UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI DIPLOMA III MANAJEMEN KEUANGAN
MEKANISME PENAGIHAN UTANG PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA
LUBUK PAKAM
TUGAS AKHIR Diajukan oleh:
NOVITA RISNA ARTA PURBA 122101007
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Pada Prgram Diploma III
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI DIPLOMA III MANAJEMEN KEUANGAN
LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR
NAMA : NOVITA RISNA ARTA PURBA
NIM : 122101007
PROGRAM STUDI : DIPLOMA III MANAJEMEN KEUANGAN
JUDUL : MEKANISME PENAGIHAN UTANG PAJAK
DENGAN SURAT PAKSA PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA LUBUK PAKAM
Tanggal : 2015 DOSEN PEMBIMBING
Dra. Lucy Anna, M.Si.
NIP: 198310082010122003
Tanggal : 2015 KETUA PROGRAM STUDI
DIPLOMA III MANAJEMEN KEUANGAN
Dr. Yeni Absah, SE, M.Si.
NIP: 197411232000122001
Tanggal : 2015 DEKAN FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
Prof.Dr.Azhar Maksum, SE,M.Ec.Ac,CA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
sampai saat ini Ia masih memberikan kasih dan berkat kepada peneliti sehingga
peneliti dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini guna memenuhi salah satu
persyaratan akademik dalam menyelesaikan Program Studi pendidikan Diploma
III Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera
Utara. Adapun judul Tugas Akhir ini adalah “ Mekanisme Penagihan Utang Pajak
dengan Surat Paksa pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam”.
Pada saat melakukan penulisan Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat
dukungan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini
penulis dengan tulus hati mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof.Dr. Azhar Maksum, SE, M.Ec, Ac, CA, selaku Dekan
Fakultan Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Yeni Absah, SE, M.Si , selaku Ketua Program Studi Diploma III
Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Lucy Anna, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan (saran)
yang sangat berguna kepada penulis dalam penyusunan Tugas Akhir ini.
4. Orang tua penulis yang sangat penulis sayangi, Bakti Ampera Purba dan
Leli Rosita Saragih. Terimakasih buat kasih sayang, dukungan materi dan
moril yang telah diberikan selama penulis kuliah, semoga bapak dan
5. Buat sahabat-sahabat tersayang Hotmaida Sidauruk, Lasmaria Manurung,
Sulastri Eka Pertiwi, dan Yudistria Sihombing terimakasih buat semuanya,
sudah menjadi sahabat yang baik dalam suka-duka. Semoga persahabatan
kita abadi untuk selamanya. Amin.
6. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
terimakasih atas dukungan dan bantuannya.
Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyusunan
dan penyelesaian Laporan Tugas Akhir ini, namun penulis menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan baik dari segi isi maupun tata bahasa. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun yang
membangun dalam penulisan kedepan. Semoga segala budi baik yang telah
diberikan selama penulisan Tugas Akhir ini, kiranya mendapat berkat dan rahmat
dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata, penulis berharap agar Tugas Akhir ini
bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Agustus 2015
Penulis
Novita Risna Arta Purba
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1LatarBelakang ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 5
1.3Tujuan Penelitian ... 5
1.4Manfaat Penelitian ... 5
BAB II PROFIL INSTANSI 2.1 Sejarah KPP Pratama LubukPakam ... 7
2.2 Visidan Misi KPP Pratama ... 10
2.3 Kebijakan KPP Pratama ... 11
2.4 Tugas KPP Pratama ... 12
2.5 Fungsi KPP Pratama ... 12
2.6 Struktur Organisasi dan DeskripsiTugas... 13
2.6.1 Struktur Organisasi ... 13
2.6.2 Deskripsi Tugas ... 15
2.7 Kinerja Terkini ... 18
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Teori Perpajakan Secara Umum ... 21
3.1.1 Pengertian Pajak... 21
3.1.2 Manfaat dan Fungsi Pajak ... 22
3.1.3 Aspek Hukum Perpajakan... 24
3.1.4 Sistem Pemungutan Pajak ... 26
3.1.5 Jenis dan Pembagian Pajak ... 27
3.1.6 Utang Pajak ... 28
3.1.7 Timbulnya Utang Pajak ... 29
3.1.8 Berakhirnya Utang Pajak ... 30
3.2 Penagihan Pajak ... 32
3.2.1 Defenisi, Tujuan dan Fungsi Penagihan Pajak ... 32
3.2.2 Penetapan Pajak sebagai Dasar Penagihan Pajak ... 33
3.2.3 Pelaksanaan Penagihan ... 34
3.3 Penagihan Seketika dan Sekaligus ... 37
3.3.1 PenagihanPajakSeketikadanSekaligusPadaPajakPusat... 38
3.3.2 PenagihanPajakSeketikadanSekaligusPadaPajak Daerah... 39
3.4 Surat Paksa ... 40
3.4.1 KarakteristikSuratPaksa ... 40
3.4.2 Isi SuratPaksa ... 41
3.4.3 PenerbitanSuratPaksa ... 42
3.4.4 PemberitahuanSuratPaksaolehJurusita ... 43
3.4.5 PelaksanaanPemberitahuanSuratPaksa ... 44
3.5 Kendala-kendala yang dihadapi KPP Pratama Lubuk Pakam ... 48 3.6 AnalisisPelaksanaanKegiatanPenagihandenganSuratTeguran
dan Surat Paksa ... 51 3.7 Jumlah Target danRealisasiPenerimaanPajak KPP Pratama
LubukPakam ... 55
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan ... 58 4.2 Saran... 58
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perbedaan antara Wajib Pajak dan Penanggung Pajak ... 42
Tabel 3.2 Realisasi Penerbitan Surat Teguran dan Surat Paksa ... 51
Tabel 3.3 Target Penerimaan KPP Pratama Lubuk Pakam ... 55
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 StrukturOrganisasi Pada Kantor PelayananPajak
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hukum yang
berlandaskan padaUndang-Undang Dasar 1945 dan berasaskan Pancasila.Hal ini
bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangasa yang adil dan
sejahtera, aman, tenteram, dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang
sama bagi warga masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah seharusnya
melaksanakan pembangunan nasional secara berkesinambungan dan berkelanjutan
serta merata di seluruh tanah air. Sekarang ini setiap negara sedang melakukan
pembangunan secara menyeluruh baik dari segi infrastruktur maupun pada sektor
pelayanan masyarakat tak terkecuali Bangsa Indonesia. Pada saat ini sebagai
negara berkembang, Indonesia tengah gencar-gencarnya melaksanakan
pembangunan di segala bidang baik ekonomi, sosial politik, hukum maupun
bidang pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
mencerdaskan kehidupan bangsa dengan secara adil dan makmur. Untuk
mewujudkan tujuan dari Pembangunan Nasional tersebut setiap negara harus
memperhatikan masalah pembiayaan.Salah satu usaha yang harus ditempuh
pemerintah dalam mendapatkan pembiayaan yaitu dengan memaksimalkan
potensi pendapatan yang berasal dari Negara Indonesia sendiri, yang salah
satunya berasal dari pajak. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan dalam
Pembangunan Nasional yang berasal dari iuran masyarakat atas pendapatan yang
bidang perpajakan perlu terus ditingkatkan dengan mendorong kesadaran,
pemahaman, dan penghayatan bahwa pajak adalah sumber pembiayaan negara
dan pembangunan nasional serta salah satu kewajiban kenegaraan sehingga setiap
anggota masyarakat wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban
perpajakannya, walaupun nantinya manfaat dari membayar kewajiban pajak tidak
dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Disamping itu pajak merupakan sumber pendapatan asli negara yang
mempunyai potensi besar dalam mendukung seluruh program kerja pemerintahan
dalam melakukan perubahan agar semua tujuan yang diharapkan pemerintah
dapat tercapai. Dengan demikian diperlukan suatu penanganan dan perhatian yang
menyeluruh dari segenap pegawai perpajakan dalam memaksimalkan penerimaan
negara yang belum mencapai titik maksimal. Saat ini bangsa Indonesia sedang
berusaha keluar dari krisis ekonomi global yang melanda di berbagai dunia. Kita
sebagai warga negara yang baik harus turut serta membantu tujuan bangsa
Indonesia dengan berpartisipasi dalam hal perpajakan seperti kesadaran
membayar pajak secara jujur. Apabilaseluruh warga negara mempunyai kesadaran
untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak akan berpengaruh terhadap
penerimaan negara dan tujan negara dapat dicapai.
