• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 D 762008002 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 D 762008002 BAB II"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORETIS

Secara keseluruhan, proyek disertasi ini pertama-tama menyentuh persoalan perlawanan kelompok minoritas terhadap kebijakan yang diberlakukan negara atas mereka, khususnya perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di dalam Gereja Kristus Tuhan terhadap kebijakan asimilasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Orde Baru. Karena kebijakan asimilasi ini ditujukan kepada orang-orang dengan kebudayaan tertentu demi membawa mereka ke dalam “conformity with the customs, attitudes, etc., of a dominant cultural group of national culture”1 maka teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini

dimaksudkan untuk mengeksplorasi perlawanan yang mereka lakukan terhadap pelaksanaan kebijakan itu. Asumsi-asumsi teoretis kunci yang melandasi studi ini adalah bahwa perlawanan merupakan suatu keniscayaan dalam relasi dengan kekuasaan dan bahwa perlawanan itu beraneka ragam rupanya.2 Berangkat dari asumsi-asumsi inilah maka studi ini akan fokus kepada cara-cara yang ditempuh dalam melakukan perlawanan, di mana itu dilakukan dan apa saja bentuk perlawanannya.

Uraian kerangka teori ini akan dimulai dengan suatu uraian mengenai hasil-hasil penelitian terdahulu tentang orang Tionghoa di Indonesia. Dari situ kemudian diuraikan tiga konsep kunci yang dipakai di sini, yaitu kebijakan asimilasi, identitas nasional dan perlawanan. Bagian berikutnya akan mengeksplorasi sejumlah pikiran tentang asimilasi dan perlawanan yang ditujukan kepadanya. Teori-teori tentang asimilasi akan dikaji secara kritis

1 “Assimilation” dalam Alexander J. Motyl, ed., Encyclopedia of

Nationalism: Leaders, Movements, and Concepts (San Diego, CA.: Academic Press, 2001), 29.

2 Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. I

(2)

untuk menemukan kontribusinya kepada studi ini. Sejumlah teori tentang perlawanan juga akan turut dikaji dalam cara yang sama untuk menyiapkan jalan kepada bangun teori yang akan dipergunakan dalam penelitian ini.3 Uraian ini akan mencakup

garis besar pemikiran teori-teori itu dan bagaimana keterbatasan teori-teori tersebut dalam menjelaskan fenomena sosial yang diteliti. Bagian berikutnya merupakan inti dari bab ini di mana teori perlawanan sehari-hari yang digagas James C. Scott akan diuraikan dan disusun untuk dipergunakan memahami fenomena sosial yang diteliti di sini.

A. Tinjauan atas Hasil-hasil Studi Tentang Asimilasi Orang Tionghoa di Indonesia

Studi-studi awal tentang asimilasi orang-orang Tionghoa di Indonesia memperlihatkan bahwa kegagalan asimilasi itu disebabkan oleh situasi sosial-politik yang mengitari kehidupan orang-orang Tionghoa. Unger mencatat bahwa kegagalan itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama adalah pembatasan-pembatasan yang dikenakan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang memisahkan orang-orang Tionghoa dari non-Tionghoa; dan yang kedua adalah karena kebangkitan nasionalisme Tiongkok yang melanda orang-orang Tionghoa sejak mulai awal abad ke-20. Keduanya membuat orang-orang Tionghoa lebih mengorientasi-kan hidupnya kepada Tiongkok, negara asalnya, dari pada kepada negara di mana para perantau ini berdiam.4

3 The Editors of Salem Press, Theories of Social Movement dalam seri

Sociology Reference Guide (Pasadena, CA.: Salem Press, 2011); Per Herngren, Path of Resistance: The Practice of Civil Disobedience, e-book, (Gabriola Island, B.C.: New Society Publishers, 2004); Henry David Thoreau, On the Duty of Civil Disobedience, e-book; Stuart Hall & Tony Jefferson, Resistance through Rituals: Youth subcultures in post-war Britain (London: Routledge, 2006); Kevin O’Brien & Lianjiang Li, Rightful Resistance in Rural China (Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 2006); Stephen Gill, Power and Resistance in the New World Order (New York: Palgrave Macmillan, 2008).

4 Leonard Unger, “The Chinese in Southeast Asia,” Geographical

(3)

Skinner menambahkan kesimpulan lain kepada studi Unger dengan mendiferensiasikan level asimilasi pada dua kategori. Pada ketegori pertama yang bersifat spasial, level asimilasi akan berbeda untuk wilayah yang berbeda. Di sejumlah tempat seperti di Sumatera dan Kalimantan, kebudayaan asli Tionghoa masih kuat dipertahankan; sementara di daerah-daerah lain seperti di Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Maluku dan Bali, pengaruh budaya setempat lebih kuat mempengaruhi mereka.5 Pada kategori kedua yang bersifat sosial-kultural, dan secara khusus di Jawa, ada dua macam orang Tionghoa dengan dua macam derajat asimilasi.6 Orang Tionghoa peranakan, oleh karena

sudah lama tinggal di Jawa, telah menyerap kebudayaan setempat sebagai bagian dari identitas sosialnya sementara orang Tionghoa totok, yang belum begitu lama menetap, memperlihatkan karakteristik budaya asli yang lebih kuat. Secara sosial, budaya, ekonomi dan politik mereka masih berorientasi ke Tiongkok, ke negeri asalnya.

Setelah Indonesia merdeka, timbul dua kategori lain tentang orang Tionghoa di Indonesia. Keduanya adalah orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia (Tionghoa WNI) dan orang Tionghoa yang berkewarganegaraan asing (Tionghoa WNA). Terhadap asimilasi, Skinner tidak menjelaskan sikap apa saja yang muncul di kalangan orang Tionghoa WNA. Namun pada kelompok orang Tionghoa WNI Skinner mendapati dua sikap berbeda. Kelompok pertama, yang umum disebut kelompok integrasionis, menentang asimilasi yang dipaksakan meski tetap ingin menjadi bagian integral dari negara Indonesia sebagai kelompok etnis yang terpisah. Kelompok kedua, yang sering disebut kelompok asimilasionis, menerima dan mendukung asimilasi, bahkan menginginkan supaya hal itu dapat diwujudkan secepat mungkin.

5 Skinner dalam Mely G. Tan, ed., Golongan Etnis Tionghoa di

Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta: PT Gramedia, 1979), 9.

(4)

Studi Tan Giok Lan pada pertengahan tahun 50-an,7 menemukan bahwa orang Tionghoa WNI dapat dikatakan ekuivalen dengan orang Tionghoa peranakan sementara orang Tionghoa WNA dengan orang Tionghoa totok. Namun demikian apa yang dikatakan tentang orang Tionghoa peranakan sebagai yang sudah berasimilasi oleh Giok Lan ditemukan baru sampai pada tahap akulturasi budaya saja. Elemen-elemen tertentu dari kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu budaya jenis baru yang Giok Lan sebut sebagai budaya peranakan.8 Pada orang-orang Tionghoa totok, ia menemukan hampir tidak ada keinginan untuk berasimilasi ke dalam masyarakat di mana mereka berada. Orientasi sosial, budaya dan politiknya adalah kepada Tiongkok (Tiongkok komunis) atau Taiwan (Tiongkok nasionalis).

Baik Lea F. Williams maupun Leo Suryadinata sama-sama sepakat bahwa keengganan itu disebabkan oleh faktor pendidikan yang diterima di sekolah-sekolah asing Tionghoa. Dengan guru-guru yang berorientasi kuat kepada Tiongkok atau Taiwan dan dengan kurikulum pendidikan yang berisi indoktrinasi nasionalisme Tiongkok maka siswa-siswi tersebut sulit untuk dibawa ke arah asimilasi.9 Meski demikian, Williams sepakat dengan Unger bahwa ada faktor-faktor eksternal yang turut mendesak mereka ke pilihan tersebut. Kondisi sosial dan politik Indonesia yang kurang bersahabat pada zaman itu telah menimbulkan perasaan tidak aman pada orang-orang Tionghoa

7

Tan Giok Lan, The Chinese of Sukabumi: A Study in Social and Cultural Accomodation (Ithaca, NY.: Cornell University Press, 1963).

