• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meski demikian diakui bahwa demokrasi prosedural yang dilaksanakan selama kurun waktu pasca orde baru dapat dinyatakan sukses, meski tidak serta merta secara substansi Demokrasi Pancasila itu terpenuhi.

4. Teori Pemerintahan Daerah

Sistem ketatanegaraan Indonesia menganut negara kesatuan(unitary) sejak diproklamasikan 17 Agustus 1945, hal ini berarti Negara Indonesia tidak menerapkan sistem negara serikat(federasi). Meski Negara Indonesia menganut sistem negara kesatuan, hadirnya pemerintahan dalam cakupan yang lebih sempit(pemerintahan daerah) tidak serta merta merubah sistem ketatanegaraan Indonesia.

Alasan hadirnya pemerintahan daerah

dikemukakan oleh Umbu Rauta yaitu:38

1. Perwujudan fungsi negara modern, yang lebih menekankan pada kesejahteraan umum(welfare state) sehingga diperlukan campur tangan pemerintah yang lebih luas hingga ke ranah lokal.

2. Pemencaran kekuasaan negara (dispersed of power) dari tingkatan suprastruktur hingga infrastruktur.

3. Dari perspektif manajemen pemerintahan, adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah yaitu keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya, merupakan perwujudan dari

38 Umbu Rauta, Bunga Rampai hukum Tata Negara Indonesia, FH-UKSW, Salatiga: 2000.

45 adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum.

Tujuan Bernegara yang dikemukakan oleh

Umbu Rauta diimplementasikan dan

dilaksanakan secara luas dengan mendelegasikan

beberapa kewenangan dengan tujuan

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Sedangkan The Liang Gie, seperti dikutip oleh Umbu Rauta, mengemukakan sejumlah alasan hadirnya satuan pemerintahan territorial yang lebih kecil, yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, yaitu39

(1) guna mencegah penumpukan kekuasaan yang bisa membuka ruang bagi terjadinya tirani; (2) sebagai upaya pendemokrasian; (3) untuk memungkinkan tercapainya pemerintahan yang efisien; (4) guna dapat memberikan perhatian terhadap kekhususan-kekhususan yang menyertai setiap daerah; dan (5) agar Pemerintah Daerah dapat lebih langsung membantu penyelenggaraan

pembangunan.”

Menurut Jimly Asshidiqie, Pemerintahan

daerah dikembangkan berdasarkan asas otonomi (desentralisasi) dan tugas perbantuan. Oleh karena itu, hubungan yang diidealkan antara Pemerintah Pusat dan daerah adalah hubungan yang tidak bersifat hierarkis. Namun demikian fungsi koordinasi pembinaan otonomi daerah dan

39 Umbu Rauta, Bunga Rampai hukum Tata Negara Indonesia, FH-UKSW, Salatiga: 2000.

46

penyelesaian permasalahan antar daerah tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat.40

Pandangan Riggs berkaitan dengan otonomi

daerah menyatakan bahwa desentralisasi

mengandung 2 makna yaitu: pelimpahan

wewenang sering disebut sebagai “delegation”

yang berarti pelimpahan wewenang atau

penyerahan tanggung jawab kepada bawahan

untuk mengambil keputusan tetapi

pengawasannya masih ada dalam tangan

Pemerintah Pusat. Makna yang kedua adalah “devolution” atau pelimpahan kekuasaan yang berarti adanya pelimpahan tanggung jawab penuh kepada pihak bawahan atau daerah.41

Dalam desentralisasi (otonomi daerah),

menurut Uphroff, menganut tiga unsur utama yaitu: terjadinya proses pertanggungjawaban oleh penyelenggara pemerintahan kepada rakyat; adanya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara transparan; dan dipegangnya kaidah-kaidah

demokrasi di dalam menjalankan

pemerintahannya.42 Selain itu, Cornelis Lay

40 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konsititusi Press, Jakarta: 2005. Hal 220.

41 F Putra, Devolusi, Politik Desentralisasi sebagai media rekonsiliasi ketegangan politik negara-rakyat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1998.