Salah satu cara yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam meningkatkan
penerimaan pajak adalah dengan melakukan pembaharuan peraturan, kebijakan,
dan administrasi perpajakan secara terus menerus, bertahap, konsisten, dan
berkelanjutan. Usaha yang telah ditempuh Bangsa Indonesia untuk meningkatkan
pendapatan negara melalui sektor perpajakan adalah diawali dengan adanya
nama Tax Reform.Tax Reform dilakukan pemerintah karena peraturan perpajakan
yang berlaku pada tahun 1983 adalah peninggalan kolonial Belanda yang sudah
tidak sesuai dengan perkembangan zaman, struktur, dan organisasi pemerintahan
serta tidak berdasarkan Pancasila. Tujuan reformasi perpajakan adalah untuk
menegakkan kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional dengan
mengarahkan segenap kemampuan sendiri.
Pemerintah menyadari bahwa untuk membiayai pelaksanaan
pembangunan nasional tidak hanya mengandalkan pada peningkatan penerimaan
negara dari minyak bumi dan gas alam maupun dari utang luar negeri.
Peningkatanpenerimaan negara dari perpajakan atau sumber-sumber di luar
minyak bumi dan gas merupakan suatu keharusan yang mutlak bagi berhasilnya
pembangunan. Pada reformasi perpajakan adalah sistem perpajakan yang berlaku
akan disederhanakan. Salah satu bukti diberlakukannya Tax Reformadalah
diberlakukannya sistem pemungutan pajak self assessment yaitu Wajib Pajak
diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melaporkan sendiri jumlah utang
pajaknya menggantikan sistem official assessment. Dalam sistem ini semua
urusan perpajakan dilakukan oleh fiskus termasuk menghitung dan melaporkan
pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
yang direvisi dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan direvisi lagi
dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pemerintah telah berupaya
membantu masyarakat dalam Pembangunan Nasional. Dalamkenyataannya
ataupun prakteknya sering adapihak-pihak yang tidak mempunyai kesadaran
dalam jumlah besar yang belum terselesikan pembayarannya serta adanya
pihakyang berusaha menghindari pajak dengan tidak melaporkan kegiatan
usahanya. Untuk mengatasi masalah tersebut Instansi perpajakan melaksanakan
kebijakan untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak serta melaksanakan
ketetapan mekanisme penagihan utang pajak yang mempunyai kekuatan hukum
dalam menagih utang pajak. Pada mekanisme penagihan utang pajak diterbitkan
Surat Paksa yang digunakan untuk menagih utang pajak dan pembiayaan pajak.
Dengan diterbitkan Surat Paksa dapat mendorong Wajib Pajak dapat segera
membayar utang pajak.
Berdasarkan hal ini, maka penulis tertarik untuk mempelajari dan
mengetahui bagaimana mekanisme penagihan pajak berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku. Untuk itu penulis melakukan observasi Tugas Akhir dengan
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian, maka perumusan masalah sebagai objek penelitian
yaitu bagaimana mekanisme penagihan dan kegiatan pelaksanaan penagihan utang
pajak melalui Surat Paksa di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk
Pakam?
1.3Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.Untuk mengetahui mekanisme penagihan utang pajak dengan Surat Paksa
pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala ataupun masalah yang dihadapi serta
solusinya pada mekanismepenagihan utang pajak dengan Surat Paksa di
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam.
1.4Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang di lakukan yaitu:
a)Bagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam.
Penelitian ini memberikan saran yang menjadi masukan dan berguna bagi
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam dalam hal
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak pada pencapaian target pajak tahunan.
b) Bagi penulis
2) Mengetahui dan memahami bagaimana mekanisme penagihan utang pajak
dengan Surat Paksa pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk
Pakam.
3) Agar menerapakanteori-teori dan ilmu perpajakan yang didapat pada
perkuliahan.
4) Untuk menambah wawasan mengenai perpajakan.
c) Bagi pembaca
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah informasi dan wawasanmengenai
perpajakan serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan ataupun acuan
BAB II
PROFIL INSTANSI
2.1Sejarah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam
Untuk mengimplementasikan konsep administrasi perpajakan modern
yang berorientasi pada pelayanan dan pengawasan, maka struktur organisasi
Direktorat Jendral Pajak perlu diubah, baik dilevel kantor pusat sebagai pembuat
kebijakan maupun dilevel kantor operasional sebagai pelaksana implementasi
kebijakan.
Sebagai langkah pertama untuk memudahkan Wajib Pajak, kantor pajak
dibatasi atas 3 (tiga) jenis, yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan
(Karipka), dilebur menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Struktur yang berbasis
fungsi yang diterapkan pada KPP dengan sistem administrasi yang modern untuk
dapat merealisasikan debirokratisasi pelayanan sekaligus melaksanakan
pengawasan terhadap Wajib Pajak secara lebih sistematis berdasarkan analisis
resiko unit vertikal Direktorat Jendral Pajak dibedakan berdasarkan segmentasi
Wajib Pajak, yaitu KPP Wajib Pajak Besar, KPP Madya, dan KPP Pratama.
Dengan pembagian seperti ini, diharapkan strategi dan pendekatan terhadap Wajib
Pajak pun dapat disesuaikan dengan karakteristik Wajib Pajak yang ditangani,
sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih optimal. Pada tahap pertama, dibentuk
Kantor Wilayah (Kanwil) dan dibentuk Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak
Besar pada bulan Juli Tahun 2002 untuk mengadministrasikan 300 Wajib Badan
yang ditetapkan pada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak ( KPPWP) Besar
dianggap cukup berhasil maka konsep yang kurang lebih sama dicoba untuk
diterapkan pada KPP lain secara bertahap. Dimana sampai akhir tahun 2007,22
kanwil dan 202 KPP (3 KPPWP Besar, 28 KPP Madya, 171 KPP Pratama) telah
berhasil dimodernisasi. Pada akhir tahun 2006, struktur organisasi KPP Direktorat
Jenderal Pajak disempurnakan bersamaan dengan penerapan administrasi modern.
Pada tahun 2008, seluruh kantor diluar Jawa dan Bali akan dimodernisasi dengan
dibentuknya 128 KPP Pratama untuk menggantikan seluruh kantor pajak yang ada
di daerah tersebut. Perbedaan utama antara KPP Pratama dengan KPP Wajib
Pajak Besar maupun Madya antara lain dengan adanya Seksi Ekstensifikasi pada
KPP Pratama, sehingga dapat dikatakan pula KPP Pratama merupakan ujung
tombak bagi Direktorat Jendral Pajak untuk menambah rasio perpajakan di
Indonesia.
Kantor Pelayanan Pajak adalah Instansi Vertikal Direktorat Jendral Pajak
yang berada di bawah ini dan bertanggung jawab langsung kepada kepala kantor.
KPP Pratama akan melayani Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Pajak Bumi Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB). Selain itu KPP Pratama juga melakukan pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan tetapi bukan sebagai
lembaga yang memutuskan keberatan, struktur organisasi KPP Pratama
berdasarkan fungsi pajak bukan jenis pajak.
Pada KPP Pratama terdapat Account Representative (AR) yang memiliki
tugas antara lain memantau keadaan Wajib Pajak dan penghubung Wajib Pajak
peningkatan pelayanan Wajib Pajak. Dengan perubahan struktur organisasi baru,
maka Wajib Pajak akan dilayani oleh AR yang telah ditunjuk sehingga akan
terjalin saling keterbukaan.