8 Ibid., 277.

9 Lea F. Williams, “Nationalistic Indoctrination in the Chinese

(5)

WNA. Hal itu mendorong mereka mencari perlindungan kepada Tiongkok dan mengidentikkan diri dengannya.10

Dalam studinya atas kehidupan orang Tionghoa pada dekade 60-an, Charles A. Coppel meneguhkan salah satu kesimpulan Giok Lan yang mengatakan bahwa jalan yang sedang ditempuh oleh orang-orang Tionghoa belum bisa dikatakan sebagai berasimilasi. Namun berbeda dari Giok Lan, dari perspektif politik Coppel menyimpulkan bahwa yang dilakukan baru akomodasi. Mereka sekedar mengadaptasikan diri dengan situasi dan keadaan sosial-politik di Indonesia yang menuntut kejelasan identitas dan loyalitasnya.11 Karenanya, dalam

pandangannya kategori peranakan dan totok, yang dibangun di atas pemakaian bahasa Tionghoa, jadi tidak relevan untuk mendefinisikan orang Tionghoa. Pun nama Tionghoa tidak.12

Sebagai gantinya, ia menawarkan definisi yang bersifat fungsional di mana seorang adalah orang Tionghoa karena memerankan diri sebagai bagian dari kelompok orang-orang Tionghoa.13

Bagi Suryadinata kategori totok dan peranakan masih tetap relevan. Begitu pula dengan gagasan asimilasi. Bahkan, dalam soal berasimilasi keduanya menampilkan pola perilaku yang sama.14 Pada generasi tua asimilasi terpaksa dilakukan demi

menyesuaikan diri dan dengan kecepatan yang lambat sekali. Pada generasi yang lebih muda dengan sikapnya yang lebih responsif, hasil yang dicapai oleh generasi muda Tionghoa peranakan adalah makin menyerupai masyarakat pribumi, sementara pada generasi muda Tionghoa totok hasilnya adalah makin serupa dengan Tionghoa peranakan, sebelum akhirnya akan menjadi indonesia sepenuhnya.

10

Williams, Comparative Education Review, Vol. 1, No. 3 (Feb., 1958): 16-17.

11 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1994).

12 Ibid., 33. 13 Ibid., 26.

14 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti

(6)

Mely G. Tan dan Thung Ju Lan serta peneliti-peneliti lain di kemudian hari menindaklanjuti gagasan asimilasi di level generasi yang berbeda. Seperti Suryadinata didapati bahwa derajat asimilasi akan berbeda untuk tiap generasi yang berbeda.15 Ju Lan

menerobos jauh lebih ke dalam dengan menganalisis derajat asimilasi pada generasi yang lahir pada tahun 30-an, 40-an, 50-an, 60-an dan 70-an. Dua generasi pertama cenderung masih tebal dan kuat identitas Tionghoanya.16 Pada generasi yang ketiga,

ketionghoaannya lebih ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Jika ia lebih banyak bergaul dengan orang Tionghoa totok maka identitas Tionghoanya akan lebih kuat; sementara bila lebih banyak bergaul dengan orang Tionghoa peranakan dan pribumi maka akan lebih dekat ke situ. Untuk dua generasi terakhir, situasinya benar-benar berbeda. Mereka benar-benar sudah “lepas dari ikatan tradisi dan adat-istiadat leluhur.”17 Meski demikian

Tan memberi catatan bahwa pada generasi yang terakhir ini tetap juga ada pengecualian, khususnya pada level relasi antar kelompok. Ada kecenderungan bahwa anak-anak muda Tionghoa ini tetap merasa lebih nyaman dan leluasa berhubungan dengan sesama Tionghoa dari pada dengan orang non-Tionghoa.18

Kesimpulan ini diteguhkan oleh riset Juliette Koning pada sejumlah pengusaha Tionghoa di kota Yogyakarta.19 Meski merasa

15 Mely G. Tan, “The Ethnic Chinese in Indonesia: Issues of

Identity” dalam Mely G. Tan, ed., Etnis Tionghoa di Indonesia, 177-178; Thung Ju Lan “Susahnya Jadi Orang Cina: Ke-Cina-an sebagai Konstruksi Sosial” dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), 184-187.

16 Observasi yang dilakukan Abdul Wahid pada sejumlah responden

di Yogyakarta, yang dipublikasikan pada tahun 2003 juga menemukan kesimpulan yang sama. Generasi tua, yang berumur 60-70 tahun, memiliki “orientasi ke-Tionghoa-an yang kental” sementara pada generasi muda umumnya “tidak lagi memiliki orientasi ke-Tionghoa-an yang kuat.” Lihat Abdul Wahid, “Proses Menjadi (Tidak) Indonesia? Persepsi dan Memori Massa-Rakyat Tionghoa di Yogyakarta” dalam Budi Susanto, SJ., ed. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 65-102.

17 Ju Lan, dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar, 184-187. 18 Tan dalam Mely G. Tan, ed., Etnis Tionghoa di Indonesia, 177-178. 19 Juliette Koning, “Chineseness and Chinese Indonesian Business

(7)

sudah menjadi orang Indonesia dan tidak lagi berminat kepada tradisi-tradisi Tionghoa pada umumnya namun dalam soal berbisnis atau menikah mereka masih merasa ketionghoaan sebagai unsur yang tetap penting. Mereka lebih suka berbisnis dengan sesama orang Tionghoa karena dianggap lebih baik, “more business oriented, more focused on working hard and always have the success of the business in the forefront.”20

Sementara untuk menikah mereka merasa bahwa menikah dengan sesama orang Tionghoa masih jauh lebih baik karena celah perbedaan yang harus diseberangi sempit saja. Lain halnya bila dengan orang non-Tionghoa. Celah perbedaannya sangat lebar.

Baik Suryadinata, Greif, Tan, Ju Lan maupun yang lain sepakat bahwa agama yang dianut, dalam hal ini agama Kristen dan Hindu Bali, turut berperan besar dalam mengasimilasikan orang Tionghoa. Kalau Suryadinata menolak peran positif Islam, Ju Lan malah mengafirmasi bahwa Islam justru mendorong pengaburan ketionghoaan orang Tionghoa, khususnya pada mereka yang lahir dari tahun 1960-an sampai 1970-an.21 Coppel juga menolak tesis Suryadinata tentang Islam. Bagi Coppel akar masalahnya tampaknya bukan di agama tetapi pada sikap politik akomodasinya, yang cenderung membangun kesepakatan dengan penguasa daripada dengan masyarakat di mana ia berada.22

Berangkat dari asumsi bahwa “puncak dari bentuk asimilasi adalah asimilasi perkawinan”23 penelitian Hariyono

menemukan bahwa faktor-faktor yang mendorong asimilasi tersebut ialah sistem familiisme, ethnosentrisme, interaksi sosial seseorang dan kedalaman penghayatan agama.24 Semakin kuat

20 Koning dalam East Asia (2007) 24: 150.

21 Ju Lan dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar, 187.

22

Lihat Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, 34-36, 323.

23 P. Hariyono, Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi

Kultural (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 17.

24 Hariyono, Kultur Cina dan Jawa, 105. Sistem familiisme

(8)

sistem familiisme mempengaruhi seorang Tionghoa maka ethnosentrismenya cenderung akan menguat. Akibatnya, interaksi sosialnya dengan orang dari kelompok lain akan makin berkurang dan akhirnya membatasi jumlah perkawinan campur yang dapat terjadi dengan orang non-Tionghoa.25 Namun ketaatan dalam

menjalankan agama dapat mendorong asimilasi karena rumah ibadah dan aktivitas ibadah bersama merupakan “agen sosialisasi” orang Tionghoa dengan orang dari etnis lain. Selain itu, ajaran agama yang menekankan semangat tanpa diskriminasi turut pula “memperlancar proses asimilasi”26

yang dapat berujung kepada perkawinan campur.

Setelah pertama kali diungkap Unger, penelitian belakangan mulai fokus pada pemerintah yang mengeluarkan kebijakan itu. Sejumlah peneliti mulai melihat bahwa kegagalan asimilasi disebabkan oleh kontradiksi yang melekat di dalam kebijakan itu sendiri. Ariel Heryanto melihat kontradiksi itu terletak pada cara pemerintah Orde Baru mendefinisikan orang Indonesia.27 Jika identitas adalah produk relasi resiprokal antara

diri (self) dengan masyarakat (society)28 maka untuk mengkonstruksi suatu gagasan tentang orang Indonesia diperlukan yang namanya ‘orang lain’ (the other), baik yang itu nyata maupun sekedar

negara. Ethnosentrisme ia definisikan sebagai sikap kelompok yang dibangun di atas landasan etnis tertentu dan memandang kelompok etnis sendiri sebagai lebih baik daripada kelompok etnis lain. Smentara interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang terjadi di level antar pribadi atau antar kelompok dari dua atau lebih kelompok yang berbeda.

25

Hariyono, Kultur Cina dan Jawa, 104.

26 Ibid., 195.

27 Ariel Heryanto, “Ethnic Identities and Erasure: Chinese

Indonesians in Public Culture” dalam Southeast Asian Identities: Culture and Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore and Thailand. Joel S. Kahn, ed. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1998), 103.

28 Jan E. Stets & Peter J. Burke, “A Sosiological Approach to Self

(9)

imajinasi belaka, sebagai interlokutor (mitra percakapan).29

Bersama-sama dengan yang namanya Barat, Komunisme dan Islam Fundamentalis, orang Tionghoa ditaruh di dalam kategori ‘orang lain’ tersebut.30 Mereka adalah orang lain karena berasal

dari luar batas geografis nasional Indonesia, berbeda budayanya, kuat secara ekonomi dan dicurigai terkait erat dengan komunisme.

