• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencitraan adalah salah satu bentuk komunikasi yang juga menuntut kesamaan makna sebagai hasil akhirnya. Pelaku pencitraan berharap agar masyarakat kemudian bisa memiliki kesan tentang diri, produk, perusahaan yang dicitrakan sesuai dengan yang diharapkan. Pencitraan sangat terkait erat dengan dimensi fisik, yaitu tempat berada. Seseorang akan mencitrakan diri secara berbeda ketika berada di tempat yang berbeda. Pencitraan juga terkait erat dengan dimensi sosial psikologis, yaitu lingkungan hubungan kejiwaan antara komunikator dan komunikan. Seseorang akan mencitrakan dirinya berbeda ketika berhubungan dengan orang dari status sosial ekonomi yang berbeda, tingkat pendidikan berbeda, kedekatan emosional yang berbeda dan sebagainya. Terakhir, pencitraan juga erat kaitannya dengan dimensi temporal, yaitu waktu dalam sehari

17

ataupun periode tertentu. Seorang politisi akan mencitrakan diri berbeda dalam masa kampanye dan sesudah terpilih.18

Pencitraan jika diuraikan dari akar katanya berasal dari kata citra ditambah dengan awalan pe(n)- dan akhiran –an. Pemberian imbuhan pe- dan –an pada kata benda mengakibatkan perubahan kata benda tersebut menjadi kata kerja. Sebagai ilustrasi, pewarnaan. Berasal dari warna (kata benda) ditambah pe- dan –an. Dimaknai sebagai sebuah proses memberikan atau menjadikan sesuatu menjadi berwarna. Demikian pula pencitraan. Merupakan proses memberikan citra terhadap sesuatu, bisa berupa produk, diri pribadi ataupun organisasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian citra adalah: (1) kata benda: gambar, rupa, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; (3) kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi. Frank Jefkins dalam bukunya Public Relations Technique, mengartikan citra sebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya.

Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Psikologi Komunikasi menyebutkan bahwa citra adalah penggambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas, citra adalah dunia menurut persepsi. Berdasarkan berbagai definisi citra tersebut, dapat disimpulkan bahwa citra bukanlah sebuah benda berwujud melainkan sesuatu yang ada dalam ranah kognitif seseorang. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa citra adalah fragile commodity, komoditas

yang rapuh, yang mudah rusak, karena citra sangat tergantung pada pemahaman orang dan pengalaman orang tentang sesuatu.19

Citra adalah jumlah dari keyakinan-keyakinan, gambaran-gambaran dan kesan-kesan yang dipunyai seseorang pada suatu objek. Sikap dan perilaku seseorang terhadap objek dibentuk oleh citra objek tersebut. Dalam pandangan Webster dalam Sutisna mendefinisikan citra sebagai gambaran mental atau konsep tentang sesuatu. Sementara pengertian citra menurut Sutisna sendiri adalah total persepsi terhadap suatu objek yang dibentuk dengan memproses informasi dari berbagai sumber setiap waktu. Citra sebuah organisasi, internasional maupun lokal merepresentasikan nilai-nilai konsumen. konsumen potensial, konsumen yang hilang dan kelompok-kelompok masyarakat lain yang mempunyai hubungan dengan organisasi.

Sementara menurut Terence A. Shimp citra merek dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul dalam benak konsumen ketika mengingat suatu merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran atau citra tertentu yang dikaitkan dengan suatu merek, sama halnya ketika kita berpikir tentang orang lain. Asosiasi ini dapat dikonseptualisasi berdasarkan jenis, dukungan, kekuatan, dan keunikan. Jenis asosiasi merek meliputi atribut, manfaat, dan sikap. Atribut sendiri terdiri dari atribut yang tidak berhubungan dengan produk, misalnya harga, pemakai dan citra penggunaan. Sedangkan manfaat mencakup manfaat secara simbolis dan manfaat berdasarkan pengalaman.20

19 Soleh Soemirat dan Ardianto, Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: Rosda, 2002, hal.10. 20 Kismiyati El Karimah dan Wahyudin, Filsafat dan Etika Komunikasi, Aspek Ontologis,

Epistemologis, dan Aksiologis dalam Memandang Ilmu Komunikasi. Bandung: Widya

Saat ini, hampir semua pihak yang berkepentingan dengan opini publik menyadari pentingnya mengelola citra. Seitel menyebutkan bahwa kebanyakan perusahaan meyakini bahwa citra perusahaan yang positif adalah esensial, sukses yang berkelanjutan dan dalam jangka panjang. Citra perusahaan yang positif diyakini akan mendatangkan goodwill dari publik terhadap perusahaan dan sebaliknya citra perusahaan yang buruk akan menjauhkan publik dari perusahaan. Namun demikian, citra adalah fragile commodity. Jika tidak dikelola dengan benar maka citra akan mudah sekali rusak, oleh karena itu meski citra adalah kesan, perasaan atau gambaran publik tentang perusahaan namun perusahaan tidak bisa membiarkan citra terbentuk dengan sendirinya. Citra positif harus dibentuk melalui proses pencitraan yang tepat.

