KEPALA KANWIL DJP SUMUT
3.1 Teori Perpajakan Secara Umum .1 Pengertian Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Zuraida, 2011:3).
Secara umum dapat dikatakan bahwa pajak adalah pungutan dari masyarakat kepada negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan (Siahaan, 2004 :5).
Dari defenisi pajak di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa ciri yang melekat pada pengertian pajak sebagai berikut:
1) Pajak dipungut oleh negara (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah), berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2) Pembayaran pajak harus masuk kepada kas negara.
3) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individu oleh pemerintah (tidak ada imbalan langsung yang diperoleh si pembayar pajak).
4) Penyelengaraan pemerintahan secara umum merupakan manifestasi kontra prestasi dari negara.
5) Pajak diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah yang bila dari pemasukannya masih terdapat kelebihan atau surplus, digunakan untuk tabungan publik (Public Saving).
6) Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.
3.1.2 Manfaat dan Fungsi Pajak
Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pajak yang dipungut dari masyarakat. Dana yang diperoleh dari pajak antara lain dapat digunakan sebagai salah satu sumber penerimaan negara, alat pemerataan pendapatan, dan pendorong investasi. Fungsi pajak berkaitan erat dengan manfaat yang diperoleh dari pemungutan pajak, dimana ada dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend (regulasi) atau fungsi mengatur (Siahaan, 2004 :10).
a.Fungsi Budgetair/Penerimaan
Fungsi budgetair (penerimaan) yang disebut juga sebagai fungsi utama pajak atau fungsi fiskal (fiscal function) adalah suatu fungsi di mana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Maksud pengertian tersebut adalah:
1) Jangan sampai ada Wajib Pajak/Subjek Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya;
2) Jangan sampai ada objek pajak yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak kepada fiskus; dan
3) Jangan sampai ada objek pajak yang terlepas dari pengamatan atau penghitungan fiskus.
Dengan demikian, optimalisasi pemasukan dana ke kas negara tidak hanya tergantung kepada fiskus saja, akan tetapi kepada dua-duanya berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.
b. Fungsi Regulerend/Regulasi
Fungsi regulerend (regulasi) atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan, yaitu suatu fungsi dimana pajak digunakan pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagi pelengkap dari fungsi utama pajak, yaitu fungsi budgetair.
Fungsi regulasi atau fungsi mengatur juga berarti pajak digunakan untuk mengatur perekonomian guna mencapai pertumbuhan yang lebih cepat. Fungsi ini terlihat antara lain dalam bentuk:
1) Pemberian insentif perpajakan secara tepat guna bagi pengusaha sebagai cara untuk mendorong kegiatan investasi;
2) Penetapan tarif pajak yang tinggi terhadap barang-barang yang mengganggu kesehatan, seperti alkohol dan rokok demi mencegah dan mengurangi konsumsi atas barang-barang tersebut;
3) Serta pengenaan pajak atas barang mewah agar dapat membatasi kecenderungan pola hidup konsumtif dan membantu terlaksananya pola hidup sederhana.
3.1.3 Aspek Hukum Perpajakan
Pembagian hukum pajak dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukum pajak materil dan hukum pajak formil. Hukum pajak materil adalah hukum pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Hukum pajak materiil diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1) UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2) UU No.8 Tahun 1983 Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3) UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 4) UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
5) UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Hukum pajak formil ialah hukum pajak yang memuat peraturan-peraturan mengenai cara-cara hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Hukum ini memuat cara pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, cara pembukuan, cara-cara pemeriksaan, cara-cara-cara-cara penagihan, hak dan kewajiban wajib pajak, cara-cara-cara-cara penyidikan, macam-macam sanksi, dan lain-lain. Undang-undang pajak yang termasuk hukum pajak formil ialah sebagai berikut:
1) UU No.16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2) UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Secara garis besar penggolongan pajak di Indonesia dibagi 2 (dua), yaitu sebagai berikut:
1) Pajak negara/pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, penyelengaraannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara umumnya, misalnya Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan khusus Sektor Perkebunan, Pertanian, dan Kehutanan.
2) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota untuk pembiayaan daerah rumah tangga daerahnya masing-masing, misalnya pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak parker, dan sebaginya.