Kebijakan asimilasi jadinya berkontradiksi di dalam dirinya sendiri karena membentuk garis pemisah yang membedakan orang Tionghoa, yang dianggap bukan pribumi, dari orang-orang non-Tionghoa, yang dianggap pribumi. Perbedaan itu lantas dimuat ke dalam kesadaran nasional, dibakukan dan diwujudkan dalam rupa perlakuan yang diskriminatif. Hal itu membuat identitas ketionghoaan yang coba dihapus justru makin kentara dan jadi semakin tidak terhapus serta terus-menerus direproduksi. Di pihak lain, sistem ekonomi yang dibangun Orde Baru di atas pembagian kerja menurut ras turut pula mengeraskan perbedaan dan mengkontradiksikan kebijakan itu. Pelaksanaan asimilasi total jadinya tidak bisa terjadi sebab justru akan menghapus sistem sosial-ekonomi yang selama ini telah memberikan keuntungan besar kepada penguasa.31

Senada dengan Heryanto, Christian Chua juga ber-pendapat bahwa kebijakan asimilasi gagal karena kontradiksi yang diciptakan oleh pemerintah itu sendiri.32 Chang Yau Hoon

29 Pikiran Charles Horton Cooley seperti diterangkan oleh James A.

Holstein & Jaber Gubrium dalam The Self We Live B: Narrative Identity in A Postmodern World (New York: Oxford University Press, 2000), 27.

30

Heryanto dalam Joel S. Kahn, ed., Southeast Asian Identities, 97.

31 Ibid., 104. Sarah Turner menjelaskan bahwa orang-orang

Tionghoa, khususnya sejumlah konglomerat Tionghoa, dalam sistem ekonomi Orde Baru memang sengaja ditempatkan sebagai pengelola ekonomi negara. Lihat Sarah Turner, “Speaking Out: Chinese Indonesians After Suharto,” Asian Ethnicity, Volume 4, Number 3, October 2003: 342-343.

32 Christian Chua, “Defining Indonesian Chineseness Under the

(10)

melokalisasi problemnya pada konsep identitas nasional Indonesia yang coba dipertahankan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam konsep itu ada dua problem yang melekat. Yang pertama warga negara dibagi ke dalam dua kategori: pribumi dan non-pribumi. Warga negara pribumi adalah penduduk asli yang mendiami suatu wilayah atau tanah. Karena itu, sekalipun sudah berstatus WNI, orang Tionghoa tetap saja asing sebab bukan penghuni asli suatu daerah. Masalah yang kedua adalah sifat singularitas dan statis dari konsep identitas nasional Indonesia. Konsep identitas yang dianut oleh pemerintah Orde Baru bersifat tunggal dan tetap sementara Indonesia tersusun atas beraneka etnis, budaya, bahasa dan agama. Orang Tionghoa sendiripun jauh dari sebuah komunitas yang homogen. Ketidakpekaan pemerintah kepada keanekaraga-man ini menyebabkan pilihan yang tersedia bagi orang Tionghoa adalah “to give up all their ‘Chineseness’.”33 Melepaskan secara

menyeluruh ketionghoaan jelas sebuah ketidakmungkinan karena baik keindonesiaan maupun ketionghoaan itu sendiri adalah konsep hibrida, yang tidak pernah merupakan sebuah konsep yang stabil. Kebijakan asimilasi, dengan demikian, menjadi sebuah usaha politis yang sia-sia.

Keruntuhan Orde Baru mendorong timbulnya suatu genre baru dalam studi atas orang-orang Tionghoa. Diilhami oleh teori Albert Hirschman tentang perilaku konsumen, Ignatius Wibowo mulai mengarahkan perhatian penelitian bukan lagi kepada situasi internal atau eksternal orang Tionghoa yang mengitari orang-orang Tionghoa namun langsung kepada respons-respons mereka sendiri kepada situasi yang mengelilinginya. Tiga konsep Hirschman yang ia pakai untuk membaca respons mereka adalah

seluruhnya maupun sebagian argumentasi Heryanto tentang kontradiksi kebijakan asimilasi.

33 Chang Yau Hoon, “Assimilation, Multiculturalism, Hybridity:

(11)

exit, voice dan loyalty.34 Pada exit, bentuk responsnya ada tiga. Yang pertama adalah meninggalkan Indonesia dan pindah ke negara lain. Yang kedua adalah pindah ke daerah lain, dan yang ketiga

adalah tetap tinggal di tempat semula namun membangun pagar-pagar pelindung yang tinggi.

Untuk voice, Wibowo menemukan respons ini diperagakan dengan mendirikan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperjuangkan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap orang Tionghoa. Sementara untuk loyalty, Wibowo melihat hal itu ditampilkan dalam pilihan melibatkan diri di dalam dunia politik Indonesia, baik dengan menjadi anggota partai politik yang sudah ada maupun dengan mendirikan partai yang berjuang menghapus diskriminasi terhadap orang Tionghoa. Bentuk lain yang diperagakan dalam kategori ini adalah mengambil sikap “suffer in silence, confident that things will soon get better.”35

Wibowo percaya bahwa respons ini merupakan respons dari mayoritas orang Tionghoa.

Apakah respons-respons ini dapat menggambarkan respons orang Tionghoa semasa Orde Baru? Tulisan Wibowo tidak memberi gambaran sampai sejauh itu karena ia menulis tentang orang Tionghoa pasca jatuhnya Soeharto. Namun tulisan Van Der Kroef yang terbit pada tahun 1968 memberikan gambaran yang sedikit mirip dengan apa yang dilukiskan Wibowo.36 Menyikapi situasi yang mengancam sejumlah besar orang Tionghoa di berbagai kota berupaya mencari jalan untuk keluar dari Indonesia.37 Yang lain menyuarakan protesnya kepada perlakuan buruk yang diterima.38 Namun respons-respons ini tidak berlangsung lama karena mendapat perlawanan keras dari aparat

34 Ignatius Wibowo, “Exit, Voice and Loyalty: Indonesian Chinese

after the Fall of Suharto,” Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 16, No. 1 (April 2001): 125-146.

35 Ibid., 142.

36 Justus M. Van Der Kroef, “The Sino-Indonesian Rupture,” The

China Quaterly, No. 33 (Jan.—Mar., 1968): 17-46.

37

Ibid., 30.

(12)

dan masyarakat. Setelah kekacauan awal peralihan rezim berlalu, orang-orang Tionghoa, mengikuti analisis Wibowo, tampaknya lebih memilih diam menanggung derita dalam kesunyian.

Meski diam dalam kesunyian tidak berarti bahwa orang-orang Tionghoa lantas tidak berbuat apa-apa melawan arus kuat asimilasi yang dipaksakan kepadanya. Studi Aimee Dawis coba memasuki ruang-ruang hidup di belakang pengawasan pemerintah Orde Baru untuk mencari tahu apa yang dilakukan dengan identitasnya. Ia menemukan bahwa tekanan untuk menjadi sama dengan orang Indonesia lainnya ternyata tidak diterima begitu saja oleh orang-orang Tionghoa. Sejumlah orang Tionghoa malah berusaha mengkonstruksi identitas sosial tersendiri, yang tetap diwarnai oleh budaya Tionghoanya. Merujuk kepada konsep Stuart Hall tentang pengalaman diaspora dan hibriditas, Dawis mendapati bahwa film-film silat Mandarin telah dipergunakan sebagai medium untuk mengenali dan memahami kebudayaan Tionghoa serta kehidupan di negeri asal yang tidak bisa ditemukan lagi di ruang-ruang publik.39 Nilai-nilai budaya Tionghoa yang

dilihat dari film-film itu bersama dengan nilai-nilai budaya setempat, oleh suatu proses yang dinamis dikonstruksi sedemikian rupa menjadi suatu identitas pribadi yang bersifat hibrida.

Kebijakan asimilasi adalah kebijakan yang lahir dari keinginan kelompok dominan untuk menegakkan hegemoninya atas mereka yang dipersepsi sebagai para pendatang.40 Ia merupakan bagian dari operasi kekuasaan penguasa Orde Baru atas orang-orang Tionghoa yang dipersepsi sebagai pendatang, bukan asli Indonesia, asing dan sebuah masalah yang harus dicari jalan keluarnya. Studi-studi yang ada sudah lama tiba pada kesimpulan itu. Meski demikian, respons terhadap kebijakan itu masih belum banyak digali. Orang-orang Tionghoa masih

39 Aimee Dawis, Orang Tionghoa Indonesia Mencari Identitas (Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama, 2010).

