Teori James C. Scott tentang perlawanan berangkat dari kenyataan bahwa deskripsi dan analisis mengenai berbagai konflik politik selama ini didominasi oleh pemahaman tentang aksi-aksi politik yang bersifat terbuka dan terang-terangan. Studinya menemukan bahwa aksi-aksi perlawanan politis tidak selalu demikian. Ada bentuk-bentuk perlawanan yang ternyata memang sengaja disembunyikan. Tantangan terbuka dihindari karena dapat membawa konsekuensi-konsekuensi yang berat, bahkan ekstrim.156
Perlawanan ini awalnya ia namakan “perlawanan sehari- hari”157
untuk menjelaskan lokasinya sekaligus hakekatnya sebagai sesuatu yang sudah terjadi jauh sebelum suatu aksi perlawanan terbuka dan terang-terangan terjadi. Ini adalah aksi politis yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berada di bawah dominasi kelompok lain (subordinate groups) terhadap kelompok
155
Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 95.
156
Menurut Richter-Devroe ketersembunyian ini bukan berarti sama sekali tidak dilihat tetapi semata-mata tidak dideklarasikan secara publik sebagai perlawanan. Lihat Sophie Richter-Devroe, “Palestinian Women’s Everyday Resistance: Between Normality and Normalisation,” Journal of
International Women’s Studies, Special Issue Vol. 12 #2: 34.
157James C. Scott, “Everyday Forms of Resistance,” The Copenhagen
yang mendominasi mereka (the dominant).158 Dalam tulisannya yang diterbitkan pada tahun 1987, perlawanan ini Scott definisikan sebagai:
any act by a peasant (or peasants) that is intended
either to mitigate or deny claims (e.g.rents, taxes, corvee, deference) made on that class by superordinate classes (e.g. landlords, the state, moneylenders) or to advance peasant claims (e.g. to land, work, land, charity, respect) vis-a-vis those superordinate classes.159
Dalam definisi ini tindakan apapun dapat menjadi perlawanan karena dimaksudkan (intended) untuk mengurangi (mitigate) atau menolak (deny) klaim yang dibuat oleh kelompok dominan; atau untuk mengedepankan klaim-klaim yang dibuat oleh kelompok yang didominasi. Dengan definisi itu, Scott bermaksud memberikan suatu pemahaman yang lebih luas tentang perlawanan, yang selama ini dirasa terlalu sempit hanya pada perlawanan terbuka dan terorganisir. Perlawanan dapat mencakup apapun, baik perlawanan individual maupun kelompok, material maupun simbolik, dan mencakup baik yang gagal maupun yang sukses.160 Perlawanan ini hanya membutuhkan sedikit atau bahkan
tiada perencanaan sama sekali, dan sering hanya berupa perbuatan menolong diri sendiri. Ia biasanya menghindari konflik simbolik langsung melawan penguasa atau melawan norma-norma kaum
158 Seperti dikutip oleh Deborah Reed-Danahay, “Talking About
Resistance: Ethnography and Theory in Rural France” dalam Anthropological Quaterly Vol. 66 No. 4, Controversy: Hegemony and the Anthropological Encounter (Oct., 1993): 222.
159 James C. Scott, “Resistance Without Protest and Without
Organization: Peasant Opposition to the Islamic Zakat and the Christian Tithe,” Comparative Studies in Society and History, Vol. 29, Issue 3 (July 1987): 419.
160 George Holmes, “Protection, Politics and Protest: Understanding
Resistance to Conservation,” Conservation and Society, Vol. 5, No. 2, 2007: 185. Lihat James C. Scott, Weapons of the Weak:Everyday Forms of Peasant Resistance (New Haven: Yale University Press, 1985), 290.
elit.161 Dalam praktik sehari-hari ia dapat tampil dalam aksi-aksi
seperti menunda-nunda kerja (foot dragging), berpura-pura (dissimulation), patuh yang palsu (false compliance), menyerobot (pilfering), berpura-pura tidak tahu (feigned ignorance), mengumpat (slander), membuat kebakaran dengan sengaja (arson), mensabotase (sabotage), dan lain-lain.162
Dalam Domination and the Arts of Resistance, Scott membawa keluar konsep perlawanannya dari dunia petani dan lingkungan agraris kepada arena kehidupan politik yang lebih luas. Mereka yang melawan dan dilawan dikategorikan ke dalam yang didominasi dan yang mendominasi. Konsep perlawanan sehari- hari kini diganti dengan konsep transkrip tersembunyi (hidden transcript), untuk menekankan sifatnya yang tidak terpantau oleh mata penguasa atau kelompok dominan. Transkrip ini merupakan lawan dari transkrip publik (public transcript).
