan kehendak pembuat materiel ditimbulkan karena

(51)

3) Pembuat materiel melakukan/mencoba melakukan tindak

pidana yang dianjurkan.

4) Pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan.

5) Penganjuran yang gagal tetap dipidana berdasarkan pasal

163 bis KUHP.

Sarana yang digunakan untuk menggerakkan secara limitatif ditentukan

dalam KUHP adalah memberi atau menjajikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman

kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,

sarana atau keterangan.

Adapun akibat dari perbuatan jika ternyata orang yang dianjurkan

melakukan lebih dari apa yang dianjurkan merupakan tanggung jawab si

pelaku, bukan orang yang menganjurkan. Penganjur hanya bertanggung

jawab atas apa yang dianjurkan.

Misalnya, dalam salah satu kasus besar yang baru-baru ini terjadi di

Indonesia dimana terjadi pembunuhan yang melibatkan banyak orang.

Seseorang dengan inisial A dituduh telah menganjurkan pembunuhan atas

diri orang lain dengan inisial N. A dituduh melakukan atau merencanakan

pembunuhan berencana dengan menggunakan orang lain sebuta saja R

dengan imbalan tertentu. Dalam pembelaannya A membantah telah

menganjurkan membunuh. A hanya meminta orang lain untuk

(52)

51

A dengan melakukan lebih dari yang sekedar diminta yaitu permintaan

diawasi diterjemahkannya sendiri sebagai membunuh. Jika benar dan

dibuktikan pembelaan A, maka A bisa dibebaskan karena tidak terdapat

kesalahan dalam tindakan mengawasi orang.

e) Pembantuan (medeplichtige)

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua

jenis :

1. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana

pembantuan nya tidak disebutkan dalam KUHP. Ini mirip

dengan medeplegen (turut serta), namun perbedaanya terletak

pada:

1) Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat

membantu/menunjang, sedang pada turut serta

merupakan perbuatan pelaksanaan.

2) Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi

bantuan tanpa disyaratkan harus kerja sama dan tidak

bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut

serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak

pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan

sendiri.

3) Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (pasal 60

KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap

Referensi

Dokumen terkait

Pemilihan alat ukur kecepatan aliran fluida menggunakan sensor temperatur LM35DZ, dilihat dari sisi kualitas, harga dan kelebihannya, sensor LM35DZ memiliki

Ahmad Dahlan dalam pendidikan Islam yang zaman sekarang dikembangkan untuk membangun peradaban lebih maju dan hendaknya diarahkan untuk mewujudkan Pendidikan

Melalui penelitian ini, penulis akan membuat Sistem Informasi Akuntansi dan Pengelolaan Keuangan (SIAPKAN) khususnya modul bendahara sebagai solusi untuk

Beliau selalu mendorong para muallaf supaya mereka menjadi orang yang alim (berilmu) dan menjadi da‟i nantinya. Motivasinya menjadi pembimbing agama karena beliau

Salah satu dari lokasi tersebut telah berdiri diatasnya sebuah usaha SPBU Nomor Seri 54.684-34 yang memiliki 4 (empat) dispenser dengan pendapatan bruto migas rata-rata setiap

Selain itu, penelitian yang dilaksanakan oleh Sukerti (2013) tentang penggunaan media gambar beseri pada pembelajaran Bahasa Indonesia yaitu keterampilan menulis narasi

Selain Dokumen Asli/Legalisir, harap membawa juga salinan yang telah dijilid rapi untuk diserahkan kepada

 Dibutuhkan input maupun output atau library untuk Arduino yang secara tidak menentu karena disesuaikan dengan kondisi atau permintaan dari user atau orang –