40 James Forrest & Kevin Dunn, “Core’ culture hegemony and

(13)

tergambarkan secara monokrom sebagai kelompok orang yang tunduk dan patuh mengikutinya. Kalau pun akhirnya mereka tidak berasimilasi maka hal itu terjadi karena ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankannya serta kontradiksi yang melekat di dalamnya.41 Yang lain memahami kegagalan asimilasi terjadi karena dibangun di atas pandangan yang keliru tentang identitas, yakni memahami identitas secara esensialis atau primordialis.42 Pandangan ini mereduksi orang ke dalam sebuah ‘esensi’ yang homogen dan tidak berubah, yang menandainya dalam interaksi sosial dengan orang lain. Esensi itu dapat berupa rasnya, fisiknya, budayanya, bahasanya dan lain sebagainya. Sementara dalam praktiknya identitas seseorang adalah bersifat majemuk dan terus-menerus mengalami proses rekonstruksi. Di dalam proses ini selalu terbuka kemungkinan bagi terbentuknya identitas yang tidak sama persis dengan yang diinginkan penguasa.

Telah ada upaya untuk menunjukkan bahwa respons orang Tionghoa tidak melulu patuh dan setia tetapi juga melawan. Hanya saja fokus analisis Wibowo masih sebatas pada masa sesudah runtuhnya Orde Baru. Studi Aimee Dawis membuka cakrawala baru karena mengangkat strategi-strategi yang ditempuh oleh orang Tionghoa di masa Orde Baru untuk dapat terus berhubungan dengan akar-akar budaya Tionghoa. Studi ini lantas menjadi penting artinya karena fokusnya kini beralih kepada aktivitas hidup sehari-hari orang-orang Tionghoa. Berbeda dari sebagian besar studi sebelumnya yang fokus kepada interaksi secara umum dengan penguasa, Dawis memperlihatkan bahwa dalam aktivitas hidup sehari-hari itu ada modus-modus interaksi

41

Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 218.

42 Untuk uraian lebih lanjut tentang identitas primordial atau

(14)

yang berbeda dari yang selama ini tersingkap. Kalau yang umum tampak adalah orang Tionghoa tunduk dan kalah kepada kemauan penguasa; dalam lokasi hidup sehari-hari, di arena yang tidak teramati oleh penguasa, orang-orang Tionghoa terus menjalin hubungan dengan kebudayaannya yang terlarang serta terus diberi makan secara kultural olehnya. Kalau demikian mungkinkah hal seperti itu juga terjadi, meski dengan cara yang berbeda, dalam ruang-ruang lain yang jauh dari pengamatan penguasa? Di sinilah aktivitas orang Tionghoa di dalam lembaga-lembaga keagamaannya menjadi menarik untuk dicermati.

Selanjutnya, kalau peran agama selama ini digambarkan secara positif sebagai yang memfasilitasi asimilasi, studi-studi sosiologi agama sebenarnya memperlihatkan bahwa fungsi agama tidak melulu begitu. Agama memang dapat berfungsi sebagai alat apologi dan legitimasi status quo dengan budaya ketidakadilannya namun di pihak lain agama juga bisa berfungsi sebagai alat protes, perubahan dan pembebasan.43 Penelitian tentang fungsi agama,

khususnya agama Kristen, pada orang Tionghoa dalam kaitannya dengan kebijakan asimilasi selama ini terlalu menitikberatkan fungsi pertama agama. Namun kalau agama punya fungsi lain, yaitu sebagai alat untuk melawan hegemoni maka tentu saja mungkin untuk mengharapkan respons lain dari orang-orang Tionghoa terhadap kebijakan asimilasi. Namun untuk sampai ke sana dibutuhkan terlebih dulu sebuah kerangka teori yang dapat memfasilitasi penemuan tersebut. Di bawah ini adalah suatu upaya untuk mengkonstruksi kerangka teori semacam itu.

43 Dorothee Solle, dikutip oleh Dwight B. Billings, “Religion as

(15)

B. Definisi-definisi Konseptual

Setidaknya ada tiga konsep penting yang menyusun kerangka teori yang akan dipergunakan di sini. Ketiganya adalah kebijakan asimilasi, identitas nasional Indonesia dan perlawanan. Agar tidak timbul kekaburan maka suatu definisi operasional akan diberikan kepada komponen-komponen konseptual tersebut.

1. Kebijakan Asimilasi

Secara etimologis, asimilasi berasal dari kata Latin

adsimilare yang berarti membuat serupa atau sama.44 Dalam pengertian umum, asimilasi menunjuk kepada proses yang dijalani oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mengadopsi bahasa, norma-norma kultural dan nilai-nilai dari kelompok lain.45 Individu-individu atau kelompok-kelompok itu umumnya dianggap sebagai orang luar (outsider) atau orang asing (foreigners) oleh masyarakat yang menerima mereka (host society). Di antara mereka adalah kaum migran, yakni para pendatang dan perantau dari berbagai negara dan budaya yang menetap di suatu negara.46

Meski di kemudian hari ditemukan bahwa asimilasi merupakan sebuah proses dua arah47 namun gagasan yang selama bertahun-tahun melekat dalam konsep ini adalah sebuah proses satu arah saja. Dalam proses satu arah itu, para pendatang atau kelompok minoritas secara perlahan-lahan menyesuaikan dirinya

44 Laura Zanfrini, “Assimilation” Dictionary of Race, Ethnicity &

Culture, eds. Guido Bolaffi, et all (London: SAGE Publications, 2003), 19.

45 David G. Embrick, “Assimilation” International Encyclopedia of the

Social Sciences 2nd Edition, ed. William A. Darity, Jr. (Farminton Hills, MI.: Macmillan Reference USA, 2008), 188.

46 Larry Ray, “Assimilation,The Cambridge Dictionary of Sociology,

ed. Bryan S. Turner (Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 2006 ), 24; Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19; Roger Scruton, The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 42.

(16)

dengan suasana hidup di lingkungan yang baru dengan menyerap nilai-nilai dari budaya dominan.48

Sasaran akhir yang hendak dicapai dari proses ini adalah hilangnya batas-batas yang membedakan suatu etnis atau ras berikut perbedaan-perbedaan sosial dan kultural serta identitas-identitas yang diasosiasikan dengan etnis atau ras tersebut.49

Ciri-ciri kultural yang membedakan lenyap bersamaan dengan terserapnya ke dalam budaya mayoritas atau budaya dominan.50 Pada level kelompok hasilnya bisa berupa terserapnya satu atau lebih kelompok minoritas ke dalam kelompok mayoritas, atau penggabungan kelompok-kelompok minoritas; sementara pada level individual hasilnya adalah terakulturasi, terintegrasi dan teridentifikasi dengan anggota-anggota kelompok lain.51

Hakikat asimilasi pada dasarnya adalah penciptaan sebuah masyarakat dengan identitas kultural yang seragam (uniform).52

Pendatang atau orang asing atau kelompok etnis minoritas dengan karakteristik sosial dan kultural yang berbeda dianggap berbahaya bagi stabilitas sosial dan politis.53 Asimilasi lantas menjadi strategi

politik yang dipilih oleh penguasa untuk menjaga masyarakat tetap sehomogen mungkin.54 Implementasinya diwujudkan dalam

bentuk kebijakan yang dipaksakan oleh negara, yang bertujuan membasmi semua budaya-budaya minoritas.55

48 Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19; Embrick

dalam Darity, Jr., ed., International Encyclopedia of the Social Sciences, 188.

49R.G. Rumbaut, “Assimilation,International Encyclopedia the Social

and Behavioral Sciences Vol. I, eds. Neil J. Smelser & Paul. B. Baltes (Oxford, UK.: Elsevier, 2001), 845.

50 Lihat Alexander J. Motyl, ed., Encyclopedia of Nationalism Vol. 2:

Leaders,Movements, and Concepts (San Dieago, CA.: Academic Press, 2001), 29; Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19.

51

Rumbaut dalam International Encyclopedia the Social and Behavioral Sciences Vol. I, 845.

52 Ray dalam The Cambridge Dictionary of Sociology, 24

53 Scruton, The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, 42. 54 Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19.

55 Rumbaut dalam International Encyclopedia the Social and Behavioral

(17)

Pengertian tentang kebijakan asimilasi yang dipergunakan di sini adalah segala peraturan yang dikenakan oleh pemerintah Orde Baru kepada orang Tionghoa dengan maksud untuk mengintegrasikannya ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Pada hakikatnya ia berisi tiga hal. Pertama,

penghapusan identitas sosial-kultural etnis Tionghoa, yang mencakup bahasa, agama, adat istiadat, kebiasaan, dan kebangsaannya. Kedua, memaksa orang Tionghoa keluar dari kelompoknya, bertemu dengan orang lain dan membuka kelompoknya untuk dimasuki oleh orang lain. Ketiga, memaksa mereka untuk merangkul suatu identitas baru, identitas nasional Indonesia, dengan bahasa, agama, adat istiadat, kebiasaan, kebangsaan dan kewarganegaraan yang sama dengan masyarakat di mana mereka berada.