Metafor yang berada di balik kedua konsep ini adalah dunia teater (pementasan drama), yang diperkenalkan pertama kali oleh Erving Goffman.163 Sebagaimana Goffman, Scott sepakat bahwa kehidupan orang-orang yang didominasi bak menampilkan suatu pertunjukan di atas pentas. Penontonnya adalah kelompok dominan. Namun berbeda dari Goffman yang lebih fokus pada aksi orang-orang itu di atas pentas (on stage), Scott coba mengamati aksi mereka di balik pentas (offstage).164 Kalau di atas pentas,
161 Scott dalam Comparative Studies in Society and History, Vol. 29,
Issue 3 (July 1987): 419-420.
162 Idem, Weapons of the Weak, 29; juga Idem dalam The Copenhagen
Journal of Asian Studies Vol. 4 (1989): 34.
163 Goffman menamakan pendekatannya sebagai “The
perspective...of the theatrical perfomance....” Lihat Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York: Anchor Books, 1959), xi.
164 Mengomentari pendapat dua anthropolog yang membedah
pikiran-pikirannya, Scott dengan terus terang mengakui bahwa dalam tulisan- tulisannya ia memang lebih baik dalam mencermati detil-detil perlawanan dari pada detil-detil dominasi. Itu artinya ia lebih tajam melihat aksi-aksi di panggung belakang dari pada di panggung depan. Lihat James C. Scott, “Afterword to ‘Moral Economies, State Spaces and Categorical Violence” dalam American Anthropologist, Vol. 107, Issue 3, September 2005: 398.
menurut Goffman, orang fokus pada upaya untuk sintas (survived) di tengah dominasi, Scott memperlihatkan bahwa upayanya tidak itu saja. Dengan cara-cara yang tidak tampak kelompok yang didominasi juga melakukan perlawanan.165
Dalam interaksinya dengan pihak yang mendominasi kelompok yang didominasi mempergunakan dua macam transkrip atau dua naskah pertunjukan. Naskah pertama disebut transkrip publik, sementara naskah kedua disebut transkrip tersembunyi. Transkrip publik adalah naskah yang mengatur peran-peran yang dimainkan di hadapan kelompok dominan. Di dalamnya ucapan, sikap dan perilaku dibengkokkan secara sistematis supaya cocok dengan kemauan dan ekspektasi kelompok dominan. Orang-orang yang didominasi memperagakan sikap dan perilaku tunduk, patuh dan kalah; sementara pihak dominan ditampilkan sebagai yang kuat, berkuasa dan menang.166
Transkrip tersembunyi adalah naskah yang mengatur peran-peran yang dimainkan di antara sesama kaum yang didominasi, yang luput dari pengamatan kelompok dominan. Pertunjukan yang ditampilkan di sini berbeda.167 Perilaku, sikap
dan kata-kata yang diperagakan merupakan kebalikan dari yang diatur dalam transkrip publik. Kalau transkrip publik bermaksud menciptakan sebuah budaya dominan dan resmi maka transkrip tersembunyi bermaksud menciptakan sebuah sub-kultur yang bertentangan sekaligus melawan budaya yang coba dipaksakan oleh elit dominan.168 Isinya adalah perkataan-perkataan, isyarat- isyarat dan praktik-praktik yang menegaskan, menyangkal, atau
165 Goffman sebenarnya juga menulis buku lain yang membahas
hidup orang-orang yang dalam kategori Scott adalah orang lemah, yakni mereka yang memikul stigma-stigma tertentu. Namun lagi, tidak seperti Scott, di dalam buku itu Goffman kembali fokus meneliti upaya-upaya yang ditempuh orang-orang ini untuk dapat bertahan dalam situasi itu. Lihat Erving Goffman, Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity (New York: Simon & Schuster, Inc., 1963).
166 James C. Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden
Transcripts (New Haven: Yale University Press, 1999), 4.