42 Uphoff, N. T and John.N. Cohen, 1979. Development and Participation Operational Implication for Social Welfare. New York: Colombia University Press dalam K Suwondo, Otonomi Daerah dan

47

menyatakan ada 4 hal paling sensitif yang diakomodasi dalam otonomi daerah yakni sharing power, sharing of revenue, empowering lokalitas serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan.43

a. Asas Pemerintahan Daerah

Didalam konsep pemerintahan daerah terdapat tiga asas utama yang digunakan44 yaitu:

i. Desentralisasi, menurut asal katanya,

desentralisasi terdiri dari gabungan

imbuhan “de-” yang bermakna penurunan

atau pelepasan dengan kata “sentral” yang berarti pusat(dalam hal ini yang dimaksud adalah Pemerintah Pusat) serta imbuhan

“-isasi” yang bermakna proses. Menurut

Sadu Wasistiono45, dekonsentrasi

dimaknai sebagai transfer kewenangan dimana kewenangan sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban penerima kewenangan. Sedangkan Bagir Manan seperti dikutip Pipin Syarifin menyatakan bahwa tujuan

Dinamika Politik Lokal, Kritis, vol XIII No. 6, PPs-UKSW, Salatiga: Maret 2001.

43 C Lay, Otonomi Daerah dan “Ke-Indonesiaan”. Kompleksitas

Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2006.

44 S Wasistiono, dkk, Memahami Tugas Asas Tugas Pembantuan, Fokus media, Bandung: 2006.

48

penyelenggaraan pemerintahan daerah

dari perspektif desentralisasi yaitu: “Meringankan beban pekerjaan pusat.

Dengan desentralisasi, berbagai tugas dan pekerjaan dialihkan kepada daerah, dengan demikian Pusat lebih memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional atau negara secara keseluruhan. Pusat tidak perlu memiliki aparat sperti di daerah. Namun demikian, tidak berarti dalam lingkungan desentralisasi tidak boleh ada fungsi dekonsentrasi. Fungsi-fungsi dekonsentrasi dapat dilaksanakan pada alat kelengkapan daerah yang ada seperti yang selama ini berjalan, yaitu Kepala Daerah. Dalam hal

demikian, Kepala Daerah merupakan „de

hand van central gouvernement‟ di daerah.

Kepala Daerah adalah primat desentralisasi; bukan primat

dekonsentrasi.”

ii. Dekonsentrasi, merupakan asas delegasi kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Adapun tujuan dalam pendelegasian ini adalah untuk menjadi

kepanjangan tangan dari Pemerintah

Pusat untuk menjangkau ke pelosok daerah.

Dalam konsep dekonsentrasi,

Pemerintah Daerah melaksanakan tugas yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini terdapat perbedaan dengan

konsep desentralisasi dimana dalam

desentralisasi proses perencanaan,

pelaksanaan hingga evaluasi dilakukan oleh Pemerintah Daerah sedangkan dalam

49

konsep dekonsentrasi proses perencanaan, keuangan dan lainnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat sedangkan Pemerintah Daerah hanya melaksanakan saja.

iii. Tugas Pembantuan, Tugas pembantuan

atau dikenal dengan istilah “medebewind

memiliki ciri pelaksanaan seperti

diungkapkan Sadu Wasistiono46 yaitu; kewenangan tetap melekat pada institusi pemberi, sedangkan dana dan personil pelaksana dibantu dari pusat namun sebagian besar personil pelaksananya dibantu dari daerah.

b. Sistem Rumah Tangga Pemerintahan Daerah

Implementasi dari ketiga asas

pemerintahan daerah diwujudnyatakan dalam

suatu sistem sistem rumah tangga

pemerintahan daerah yang terbagi pula dalam tiga kategori yakni:

i. Sistem Rumah Tangga Materiil, menurut Umbu Rauta dan Darumurti47, sistem rumah tangga (otonomi) daerah materiil dinyatakan sebagai berikut;