2. Identitas Nasional Indonesia

Gagasan tentang identitas nasional tidak bisa dilepaskan dari percakapan tentang nasionalisme dan asal-usul bangsa dan negara modern.56 Sebagian pendapat mengatakan bahwa bangsa

dan negara merupakan produk industrialisasi dan modernisasi. Sebelum era modern yang dimulai pada abad ke-18, nasionalisme dan negara seperti yang dikenal saat ini masih belum ada ada.57 Pendapat yang lain mengatakan bahwa negara tidak sepenuhnya merupakan fenomena modernitas. Nasionalisme dan negara-bangsa adalah realitas-realitas modern yang memiliki akar-akar dari masa lalu.

56Lihat Craig Calhoun, “Nationalism and Ethnicity,” Annual Review

of Sociology, Volume 19 (1991): 211-239; Anthony D. Smith, The Cultural Foundations of Nations: Hierarchy, Covenant, and Republic (London: Blackwell Publishing, 2008); Anthony D. Smith, Myths and Memories of the Nation (Oxford, UK.: Oxford University Press, 1999); Ernest Gellner, Nations and Nationalism (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1983).

57

(18)

Pada pendapat pertama bangsa lahir sebagai produk dari arus industrialiasi yang mengubah secara besar-besaran struktur masyarakat agraris dan membuat banyak orang tercerabut dari akar-akar hidupnya. Untuk menyatukan masyarakat yang tercerai berai ini maka sejumlah elit kemudian meluncurkan nasionalisme sebagai ideologi yang mempersatukan semua orang itu ke dalam suatu batas-batas politis dan budaya yang sama.58 Pikiran ini

berbeda dari konsep kedua yang memahami kejadian bangsa dari dalam etnisitas pra-modern. Sebelum suatu bangsa ada, sudah lebih dulu ada apa yang diistilahkan Smith sebagai ethnie, atau komunitas etnis. Di kemudian hari, oleh proses-proses sosio-historis, komunitas ini berubah menjadi ethnie cores, yaitu sebuah komunitas yang kohesif dan sadar akan keperbedaannya dari yang lain. Mereka inilah yang nantinya menjadi “kernel and basis of states and kingdoms.”59

Dalam kaitan ini setidaknya timbul dua bentuk negara. Yang pertama adalah nation-state dan yang kedua adalah national state.60Bentuk yang pertama umum dikenal dengan istilah “negara

bangsa.” Dalam negara ini rakyat memiliki kesamaan bahasa, agama dan identitas simbolik yang kuat. Yang kedua adalah

58 Pada pokoknya ini adalah argumen Gellner. Lihat Gellner,

Nations and Nationalism, 39-52. Juga lihat Thomas Hylland Eriksen, Antropologi Sosial dan Budaya: Sebuah Pengantar (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), 468. Berbeda dari Gellner, Ben Anderson mengajukan teori lain tentang munculnya bangsa. Kalau Gellner menaruh sebab timbulnya bangsa

pada industrialisasi, Anderson menaruhnya pada faktor-faktor

berkembangnya pemakaian bahasa setempat (vernacular), teknologi percetakan, media komunikasi dan perkembangan peta. Untuk ringkasan argumen Anderson lihat Calhoun dalam Annual Review of Sociology, Volume 19 (1991): 233-235. Lengkapnya Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, revised edition (New York: Verso, 1991).

59 Anthony D. Smith, National Identity (London: Penguin Books,

1991), 38-39.

60

(19)

negara yang berusaha memperluas kekuasaan langsung sampai kepada seluruh populasi rakyatnya dan di saat yang sama berusaha mengembangkan kapasitas mereka untuk mengorganisir rakyatnya.61 Baik negara yang pertama maupun negara yang

kedua, persoalan yang dihadapi tetap sama, yaitu bagaimana mencapai dan mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara. Di titik ini kaum nasionalis kemudian mengintroduksi isu identitas nasional. Dengan merangkul sebuah identitas kolektif yang diklaim lebih utama dan kepentingannya mengalahkan kepentingan identitas-identitas lain, seperti identitas personal atau kelompok, maka individu-individu yang bermacam-macam dalam batas-batas teritori negara akan merasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari orang lain yang berada dalam batas-batas negara. Dengan jalan ini tiap-tiap orang dihubungkan secara langsung dengan bangsa secara keseluruhan.62 Meminjam ucapan Barker, identitas nasional adalah “a way of unifying cultural diversity.”63

Identitas nasional jadinya menunjuk kepada dua hal. Yang pertama kepada gambar diri kolektif anggota-anggota suatu bangsa, dan yang kedua sistem budaya tersendiri yang dianut oleh mayoritas populasi bangsa.64 Gambar diri itu dibentuk dengan cara

mengidentifikasi diri kepada simbol-simbol bangsa.65 Tentu saja tiap-tiap bangsa memiliki identitas nasional yang berbeda-beda. Namun demikian masing-masing memiliki komponen-komponen

61 Calhoun dalam Annual Review of Sociology, Volume 19 (1991): 217. 62 Ibid., 229.

63 Chris Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies (London:

SAGE Publications, 2004),132. Terjemahan: “suatu cara untuk menyatukan keanekaragaman budaya.”

64

Liora Lukitz, Iraq: The Search for National Identity (London: Frank Cass & Co. Ltd., 1995), 2.

65 Dari perspektif psikologi sosial, William Bloom mendefinisikan

(20)

umum yang sama. Smith menyebut lima komponen umum identitas nasional yang ada bisa ditemukan pada semua konsep identitas nasional mana saja. Kelimanya adalah: [a] sebuah teritori atau tanah air historis, [b] mitos-mitos dan memori-memori sejarah yang sama, [c] sebuah kebudayaan publik yang sama, [d] hak-hak dan kewajiban yang sama untuk semua anggota bangsa, dan [e] suatu ekonomi yang sama dengan mobilitas teritorial yang sama untuk semua anggota bangsa.66 Scruton menambahkan

komponen-komponan lain yakni [a] sifat alamiah bangsa, [b] kepentingan-kepentingan bersama, dan [c] tujuan hidup yang sama.67

Komponen-komponen tersebut umumnya dapat ditemukan dalam berbagai konstruksi identitas nasional.68 Dalam penelitian ini identitas nasional akan dipahami sebagai suatu bentuk identifikasi dengan bangsa seperti terungkap lewat simbolnya. Identitas ini bersifat multidimensional, artinya simbol-simbol bangsa kepada mana individu-individu mengidentifikasikan dirinya tidak melulu terdiri atas satu komponen saja. Identitas nasional merupakan konstruksi kompleks, yang terdiri atas komponen-komponen etnis, kultural, teritorial, ekonomi, legal dan politis. Individu-individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan identitas itu lantas terikat dalam suatu “bonds of solidarity among members of communities united by shared memories, myths and traditions.”69

Dengan pengertian semacam itu maka identitas nasional Indonesia adalah suatu bentuk identifikasi dengan bangsa Indonesia melalui simbol-simbolnya. Di antara hal-hal yang dipahami sebagai simbol-simbol bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia, tanah air Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, bendera nasional Sang Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, burung garuda, semboyan Bhinneka

66 Smith, National Identity, 14.

(21)

Tunggal Ika, Undang-undang Dasar 1945 dan dasar negara Pancasila.70 Dari semuanya itu, komponen simbolik yang menjadi

tekanan penting pemerintahan Orde Baru adalah Pancasila.71 Ia menjadi simbol utama kebudayaan dan kebangsaan Indonesia. Melekatkan diri kepada Pancasila dapat dikatakan sama artinya dengan melekatkan diri kepada Indonesia.

Identitas nasional Indonesia yang disimbolkan di dalam Pancasila diungkapkan oleh Presiden Soeharto dalam berbagai metafor. Dalam salah satu bagian pidatonya pada upacara peresmian keanggotaan MPR pada tahun 1972, Presiden Soeharto mengatakan bahwa “Pancasila adalah jiwa dari Bangsa Indonesia.”72

Ia tidak saja jiwa namun juga kepribadian dan pandangan hidup

bangsa Indonesia, yang memberi bimbingan dan tuntunan dalam segala kegiatan bangsa, negara, masyarakat dan manusia Indonesia serta tujuan hidup bangsa Indonesia.73 Ia tidak muncul mendadak namun “merupakan nilai-nilai luhur yang lahir dan tumbuh dari sejarah dan kebudayaan kita yang telah berabad-abad lamanya. Suatu kebudayaan yang menempatkan keselarasan

sebagai kunci kebahagiaan manusia.”74 Dengan merangkul

Pancasila sebagai identitas nasional maka yang akan tercipta bukan lagi suatu masyarakat yang terpecah belah oleh “faham golongan dan perseorangan” tetapi sebuah “masyarakat

70 Dikdik Baehaqi Arif, Diktat Pendidikan Kewarganegaraan

(Yogyakarta: FKIP Universitas Ahmad Dahlan, 2011), 3-4; Jakob Oetama, “Pancasila, Identitas dan Modernitas” Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas, ed. Irfan Nasution & Ronny Agustinus (Bogor: Brigthen Press, 2006), 120-125; Azyumardi Azra, “Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme” dalam Ibid., 143-161.