167
Ibid.
mengubah apa yang tampak di dalam transkrip publik.169 Dengan
cara ini mereka melakukan apa yang disebut Scott “a labor of neutralization and negation”170—
sebuah usaha untuk menetralisasi dan menegasi apa yang terjadi di hadapan kaum dominan.
Perlawanan terhadap dominasi dapat diamati dengan membandingkan transkrip publik dan transkrip tersembunyi. Perbedaan yang nyata antara ucapan-ucapan, gerak-gerik dan praktik-praktik yang diperagakan menurut transkrip publik dan yang diperagakan menurut transkrip terselubung menjelaskan hadirnya perlawanan.171 Semakin kuat dominasi dirasakan maka
akan semakin tidak cocok pula kehidupan yang diperagakan oleh kelompok yang didominasi di hadapan kelompok dominan dengan yang diperagakan di antara mereka sendiri.
Lewat teori ini Scott bermaksud memperlihatkan bahwa bahkan dalam suatu situasi paling hegemonik sekalipun kaum lemah, atau kaum minoritas, atau kaum yang didominasi tidak pernah betul-betul tunduk atau menyerah begitu saja kepada kemauan kelompok dominan. Mereka juga melawan.
Scott mengkritik konsep Marxist tentang kesadaran palsu (false consciousness)dan konsep Gramscian tentang hegemoni yang dipandang gagal melihat hadirnya perlawanan.172 Dua konsep ini pada dasarnya menunjuk kepada sikap tinggal diam (quiesence) terhadap kondisi-kondisi sosial yang membuat orang yang ditindas menjadi tertindas. Orang yang tertindas tidak melawan karena kesadaran mereka, oleh operasi cerdik kapitalisme, telah dipisahkan dari situasi historis-material hidupnya. Akibatnya, akar-akar persoalan penindasan, kemiskinan dan ketidakadilan tidak lagi dilihat bersumber dari tatanan sosial kehidupannya. Konsekuensinya, orang lantas merasa tidak perlu melakukan
169 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 4-5. 170 Ibid., 111.
171
Ibid., 5.
perubahan apa-apa pada situasi historis-material tersebut.173 Meski demikian Marx yakin sekali bahwa ketika beban sudah tidak tertanggungkan lagi maka kesadaran palsu ini akan sirna. Akan muncul kesadaran sejati dan sebuah revolusi sosial yang akan mengubah segalanya. Namun revolusi yang ditunggu-tunggu itu tak kunjung datang. Gramsci coba memperbaiki konsep Marx tentang kesadaran palsu dengan menawarkan konsep tentang hegemoni. Revolusi sosial gagal bukan karena kesadaran palsu melainkan karena keberhasilan kelompok dominan, melalui sebuah operasi ideologis-kultural, mempersuasi kelompok yang didominasi untuk malah memilih dan mendukung kekuasaan atau hegemoni yang mendominasi mereka.174
Namun dengan tetap timbulnya aksi-aksi atau gerakan- gerakan perlawanan terbuka di kemudian hari membuat Scott meragukan penjelasan Gramsci. Kalau semua orang telah setuju untuk hidup di bawah rezim yang mendominasinya lalu kenapa pada suatu titik perlawanan masih muncul juga? Kalau perlawanan terbuka dapat timbul lalu mungkinkah ia bisa muncul tiba-tiba? Scott percaya bahwa jauh lebih masuk akal untuk menerima bahwa perlawanan terbuka itu sudah didahului oleh kehadiran aksi-aksi perlawanan yang luput dari pengamatan kelompok dominan.175 Jauh di lubuk hatinya orang-orang yang kelihatannya tunduk sebenarnya tidak mau tunduk. Lalu, bagaimana bisa terjadi bahwa di satu pihak tampil ketundukan sementara di waktu lain timbul perlawanan terbuka? Gagasan Scott tentang perilaku di atas pentas dan di bawah pentas menyelesaikan masalah ketegangan itu. Apa yang tampil sebagai ketundukan sesungguhnya hanyalah peragaan di atas pentas (on stage), di depan mata kelompok dominan saja. Tetapi, di ruang
173 Robert C. Tucker, ed. The Marx-Engels Reader (New York: W.W.
Norton & Company, 1978), 158-159.
174 Lihat Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith, eds., Selections
from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci (New York: International Publishers, 1987), 9-14. Tokoh dan lembaga yang dicatat Gramsci memainkan peran penting di sini adalah kaum intelektual dan sekolah.