Pencitraan sesungguhnya telah dilakukan manusia seiring dengan perkembangan peradabannya. Para pemimpin suku primitif misalnya, berkepentingan menjaga reputasi mereka dengan melakukan pengawasan terhadap para pengikutnya melalui penggunaan simbol, kekuatan, hal-hal yang bersifat magis, tabu atau supranatural. Pada zaman Mesir Kuno, untuk memelihara kesan publik akan keagungan rajanya maka didirikanlah bangunan- bangunan semacam piramida dan spinx dan memposisikan raja sebagai tuhan. Pada masa perkembangan peradaban Yunani dan Romawi, kesadaran akan pentingnya opini publik dan pencitraan juga sangat kuat. Karya seni dan sastera pada masa itu banyak diarahkan untuk menguatkan reputasi raja. Kaum bangsawan istana umumnya adalah ahli-ahli persuasi dan retorika yang luar biasa. Karya pidato Cicero, tulisan bersejarah Julius Caesar, bangunan-bangunan dan

ritual saat itu banyak digunakan sebagai media pembentukan opini publik dan pencitraan.

Lebih terperinci Frank Jefkins menguraikan citra menjadi lima kategori, yaitu citra bayangan (mirror image), citra yang berlaku (current image), citra yang diharapkan (wish image), citra perusahaan (corporate image) dan citra majemuk (multiple image). Mirror image adalah citra yang dibayangkan (ada dalam benak) orang dalam (diri pribadi) tentang kesan orang luar (orang lain) terhadap dirinya atau organisasinya. Citra ini seringkali tidak tepat, karena hanya merupakan ilusi. Current image, merupakan kebalikan dari citra bayangan. Citra yang berlaku adalah citra yang sebenarnya yang ada pada pihak luar atau pihak lain tentang diri atau organisasi kita. Dengan demikian tidak heran jika mirror image bisa sangat bertolak belakang dengan current image tergantung jumlah informasi yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Wish image, merupakan citra yang diinginkan oleh pihak manajemen. Citra yang diharapkan inilah yang umumnya kemudian diperjuangkan agar bisa terwujud. Corporate image, merupakan citra organisasi secara keseluruhan.21

Citra ini terbentuk oleh banyak hal antara lain kinerja dan keberhasilan perusahaan, hubungan yang baik dengan stakeholders dan sebagainya. Terakhir adalah multiple image atau citra majemuk. Citra jenis ini muncul karena perusahaan umumnya terdiri dari banyak komponen yang membangun. Bisa jadi orang memiliki citra positif terhadap produk yang dihasilkan sebuah perusahaan namun pada waktu yang bersamaan publik memberikan citra negatif terhadap pelayanan yang diberikan oleh staf perusahaan.

21

Pada dasarnya, setiap orang atau perusahaan menginginkan citra yang sesuai dengan harapannya. Oleh karena itu, mereka akan berusaha mengarahkan agar keempat jenis citra lainnya (mirror image, current image, corporate image, maupun multiple image) dapat memenuhi harapan mereka dengan cara melakukan pembentukan citra atau pencitraan.

Dalam konteks pencitraan, ketika kita membuat simpulan sementara atas pertanyaan pertama, bahwa pencitraan adalah proses untuk mendapatkan citra sesuai dengan harapan kita. Pencitraan adalah kesan yang timbul karena pemahaman atas sesuatu. Pemahaman itu sangat tergantung pada jumlah informasi yang dimiliki ataupun pengalaman yang dimiliki terhadap sesuatu itu. Sebagai ilustrasi, seorang adik akan memberikan kesan positif terhadap kakaknya yang menjadi pengamen jalanan, karena dia tahu persis bahwa kakaknya melakukan pekerjaan itu secara halal untuk membantu kebutuhan keluarganya. Sementara para pengendara jalan akan memberikan kesan negatif karena hanya mengetahui sedikit bahwa pengamen itu sudah mengganggu pengguna jalan.22

Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat dibuat simpulan bahwa kunci dari pencitraan terletak pada proses kognitif, bagaimana membuatpublik memahami diri kita atau perusahaan kita sesuai dengan yang kita harapkan. Untuk itu perlu diberikan informasi yang lengkap dan memadai sehingga mereka bisa memiliki pemahaman yang benar tentang diri dan perusahaan kita Pencitraan adalah upaya untuk membangun kesan publik (citra) terhadap diri atau perusahaan sesuai dengan harapan diri atau perusahaan itu sendiri (ontologis). Citra diperoleh melalui

pemahaman yang baik dari publik terhadap obyek yang dicitrakan. Oleh karena itu pencitraan dilakukan dengan memberikan informasimaupun pengalaman yang memadai kepada publik tentang obyek pencitraan (epistemologis). Nilai atau kegunaan pencitraan bisa bersifat subyektif maupun obyektif tergantung pandangan filsafatnya. Pencitraan bisa menjadi negatif jika hanya dilaksanakan dengan prinsip spin doctor atau machiavellis, yaitu memelintir informasi hanya supaya obyek pencitraan “tampak” bagus. Oleh karena itu, seyogyanya pencitraan tetap dilaksanakan dengan menggunakan prinsip kehumasan yang memperhatikan integritas dan berorientasi pada kepentingan publik.

1.6.3. Teori Kampanye

Kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua kontestan baik partai politik atau perorangan untuk memaparkan program-program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka. Kampanye merupakan kegiatan mempersuasi pemilih yang bertujuan untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas. Kampanye pada prinsipnya merupakan suatu proses kegiatan komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk menciptakan suatu efek atau dampak tertentu. Kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.23

23

Kampanye pada prinsipnya merupakan suatu proses kegiatan komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk menciptakan suatu efek atau dampak tertentu. Rogers dan Storey (1987) mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar

khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”. 24

Kampanye memberikan sebuah tindakan yang bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan didalam suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna memengaruhi, penghambatan, pembelokan pecapaian. Dalam sistem politik demokrasi, kampanye politis berdaya mengacu pada kampanye elektoral pencapaian dukungan, dimana wakil terpilih atau referenda diputuskan.

Selain itu terdapat pula jenis-jenis kampanye menurut Leslie B. Snyde yaitu:

1. Product Oriented Campaigns

Kampanye yang berorientasi pada produk, umumnya terjadi di lingkungan bisnis, berorientasi komersial, seperti peluncuran produk baru. Kampanye ini biasanya sekaligus bermuatan kepentingan untuk membangun citra positif terhadap produk barang yang diperkenalkan ke publiknya.

2. Candidate Oriented Campaigns

Kampanye ini berorientasi pada kandidat, umumnya dimotivasi karena hasrat untuk kepentingan politik. Contoh: Kampanye Pemilu, Kampanye Penggalangan dana bagi partai politik.

24

3. Ideologically or cause oriented campaigns

Jenis kampanye ini berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi sosial atau Social Change Campaigns (Kotler), yakni kampanye yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait. Contoh: Kampanye AIDS, Keluarga Berencana dan Donor Darah.

4. Jenis Kampanye yang sifatnya menyerang (attacking campaign)

Kampanye jenis ini terdiri dari Kampanye Negatif (Negatif campaign) dan Kampanye Hitam (Black Campaign). Dimana Negatif Campaign merupakan kampanye yang sifatnya menyerang pihak lain melalui sejumlah data atau fakta yang bisa diverifikasi dan diperdebatkan sementara Black campaign yaitu Kampanye yang bersifat buruk atau jahat dengan cara menjatuhkan lawan politik untuk mendapatkan keuntungan.25 Kampanye politik merupakan sebuah proses penciptaan, penciptaan ulang, dan pengalihan lambang signifikan secara berkesinambungan melalui komunikasi. Kampanye menggabungkan partisipasi aktif dari yang melakukan kampanye dan pemberi suara, yang melakukan kampanye berusaha mengatur kesan pemberi suara (khalayak) tentang mereka dengan mengungkapkan lambang-lambang yang oleh mereka diharapkan akan menghimbau para pemilih. Media yang digunakan oleh para pelaku kampanye, promotor dan jurnalis akan memainkan peran dalam media turut menciptakan dan memodifikasi lambang-lambang signifikan.26