Pembentukan KPP Pratama merupakan bagian program reformasi
birokrasi perpajakan yang sifatnya komprehensif dan telah berjalan sejak tahun
2002 ditandai dengan terbentuknya Kantor Wilayah (Kanwil) dengan Kantor
Pelayanan Pajak Besar. Terbentuknya KPP Pratama ini secara otomatis Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPBB) dan Kantor Pemeriksaan dan
Penyidikan (Karipka) tidak ada lagi. Langkah ini diambil sebagai bagian dan
usaha meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak untuk menemukan pelayanan
yang lebih baik dan personal dalam pelaksanaa good governance.
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam didirikan pada tahun 2008
berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Lubuk Pakam adalah Kabupaten Deli Serdang yang terdiri dari 22
kecamatan. Sebelumnya wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk
Pakam merupakan bagian wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tebing
Tinggi dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Binjai. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kepada Wajib Pajak. Dengan berdirinya KPP
Pratama Lubuk Pakam diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pelayanan bagi Wajib Pajak yang berdomisi atau berlokasi di Kabupaten Deli
2.2Visi dan Misi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama a. Visi
Menjadi institusi pemerintahan yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat
dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi.
b. Misi
Menghimpun penerimaan Pajak Negara berdasarkan Undang-Undang
Perpajakan yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui sistem administrasi perpajakan yang
efisien dan efektif.
c. Visi dan Penjelasannya
Sebagaimana kebijakan yang telah dicanangkan oleh Kantor Pusat
Direktorat Jendral Pajak, visi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam
adalah “Menjadi Model Pelayanan yang Dipercaya dan Dibanggakan Masyarakat”.
Visi tersebut merefleksikan cita-cita Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Lubuk Pakam untuk menjadi Public Service yang berstandar tinggi baik dan sisi
kualitas aparat maupun manajemennya sehingga eksistensi dan kinerjanya
mampu memenuhi harapan masyarakat sebagai institusi yang memiliki citra baik
dan bersih.
d. Misi dan Penjelasannnya
1. Misi Fiskal, yaitu menghimpun penerimaan dalam negeri dari sektor pajak
yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan
Undang-Undang Perpajakan dengan tingkat efektivitas dan efisiensi yang
tinggi.
2. Misi Ekonomi, yaitu mendukung kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi
permasalahan ekonomi bangsa dengan kebijakan perpajakan yang
meminimalkan distorsi.
3. Misi Politik, yaitu mendukung proses demokratis bangsa.
4. Misi Kelembagaan, yaitu senantiasa memperbaharui diri, selaras dengan
aspirasi masyarakat dan teknokrasi perpajakan serta administrasi perpajakan
yang mutakhir.
Misi tersebut sebagai salah satu pernyataan tujuan keberadaan (eksistensi).
Tugas, fungsi, peran, dan tanggung jawab Direktorat Jendral Pajak maupun
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam sebagaimana diamanatkan
dalam undang-undang dan peraturan serta kebijakan pemerintah dengan dijiwai
prinsip-prinsip dan nilai-nilai strategis organisasi diberbagai bidang.
2.3Kebijakan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Demi tercapainya tujan dan sasaran berdasarkan visi dan misi yang telah
ditetapkan, KPP Pratama Lubuk Pakam telah mengambil langkah-langkah
sebagaimana tertuang dalam kebijakan yang dijadikan pedoman, petunjuk, atau
pegangan bagi setiap usaha kegiatan yang dilaksanakan yaitu :
2. Mengamankan pencapaian rencana penerimaan pajak.
3. Terciptanya masyarakat sadar dan peduli pajak.
2.4Tugas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Kantor Pelayanan Pajak Pratama mempunyai tugas yaitu melaksanakan
penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan wajib pajak di bidang Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM), Bea Materai, Pajak Tidak Langsung lainnya, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) serta Bea Permohonan Hak atas Tanah dan Bangunan(BPHTB)
dalam wilayah wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2.5Fungsi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Dalam melaksanakan tugas, KPP Pratama menyelenggarakan fungsi :
1) Pengumpulan, pencarian, dan pengolahan data, pengamatan potensi
perpajakan, penyajian informasi perpajakan, penetapan dan penerbitan produk
hukum perpajakan.
2) Pengadministrasian dokumen dan berkas perpajaka, penerimaan dan
pengolahan surat pemberitahuan, serta penerimaan surat lainnya.
3) Penyuluhan perpajakan.
4) Penatausahaan piutang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
5) Pelaksanaan pemeriksaan pajak.
6) Pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
8) Pelaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi.
9) Pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Pajak.
2.6Struktur Organisasi dan Deskripsi Tugas 2.6.1Struktur Organisasi
Struktur organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap bagian
serta posisi yang ada pada suatu organisasi atau perusahaan dalam menjalankan
kegiatan operasional untuk mencapai tujuan. Struktur organisasi menggambarkan
dengan jelas pemisahan kegiatan antara bagian yang satu dengan yang lain
bagaimana hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi dalam struktur organisasi yang
baik harus menjelaskan hubungan wewenang siapa melapor kepada siapa. Berikut
ini pada gambar 2.1 merupakan gambaran struktur orbanisasi pada Kantor
Gambar 2.1
STRUKTUR ORGANISASI PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA LUBUK PAKAM
Sumber : Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Lubuk Pakam
Account Representative 8 Account Representative 6 Account Representative 4 Account Representative 2 Account Representative 1 Account Representative 3 Account Representative 5 Account
Representative 7 Pelaksana
Kepala Seksi Pengawasan & Konsultasi III
K.a Seksi Pelayan K.a Seksi Pengawasan & Konsultasi IV K.a Seksi Pengawasan& Konsultasi III K.a Seksi Fungsional
K.a Seksi Pengawasan & Konsultasi I K.a Seksi Pengawasan & Konsultasi II K.a Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal K.a Seksi Ekstensifika si Perpajakan K.a Seksi Penagihan
KEPALA KPP PRATAMA LUBUK PAKAM
KEPALA KANWIL DJP SUMUT
2.6.2DeskripTugas
Adapun tugas dari masing-masing bagian adalah sebagai berikut:
a)Sub Bagian Umum
Sub bagian umum terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu:
1) Tata Usaha dan Kepegawaia
Tugasnya adalah menyelenggarakan tugas pelayanan di bidang tata usaha dan
kepegawaian dengan cara melakukan pengurusan surat, pengetikan dan
pengadaan, penataan berkas, penyusunan arsip, tata usaha kepegawain dan
pengiriman laporan agar dapat menunjang kelancaran tugas kantor itu sendiri.
2) Keuangan
Tugasnya adalah menyususn anggaran dan administrasi keuangan untuk
pembiayaan administrasi kantor dan penggajian para pegawai KPP Pratama
Lubuk Pakam.