Dengan demikian, Direktorat Jendaral Pajak adalah lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang untuk melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan dan penegakan hukum terhadap masyarakat Wajib Pajak dan menyelengarakan pemungutan pajak negara/pusat. Selanjutnya, pengelolaan pajak daerah maupun retribusi daerah dilakukan oleh daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota
sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku pada tanggal 1 Januari 2010 (Zuraida, 2011:9).
3.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Secara umum ada 3 (tiga) sistem pemungutan pajak yang digunakan: (Siahaan, 2004: 22)
a) Official Assessment System
Suatu sistem yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat pasif dan menunggu penetapan pajak oleh fiskus, kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan besarnya ketetapan pajak yang ditetapkan oleh fiskus.
b) Selft Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Dalam sistem ini, Wajib Pajak harus aktif, untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang, sedangkan fiskus hanya tertugas memberikan arahan, pembinaan, dan pengawasan kepada Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya.
c) Withholding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Dalam sistem ini, pihak yang ditentukan sebgai pemungut atau pemotong pajak oleh Undang-Undang Pajak diberi kewenangan dan kewajiban untuk memotong atau memungut pajak yang terutang dari Wajib Pajak dan harus segera menyetorkannya ke kas negara sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila pihak ketiga tersebut melakukan kesalahan atau penyimpangan, kepadanya akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3.1.5 Jenis dan Pembagian Pajak
Adapun jenis dan pembagian pajak sebagai berikut: (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2011:7)
1) Menurut Golongan
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan, misalnya Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2)Menurut Sifatnya
a. Pajak Subsektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada subjeknya, yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak, misalnya PPh.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang didasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak, misalnya PPN dan PPnBM. 3) Menurut Pemungutannya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara, contohnya PPh, PPN, PPnBM, dan Materai.
b. Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintahan daerah dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara, contohnya PPh, PPN, PPnBM, dan Materai.
3.1.6 Utang Pajak
Dalam hukum pajak, terdapat 2 (dua) jenis kewajiban pajak yang menjadi dasar mengapa setiap orang (Wajib Pajak) harus membayar pajak yang terutang. Kedua kewajiban tersebut adalah: (Siahaan, 2004: 117)
1. Kewajiban Pajak Subjektif
Kewajiban pajak subjektif adalah kewajiban yang melekat pada subjeknya (subjek pajak). Pada umumnya setiap orang yang bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subjektif terhadap Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif ini juga dapat dikembangkan terhadap orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tetapi memiliki hubungan ekonomis dengan Indonesia. Bagi orang yang berada di luar Indonesia (bertempat tinggal di luar Indonesia), kewajiban pajak subjektifnya terpenuhi jika beberapa syarat dipenuhi. Syarat tersebut antara lain yang bersangkutan mempunyai hubungan ekonomis tertentu dengan Indonesia sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Pajak di Indonesia. Misalnya memperoleh penghasilan yang bersumber di Indonesia, mempunyai perusahaan di Indonesia, dan lain-lain.
2. Kewajiban Pajak Objektif
Kewajiban pajak objektif adalah kewajiban yang melekat pada objeknya (objek pajak), seperti yang di tentukan dalam Undang-Undang Pajak, di mana kewajiban pajak objektif hanya timbul pada saat dipenuhinya taatbestand
(keadaan yang nyata). Seseorang memenuhi kewajiban pajak objektif jika melakukan perbuatan yang memenuhi syarat pengenaan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak di Indonesia.
Sebagaimana pada kewajiban subjektif, kewajiban objektif juga dapat diberlakukan terhadap orang pribadi atau badan yang berada di luar Indonesia (bukan merupakan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia). Orang atau badan yang bertempat tinggal di luar Indonesia memenuhi kewajiban pajak objektif jika memenuhi taatbestand sesuai dengan ketentuan perpajakan Indonesia. Misalnya, orang atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia memperoleh penghasilan dari sumber-sumber tertentu yang ada di Indonesia (melakukan pekerjaan bebas atau memiliki saham perusahaan yang berkedudukan di Indonesia). Dalam hal ini orang pribadi atau badan tersebut telah memiliki kewajiban pajak objektif yang dapat membuatnya dikenakan pajak oleh Indonesia.