71

R.E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), 373-374. Lihat pula Yau Hoon dalam Asian Ethnity, Volume 7, Number 2, June 2006:150-151.

72 Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila

(Jakarta: CSIS, 1976), 11-12.

73

Ibid., 10, 14, 15.

(22)

Pancasila” yaitu “masyarakat Indonesia yang bercorak kepribadian Indonesia sendiri.”75

Selain Pancasila, komponen lain dari identitas nasional Indonesia yang ditekankan oleh pemerintahan Orde Baru adalah bahasa Indonesia.76 Bahasa ditekankan karena kesadaran bahwa

masyarakat Indonesia adalah “masyarakat majemuk; masyarakat ganda” yang terdiri atas bermacam-macam suku, bahasa dan kebudayaan, adat-istiadat dan agama yang berbeda. Perbedaan itu disadari sepenuhnya berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa. Bahasa Indonesia menjadi tekanan karena dengan bahasa yang satu itu bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini dapat diikat menjadi satu kesatuan.77

Komponen terakhir yang cukup ditekankan adalah komponen kesatuan teritorial, kultural dan legal-politis. Indonesia adalah suatu teritori “dari Sabang sampai Merauke” yang “bulat dan utuh.”78 Di dalam teritori itu hidup suatu masyarakat yang

majemuk, dengan suku, golongan, kepentingan, keyakinan dan agama yang berbeda-beda. Namun semua itu harus ditundukkan di bawah nasionalisme Pancasila, yang mengharuskan dihapuskannya “penonjolan kesukuan, keturunan ataupun perbedaan warna kulit.”79

Dalam kaitan ini maka suatu gagasan tentang kewarganegaraan ganda sama sekali tidak bisa diterima.80 Dan senada dengan itu “tata pergaulan yang eksklusif di dalam

75 Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, 20,

23.

76 Elson, The Idea of Indonesia, 380.

77 Krissantono, ed., 52-53. Soedjatmoko melihat fungsi bahasa

Indonesia sebagai “wahana integrasi politik dan alat perjuangan kolonial” pada tataran elit bangsa telah berhasil dijalankan oleh bahasa Indonesia sejak 1928-1978. Sementara dalam periode berikutnya, penggunaan bahasa Indonesia perlu digalakkan dan ditekankan di berbagai level demi mendorong proses transformasi bangsa sebagai satu kesatuan yang utuh. Lihat Andre Hero Triman, ed., Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 119-159.

78

Krissantono, ed., 53.

79 Ibid., 48.

(23)

lingkungan satu Bangsa”81atau hidup dengan “perasaan kesukuan

yang sempit”82 tidak bisa diterima pula. Yang kini harus

dihidupkan adalah semangat kebangsaan dan persatuan serta rasa cinta yang lebih besar kepada Tanah Air Indonesia. Di sini Pancasila memegang peranan krusial, yakni “sebagai faktor integrasi.”83

Berkomitmen kepada Pancasila akan menimbulkan komitmen kepada bangsa dan negara Indonesia.

3. Perlawanan

Istilah ‘perlawanan’ yang dipergunakan di sini merupakan terjemahan dari kata kerja resist dan kata benda resistance. Dalam

Dictionary of Politics and Government, kata resistance diberi dua makna.84 Makna pertama adalah suatu aksi yang memperlihatkan bahwa orang menolak sesuatu; sementara makna kedua menunjuk kepada sebuah kelompok yang secara diam-diam berjuang melawan musuh yang menduduki negerinya. Makna ini tidak jauh berbeda dari kata kerja resist, yang diartikan sebagai berjuang melawan sesuatu atau tidak mau tunduk kepada sesuatu.85 Dalam

kamus lain kata resist antara lain bermakna bangkit memberikan perlawanan kepada seseorang atau sesuatu, menahan tekanan sesuatu dan menolak untuk patuh.86 Melawan, jadinya berisi sikap

dan tindakan. Ia adalah sikap yang tidak mau tunduk dan patuh, yang terungkap dalam tindakan memberikan perlawanan terhadap seseorang atau sesuatu, serta dalam tindakan menolak kekuatan tertentu secara diam-diam. Perlawanan, jadinya, menunjuk kepada sikap tidak mau menyerah kepada suatu tekanan dan kepada

81 Krissantono, ed., 56. 82 Ibid., 50.

83 Ibid., 51.

84 P.H. Collin, Dictionary of Politics and Government, 3rd ed. (London:

Bloomsbury Publishing Plc, 2004), 212-213.

85 Collin, Dictionary of Politics and Government, 212. Kalimatnya

adalah “to fight against something or not give in to something.”

86 “resist” dalam WordWeb 6.8. Copyright©Antony Lewis 2012.

(24)

tindakan untuk melawan sesuatu atau seseorang, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun secara tersembunyi.

Dalam percakapan ilmu-ilmu sosial, konsep perlawanan secara literal dipahami sebagai bangkit menentang (stand against).87

Konsep ini awalnya dipergunakan untuk aksi-aksi perlawanan terhadap perubahan-perubahan sosial budaya yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Konsep yang terdengar konservatif ini berisi upaya untuk mempertahankan dan melestarikan struktur sosial budaya yang selama ini dikenal masyarakat.88 Pada abad ke-20

konsep ini mulai mengalami perubahan arti seiring dengan timbulnya perjuangan anti-kolonialisme di berbagai negara di Asia dan Afrika. Walau maknanya tetap sama namun kini dipakai oleh gerakan anti-kolonialisme. Kini artinya menjadi penolakan atas segala bentuk kebudayaan asing yang merasuki masyarakat dan berbalik melestarikan serta merayakan tradisi-tradisi budaya pribumi.89 Perlawanan, dalam arti ini, adalah usaha bela diri melawan kekuatan budaya yang dialami sebagai eksternal dan lain.90

Berangkat dari kenyataan bahwa kekuasaan beroperasi begitu luas dalam hidup manusia sampai ke level hidup sehari-hari, studi-studi budaya (cultural studies) kemudian memberi pengertian lain pada perlawanan. Kini perlawanan dipahami sebagai ambivalensi dan negosiasi, di mana dominasi dilawan dengan praktik-praktik yang bermakna ganda. Jika yang dilawan adalah suatu budaya dominan maka perlawanan itu tidak lagi dalam bentuk berhenti mengkonsumsinya melainkan justru mengkonsumsinya namun dengan memberinya bentuk hibrida yang aneh (grotesque).91 Di satu sisi praktik itu terlihat aneh, seperti tampak penampilan anak-anak muda yang berbudaya Punk.

87 Stephen Duncombe, “Resistance,”

International Encyclopedia of Social Science Vol. 7, ed. William A. Darity, Jr. (New York: Macmillan Reference USA, 2008), 207.

88 Ibid., 208. 89

Ibid.

(25)

Namun di sisi lain keanehan itu sekaligus adalah perlawanan terhadap budaya dominan yang dipasarkan lewat media dan lain sebagainya.

Dalam studinya atas ratusan buku dan artikel yang ditulis tentang perlawanan, duet Hollander dan Einwohner mendapati bahwa konsep itu tidak dipakai dalam arti yang sama. Ada banyak makna yang dilekatkan kepadanya.92 Meski demikian di dalamnya masih dapat ditemukan kesamaan, khususnya yang berkaitan dengan elemen-elemen inti perlawanan. Elemen-elemen tersebut adalah aksi dan oposisi.93 Sebagai aksi, perlawanan bukanlah suatu

kualitas dari seorang aktor atau suatu keadaan melainkan suatu perilaku aktif, entah verbal, kognitif atau fisik di tempat, waktu dan relasi sosial tertentu.94

Sebagai oposisi, perlawanan adalah membalas (counter), mengkontradiksikan (contradict), perubahan sosial (social change), menolak (reject), menantang (challenge), oposisi (opposition), subversif (subversive), dan merusak atau mengacaukan (damage/disrupt). Mengutip beberapa penulis yang tulisan-tulisannya diteliti, perlawanan sebagai oposisi didefinisikan, misalnya, sebagai mempertanyakan struktur peran-peran sosial tertentu, atau penolakan secara sengaja terhadap nilai-nilai yang mengokohkan relasi-relasi kekuasaan yang ada, atau sekedar secara aktif berkata tidak kepada sesuatu yang salah, atau berperilaku yang berlawanan dari perilaku-perilaku dominan.95

Dalam penelitian ini definisi perlawanan yang dipergunakan adalah definisi yang dimodifikasi dari definisi yang diberikan oleh James C. Scott dan Susan Seymour. Menurut Scott perlawanan adalah tindakan atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang anggota atau anggota-anggota kelompok

92Jocelyn A. Hollander & Rachel L. Einwohner, “Conceptualizing

Resistance,” Sociological Forum, Vol. 19, No. 4, December 2004: 533-534.