3) Bagian Rumah Tangga
Tugasnya adalah mengurusi segala keperluan rumah tangga dan keperluan
perlengkapan KPP Pratama Lubuk Pakam agar dapat menunjang kelancaran
tugas Kantor Pelayanan Pajak.
b) Seksi Pengolahan Data Dan Informasi
Seksi Pengolahan Data dan Informasi dipimpin oleh seorang Kepala Seksi
yang bernama Parlagutan Simatupang. Adapun tugas dari seksi adalah
mengkordinir urusan pengolahan data dan penyajian informasi, pembuatan
monografi pajak, penggalian potensi perpajakan serta ekstensifikasi Wajib Pajak
Seksi Pengolahan Data dan Informasi mempunyai tugas melakukan
pengumpulan, pencarian, pengolahan data, penyajian informasi perpajakan,
perekaman dokumen perpajakan, urusan tata usaha penerimaan perpajakan,
pengalokasian Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, Pelayanan teknis Komputer, Pemantauan aplikasi elektronik,
pengaplikasian Sistem Informasi Objek Pajak (SESMIOP), dan Sistem Informasi
Geografi (SIG), serta penyajian laporan kinerja.
c)Seksi Pelayanan
Seksi pelayanan mempunyai fungsi atau tugas melakukan penetapan dan
penertiban produk hukum perpajakan, pengadministrasian dokumen dan berkas
perpajakan, penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan (SPT), serta
penerimaan surat lainnya, penyuluhan perpajakan, pelaksanaan registrasi Wajib
Pajak, serta melakukan kerjasama perpajakan.
d)Seksi Penagihan
Seksi penagihan mempunyai tugas melakukan urusan penatausahaan
piutang pajak, penagihan aktif, usulan penghapusan piutang pajak, penundaan dan
angsuran, tunggakan pajak, serta penyimpanan dokumen-dokumen penagihan.
e)Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal
Seksi pemeriksaan dan kepatuhan internal mempunyai tugas melakukan
penyusunan rencana pemeriksaan, pengawasan pelaksanaan aturan pemeriksaan,
penerbitan dan penyaluran Surat Perintah Pemeriksaan Pajak serta administrasi
f) Seksi Ekstensifikasi
Seksi Ekstensifikasi Perpajakan mempunyai tugas melakukan pengamatan
potensi perpajakan, pendataan Wajib Pajak baru, pendapatan objek dan subjek
pajak, penilaian objek-objek pajak dalam rangka ekstensifikasi.
g) Seksi Pengawasan Dan Konsultasi I, II, III, IV
Seksi Pengawasan dan Konsultasi terdiri dari 4(empat) kelompok bagian.
Seksi ini masing-masing mempunyai tugas melakukan pengawasan kepatuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak, bimbingan dan himbauan kepada Wajib Pajak
serta sebagai tempat konsultasi teknis perpajakan, penyusunan profil Wajib Pajak,
analisis kerja Wajib Pajak, melakukan rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka
melakukan intensifikasi dan melakukan evaluasi hasil banding.
h) Kelompok Jabatan Fungsional
Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan
sesuai dengan jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari
Supervisor, Ketua Tim, dan Anggota Tim. Kantor Pelayan Pajak Pratama
mempunyai 2 (dua) kelompok fungsional sesuai dengan bidang keahliannya.
Setiap kelompok tersebut dikordinasikan oleh pejabat fungsional senior yang
ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah. Atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
bersangkutan. Jumlah Jabatan Fungsional tersebut ditentukan berdasarkan
2.7Kinerja Terkini
Bagi Direktorat Jendral Pajak (DJP), institusi yang bertanggung jawab
dalam menopang pembiayaan kehidupan bernegara, “Perubahan” merupakan
keniscayaan mengingat perkembangan masyarakat dan dunia usaha yang sangat
dinamis dan semakin komplek. Sampai saat ini ada dua perubahan yang cukup
fenomenal di DJP, yaitu perubahan sistem pemungutan pajak dari “Official
Assessment” menjadi “Self Assessment” yang dilakukan pada tahun 1983 dan
modernisasi administrasi perpajakan yang dilakukan pada tahun 2002 (dimulai
dengan pembentukan Kanwil dan KPP Wajib Pajak (WP) Besar). Kedua
perubahan tersebut telah berhasil mengubah pola pikir dan perilaku para
stakeholders terlebih pola pikir dan perilaku aparat perpajakan.
Sistem pemungutan pajak “Self Assessment” memberikan kewenangan
sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Perubahan ini telah berhasil mengubah
aparat perpajakan yang sebelumnya “powerful” karena kewenangan penetapan
besarnya pajak terutang berdasarkan penilaian secara langsung menjadi aparat
perpajakan yang “akuntabel” dalam berinteraksi dengan Wajib Pajak. Awalnya
cukup efektif untuk meredam perilaku-perilaku kolusi dan koruptif. Namun,
seiring perjalanan waktu, akibat tidak efektifnya sistem pengendalian internal
pada DJP ditambah dengan organisasi yang cukup toleran dengan
perilaku-perilaku kolusi koruptif, maka budaya organisasi yang berkembang saat ini lebih
cenderung ke arah budaya materialistis dan berdampak pada kurang baiknya citra
DJP baik di mata masyarakat Indonesia maupun di dunia internasional. Dengan
DJP. Momentum krisis ekonomi Indonesia tahun 1998, yang membawa angin
perubahan untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih bersih dan transparan,
dimanfaatkan dengan baik oleh para pemimpin DJP untuk menyusun suatu agenda
reformasi di DJP yang bertujuan untuk membawa DJP menjadi suatu institusi
yang akuntabel, dipercaya dan dibanggakan masyarakat. Agenda reformasi ini
kemudian lebih dikenal dengan nama “ Modernisasi Administrasi Perpajakan”.
Secara umum, modernisasi perpajakan menyentuh 3 (tiga) hal utama, yaitu
restrukturisasi organisasi, pengembangan proses bisnis yang berbasis Teknologi
Informasi, dan penyelengaraan praktek “Good Governance” yang didukung oleh
Manajemen Sumber Daya Manusia yang berbasis kompetensi.
Konsep restrukturisasi organisasi bertujuan untuk mengatasi permsalahan
organisasi pada level operasional (unit vertikal) seperti adanya redundansi
duplikasi pengawasan dan pemeriksaan, tidak adanya pelayanan satu atap,
struktur belum mendukung sepenuhnya praktek “Good Governance”, standar
pelayanan yang belum proper memadai, dan sebagainya. Konsep ini meliputi
hal-hal sebagai berikut:
1. Struktur organisasi KPP berdasarkan segmentasi Wajib Pajak Besar,
Menengah, dan Kecil.
2. Struktur organisasi yang berbasiskan fungsi administrasi perpajakan.
3. Penggabungan KPP, Karipka, dan KPPBB.
4. Penerapan konsep Account Representative.
5. Pemindahan fungsi keberatan ke Kanwil.
Pengembangan proses bisnis yang berbasis teknologi informasi ditandai
dengan penerapan sistem “workflow” dan “case management” dalam Sistem
Informasi Direktorat Jendral Pajak (SIDJP). Dengan adanya kedua sistem
tersebut, proses bisnis administrasi perpajakan menjadi semakin akuntabel karena
penentu mulai dan berakhirnya suatu kasus di generate oleh sistem sehingga tidak
dapat dimanipulasi oleh manusia. Dalam sistem tersebut juga dapat diketahui
tahapan proses secara transparan, seingga apabila terjadi keterlambatan, sistem
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Teori Perpajakan Secara Umum 3.1.1 Pengertian Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa
imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum (Zuraida, 2011:3).
Secara umum dapat dikatakan bahwa pajak adalah pungutan dari
masyarakat kepada negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat
dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak
mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung yang
hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan (Siahaan, 2004 :5).
Dari defenisi pajak di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa ciri yang
melekat pada pengertian pajak sebagai berikut:
1) Pajak dipungut oleh negara (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah), berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2) Pembayaran pajak harus masuk kepada kas negara.
3) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi
individu oleh pemerintah (tidak ada imbalan langsung yang diperoleh si
4) Penyelengaraan pemerintahan secara umum merupakan manifestasi kontra
prestasi dari negara.
5) Pajak diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah yang bila dari
pemasukannya masih terdapat kelebihan atau surplus, digunakan untuk
tabungan publik (Public Saving).
6) Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan
yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.