175 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 5-8, khususnya
sosial yang lain, yakni di bawah pentas (off stage), naskah yang diperagakan berbeda. Di tempat yang tidak terjangkau oleh pengamatan kelompok dominan itu, diperagakanlah sebuah “pertunjukan” sosial di mana kekuasaan kelompok dominan disangkali, ditolak dan dilawan.
Meski transkrip tersembunyi dimaksudkan untuk peragaan di pentas belakang yang tidak teramati oleh penguasa, hal itu tidak selalu berarti bahwa transkrip ini tidak pernah satu kalipun dipertunjukkan di atas pentas di depan penguasa. Dengan bentuk- bentuk yang diselubungkan transkrip tersembunyi ini juga diperagakan di depan mereka. Scott mengumpamakan perbuatan ini seperti perbuatan seorang editor koran oposisi yang bekerja di bawah peraturan sensor yang ketat. Untuk menyampaikan pesan- pesan perlawanan dari kelompok oposisi ia memakai cara-cara yang terlihat sah secara hukum sehingga tidak tampak sebagai perlawanan terhadap penguasa.176
Ada dua teknik utama yang dipergunakan. Yang pertama
menselubungkan pesan perlawanan; sementara yang kedua
menyembunyikanpenyampai pesan. Teknik-teknik dalam kategori pertama dipergunakan ketika pihak yang melawan dikenali, sementara pada teknik yang kedua ketika pesan perlawanan secara sengaja dibuat untuk dikenali. Selain dua teknik utama ini masih ada lagi sebuah teknik lain, yakni menselubungkan pesan dan pembawa pesan perlawanannya sekaligus.177
Dalam teknik penyembunyian pesan perlawanan, bentuk- bentuk yang umum dipakai adalah anonimitas, eufemisme dan bersungut-sungut.178 Anonimitas timbul dalam situasi di mana pengungkapan diri dapat membahayakan keselamatan orang yang melawan. Pesan anonim membuat identitas orang yang melawan tetap terlindungi. Eufemisme adalah kebalikannya. Di sini orang yang melawan dikenali. Ia dipergunakan agar pesan penolakan
176
Scott, Domination and the Arts of Resistance, 138.
177
Ibid., 139
dan perlawanan tidak tampak sebagai perlawanan. Dalam bersungut-sungut, yang melawan dan dilawan sama-sama berhadap-hadapan. Sebagai ungkapan ketidakpuasan dan ketidaksukaan, sungut-sungut sulit dibuktikan sebagai kejadian perlawanan.
Selain tiga bentuk dasar itu, masih ada lagi bentuk-bentuk penyelubungan yang lain, yang lebih kompleks (elaborate forms).179 Di sini perlawanan dilakukan secara lebih terbuka di ruang publik sambil terus berpegang pada prinsip kecerdikan dan kehati-hatian dalam menantang transkrip publik. Unsur-unsur budaya, dalam hal ini unsur-unsur dari budaya rakyat dan budaya populer, menjadi medium untuk menyusupkan pesan-pesan perlawanan di dalam transkrip publik.180 Medium budaya sengaja dipilih karena sifatnya yang ambigu (bermakna ganda), multivalen (bersisi banyak), dan polisemis (bermakna banyak). Sifat-sifat ini memungkinkan unsur-unsur makna yang bersifat perlawanan dapat disusupkan ke dalam praktik-praktik budaya yang sudah dikenal sehingga perlawanan tampil halus dan tidak frontal.
Karnaval adalah medium budaya yang banyak dipergunakan.181 Karnaval dipilih karena hakikatnya sebagai suatu
peristiwa yang lain dari biasanya. Aturan-aturan normal yang mengatur interaksi orang satu sama lain, dalam karnaval, tidak lagi berlaku. Selain itu dengan derajat anonimitas yang tinggi, di antaranya dengan penggunaan topeng, membuat karnaval memungkinkan orang untuk melakukan apa saja. Orang diizinkan tampil beda dan dapat menyampaikan hal-hal yang dalam kehidupan biasa adalah tabu. Menariknya, perbedaan itu justru disukai karena membuat karnaval menjadi meriah. Karenanya karnaval menjadi medium yang disukai untuk menyampaikan kritik kepada penguasa.
179
Scott, Domination and the Arts of Resistance, 156-182.
180
Ibid., 157.
