• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.3 Landasan Teor

2.3.1 Teori Praktik Bourdieu

Teori Praktik dikumandangkan oleh Pierre-Felix Bourdieu (1930-2002), salah seorang pemikir Prancis terkemuka di penghujung abad ke-20. Karya Bourdieu sendiri mencakup bidang yang sangat luas, dari etnografi hingga seni, sastra, pendidikan, bahasa, gaya hidup, dan media. Ulasan-ulasan atas karya karyanya itu telah memberi inspirasi bagi penjelajahan cultural studies di berbagai belahan dunia.

Bourdieu adalah seorang teoretikus yang banyak dibahas dalam memahami budaya, terutama menyangkut geneologi suatu praktik budaya dalam masyarakat. Dari sekian banyak yang dikemukakan Bourdieu, teorinya mengenai Praktik- Habitus dan Modal banyak dibicarakan dan kiranya sangat relevan diterapkan

45

dalam memahami hubungan-hubungan antarsubjek dalam suatu lingkup budaya tertentu yang kompleks.

Dengan teori itu, budaya dipahami secara utuh, sebagai sesuatu yang given (diwarisi) sekaligus constructed (direkayasa), subjektif sekaligus objektif, tubuh sekaligus ide, manifest sekaligus laten. Bourdieu berusaha memecahkan kepelikan struktur dan agensi dalam apa yang disebut strukturalisme generik. Ia berpendapat bahwa praktik meniscayakan adanya agen atau aktor, tetapi perlu dipahami dalam konteks struktur objektif dari suatu budaya dan masyarakat. Secara khusus, Bourdieu prihatin dengan kekuatan kelas penentu sebagai kendala struktural. Bourdieu terkenal dengan argumennya bahwa selera budaya adalah konstruksi sosial yang terletak dalam konteks habitus kelas sosial tertentu (Barker, 2004).

(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Fokus perhatian Bourdieu dalam lapangan budaya adalah praktik. Baginya, ada tiga aspek utama yang menjadi inti atau titik tolak lahirnya praktik budaya, yaitu habitus, modal, dan ranah. Habitus adalah sekian produk perilaku yang muncul dari berbagai pengalaman hidup manusia. Habitus akumulasi dari hasil kebiasaan dan adaptasi manusia, yang berakar kuat menjadi suatu karakter, pada gilirannya membentuk suatu struktur yang mendasari praktik dan representasi (Bourdieu, 1990: 53).

Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antarposisi-posisi objektif dalam tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individual. Ranah mengisi ruang sosial, yang mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Sementara itu, praktik adalah produk dari relasi antara habitus dengan ranah, yang keduanya merupakan produk sejarah. Dalam ranah inilah ada pertaruhan kekuatan antarorang yang memiliki modal. Konsep modal dari

46

Bourdieu lebih luas daripada sekadar modal material, yakni bisa juga berupa modal ekonomi, modal intelektual maupun modal kultural. Komposisi praktik sosial dari Bourdieu dapat dinyatakan dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Harker, dkk, 2010). Rumus generatif ini menggantikan setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.

Dengan konsep habitus ini, Bourdieu berupaya menjembatani subjektivisme dan objektivisme, dengan melihat hubungan dialektika antara keduanya. Habitus memproduksi praktik individual dan kolektif (Bourdieu, 1990: 54). Sementara habitus ada di dalam pikiran aktor, lingkungan ada di luar pikiran mereka. Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor/subjek untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan untuk digunakan dalam merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan dan memnebri pembenaran.

Secara dialektis, habitus adalah “produk internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus mencerminkan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok, dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari intensitas posisi dalam struktur dan relasi sosial. Habitus akan berbeda-beda tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial. Tidak setiap orang sama kebiasaannya: orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial cenderung memiliki kebiasaan yang sama. Habitus, karenanya, dapat pula menjadi fenomena kolektif, tetapi dengan adanya banyak habitus

47

berarti kehidupan sosial dan strukturnya tidak dapat dipaksakan seragam kepada seluruh orang.

Teori ini juga menekankan determinasi waktu. Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode sejarah yang relatif panjang. Habitus adalah produk sejarah (Bourdieu, 1990: 54). Kebiasaan individu atau masyarakat tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah dunia sosial di mana kebiasaan itu terjadi. Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah atau dialihkan dari satu bidang ke bidang lain. Pada tataran ini dimungkinkan terjadi transformasi dalam praktik sosial-budaya tergantung kepada kebutuhan dan tantangan sejarah.

Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Satu sisi, habitus adalah structuring structures (struktur yang membentuk), artinya sebuah kesadaran yang membentuk kehidupan sosial. Sisi lain, habitus adalah structured structures (struktur yang dibentuk), yakni kesadaran yang dikondisikan oleh dunia sosial. Dengan kata lain, habitus adalah dialektika internalisasi dari eksternalitas dan eksternalisasi dari internalitas. Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Dengan demikina, habitus diciptakan melalui praktik (tindakan); sekaligus menciptakan tindakan tertentu dalam kehidupan sosial.

Bourdieu mengungkapkan fungsi perantara tindakan ketika ia mendefinisikan habitus sebagai “struktur kognisi dan pemberi motivasi” (Bourdieu, 1995: 78). Walau habitus sebuah struktur yang diinternalisasikan, yang mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan, namun habitus tidak menentukan pikiran dan tindakan. Habitus semata-mata “mengusulkan” apa yang sebaiknya

48

dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip dengan mana aktor membuat pilihan strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial. Jadi, habitus bekerja di bawah tingkat kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan kemampuan pengamatan dan pengendalian.