3.1.2 Manfaat dan Fungsi Pajak
Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pajak yang dipungut dari
masyarakat. Dana yang diperoleh dari pajak antara lain dapat digunakan sebagai
salah satu sumber penerimaan negara, alat pemerataan pendapatan, dan pendorong
investasi. Fungsi pajak berkaitan erat dengan manfaat yang diperoleh dari
pemungutan pajak, dimana ada dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair dan
fungsi regulerend (regulasi) atau fungsi mengatur (Siahaan, 2004 :10).
a.Fungsi Budgetair/Penerimaan
Fungsi budgetair (penerimaan) yang disebut juga sebagai fungsi utama
pajak atau fungsi fiskal (fiscal function) adalah suatu fungsi di mana pajak
digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara
berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Maksud pengertian
tersebut adalah:
1) Jangan sampai ada Wajib Pajak/Subjek Pajak yang tidak memenuhi kewajiban
2) Jangan sampai ada objek pajak yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak
kepada fiskus; dan
3) Jangan sampai ada objek pajak yang terlepas dari pengamatan atau
penghitungan fiskus.
Dengan demikian, optimalisasi pemasukan dana ke kas negara tidak hanya
tergantung kepada fiskus saja, akan tetapi kepada dua-duanya berdasarkan
Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.
b. Fungsi Regulerend/Regulasi
Fungsi regulerend (regulasi) atau fungsi mengatur disebut juga fungsi
tambahan, yaitu suatu fungsi dimana pajak digunakan pemerintah sebagai alat
untuk mencapai tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena fungsi
ini hanya sebagi pelengkap dari fungsi utama pajak, yaitu fungsi budgetair.
Fungsi regulasi atau fungsi mengatur juga berarti pajak digunakan untuk
mengatur perekonomian guna mencapai pertumbuhan yang lebih cepat. Fungsi ini
terlihat antara lain dalam bentuk:
1) Pemberian insentif perpajakan secara tepat guna bagi pengusaha sebagai cara
untuk mendorong kegiatan investasi;
2) Penetapan tarif pajak yang tinggi terhadap barang-barang yang mengganggu
kesehatan, seperti alkohol dan rokok demi mencegah dan mengurangi
konsumsi atas barang-barang tersebut;
3) Serta pengenaan pajak atas barang mewah agar dapat membatasi
kecenderungan pola hidup konsumtif dan membantu terlaksananya pola hidup
3.1.3 Aspek Hukum Perpajakan
Pembagian hukum pajak dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukum
pajak materil dan hukum pajak formil. Hukum pajak materil adalah hukum pajak
yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan,
perbuatan-perbuatan, dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak,
siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat dikatakan
pula segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan
hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Hukum pajak materiil
diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1) UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2) UU No.8 Tahun 1983 Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
3) UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
4) UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
5) UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Hukum pajak formil ialah hukum pajak yang memuat peraturan-peraturan
mengenai cara-cara hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Hukum ini memuat
cara pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, cara pembukuan,
cara-cara pemeriksaan, cara-cara-cara-cara penagihan, hak dan kewajiban wajib pajak, cara-cara-cara-cara
penyidikan, macam-macam sanksi, dan lain-lain. Undang-undang pajak yang
1) UU No.16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU No.5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2) UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun
2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Secara garis besar penggolongan pajak di Indonesia dibagi 2 (dua), yaitu
sebagai berikut:
1) Pajak negara/pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat,
penyelengaraannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, digunakan untuk
pembiayaan rumah tangga negara umumnya, misalnya Pajak Penghasilan,
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Bea
Materai, Pajak Bumi dan Bangunan khusus Sektor Perkebunan, Pertanian, dan
Kehutanan.
2) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan daerah kota untuk pembiayaan daerah rumah tangga daerahnya
masing-masing, misalnya pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan,
pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak parker,
dan sebaginya.
Dengan demikian, Direktorat Jendaral Pajak adalah lembaga yang ditunjuk
oleh undang-undang untuk melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan dan
penegakan hukum terhadap masyarakat Wajib Pajak dan menyelengarakan
pemungutan pajak negara/pusat. Selanjutnya, pengelolaan pajak daerah maupun
sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku pada tanggal 1 Januari 2010
(Zuraida, 2011:9).
3.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Secara umum ada 3 (tiga) sistem pemungutan pajak yang digunakan:
(Siahaan, 2004: 22)
a) Official Assessment System
Suatu sistem yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar oleh Wajib
Pajak. Dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat pasif dan menunggu penetapan pajak
oleh fiskus, kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan besarnya
ketetapan pajak yang ditetapkan oleh fiskus.
b) Selft Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan,
dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Dalam
sistem ini, Wajib Pajak harus aktif, untuk menghitung, memperhitungkan,
menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang, sedangkan fiskus
hanya tertugas memberikan arahan, pembinaan, dan pengawasan kepada Wajib
c) Withholding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak. Dalam sistem ini, pihak yang ditentukan sebgai pemungut atau pemotong
pajak oleh Undang-Undang Pajak diberi kewenangan dan kewajiban untuk
memotong atau memungut pajak yang terutang dari Wajib Pajak dan harus segera
menyetorkannya ke kas negara sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
Apabila pihak ketiga tersebut melakukan kesalahan atau penyimpangan,
kepadanya akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
3.1.5 Jenis dan Pembagian Pajak
Adapun jenis dan pembagian pajak sebagai berikut: (Ikatan Akuntansi
Indonesia, 2011:7)
1) Menurut Golongan
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan
kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang
bersangkutan, misalnya Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan
kepada pihak lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2)Menurut Sifatnya
a. Pajak Subsektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada subjeknya, yang
selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang didasarkan pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak, misalnya PPN dan PPnBM.
3) Menurut Pemungutannya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai Rumah Tangga Negara, contohnya PPh, PPN, PPnBM,
dan Materai.
b. Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintahan daerah dan digunakan
untuk membiayai Rumah Tangga Negara, contohnya PPh, PPN, PPnBM,
dan Materai.
3.1.6 Utang Pajak
Dalam hukum pajak, terdapat 2 (dua) jenis kewajiban pajak yang menjadi
dasar mengapa setiap orang (Wajib Pajak) harus membayar pajak yang terutang.
Kedua kewajiban tersebut adalah: (Siahaan, 2004: 117)
1. Kewajiban Pajak Subjektif
Kewajiban pajak subjektif adalah kewajiban yang melekat pada subjeknya
(subjek pajak). Pada umumnya setiap orang yang bertempat tinggal di Indonesia
memenuhi kewajiban pajak subjektif terhadap Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif ini juga dapat dikembangkan terhadap orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tetapi memiliki hubungan
ekonomis dengan Indonesia. Bagi orang yang berada di luar Indonesia (bertempat
tinggal di luar Indonesia), kewajiban pajak subjektifnya terpenuhi jika beberapa
syarat dipenuhi. Syarat tersebut antara lain yang bersangkutan mempunyai
Undang-Undang Pajak di Indonesia. Misalnya memperoleh penghasilan yang
bersumber di Indonesia, mempunyai perusahaan di Indonesia, dan lain-lain.
2. Kewajiban Pajak Objektif
Kewajiban pajak objektif adalah kewajiban yang melekat pada objeknya
(objek pajak), seperti yang di tentukan dalam Undang-Undang Pajak, di mana
kewajiban pajak objektif hanya timbul pada saat dipenuhinya taatbestand
(keadaan yang nyata). Seseorang memenuhi kewajiban pajak objektif jika
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat pengenaan pajak sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Pajak di Indonesia.
Sebagaimana pada kewajiban subjektif, kewajiban objektif juga dapat
diberlakukan terhadap orang pribadi atau badan yang berada di luar Indonesia
(bukan merupakan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia). Orang atau badan yang
bertempat tinggal di luar Indonesia memenuhi kewajiban pajak objektif jika
memenuhi taatbestand sesuai dengan ketentuan perpajakan Indonesia. Misalnya,
orang atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia
memperoleh penghasilan dari sumber-sumber tertentu yang ada di Indonesia
(melakukan pekerjaan bebas atau memiliki saham perusahaan yang berkedudukan
di Indonesia). Dalam hal ini orang pribadi atau badan tersebut telah memiliki
kewajiban pajak objektif yang dapat membuatnya dikenakan pajak oleh Indonesia.