Selain karnaval, tradisi-tradisi lisan, yakni cerita-cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut, adalah cara lain yang dipilih untuk menyampaikan pesan perlawanan.182 Ia dipilih karena menyediakan kemungkinan anonimitas yang amat besar dan tidak mengenal bentuk permanen. Sebuah kisah di mulut yang satu bisa menjadi kisah yang berbeda di mulut yang lain. Tidak ada teks standar untuk mengukur penyimpangannya. Sebuah kisah senantiasa disesuaikan, direvisi, diringkas atau bahkan dapat diabaikan.183 Manakala kisah-kisah itu sudah tidak mampu lagi
melayani kepentingan yang mau diperjuangkan kisah-kisah itu dibiarkan lenyap dengan sendirinya.
Selain tradisi lisan, cerita-cerita rakyat dan dongeng- dongeng tentang kecerdikan orang atau binatang tertentu, atau gambar-gambar yang melukiskan dunia yang terbalik turut menyimpan pesan-pesan perlawanan terhadap dominasi di baliknya.184
Sebagai sebuah subkultur yang terpisah dari budaya resmi atau budaya dominan, seluruh budaya kelompok yang didominasi Scott sarankan supaya dipahami sebagai bayangan dari upaya- upaya menyusupkan transkrip tersembunyi atau perlawanan ke dalam transkrip publik. Hal itu harus demikian karena budaya suatu kelompok masyarakat tidak bisa dipisahkan dari lokasi sosial kelompok tersebut.185 Lokasi tersebut melahirkan nilai-nilai dan
182
Scott, Domination and the Arts of Resistance, 160-162.
183 Ibid., 161. 184 Ibid., 182-172.
185 Sudut pandang sosiologis, khususnya dari perspektif konflik,
melihat budaya sebagai produk dari konflik kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan kelompok. Tiap-tiap kelompok memiliki budayanya masing-masing dan terlibat dalam konflik memperebutkan pengaruh dalam budaya nasional. Lihat William E. Johnson & Joseph V. Hickey, Society in Focus: An Introduction to Sociology (Boston, MA.: Allyn & Bacon, 2012), 79. Berbicara dengan cara yang berbeda, Stuart Hall turut menekankan lokasi sosial dan ekspresi kultural seseorang. Ia mengatakan bahwa orang menulis dan bicara dari “a particular place and time, from a history and a culture which is specific.” Ia kemudian melanjutkannya dengan memberi contoh dirinya sendiri sebagai orang yang menulis dan bicara dari suatu lokasi sosial
pengalaman-pengalaman yang khas, yang kemudian muncul dalam bentuk atau ekspresi yang khas pula. Sebagai kelompok yang kurang beruntung atau ditindas situasi semacam ini kemudian mendorong terciptanya suatu gambaran hidup tersendiri, yang berlawanan dengan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran-gambaran itu lalu diekspresikan di dalam budaya yang diproduksi oleh kelompok tersebut.
Mengapa memilih budaya untuk mengekspresikan perlawanan? Menurut Scott hal itu disebabkan oleh tidak efektifnya pengawasan di wilayah budaya. Tidak seperti di wilayah-wilayah politik dan ekonomi di mana kontrol kekuasaan amat terasa dan dapat sangat efektif, dalam wilayah budaya efektivitas kontrol rendah. Orang masih memiliki ruang yang cukup leluasa untuk memutuskan apa yang harus diterima atau tidak diterima, dan diteruskan atau dibiarkan sampai di sini saja. Lalu, untuk membenarkan posisi sosialnya sebagai yang dominan, kelompok dominan mempergunakan suatu strategi budaya. Untuk mematahkan dominasi itu, budaya yang menjustifikasi kekuasaannya harus diserang. Elemen-elemen budaya merupakan sarana perlawanan yang ampuh karena hakikatnya sebagai sebuah simbolisme dan metafor yang multivalen. Hal itu membuat pesan perlawanan dapat diselubungkan, bahkan dalam baju budaya dominan.186 Tikaman kepada dominasi dapat dilakukan tanpa harus terlihat sebagai pembunuhan karena kemampuan simbol- simbol budaya untuk membawakan makna yang majemuk.