93

Ibid., 538.

(26)

yang didominasi yang bertujuan untuk memitigasi atau menyangkali klaim-klaim yang dibuat oleh kelompok dominan, atau untuk memperjuangkan klaim mereka sendiri.96 Meski secara

tidak langsung sudah memperlihatkan hal itu dari istilah kelompok yang didominasi dan kelompok dominan namun definisi Seymour makin mempertegasnya dengan menaruh perlawanan dalam sebuah konteks relasi kekuasaan yang berbeda. Ia mendefinisikan perlawanan sebagai perbuatan-perbuatan menantang dan menentang yang disengaja dan disadari, yang dilakukan oleh seorang individu atau kelompok individu-individu terhadap seorang individu atau individu-individu superior dalam konteks relasi kekuasaan yang berbeda.97 Dari sini perlawanan dipahami sebagai tindakan menolak tunduk sepenuhnya kepada dominasi negara atas suatu kelompok, yang diwujudkan dalam penolakan untuk patuh kepada kebijakan-kebijakan yang bermaksud menghapuskan identitas kelompok tersebut.

C. Asimilasi dan Teori-teori tentang Perlawanan terhadap Asimilasi

Dalam bagian ini akan disajikan secara ringkas sejumlah teori tentang respons-respons yang diambil oleh kelompok minoritas terhadap tekanan untuk berasimilasi. Pertama-tama akan dikaji dari sudut pandang teori-teori asimilasi itu sendiri kemudian akan diulas di mana manfaat-manfaatnya sekaligus keterbatasan-keterbatasannya. Dari situ uraian akan bergerak kepada teori perlawanan terhadap dominasi yang akan dipakai dalam penelitian ini.

1. Teori-teori Klasik tentang Asimilasi dan Perlawanan terhadap Asimilasi

96

James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Haven: Yale University Press, 1985), 290.

97 Susan Seymour, “Resistance,” Anthropological Theory, Vol. 6 (3):

(27)

Teori-teori tentang asimilasi berakar di dalam persoalan imigrasi di Amerika Serikat.98 Orang-orang yang paling awal

berkutat dengan persoalan ini adalah sejumlah peneliti sosial di

Chicago University pada awal abad ke-20. Di antara yang terkenal adalah Robert Ezra Park, W.I. Thomas, Louis Wirth dan lain-lain. Definisi paling awal yang mereka berikan tentang asimilasi adalah sebuah proses interpenetrasi dan fusi, dalam mana orang-orang dan kelompok-kelompok mengambil memori-memori, sentimen-sentimen dan sikap-sikap orang-orang dan kelompok-kelompok lain, dan dengan cara itu membuat dirinya terinkorporasikan ke dalam sebuah budaya bersama.99 Dalam definisi ini, Park dan kawan-kawan sama sekali tidak mensyaratkan penghapusan budaya asal. Namun demikian, kontribusi paling besar yang disumbangkan Park dan rekan-rekannya dari The Chicago School

adalah suatu pemahaman tentang asimilasi sebagai titik kulminasi dari pola relasi antar etnis, yang dimulai dari kontak, lalu kompetisi, akomodasi dan berakhir di asimilasi. Kontribusi lain ialah sifat progresif dan tidak bisa dibalik dari pola relasi itu.100

Bersama dengan dan sesudah Park teori tentang asimilasi terus diperkembangkan meski masih dalam genre yang sama. Asimilasi masih merupakan sasaran akhir yang dituju oleh semua imigran. Perbedaannya hanya pada soal kecepatan waktu berasimilasi. Sejak itu belum ada sama sekali konsep yang akan membantu peneliti sosial untuk dapat lebih dalam mengeksplorasi konsep asimilasi. Kebuntuan ini baru dipecahkan oleh Milton M. Gordon pada tahun 1964 lewat bukunya yang berjudul Assimilation in American Life.101 Dalam buku ini Gordon mengkaji tiga model teori asimilasi yang selama ini dikenal dan sesudah itu

98 Richard Alba & Victor Nee, Remaking the American Mainstream:

Assimilation and Contemporary Immigration (Cambridge, MA.: Harvard University Press, 2003), 18. Bnd. Robert E. Park & Ernest W. Burgess, Introduction to the Science of Sciology (Chicago, IL.: The University of Chicago Press, 1921), 734.

99 Alba & Nee, 19. 100

Ibid., 20.

(28)

mengajukan teorinya tentang tujuh tahap asimilasi. Tiga model teori tentang asimilasi itu ia namakan tiga ideologi, untuk menjelaskan pengaruhnya pada kebijakan-kebijakan pemerintah untuk para imigran yang masuk ke Amerika.

Model pertama, Anglo-conformity, menuntut kelompok minoritas untuk secara total membuang semua kebudayaan leluhurnya dan merangkul perilaku dan nilai-nilai kelompok inti Anglo-Saxon. Model kedua, the melting pot, mengandaikan percampuran orang-orang Anglo-Saxon dengan orang-orang dari kelompok minoritas dan bersamaan dengan itu percampuran budaya masing-masing menjadi sebuah budaya baru yang khas Amerika. Model ketiga, cultural pluralism, mengharuskan pelestarian kehidupan komunal dan bagian-bagian signifikan dari kebudayaan kelompok-kelompok minoritas dalam konteks kewarganegaraan Amerika dan integrasi politik dan ekonomi ke dalam masyarakat Amerika.102

Dari tiga model itu, model pertama dan kedua mengandaikan hadirnya suatu kelompok dominan dan budaya dominan. Di sini Gordon memakai konsep Joshua Fishman tentang masyarakat inti (core society) dan budaya inti (core culture) sebagai kelompok dan budaya dominan dimaksud. Masyarakat inti Amerika adalah orang kulit putih Protestan kelas menengah (middle-class white Protestant Americans) sementara budaya intinya adalah pola-pola budaya kelas menengah yang secara umum dibentuk oleh orang kulit putih Protestan yang berasal dari Inggris (the middle-class cultural patterns of, largely, white Protestant, Anglo-Saxon origins).103 Dalam proses asimilasi, dua model pertama menuntut kelompok-kelompok minoritas untuk melepaskan

102

Milton M. Gordon, Assimilation in American Life (New York: Oxford University Press, 1964), 85.

(29)

identitas etnisnya demi mencapai identitas Amerika yang sempurna.104 Pada model ketiga hal itu tidak dibutuhkan.

Ketiga model ini dipandang oleh Gordon mengabaikan apa yang ia sebut “a multitude of subprocess” dari realitas asimilasi yang kompleks.105 Karena itu, ia kemudian mengajukan teorinya tentang tujuh tahapan asimilasi. Ketujuhnya adalah asimilasi budaya atau perilaku (akulturasi), asimilasi struktural, asimilasi pernikahan, asimilasi identifikasi, asimilasi sikap resepsional, asimilasi perilaku resepsional dan asimilasi sipil.106 Dari ketujuh tahap ini, tahap yang paling kritis adalah tahap kedua, yaitu asimilasi struktural. Bila kelompok minoritas dapat sampai ke tahap ini maka tahapan-tahapan berikutnya akan dapat dilalui dengan baik. Di tahap ini kelompok minoritas diterima masuk ke dalam lingkaran dalam kelompok dominan dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan di dalam kelompok itu. Untuk sampai ke sini tentu saja ada harga yang harus dibayar. Harganya adalah hilangnya kelompok etnis sebagai entitas yang terpisah dan menguapnya nilai-nilai khas yang mereka hidupi.107

Namun penerimaan itu tidak serta merta menghapuskan prasangka dan diskriminasi. Dalam teori tahapan asimilasi Gordon prasangka dan diskriminasi baru berakhir setelah tercapainya tahap yang ia sebut asimilasi sipil. Hanya saja sebelum tiba di situ konflik demi konflik akan terus terjadi di antara kelompok dominan dan minoritas. Namun asimilasi akan terus bergerak mencapai tahap terakhir yaitu asimilasi sipil. Ia hanya bisa dibuat lambat namun tidak bisa dilawan dan dihentikan.

104 Fenggang Yang, Chinese Christians in America: Conversion,

Assimilation and Adhesive Identities (University Park, PA.: The Pennsylvania State University Press, 1999), 18.

105 Milton M. Gordon, “Assimilation in Am

erica: Theory and Reality.” Majority and Minority: Dynamics of Racial and ethnic Relations, eds. Michael R. Yetman & C. Hoy Steele (Boston: Allyn & Bacon, Inc., 1971), 279.

106 Gordon, Assimilation in American Life, 71. Juga lihat Yang, Chinese

Christians in America, 19.