“….antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah ada pembagian tugas

46 S Wasistiono, dkk, Memahami Tugas Asas Tugas Pembantuan, Fokus media, Bandung: 2006.

47 Rauta. U & Darumurti. K, Otonomi Daerah-Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2003.

50 (wewenang dan tanggungjawab) yang eksplisit (diperinci secara tegas) dalam undang-undang pembentukan daerah. Artinya otonomi daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu per satu, jadi bersifat definitif. Hal itu berarti pula, apa yang tidak tercantum dalam undang-undang pembentukan daerah, tidak termasuk urusan Pemerintah Daerah

Otonom, tetapi urusan pemerintah pusat.”

Dalam sistem rumah tangga

semacam ini pembagian tugas antara pusat-daerah menjadi sangat jelas dan memiiki legalitas hukum karena diatur dalam undang-undang. Hal ini dalam upaya mencegah ketidakteraturan dalam pelaksanaan teknis urusan di daerah.

ii. Sistem Rumah Tangga Formil, dalam sistem rumah tangga formil tidak dibedakan unsur-unsur yang menjadi tugas Pusat maupun Daerah karena asumsi bahwa semua urusan yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dapat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat

maupun Pemerintah Daerah. Dalam

implementasinya ketika ada pembagian tugas antara Pusat-Daerah semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan rasional dan praktis saja.

Penggunaan sistem otonomi daerah formil ini memiliki beberapa kendala

51

seperti diungkapkan oleh Bagir Manan yang dikutip Umbu Rauta, yaitu:48

“1)Tingkat hasil guna dan daya guna sistem otonomi formil sangat tergantung pada kreatifitas dan aktivitas daerah otonom. Daerah harus mampu melihat urusan yang menurut pertimbangan mereka penting bagi daerah, wajar, tepat diatur dan diurus oleh pemerintah daerah. Bagi daerah-daerah yang kurang mampu memanfaatkan peluang, dalam kenyataannya akan banyak bergantung pada Pusat atau daerah-daerah tingkat atasnya; 2)Keterbatasan dalam hal keuangan daerah. Meskipun mempunyai peluang yang luas untuk mengembangkan urusan rumah tangga daerah, hal ini tidak mungkin terlaksana tanpa ditopang oleh sumber keuangan yang memadai; 3)Kemungkinan terjadi persoalan yang bersifat teknis. Daerah tidak dapat secara mudah mengetahui urusan yang belum diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya.”

iii. Sistem Rumah Tangga Nyata atau Riil, sistem Rumah Tangga yang ketiga dan merupakan perpaduan dari kedua sistem yang telah disebutkan adalah Sistem Rumah Tangga Nyata yang memiliki ciri khas:49

“1)menurut urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah otonom, memberikan kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal semacam ini tidak mungkin terjadi pada sistem rumah tangga formil; 2)disamping urusan-urusan

48 Rauta. U & Darumurti. K, Otonomi Daerah-Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2003.

52 rumah tangga yang ditetapkan secara materiil, daerah-daerah dalam rumah tangga riil dapat mengatur dan mengurus pula semua urusan pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat atasnya; 3)Otonomi dalam rumah tangga riil didasarkan pada faktor-faktor nyata suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan-urusan rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.”

Dalam sistem rumah tangga riil,

lokalitas dari suatu daerah sangat

mewarnai kebijakan yang diambil oleh seorang Kepala Daerah sehingga sistem ini menjadi ideal bagi perkembangan suatu daerah yang memiliki lokalitas yang begitu beragam.

Penjelasan mengenai teori

pemerintahan daerah menjadi suatu

landasan filosofis untuk terlaksananya demokrasi hingga tingkatan lokal dalam hal ini Pemilihan KDH dan WKDH. Lebih lanjut bila ditinjau dari segi pemilihan KDH dan WKDH dalam bangunan sistem

pemerintahan daerah secara historis,

Indonesia mengalami beberapakali

perubahan dari awal kemerdekaan hingga sekarang.