Kalau penyelubungan dilakukan untuk membuat perlawanan tidak kelihatan, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: masihkah ia dapat disebut sebagai sebuah perlawanan? Dapatkah ia dikategorikan sebagai sebuah perjuangan politis yang bermaksud untuk mengubah sesuatu? Dari perspektif perjuangan kelas, dapatkah tindakan-tindakan perlawanan yang dilakukan tertentu dari mana ia berasal. Lihat Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora,” Identity: Community, Culture, Difference, ed. J. Rutherford, (London: Lawrence & Wishart, 1990), 222-223.
secara individual diterima dan dipahami sebagai cerminan perjuangan kolektif kelas? Apalagi bila mengingat tiadanya pemimpin dan ideologi yang mengarahkan dan menjadi basis perlawanan? Menurut Scott, apa yang dilakukan tidak bisa dikatakan tidak politis hanya gara-gara tidak diungkapkan secara terang-terangan dan terbuka. Apa yang dilakukan oleh kelompok yang didominasi tetap politis karena hal itu ditujukan untuk mencapai perubahan sifat hubungan di antara kedua belah pihak, dan kedua belah pihak dengan suatu hal yang diperebutkan.187
Dalam hal ini masalah penyelubungan lebih terkait dengan taktik perjuangan. Ia tidak ada hubungannya dengan soal sifatnya yang politis atau tidak.
Di pihak lain, perlawanan ini merupakan bagian dari sebuah aksi kolektif karena aksi-aksi individu tidak bisa dilakukan secara terus-menerus tanpa kerja sama diam-diam dengan individu-individu lain.188 Ada mekanisme-mekanisme tertentu yang dijalankan di dalam dan oleh kelompok untuk memastikan bahwa tindakan individu demi individu sejalan dengan kepentingan dan perjuangan kelompok. Mekanisme-mekanisme itu pada dasarnya berisi insentif dan sanksi sosial. Di satu pihak memberi upah kepada yang mengikuti norma-norma kelompok dan di pihak lain menjatuhkan hukuman pada yang merusak kepentingan kolektif.189
Teori perlawanan Scott menawarkan sesuatu yang lebih baik dari tiga perspektif teori sebelumnya. Tiga teori sebelumnya lebih banyak melihat persoalan asimilasi dari sudut pandang kelompok dominan. Karenanya, ketiganya tidak memadai dalam menjelaskan aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok minoritas terhadap berasimilasi. Kuatnya perspektif kelompok dominan, apakah itu negara dan pemerintah atau masyarakat lokal penerima para imigran, ditunjukkan secara amat jelas dalam teori-teori
187 Scott dalam The Copenhagen Journal of Asian Studies Vol. 4 (1989):
34.
188 Ibid., 36.
asimilasi klasik. Teori-teori asimilasi kontemporer coba melengkapi kekurangan itu dengan perhatian serius kepada pelaku asimilasi (agency), yang dapat memilih ke mana arah asimilasinya. Namun demikian dua teori ini tidak memberi kerangka yang cukup untuk memahami motif relasi kekuasaan di balik pilihan- pilihan yang diambil. Lebih dari itu, seperti yang dipikirkan Scott, interaksi kelompok minoritas dan kelompok dominan hanya diamati dari satu sudut pandang, yaitu interaksi keduanya di atas pentas. Tidak ada penetrasi ke dalam interioritas kelompok minoritas untuk melaporkan sejauh mana asimilasi yang tampak di depan adalah kenyataan yang juga sungguh terjadi di belakang.
Teori Scott lebih baik pertama-tama karena teori ini memberikan definisi yang cukup luas tentang apa itu kelompok dominan dan kelompok yang didominasi. Dalam kelompok dominan ada negara, pemerintah, masyarakat dan orang-orang yang berkuasa. Sementara dalam kelompok yang didominasi ada petani, etnis minoritas, kelas sosial tertentu dan lain-lain. Selanjutnya, teori ini lebih baik karena memberi perhatian besar kepada cara-cara yang ditempuh oleh orang atau kelompok yang didominasi dalam mensiasati situasi dan kondisi hidupnya. Titik berangkatnya adalah dari kelompok yang didominasi dan cara- cara mereka menghadapi operasi kekuasaan. Teori ini juga lebih memadai karena menawarkan suatu kerangka yang cukup untuk memahami pilihan-pilihan respons yang diambil oleh anggota- anggota kelompok minoritas terhadap tekanan untuk berasimilasi. Tindakan-tindakan mereka tidak saja dicermati dari posisi berhadap-hadapan secara langsung dengan kelompok dominan