25 Cahyono Faried, 2004, Pemilu 2004 Transisi Demokrasi dan Kekerasan, Yogyakarta:CSPS, hal.14.

26

Penetapan strategi dalam kampanye politik merupakan langkah krusial yang memerlukan penanganan secara hati-hati, sebab jika penetapan strategi salah atau keliru hasil yang diperoleh bisa fatal, terutama kerugian dari segi waktu, materi dan tenaga. Tujuan akhir dalam kampanye pemilihan kepala daerah adalah untuk membawa calon kepala daerah yang didukung oleh tim kampanye politiknya menduduki jabatan kepala daerah yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Agar tujuan akhir tersebut dapat dicapai, diperlukan strategi yang disebut dengan strategi komunikasi dalam konteks kampanye politik. Terdapat empat jenis strategi komunikasi dalam konteks kampanye politik yaitu:27

1. Penetapan komunikator

Sebagai pelaku utama dalam aktivitas komunikasi, komunikator memegang peranan yang sangat penting. Untuk itu, seorang komunikator yang akan bertindak sebagai juru kampanye harus terampil berkomunikasi, kaya ide serta penuh dengan daya kreativitas.

2. Menetapkan target sasaran

Dalam studi komunikasi target sasaran di sebut juga dengan khalayak. Memahami masyarakat, terutama yang akan menjadi target sasaran dalam kampanye, merupakan hal yang sangat penting. Sebab semua aktivitas komunikasi kampanye diarahkan kepada mereka. Mereka lah yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu kampanye sebab bagaimana pun besar biaya, waktu dan tenaga yang di keluar kan untuk mempengaruhi

27 Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: Rajawali Press. 2009, hal.271.

mereka, namun jika mereka tidak mau memberi suara kepada partai atau calon yang diperkenalkan, kampanye akan sia-sia.

3. Menyusun pesan-pesan kampanye

Untuk mengelola dan manyusun pesan yang mengena dan efektif, perlu di perhati kan beberapa hal, yaitu: (a) harus menguasai lebih dahulu pesan yang disampaikan, termasuk struktur penyusunan. (b) mampu mengemukakan argumentasi secara logis. Sehingga harus mempunyai alasan berupa fakta dan pendapat yang mendukung materi yang di sajikan. (c) memiliki kemampuan untuk membuat intonasi bahasa (vocal) serta gerakan-gerakan tubuh yang dapat menarik perhatian pendengar. (d) memiliki kemampuan membumbui pesan berupa humor untuk menarik perhatian pendengar.

4. Pemilihan media Bentuk-bentuk media

Pemilihan media Bentuk-bentuk media meliputi media cetak, media elektronik, media luar ruangan, media ruang kecil dan saluran tatap muka langsung dengan masyarakat.

1.6.4. Studi Terdahulu

Penelitian ini pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari penelitian- penelitian terdahulu yang pernah dilakukan. Penelitian terdahulu menjadi rujukan dan pembanding dalam penelitian ini. Ada beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Penelitian tersebut tentang “Strategi

pemenangan Partai Keadilan Sejahtera pada pemilu legislatif 2004 (studi di

Umarama dalam Tesisnya di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga memaparkan

Partai Keadilan Sejahtera memiliki basis massa yang kuat pada pemilu legislatif 2004 di Kabupaten Kepulauan Sula, ternyata berhasil memperoleh suara yang signifikan dan menduduki tempat ketiga setelah partai Golkar dan PDIP.

Banyak pihak menilai bahwa basis dukungan Partai Keadilan Sejahtera adalah kalangan Islam kota terdidik, ternyata dukungan Partai Keadilan Sejahtera di Kabupaten Kepulauan Sula sebagian besar berasal dari daerah yang tergolong bukan daerah perkotaan dan tingkat pendidikan masyarakatnya tidak terlalu tinggi. Selain itu Partai Keadilan Sejahtera minim dukungan tokoh-tokoh berpengaruh terhadap masyarakat, karena tokoh-tokoh yang telah lama mengakar sudah terserap kepartai-partai besar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi yang digunakan adalah perpaduan dari konsep manejmen pemasaran dengan konsep politik yang disesuaikan dengan karakteristik situasi dan kondisi masyarakat Kepulauan Sula yang terdiri dari tahapan perencanaan, meliputi, positioning, segmentasi dan targeting yang merupakan penerapan langsung dari program partai pada pemilu yang terdiri dari direct marketing, gerilya marketing dan logika menjaring massa. Logika menjaring massa ini meliputi: Logika ketokohan, logoka agama/ideologi, logika jaringan, logika pragmatisme, logika sosial budaya dan logika media.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dominan kemenangan Partai Keadilan Sejahtera adalah selain faktor ketokohan juga termasuk faktor Ideologi. Partai ini pada kenyataannya didukung oleh kaum Muslim dan oleh ketokohan para Ustad dan Da'i yang menjadi kader dan aktifis partai. Kedepan, untuk memperkuat posisi partai ditengah masyarakat yang plural maka langkah kongkrit