3.1.7Timbulnya Utang Pajak
Secara umum utang pajak timbul digolongkan dalam ajaran material dan ajaran formal (Siahaan, 2004: 126).
1.Ajaran Material
Menurut ajaran material, utang pajak timbul karena adanya Undang-Undang Pajak dan peristiwa/ keadaan/ perbuatan tertentu (taatbestand), serta tidak menunggu dari tindakan pihak fiskus/ pemerintah. Utang pajak timbul karena bunyi undang-undang saja, tanpa diperlukan perbuatan manusia. Jadi, sekalipun tidak dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus, asalkan terdapat suatu
taatbestand sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak, maka telah
timbul utang pajak.
2. Ajaran Formal
Menurut ajaran formal, utang pajak timbul karena ada ketetapan dari pihak pemungut pajak yaitu pemerintah atau aparatur pajak (fiskus) sehingga pajak terutang pada saat diterbitkannya surat ketetapan pajak. Tanpa adanya surat ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh fiskus, maka tidak ada utang pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Atau dengan kata lain, walaupun taatbestand
telah dipenuhi, akan tetapi apabila belum dikeluarkan surat ketetapan pajak, maka belum ada suatu utang pajak.
3.1.8Berakhirnya Utang Pajak
Berakhirnya utang pajak merupakan salah satu tujuan dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Dalam hukum pajak, ada beberapa cara berakhirnya utang pajak sebagai berikut (Siahaan, 2004: 134).
1. Pelunasan/ Pembayaran Pajak
Umumnya utang pajak berakhir dengan pembayaran ke kas negara atau tempat lain yang ditunjuk oleh negara seperti bank-bank pemerintah, kantor pos dan giro, dan lain-lain. Pembayaran pajak yang mengakibatkan berkhirnya utang
pajak adalah pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak atas semua pajak yang terutang yang timbul akibat adanya taatbestand yang ditentukan oleh undang-undang, termasuk sanksi administrasi dan biaya penagihan pajak yang timbul dalam pelaksanaan pemungutan pajak yang dimaksud.
2. Kompensasi (Pengimbangan)
Dalam hukum pajak, kompensasi pembayaran dapat dilakukan jika Wajib Pajak untuk satu jenis pajak mempunyai kelebihan pembayaran pajak sedangkan untuk lain jenis terdapat kekurangan pembayaran pajak. Kelebihan pembayaran pajak untuk satu jenis pajak tersebut dapat digunakan untuk membayar kekurangan pembayaran atas jenis pajak lain (utang pajak lainnya) yang juga terutang olehnya.
3. Penghapusan Utang
Dalam hukum pajak dimungkinkan pula berakhirnya pajak melalui penghapusan terhadap kewajiban pajak karena Wajib Pajak mengalami kebangkrutan sehingga mengalami kesulitan keuangan. Untuk menentukan apakah seseorang pailit atau tidak diperlukan penyelidikan yang saksama oleh fiskus dengan tujuan nantinya tindakan fiskus dapat dipertanggungjawabkan.
4. Kadaluwarsa atau Lewat Waktu
Menurut Undang-Undang KUP, utang pajak akan kadaluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu, apabila telah lewat waktu 10 (sepuluh) tahun sejak pajak terutang atau berakhirnya masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak Wajib Pajak
belum membayar lunas pajaknya dan fiskus tidak melakukan tindakan penagihan pajak, secara hukum utang pajak tersebut telah berakhir dengan sendirinya.
5. Pembebasan
Pembebasan pajak merupakan pengakhiran utang pajak yang dilakukan oleh fiskus tanpa persetujuan pihak Wajib Pajak. Hal ini dilakukan jika ada permohonan atau keadaan ekonomi Wajib Pajak yang mengalami kemunduran keuangan. Pembebasan pajak menurut Undang-Undang Pajak umumnya hanya diberikan terhadap sanksi administrasinya saja.
6.Penundaan Penagihan
Dengan cara ini penagihan pajak terutang dapat ditunda dalam jangka waktu tertentu. Jika kemudian Wajib Pajak ternyata mampu lagi untuk melunasi utang pajaknya, maka barulah ditagih. Jika tidak dapat juga ditagih maka barulah dihapuskan pajaknya.