53

5. Teori Pengisian Jabatan KDH dan

WKDH

Demokrasi berkonsekuensi pada

penyerahan kekuasaan secara “mutlak” kepada rakyat, meski demikian tidak serta merta pemimpin atau penguasa yang telah dipilih rakyat akan selamanya berada pada posisi tersebut. Apabila hal ini terjadi, justru akan menimbulkan sebuah tirani yang berakibat pada kekuasaan yang korup seperti disampaikan Lord Acton.50

Aristoteles dalam karyanya, Politics,

menjelaskan bahwa :51

“The Basis of a democratic state is liberty;which,

according to the common opinion of men, can only be enjoyed in such a state; this they affirm to be the great end of every democracy. One principle of liberty is for all to rule and be ruled in turn, and indeed democratic justice is the application of numerical not

proportionate equality”

Pada dasarnya demokrasi menganut prinsip keadilan numerik dan tidak berdasarkan pada keadilan jasa dimana sebaik-baiknya pemimpin atau penguasa tidak serta merta selamanya berhak ditunjuk menjadi pemimpin. Sehingga

Aristoteles mengemukakan suatu pendapat

bahwa pada akhirnya satu prinsip dari

kebebasan adalah hukum dan kembali kepada

50 Lord Acton menyatakan bahwa Power tends to corrupt and absolutely Power tends to corrupt absolutely.

51 Aristoteles, Politics, translated by:Benjamin Jowet, Batoche books, Kitchner:1999.

54

hukum itu sendiri sehingga perlu suatu

mekanisme rotasi jabatan publik yang

merepresentasikan suara rakyat lewat Partisipasi Politik.52

Sistem rotasi pengisian jabatan publik

merupakan suatu fenomena yang pasti terjadi dalam suatu birokrasi pemerintahan. Pengisian terkait jabatan publik (dan atau politis) sebagai KDH dan WKDH pun tak lepas dari sistem pengisian jabatan ini. Sistem pengisian jabatan KDH dan WKDH tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yakni penunjukan langsung dan sistem pemilihan. Sedangkan sistem pemilihan sendiri dibagi lagi dalam sistem pemilihan melalui perwakilan dan pemilihan langsung.53

Dalam studi ilmu politik, dikenal dua model dalam rekrutmen politik, yakni sistem terbuka dan sistem tertutup. Dalam sistem terbuka, semua warga negara yang memenuhi syarat tertentu (umur, kemampuan/kecakapan, dan pendidikan) mempunyai peluang yang sama untuk mengisi jabatan politik. Sementara, dalam sistem tertutup, pengisian jabatan politik

52 Menurut Robert P Clark, ada tiga jenis konsep partisipasi politik namun dalam hal ini yang dimaksud adalah pola perilaku untuk ikut terlibat aktif mempengaruhi rotasi pejabat publik melalui kegiatan pemilihan umum, memberikan suara, dan melakukan kampanye. (Robert P.Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta : 1986)

53 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005. Hal 102-106.

55

hanyalah melibatkan sekelompok kecil kalangan elite.54

a. Sistem Pemilihan

i. Pemilihan Langsung, sistem pemilihan langsung, dimaksudkan bahwa calon KDH dan WKDH dipilih secara langsung oleh rakyat yang memiliki Hak pilih. Sistem ini populer di Negara yang menganut sistem federal atau federasi, seperti Jerman, Amerika dan Kanada. Pelibatan rakyat

secara langsung dalam pemilihan

menyebabkan legitimasi dari proses hingga hasil pemilihan sangat besar.55

ii. Pemilihan Tak Langsung (perwakilan), sistem pemilihan perwakilan digunakan oleh dua pertiga negara yang menganut sistem kesatuan. Sistem ini bertumpu pada kemampuan elite politik dari parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (versi Indonesia) sebagai subjek perwakilan masyarakat. Melalui Dewan Perwakilan yang ada,

partisipasi masyarakat tidak secara

langsung dapat diberikan dalam memilih KDH dan WKDH karena seringkali terbatas pada suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

54 Mosche Czudnowski, Political Recruitment, dalam fredderick Greenstein-Nelson W. Polsby, Handbook of Political Science, Vo 2, dalam Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005.