yang harus diambil adalah dengan menggeser secara bertahap loyalitas kepada tokoh menjadi loyalitas kepada partai. Pergeseran ini bertujuan untuk menumbuhkan loyalitas masyarakat pada partai dan bukan pada tokoh.

Penelitian berikutnya adalah Penelitian yang dilakukan oleh Sutanto pada tahun 2011 dengan Judul “Strategi Partai Demokrat dalam pemenangan pemilu

Legislatif 2009 Kota Semarang” di Fakultas Ilmu sosial Universitas negeri

Semarang dimana Sutanto memaparkan Partai politik dan kandidat perlu memikirkan strategi yang dapat menentukan kemenangan untuk meraih kursi kekuasaan tersebut. Seperti halnya dengan Partai Demokrat yang baru dua kali mengikuti pemilu, keluar sebagai peraih suara mayoritas secara nasional mengungguli peserta pemilu lainya.

Tujuan penelitian ini : Pertama, mengetahui strategi yang digunakan Partai Demokrat dalam pemilu legislatif 2009 di Kota Semarang, Kedua, mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Partai Demokrat dalam menerapkan strateginya dalam pemilu legislatif 2009 Di Kota Semarang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Lokasi penelitian di Kota Semarang yaitu DPC Partai Demokrat dan DPRD Kota Semarang. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan setidaknya terdapat beberapa strategi yang digunakan Partai Demokrat dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pemenangan pemilu legislatif 2009 di Kota Semarang. Strategi tersebut antara lain komunikasi yang meliputi jaringan kekuasaan tingkat lokal, sosialisasi, event, kampanye, money politic dan pencitraan meliputi figur, citra partai.

Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Kafi

Guemala Rampan pada tahun 2014 dengan Judul “Rekrutmen Caleg DPRD

Sumut dalam Partai Nasdem tahun 2014” di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara memaparkan bahwa dalam menghadapi Pemilihan Umum 2014, Partai Nasdem melakukan rekrutmen calon lehgislatif sehingga didapatkan nama-nama calon yang akan diusung partai untuk memperoleh kursi di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Proses penetapan rekrutment melalui beberapa tahapan yang diadakan DPW partai Nasdem. Tujuan penelitian ini Pertama, Untuk mengetahui bagaimana pola rekrutmen Caleg Partai Nasem di Sumatera Utara. Kedua, Untuk mengetahui langkah-langkah yang diambil partai nasdem dalam menentukan Caleg disetiap dapil.

Metode penelitian ini adalah Kualitatif dengan teknik pengolahan data deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan setidaknya terdapat 4 tahapan dalam mekanisme rekrutmen Calon Legislatif DPRD Sumatera Utara Partai Nasdem. Pertama, Pembentukan tim kerja pencalonan legislatif. Kedua, Pendaftaran Caleg. Ketiga,Verifikasi pencalonan caleg. Keempat, Penetapan dan pengusulan bakal calon legislatif kepada DPP. Proses pencalonan calon legislatif di partai Nasdem dirangkai dalam suatu tata cara penjaringan berdasarkan standard Partai Nasdem.

Namun, Penelitian saya ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dimana Penelitian yang saya lakukan tentang Strategi Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasional Demokrat Sumut dalam Memperoleh suara pada pemilu 2014, dalam penelitian ini saya akan meneliti Partai baru dan bertarung dalam pemilu dengan Parlementary Thrshold 3,5%.

1.7. Metodologi Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan metodologis yaitu deskriptif (melukiskan). Penelitian deskriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.28 Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa seperti yang dilakukan pada penelitian ekspalanatif berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori.29

1.7.1. Jenis Penelitian

Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitaif ini adalah konsekuensi metodologi dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa ”metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.30

28

Bambang Prasetyo dkk. 2005. Metode Penelitian Kuantitaif : Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 42.

29 Sanafiah Faisal. 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal. 20.

30

Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu objek,

Dokumen terkait