(30)

Pelambatan disebabkan oleh sikap-sikap (attitudes) kelompok mayoritas dan minoritas serta cara-cara dengan mana sikap-sikap ini saling berinteraksi.108

Pada kelompok minoritas pelambatan disebabkan oleh keinginan untuk mempertahankan komunalitas etnis. Kalau itu sebuah kelompok berbasis keagamaan maka hambatannya ialah komitmen kepada pelestarian ideologi keagamaan. Asimilasi struktural ditolak karena akan berujung kepada perkawinan campur (asimilasi perkawinan), yang pada gilirannya akan menghapus eksistensi kelompok. Pada generasi pertama yang terjadi karena imigrasi, keengganan terhadap asimilasi struktural muncul karena mereka sama sekali tidak menginginkannya dan karena mereka memerlukan rasa aman-nyaman yang diperoleh dari institusi-institusi komunalnya (the comfort of his own communal institutions) di tengah-tengah lingkungan yang asing.109

Pada generasi kedua pelambatan asimilasi memiliki dinamika yang berbeda. Kalau generasi pertama sama sekali tidak menginginkannya, pada generasi kedua keinginan itu ada. Namun penolakan yang dialami ketika hendak masuk ke dalam struktur-struktur sosial kelompok dominan membuat mereka pada akhirnya harus kembali kepada kelompoknya, yang dirasa lebih dapat diandalkan.110 Di dalamnya mereka bertemu dengan orang-orang yang segenerasi namun yang tidak pernah pergi jauh dari kelompoknya karena berbagai alasan. Ada yang karena terlalu takut untuk meninggalkan kelompok, ada yang karena komitmennya yang kuat kepada ideologi etnis, ada pula yang tidak pernah sungguh-sungguh percaya kepada ketulusan kelompok dominan untuk menerima mereka dan ada pula yang hanya tidak mau meninggalkan cara-cara hidup yang sudah amat dikenalnya.

108 Gordon dalam Majority and Minority, 281. 109 Ibid., 281.

(31)

Bersama-sama dengan generasi pertama mereka membangun suatu enklave etnis dan semakin memperkuatnya.111

Teori Gordon kemudian menjadi fondasi di atas mana teori-teori asimilasi selanjutnya dikembangkan. Pengembangan berikutnya coba mengkaitkan asimilasi dengan isu stratifikasi sosial. Asimilasi dikaitkan dengan kedudukan sosial-ekonomi seseorang atau kelompok di dalam suatu masyarakat. Orang beralih dari isu asimilasi struktural kepada isu asimilasi sosio-ekonomi. Asumsi teori yang dipegang adalah level asimilasi berbanding lurus dengan level sosial-ekonomi anggota-anggota kelompok minoritas. Naiknya mereka ke tangga sosial yang lebih tinggi menandakan semakin diterimanya mereka oleh kelompok dominan dan sekaligus menunjukkan perlakuan yang sama yang diberikan oleh kelompok dominan.112

Teori lain yang dikembangkan dari teori Gordon adalah mengkaitkan asimilasi dengan konsep spasial dan perpindahan tempat tinggal. Gordon tidak membahas hal ini namun teori ini masih terhubung dengan konsep Gordon tentang asimilasi struktural. Di sini tempat tinggal dipahami sebagai bagian dari struktur sosial kelompok dominan yang tidak bisa dimasuki begitu saja oleh kelompok minoritas. Mereka baru bisa masuk kalau sampai pada level tertentu mereka sudah terakulturasi dan setara secara sosio-ekonomis dengan kelompok dominan yang tinggal di suatu wilayah. Di pihak lain, semakin dalam anggota-anggota kelompok minoritas terakulturasi dan mapan secara sosio-ekonomis maka umumnya mereka akan meninggalkan anggota-anggota kelompoknya yang kurang berhasil, mencari wilayah domisili baru yang bisa memberi keuntungan dan kebaikan yang lebih besar lagi. Dengan cara ini mereka akan terdorong untuk masuk ke lokasi domisili kelompok dominan, di mana tersedia

111 Gordon dalam Majority and Minority, 282.

(32)

fasilitas publik yang lebih baik. Maka perpindahan tempat tinggal dipandang memediasi terjadinya asimilasi struktural.113

Teori terakhir yang dikembangkan dari Gordon adalah teori yang dimajukan oleh Tomatsu Shibutani dan Kian Kwan. Teori ini melengkapi teori Gordon dengan memberi analisis makroskopik kepada problema asimilasi. Konsep pokok dari teori asimilasi mereka adalah jarak sosial (social distance), yang mereka definisikan sebagai perasaan kedekatan subjektif kepada individu-individu tertentu. Kalau Gordon berpendapat bahwa asimilasi struktural dimulai terlebih dulu oleh asimilasi kultural, Shibutani dan Kwan berpendapat bahwa hal itu dimulai dari perubahan jarak sosial. Kalau jarak sosial yang terbentang di antara kelompok minoritas dan kelompok dominan cukup sempit maka berasimilasi akan sangat mudah. Tetapi bila jarak sosialnya cukup besar maka berasimilasi menjadi sukar karena orang mempersepsi dan memperlakukan yang lain sebagai bagian dari suatu kategori yang berbeda.114

Bagaimana caranya supaya jarak sosial ini bisa berubah? Shibutani dan Kwan berpendapat bahwa hal itu harus didahului oleh perubahan makro pada tatanan kelembagaan atau pada level struktural yang diciptakan oleh kelompok dominan untuk mempertahankan posisi dan privilesenya.115 Perubahan-perubahan

ini akan membawa orang bertemu dengan ide-ide baru yang menantang nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan kultural yang selama ini diterima begitu saja. Dari situ orang akan didorong untuk menemukan lebih banyak kesamaan-kesamaan dan mengecilkan jarak sosial sehingga memudahkan asimilasi.

Berangkat dari teori-teori asimilasi yang ada Peter I. Rose coba mengukur integrasi nasional suatu bangsa dari kualitas relasi

113 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 29. 114 Ibid., 32.

115 Ibid. Keduanya mencatat bahwa inovasi teknologi dan perubahan

(33)

kelompok minoritas dengan kelompok dominan di dalamnya. Tesisnya ialah sebuah bangsa belum terintegrasi secara memuaskan jika di dalamnya kelompok-kelompok rasial, keagamaan dan etnis masih terpisah satu dari yang lain.116

Keterpisahan ini dapat disebabkan oleh tindakan kedua belah pihak. Kelompok dominan menghalangi integrasi dengan berprasangka (prejudice) dan mendiskriminasi; sementara kelompok minoritas melawan integrasi dengan membangun jarak sosial (social distance) yang lebar dari kelompok dan budaya dominan.

Prasangka didefinisikan oleh Rose sebagai suatu sistem kepercayaan, perasaan dan orientasi yang negatif terhadap sekelompok orang; sementara diskriminasi adalah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap individu-individu yang termasuk dalam kategori-kategori sosial atau kelompok-kelompok sosial tertentu.117 Prasangka timbul oleh bermacam faktor, mulai dari

kepentingan ekonomi, reaksi kepada frustrasi sampai kepada pendidikan yang buruk.118 Diskriminasi juga sama. Ia bisa muncul

karena kebencian mendalam kepada individu-individu dari kelompok atau kategori sosial tertentu atau semata-mata karena keengganan untuk mengubah keadaan yang secara ekonomis, psikologis dan sosial sudah baik.119 Bentuknya beraneka ragam, dari mulai ucapan-ucapan bernada menghina sampai kepada kekerasan dan genosida.

Kelompok minoritas melawan asimilasi karena sasaran akhirnya adalah punahnya eksistensi kelompok minoritas dengan segala keunikannya. Demi melindungi tradisi-tradisi budaya dan sistem-sistem kepercayaannya dari kehancuran atau kepunahan maka jarak sosial dengan kelompok dan budaya dominan lantas sengaja diperlebar. Aktivitas-aktivitas yang bersifat lintas

116 Peter I. Rose, They And We: Racial and Ethnic Relations in the

United States (New York: Random House, 1967), 62.

117 Rose, They And We, 77, 79.

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi inilah yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak, pemerintah sebagai regulator, dan masyarakat petani sebagai pelaksana, serta masyarakat industri harus

2) Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 3) Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan

Maksud dari Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Program Studi Teknik Sipil (Kelas Sore) Angkatan Tahun 2010 Fakultas Teknik Universitas Semarang Tahun 2013 adalah untuk mengetahui lebih

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan Proposal tugas akhir ini.. Proposal ini kami

Berdasarkan Dokumen Kualifikasi Nomor : 027.2/ 2/ Pokja PKPBLST/ VII/ 2014, t ert anggal 4 Juli 2014 unt uk Pengadaan Perencanaan Pengadaan/ Pembangunan Kapal Penumpang

Pada metodh abstract ini tidak didefinisikan/implementasi metodh BerangkatKerja tersebut (misalkan apakah jalan kaki, naik angkot, naik motor, naik mobil atau dengan cara

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO.

Demikian Pengumuman ini agar para peserta Pengadaan barang/jasa tersebut diatas mengetahui, atas perhatiannya disampaikan terima