56

Joko J. Prihatmoko mencatat, dalam sistem ini lazimnya digunakan sistem

mayoritas absolut maupun mayoritas

sederhana. Dalam mayoritas absolut,

Kepala Daerah diduduki calon yang

memperoleh suara lebih dari separuh jumlah pemilih (parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat) dengan konsekuensi pemilihan dilakukan dalam dua putaran. Sedangkan dalam mayoritas sederhana, calon yang memiliki suara terbanyaklah yang berhak ditetapkan sebagai Kepala Daerah.56

iii. Pemilihan Tak Langsung Semu, pemilihan perwakilan semu adalah mekanisme atau sistem Pemilihan Umum KDH dan WKDH yang seolah-olah dilakukan oleh DPRD namun penentu sesungguhnya adalah

pejabat pusat(pejabat yang memiliki

hierarki lebih tinggi).

b. Pengangkatan / Penunjukan langsung

Sistem penunjukan langsung

merupakan sistem yang sentralistik dari Pemerintah Pusat kepada daerah dalam hal pengangkatan KDH dan WKDH. Dalam sistem ini pejabat pusat memiliki kewenangan sangat tinggi dalam mengatur dan mengendalikan

56 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005

57

Kepala Daerah. Sistem ini berkembang di Indonesia semasa pemerintahan Orde Baru.57

Dalam penyelenggaraan Pemerintahan daerah peran seorang KDH dan WKDH sangatlah besar, hal ini tidak sama dengan pejabat legislatif yang ada sehingga meskipun dinyatakan bahwa kepala eksekutif sejajar dengan anggota legislatif namun prinsip

Primus Inter Pares(yang terutama dari yang

utama) berlaku didalamnya. Syaukrani

memaparkan beberapa alasan prinsip Primus Inter Pares berkaitan dengan jabatan KDH dan WKDH sebagai berikut:58

Seorang Kepala Eksekutif mempunyai tugas dan kewenangan tidak hanya untuk membuat kebijaksanaan, tetapi juga mengimplementasikannya, dan mengadakan evaluasi terhadap kebijaksanaan tersebut. Sementara itu, DPRD hanyalah membentuk kebijaksanaan publik, dan bahkan hampir sama sekali tidak terlibat dalam implementasi kebijaksanaan tersebut.

Seorang Kepala Eksekutif mempunyai tanggungjawab dalam bidang sosial, ekonomi dan keuangan, serta politik karena memang dipilih untuk itu, sementara seorang anggota DPR/DPRD hanyalah memiliki tanggung jawab dalam bidang politik saja. Dalam bidang sosial seorang Kepala Eksekutif harus memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan warga masyarakatnya, kemudian mewujudkannya dalam sejumlah langkah kebijaksanaan tertentu. Dia harus memikirkan bagaimana lingkungannya mengalami perkembangan kearah yang lebih baik, merangsang dengan sejumlah

57 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005

58 Syaukani H, HR. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002.

58 kebijaksanaan dengan insentif-insentif tertentu, sehingga akan membawa dampak yang positif bagi perkembangan perekonomian di daerahnya. Sementara itu, DPRD hanyalah mendukung dengan menyiapkan seperangkat legislasi yang kondusif.

Seorang Kepala Eksekutif harus memiliki kapasitas yang sangat tinggi untuk memobilisasi semua sumber daya yang ada di lingkungannya. Dia harus menggerakkan semua stafnya untuk terlibat secara maksimal, dan harus pula kreatif mendorong kegiatan ekonomi dan bisnis di daerahnya. Seorang Gubernur, Bupati, Walikota harus mencari inisiatif agar pajak dan retribusi di daerahnya dapat meningkat, melakukan lobi-lobi yang kuat dan meluas agar orang mau menanamkan modal di daerahnya sehingga, dengan demikian, lapangan kerja tersedia buat rakyatnya. Tugas-tugas seperti itu tidak merupakan hal-hal yang rutin yang dilakukan oleh DPRD. DPRD harus menyiapkan suasana politik lokal yang kondusif bagi masyarakat di daerahnya.