3.1.7Timbulnya Utang Pajak
Secara umum utang pajak timbul digolongkan dalam ajaran material dan
1.Ajaran Material
Menurut ajaran material, utang pajak timbul karena adanya
Undang-Undang Pajak dan peristiwa/ keadaan/ perbuatan tertentu (taatbestand), serta tidak
menunggu dari tindakan pihak fiskus/ pemerintah. Utang pajak timbul karena
bunyi undang-undang saja, tanpa diperlukan perbuatan manusia. Jadi, sekalipun
tidak dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus, asalkan terdapat suatu
taatbestand sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak, maka telah
timbul utang pajak.
2. Ajaran Formal
Menurut ajaran formal, utang pajak timbul karena ada ketetapan dari pihak
pemungut pajak yaitu pemerintah atau aparatur pajak (fiskus) sehingga pajak
terutang pada saat diterbitkannya surat ketetapan pajak. Tanpa adanya surat
ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh fiskus, maka tidak ada utang pajak yang
harus dibayar oleh Wajib Pajak. Atau dengan kata lain, walaupun taatbestand
telah dipenuhi, akan tetapi apabila belum dikeluarkan surat ketetapan pajak, maka
belum ada suatu utang pajak.
3.1.8Berakhirnya Utang Pajak
Berakhirnya utang pajak merupakan salah satu tujuan dalam pelaksanaan
pemungutan pajak. Dalam hukum pajak, ada beberapa cara berakhirnya utang
pajak sebagai berikut (Siahaan, 2004: 134).
1. Pelunasan/ Pembayaran Pajak
Umumnya utang pajak berakhir dengan pembayaran ke kas negara atau
tempat lain yang ditunjuk oleh negara seperti bank-bank pemerintah, kantor pos
pajak adalah pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak atas semua pajak yang
terutang yang timbul akibat adanya taatbestand yang ditentukan oleh
undang-undang, termasuk sanksi administrasi dan biaya penagihan pajak yang timbul
dalam pelaksanaan pemungutan pajak yang dimaksud.
2. Kompensasi (Pengimbangan)
Dalam hukum pajak, kompensasi pembayaran dapat dilakukan jika Wajib
Pajak untuk satu jenis pajak mempunyai kelebihan pembayaran pajak sedangkan
untuk lain jenis terdapat kekurangan pembayaran pajak. Kelebihan pembayaran
pajak untuk satu jenis pajak tersebut dapat digunakan untuk membayar
kekurangan pembayaran atas jenis pajak lain (utang pajak lainnya) yang juga
terutang olehnya.
3. Penghapusan Utang
Dalam hukum pajak dimungkinkan pula berakhirnya pajak melalui
penghapusan terhadap kewajiban pajak karena Wajib Pajak mengalami
kebangkrutan sehingga mengalami kesulitan keuangan. Untuk menentukan
apakah seseorang pailit atau tidak diperlukan penyelidikan yang saksama oleh
fiskus dengan tujuan nantinya tindakan fiskus dapat dipertanggungjawabkan.
4. Kadaluwarsa atau Lewat Waktu
Menurut Undang-Undang KUP, utang pajak akan kadaluwarsa setelah
lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu, apabila telah lewat waktu 10 (sepuluh) tahun sejak pajak terutang
belum membayar lunas pajaknya dan fiskus tidak melakukan tindakan penagihan
pajak, secara hukum utang pajak tersebut telah berakhir dengan sendirinya.
5. Pembebasan
Pembebasan pajak merupakan pengakhiran utang pajak yang dilakukan
oleh fiskus tanpa persetujuan pihak Wajib Pajak. Hal ini dilakukan jika ada
permohonan atau keadaan ekonomi Wajib Pajak yang mengalami kemunduran
keuangan. Pembebasan pajak menurut Undang-Undang Pajak umumnya hanya
diberikan terhadap sanksi administrasinya saja.
6.Penundaan Penagihan
Dengan cara ini penagihan pajak terutang dapat ditunda dalam jangka
waktu tertentu. Jika kemudian Wajib Pajak ternyata mampu lagi untuk melunasi
utang pajaknya, maka barulah ditagih. Jika tidak dapat juga ditagih maka barulah
dihapuskan pajaknya.
3.2 Penagihan Pajak
Berikut ini penjelasan mengenai dasar-dasar penagihan pajak (Zuraida,
2011:37).
3.2.1 Defenisi, Tujuan dan Fungsi Penagihan Pajak
Defenisi penagihan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU
No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000, penagihan pajak adalah serangkaian
tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak
sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
Berdasarkan defenisi tersebut, dapat disimpukan bahwa penagihan pajak
merupakan serangkaian tindakan dimulai dengan tindakan yang bersifat teguran
atau peringatan, dan dilanjutkan dengan tindakan-tindakan yang lebih bersifat
memaksa agar utang pajak dapat dilunasi.
Tujuan penagihan pajak adalah agar penanggung pajak melunasi utang
pajaknya. Dengan demikian, jika utang pajak telah dilunasi, maka serangkaian
tidakan tersebut tidak perlu dilanjutkan.
Fungsi penagihan pajak, yaitu pertama, sebagai tindakan penegakan
hukum kepada Wajib Pajak atau penanggung pajak untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan. Kedua, sebagai tindakan pengamanan penerimaan pajak.
3.2.2 Penetapan Pajak sebagai Dasar Penagihan Pajak
Ruang lingkup pajak sebagaimana diatur dalam pasal 1 Undang-Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, bahwa yang dimaksud dengan pajak dalam
undang-undang tersebut adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat, termasuk bea masuk dan cukai dan pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah, menurut undang-undang dan peraturan daerah. Dengan demikian, dasar
penagihan untuk pajak pusat akan mengacu pada ketentuan UU No. 6 Tahun1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009. Sedangkan untuk pajak daerah,
sehubungan telah dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dengan Surat Paksa (PPSP) merupakan juga landasan hukum bagi pemerintah
daerah untuk melakukan penagihan pajak daerah.
3.2.3 Pelaksanaan Penagihan
Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak sesuai dengan ketentuan atau
tidak membayar pajak sebagaimana mestinya (kurang bayar pajak), kepada Wajib
Pajak dapat dilakukan tindakan penagihan oleh fiskus. Hal ini dimaksudkan agar
wajib pajak membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penagihan
aktif dan penagihan dengan Surat Paksa yang dilakukan kepada Wajib Pajak
harus melalui tahapan yang ditentukan oleh undang-undang, mulai dari penerbitan
surat teguran, surat paksa, surat sita, pengumuman lelang, sampai dengan
pelaksanaan lelang atas harta milik Wajib Pajak atau penanggung pajak yang
Gambar 3.1
Jadwal dan Alur Tindakan Penagihan Pajak
Sumber: Zuraida, 2011
Tahapan pelaksanaa penagihan pajak dengan Surat Paksa saat ini
dilakukan sebagai berikut (Siahaan, 2004: 356).
(1) Tindakan pelaksanaan penagihan diawali dengan penerbitan surat teguran atau
surat lain yang sejenis oleh pejabat yang berwenang atas kuasa yang ditunjuk
oleh pejabat tersebut sejak 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran.
(2) Surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang telah disetujui
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajasknya. SKP dan STP Jatuh Tempo Surat Teguran 7 Hari
21 H
ar
i
Surat Paksa 2 x 24 Jam
SPMP 14 Hari Penjualan Langsung/ pengumuman Lelang
10 H
ar
i
Pengumuman
II 14 Hari Pelaksanaan Lelang
Pencegahan
(3) Apabila jumlah utang pajak masih harus dibayar tidak dilunasi penanggung
pajak setelah lewat waktu 21 hari sejak diterbitkannya surat teguran, pejabat
segera menerbitkan Surat Paksa.