Sedemikian pentingnya peranan seorang

Kepala Daerah, menyebabkan pengisian

jabatan KDH dan WKDH menjadi begitu kompleks karena dipengaruhi berbagai faktor internal maupun eksternal. Pemilihan KDH dan WKDH itu sendiri mengalami perubahan konsep dan mekanisme dari waktu ke waktu.

6. Kepala Daerah dari waktu ke waktu

Secara historis, diawal kemerdekaan

pengangkatan pemerintah daerah dalam hal ini Kepala Daerah (KDH) dilakukan oleh pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai

59

saat itu merupakan KDH yang diangkat

sebelumnya pada masa penjajahan. Menurut Syarifin,59 UU No. 1 Tahun 1945 menganut sistem rumah tangga formal dimana KDH selain berkedudukan sebagai organ daerah otonom, berkedudukan juga sebagai alat pemerintah pusat didaerah karena KDH diangkat oleh Pemerintah Pusat, bukan dipilih oleh KND.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,

mengisyaratkan bahwa pemilihan KDH tingkat Provinsi diangkat oleh Presiden, dalam Pasal 18 Ayat (1) sebagai berikut;

“Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden

dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah provinsi”

sedangkan untuk KDH Kota/Kabupaten diangkat oleh Menteri Dalam Negeri, dalam Pasal 18 Ayat (2) sebagai berikut;

“Kepala Daerah Kabupaten (Kota Besar) diangkat

oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten (Kota Besar)”

sedangkan untuk Kepala Desa dan Kota Kecil diangkat oleh Gubernur, dalam Pasal 18 Ayat (3) sebagai berikut;

59 Syarifin. P & Jubaedah. D, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung: 2005.

60 “Kepala Daerah Desa (Kota Kecil) diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Desa (Kota Kecil)”

Menurut Joko J. Prihatmoko, berdasarkan interpretasi dari Penjelasan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa;

“Pada bagian penjelasan (Ad. 3) disebutkan,

ketentuan demikian karena Kepala Daerah adalah orang yang dekat kepada dan dikenal baik oleh rakyat didaerahnya. Oleh karena itu harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Atas dasar itu, dibandingkan dengan UU terdahulu dan bahkan setelahnya, nuansa demokrasi dalam arti membuka akses rakyat berpartisipasi, sangat tampak dalam Pemilihan KDH dan WKDH yang diatur dalam UU.

1/1957.”

Meski demikian dalam praktek demokrasi sesungguhnya partisipasi masyarakat tidaklah dilibatkan secara langsung. Hal ini dikarenakan pembentukan undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut perlu waktu lama, maka disiasati untuk sementara waktu pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD yang bersangkutan.60

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebagai berikut:

60 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005

61

Ayat (1) Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

Hal ini dipahami sebagai suatu proses pemilihan yang demokratis (demokrasi tidak langsung) dimana DPRD bertindak sebagai reperesentasi rakyat. Akan tetapi dalam Ayat (2) dan (3) Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 1965 dinyatakan pula:

Ayat (2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan diminta oleh Menteri Dalam Negeri untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangan tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.

Ayat (3) Apabila juga dalam pencalonan yang kedua seperti dimaksud dalam ayat (2) diatas tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka Presiden mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan.

Hal ini dipahami sebagai bentuk pengambil

alihan kekuasaan rakyat(pada DPRD) oleh

pemerintah pusat dalam menentukan Kepala Daerah.

9(sembilan) tahun setelah UU Nomor 18 Tahun 1965 muncul Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daeah sebagai revisi dari undang-undang

62

1974 berisi mengenai cara pemilihan KDH tingkat II(Kota/Kabupaten) :

Ayat (1) Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah.

Ayat (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan

Dokumen terkait