(4) Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
penanggung pajak setelah lewat waktu 2 kali 24 jam sejak Surat Paksa
diberitahukan kepadanya maka pejabat segera menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan (SPMP).
(5) Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak
dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal
pelaksanaan penyitaan, pejabat yang berwenang segera melaksanakan
pengumuman lelang.
(6) Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak
dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal
pengumuman lelang, pejabat yang berwenang segera melakukan penjualan
barang sitaan milik penanggung pajak melalui Kantor Lelang Negara.
(7) Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak
dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak dilakukan
penyitaan barang yang dikecualikan dari penjualan secara lelang, pejabat yang
berwenang segera melakukan penjualan, penggunaan, ataupun
pemindahbukuan barang sitaan milik penanggung pajak.
(8) Dalam keadaan tertentu Wajib Pajak atau penanggung pajak dapat dilakukan
penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
3.3 Penagihan Seketika dan Sekaligus
Pengertian penagihan seketika dan sekaligus adalah penagihan pajak tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran terhadap seluruh utang pajak dan
semua jenis pajak, Masa Pajak dan Tahun Pajak (Penj UU 19/00, KMK 561/00).
Dalam hal ini diketahui oleh Juru Sita Pajak bahwa barang milik Penanggung
Pajak akan disita oleh pihak ketiga atau terdapat kepailitan, atau penanggung
pajak akan membubarkan badan usahanya, memekarkan usaha,
memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, Juru Sita Pajak
segera melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus dengan melaksanakan
penyitaan terhadap sebagian besar barang milik Penanggung Pajak dimaksud
setelah Surat Paksa diberitahukan (Rusjdi, 2007: 29).
Alasan dilakukan penagihan seketika dan sekaligus yang dilakukan pejabat
apabila:
(a) Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu;
(b) Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan
perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun
memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasinya;
(c) Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan
usahanya atau berniat untuk itu;
(d) Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
(e) Terjadi penyitaan atas barang Penaggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan oleh pejabat (KMK
561/00):
a. Sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;
b. Tanpa didahului Surat Teguran;
c. Sebelum jangka waktu 21 hari sejak Surat Teguran diterbitkan;
d. Sebelum penerbitan Surat Paksa (UU 19/00).
Surat Perintah Penagihan Seketika Dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. Besarnya utang pajak
c. Perintah untuk membayar; dan
d. Saat pelunasan uatng pajak.
3.3.1 Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus Pada Pajak Pusat
Berikut ini penjelasan penagihan seketika dan sekaligus pada pajak pusat
dan pajak daerah (Siahaan, 2004: 361).
Sesuai dengan Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000,
jurusita pajak akan melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran pajak berdasarkan Surat Perintah
Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwewenang apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang
dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan,
atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan
usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau
memindahtangankan perusahaan yang dimilki atau dikuasainya, atau
melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
3.3.2 Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus Pada Pajak Daerah
Penagihan pajak seketika dan sekaligus terhadap utang pajak berdasarkan
STP, SKPDKB, SKPDKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding
yang mengakibatkan utang pajak bertambah dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak akan meninggalkan daerah tempat dipungutnya pajak tersebut
untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Wajib Pajak akan mengentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan
perusahaannya atau pekerjaan yang dilakukannya di daerah tempat
dipungutnya pajak tersebut ataupun memindahtangankan barang bergerak
yang dimiliki atau yang dikuasainya;
c. Pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya dan pernyataan pailit;
3.4 Surat Paksa
Pengertian Surat Paksa telah diatur dalam pasal 1 sub 10 Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1997 yang berbunyi: Surat Paksa adalah surat perintah
membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Berikut ini penjelasan dari
karakteristik dan isi Surat Paksa (Siahaan, 2004: 392).
3.4.1 Karakteristik Surat Paksa
a. Surat Paksa berkepala “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
b. Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan gross akta dari
putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi
pada hakim atasan (pengadilan yang lebih tinggi).
c. Surat Paksa mempunyai fungsi ganda, yaitu menagih pajak dan menagih
bukan pajak (biaya-biaya penagihan). Dengan demikian, yang dapat ditagih
dengan Surat Paksa adalah semua jenis pajak pusat dan pajak daerah serta
biaya penagihan pajak, yang terdiri dari:
- Pajak Pusat;
- Pajak Daerah;
- Kenaikan;
- Denda (bukan denda pidana);
- Bunga; dan
- Biaya penagihan pajak.
d. Surat Paksa dilaksanakan oleh Jurusita Pajak, baik jurusita pajak pusat
serta diberi tugas secara resmi untuk menyampikan Surat Paksa kepada Wajib
Pajak.
e. Surat Paksa yang tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan/ pencegahan
oleh Jurusita Pajak yang berwenang.
3.4.2 Isi Surat Paksa
Surat Paksa berisi perintah kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak dan
kepada Jurusita Pajak. Perintah kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak untuk
segera membayar tunggakan pajak ke tempat pembayaran pajak yang ditetapkan
ditambah dengan biaya penagihan yang dikeluarkan oleh fiskus dalam waktu 2
(dua) hari sejak pemberitahuan Surat Paksa diterima oleh Wajib Pajak/
Penanggung Pajak. Sedangkan perintah kepada Jurusita Pajak yang
melaksanakan Surat Paksa adalah untuk melakukan penyitaan atas barang milik
Wajib Pajak/Penanggung Pajak apabila dalam waktu 2 (dua) hari Surat Paksa
tidak dipenuhi Wajib Pajak/Penanggung Pajak.
Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. Dasar penagihan;
c. Besarnya utang pajak; dan
d. Perintah untuk membayar.
Berikut pada tabel 3.1 dijelaskan perbedaan antara wajib pajak dan
Tabel 3.1
Perbedaan antara Wajib Pajak dan Penanggung Pajak
Wajib Pajak Penanggung Pajak
1. Badan
2. Badan dalam pembubaran atau pailit
3. Warisan yang belum dibagi
4. Anak yang belum dewasa/ orang yang berada dalam pengampunan
1. Pengurus termasuk orang yang nyata-nyata berwenang ikut menentukan
kebijaksanakan/mengambil keputusan dalam perusahaan. 2. Orang/badan yang dibebani
dengan pemberesan 3. Salah seorang ahli waris
pelaksana wasiat/ yang
mengurus harta peninggalannya 4. Oleh wali atau
pengampunannya
Sumber: Hadi, 2001
3.4.3 Penerbitan Surat Paksa
Surat Paksa diterbitkan oleh Kepala KPP apabila :
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan
Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.
b. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus.
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagimana tercantumdalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Penerbitan surat paksa secara sah oleh pejabat berwewenangmerupakan
modal utama bagi pelaksanaan penagihan pajak yang efektif, karena Surat Paksa
memberikan kewenangan kepada petugas penagihan pajak untuk melakukan
eksekusi langsung (parate executie) dalam penyitaan atas barang milik
barang-barang tersebut untuk pelunasan pajak terutang tanpa melalui prosedur di
pengadilan terlebih dahulu.
3.4.4 Pemberitahuan Surat Paksa oleh Jurusita
Menurut pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Surat Paksa
diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan
Surat Paksa kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak. Mengingat Surat Paksa
mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan
gross akta, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak oleh
Jurusita Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa. Kemudian
kedua belah pihak (Jurusita Pajak dan Wajib Pajak/Penanggung Pajak)
menandatangani berita acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah
diberitahukan. Selanjutnya salinan Surat Paksa diserahkan kepada Penanggung
Pajak, sedangkan Surat Paksa yang asli disimpan di kantor pejabat yang
berwenang melakukan penagihan pajak.
Pemberitahuan Surat Paksa dituangkan dalam berita acara yang
sekurang-kurangnya memuat:
a. Hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
b. Nama Jurusita Pajak;
c. Nama yang menerima Surat Paksa;
3.4.5Pelaksanaan Pemberitahuan Surat Paksa
Pelaksanaan pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh Jurusita Pajak
dengan cara berikut ini (Hadi, 2001: 29).
1) Jurusita Pajak menandatangani tempat tinggal tempat kedudukan Wajib
Pajak/Penanggung Pajak dengan memperlihatkan tanda pengenal diri. Jurusita
Pajak mengemukakan maksud kedatangannya yaitu, memberitahukan Surat
Paksa dengan pernyataan dan menyerahkan salinan Surat Paksa tersebut.
2) Jika Jurusita Pajak bertemu langsung dengan Wajib Pajak/Penanggung Pajak
minta agar WP/PP surat-surat keterangan pajak yang ada untuk diteliti:
- Apakah tunggakan pajak menurut ketetapan pajak cocok dengan
jumlah tunggakan yang tercantum pada Surat Paksa.
- Apakah ada Surat Keputusan Pengurangan/Penghapusan.
- Apakah ada kelebihan pembayaran dari tahun/jenis pajak lainnya
yang belum diperhitungkan.
3) Jika Jurusita Pajak tidak menjumpai Wajib Pajak/Penanggung Pajak maka
salinan Surat Paksa tersebut dapat diserahkan kepada:
a.Keluarga Penanggung Pajak atau orang yang bertempat tinggal bersama
Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang akilbaliq (dewasa dan sehat mental).
b.Anggota Pengurus Komisaris atau para pesero dari Badan Usaha yang
bersangkutan.
c.Pejabat Pemerintah setempat (Bupati/Walikota/Camat/Lurah) dalam hal
mereka tersebut pada butir a dan b di atas juga tidak dijumpai.Pejebat-
sebagai tanda diketahuinya dan menyampaikan salinannya kepada Wajib
Pajak/Penanggung Pajak yang bersangkutan.
d.Jurusita Pajak yang telah melaksanakan penagihan pajak dengan Surat
Paksa, harus membuat laporan pelaksanaa Surat Paksa (bentuk KP.RIKPA
4.9-97).
4) Kalau penanggung pajak tidak ditemukan di kantor, maka Jurusita Pajak dapat
menyerahkan salinan SP kepada:
- Seseorang yang ada di kantornya (salah seorang pegawai),
- Seseorang yang ada di tempat tinggalnya (istri, anak atau pembantu
rumahnya).
5) Kalau tunggakan berbeda, yaitu tunggakan menurut SP berbeda dengan
tunggakan menurut SKP yang ada pada Wajib Pajak/Penanggung Pajak, maka
Jurusita Pajak tidak boleh mengubah, apa yang tertulis pada SP ataupun
mencoret dan menambahkan pembetulannya.
Jurusita Pajak mengembalikan SP tersebut kepada Kepala Seksi Penagihan
dengan disertai laporan dan usul agar dikeluarkan SP yang baru dengan
menggunakan nomor dan tanggal yang sama sesuai dengan data sebenarnya.
6) Kalau penaggung pajak menolak Surat Paksa, yaitu apabila alasan penilakan
adalah kesalahan SP itu sendiri, maka penyelesaiannya adalah seperti yang
telah diuraikan pada butir 5 (lima) di atas. Apabila Jurusita setelah
memberikan keterangan seperlunya Penanggung Pajak atau wakilnya tetap
menilak maka salinan SP tersebut dapat ditinggalkan begitu saja pada tempat
demikian SP dianggap telah diberitahukan/disampaikan (Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1997 pasal 10 ayat 11).
7) Biaya Penyampaian Surat Paksa
a.Jumlah biaya
Menurut Kep.DJP.No.Kep-01/pj.75/1994 tgl 14-1-1994, besarnya biaya
penyampaian Surat Paksa, sebagai berikut:
- Biaya Harian Jurusita = Rp 10.000,-
- Biaya Perjalanan = Rp 15.000,-
b.Apabila seorang Jurusita Pajak telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka ia sepenuhnya menerima biaya
penagihan tanpa dikaitkan apakah piutang pajak dan biaya penagihannya
telah dilunasi oleh WP/PP atau belum, sebaliknya dalam hal
ketentuan tersebut tidak sepenuhnya diikuti, maka biaya penagihan tersebut
tidak dapat diberikan.
8) Surat Paksa yang telah dilaksanakan, diserahkan kepada Kasi Penagihan
disertai Laporan Pelaksanaan Surat Paksa (KP. RIKPA 4.9-97) dan diteruskan
kepada Kepala Seksi Penagihan untuk ditandatangani dan selanjutnya
dimasukkan dalam berkas Penagihan WP/PP yang bersangkutan dengan
terlebih dahulu dicatat tanggal pelaksanaan Surat Paksa dalam Buku Register
Pengawasan Penagihan, Buku Register Tindakan Penagihan, dan Kartu
Pengawasan Tunggakan Pajak.
9) Laporan Pelaksaan Surat Paksa (KP. RIKPA 4.9-97)
a.Atas pelaksanaan Surat Paksa dibuat laporan oleh Jurusita Pajak yang
b.Hal-hal yang mendapat perhatian untuk dilaporkan yaitu:
-Jenis, letak dan taksiran harga dari obyek sita dengan memperhatikan
tunggakan pajak dan biaya pelaksanaan penagihan yang mungkin akan
dikeluarkan.
-Dalam kesan dan usul hendaknya dilaporkan keadaan yang sebenarnya
dari WP/PP, antara lain kemampuan bayar, itikad mau bayar dan
pandangan terhadap penetapan/penagihan pajak dan sebagainya,
sehingga Jurusita Pajak dapat mengajukan usul untuk tindakan
penagihan selanjutnya.
10)Apabila Jurusita Pajak tidak dapat melaksanakan Surat Paksa secara langsung,
maka Jurusita Pajak harus membuat laporan secara tertulis mengenai
sebab-sebabnya dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam upaya melaksanakan
Surat Paksa tersebut, antara lain menghubungi pejabat pemerintah setempat,
polisi, dan sebagainya.
3.4.6Laporan Penyampaian Surat Paksa
Jurusita setelah melaksanakan pemberitahuan Surat Paksa wajib membuat
laporan pelaksanaan Surat Paksa. Dalam laporan tersebut berisi hal-hal sebagai
berikut (Zuraida, 2011:79).
1. Identitas Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
Data identitas Wajib Pajak atau Penanggung Pajak adalah sama seperti
identitas Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang terdapat dalam
SKPKB/SKPKBT/SKBKB/SKBKBT/STP, Surat Keputusan atau Surat
2. Pelaksanaan Penyampaian Surat Paksa
Pelaksanaan penyampaian surat paksa meliputi tanggal Surat Paksa
disampaikan, dilampiri dengan berita acara penyampaian Surat Paksa dan
rincian utang pajak.
3. Data mengenai Tunggakan Pajak
Diuraikan data tunggakan, dan perkembangan upaya hukum terhadap
sengketa yang dilakukan Wajib Pajak, yaitu data mengenai keberatan dan
banding yang dilakukan oleh Wajib Pajak, serta besarnya tunggakan yang ada.
4. Informasi Mengenai Objek Sita
Pada saat penyampaian Surat Paksa, Jurusita Pajak sudah mulai mendata
kemungkinan barang-barang yang dapat digunakan sebagai objek sita jika
nantinya akan dilaksanakan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP).
Barang tersebut dirinci jenis barang, letak barang, dan taksiran harga barang.
5. Kesan dan Usul Jurusita
Kesan dan usul Jurusita berisi tentang opini Jurusita terhadap kondisi Wajib
Pajak, apakah Wajib Pajak mempunyai kemampuan untuk membayar utang
pajak, apakah Wajib Pajak menyembunyikan harta kekayaannya, serta
kemungkinan-kemungkinan dapat tidaknya utang pajak dilunasi oleh Wajib
Pajak.
3.5 Kendala-kendala yang dihadapi KPP Pratama Lubuk Pakam
Seksi Penagihan merupakan salah satu seksi yang mempunyai peran
pentin