Adanya habitus dan cara kerjanya tidak disadari, namun berwujud dalam aktivitas manusia yang sangat praktis seperti cara makan, berjalan, berbicara dan bahkan dalam cara bersendawa. Kebiasaan atau habitus ini berperan sebagai struktur, tetapi orang abai terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang mempengaruhi secara mekanis. Dialektika antara habitus dan lingkungan adalah penting karena saling menentukan. Habitus hanya terbentuk dan berfungsi dalam sebuah lingkungan, karena habitus itu sendiri tidak lain dari “lingkungan dari kekuatan yang ada,” sebuah situasi dinamis di mana kekuatan hanya terjelma dalam hubungan dengan suasana tertentu di sekitarnya. Dalam pengertian lain, habitus adalah “sense of one’s place,”, yaitu persepsi seseorang tentang tempat atau posisinya di hadapan orang lain dalam struktur sosial di mana dia hidup, dan persepsi itu mempengaruhi tindakan dan interaksinya (Hillier & Rooksby, 2005).

Berdasarkan pengertian habitus dan ranah serta mekanisme kerjanya dalam diri manusia dan struktur, Bourdieu memberi tekanan bahwa salah satu efek mendasar dari konfigurasi ini adalah produksi commonsense world (semesta kesadaran bersama) yang dinilai sebagai sebuah objektivitas yang dilindungi oleh

49

konsensus akan makna dari sebuah praktik dan dunia objektif (Bourdieu, 1995: 80). Itulah mengapa habitus memiliki keterkaitan dengan konsep doxa sebagai padanan dari ideologi. Doxa dapat diartikan sebagai tatanan sosial yang melingkupi individu yang terikat pada tradisi yang memiliki kekuasaan yang tampak natural. Dalam praktiknya, doxa tampil lewat pengetahuan-pengetahuan yang given dalam masyarakat (Takwin, 2009: 115).

Gagasan Bourdieu boleh dikatakan membuka tradisi baru dalam wacana sosiologi. Pendekatan sosiologi sebelumnya tidak jauh berbeda dengan pendekatan ekonomi klasik yang melihat fenomena sosial sebagai produk-produk tindakan individual. Pada Bourdieu, terdapat upaya penyatuan kedua unsur ini, yakni antara agen dengan struktur, antara objektivisme Marxian dengan subjektivisme dari fenomenologi, antara kebebasan individu ala Sartre dan determinisme struktur ala Levi Strauss.

Teori yang dikemukakan oleh Bourdieu ini bisa menjadi acuan praktis dalam melihat realitas sosial-budaya. Fenomena sosial-budaya yang tampak kompleks jika diteropong menggunakan formulasi Bourdieu ini akan jelas memiliki unsur geneologi yang terikat dengan lingkungan pendukungnya, subjek/aktor dan relasi-relasi antarsubjek dan lingkungannya. Praktik sosial budaya, karenanya, tidak ada yang lahir dalam ruang “hampa”, tanpa konteks dan semangat zamannya.

Praktik-praktik tradisi, misalnya, bisa lahir karena proses pewarisan secara turun temurun sehingga menjadi given dalam masyarakat tertentu. Meskipun pewarisan itu melibatkan kesadaran kognitif yang tampak tidak disadari, tetapi dipicu oleh adanya kebutuhan sosial serta dukungan nilai-nilai dalam masyarakat.

50

Antara yang given dan konstruksi sosial dari pembentukan suatu budaya, karenanya, tidak bisa diklaim sebagai paling penting. Menjadi jelas, bahwa praktik sosial-budaya adalah representasi suatu ide dan kepentingan aktor-aktor yang terlibat dalam suatu struktur masyarakat.

Perspektif teoretik Bourdieu tampaknya sengaja diposisikan sebagai perangkat untuk membongkar struktur-struktur tidak adil dalam masyarakat. pembongkaran dilakukan dengan cara mencari hubungan yang tidak terlihat di belakang agen/subjek sekaligus menyelidiki persepsi-persepsi kognitif yang dimilikinya (Mutahir, 2011: 55-56).

Karya-karya Bourdieu dan ulasannya sudah mulai diminati di kalangan intelektual Indonesia, terutama dalam lapangan sosiologi budaya. Model pendekatannya atas fenomena kebudayaan bahkan ditengarai sebagai yang terbaik dalam penelitian ilmu sosial (Herwanto, 2005: 184). Konsep-konsepnya digunakan dalam cultural studies untuk melihat hubungan praktik budaya dengan struktur-struktur subjektif dan objektif yang melingkupi dan menghasilkannya. Konsep-konsepnya sekaligus merupakan kritik ideologi yang bisa membongkar selubung-selubung yang mengungkung subjek dalam ketertindasan sosial budaya. Konsepnya dapat dikatakan sebagai cara keluar dari lingkaran setan dan menjadi strategi praktis melakukan objektivasi terhadap subjek. Cara ini membongkar kategori-kategori yang berasal dari ketidaksadaran manusia (Haryatmoko, 2010: 14). Dengan demikian, konsep ini melahirkan kesadaran struktural, dan mengilhami posisi khas dari aktor terhadap proses budaya, mulai dari praksis

51

perlawanan, pembelaan, dan emansipatoris.

Teori Praktik dari Bourdieu di atas dapat memberi tuntunan kepada peneliti untuk melihat suatu budaya sebagai suatu praktik yang terstruktur, sehingga dengan itu praktik budaya Raju dapat ditempatkan sebagai suatu teks yang bisa dibaca secara sistematis. Dengan teori ini praktik budaya Raju bisa diuraikan aspek-aspek yang meliputinya sehingga bisa dilihat bahwa budaya ini diproduksi melalui habitus yang didukung oleh modal dan berlangsung dalam ranah tertentu.

Selanjutnya dengan memahami jalinan praktik tersebut dengan aktor-aktor yang terlibat, selubung-selubung kepentingan di dalamnya dapat dibongkar. Selubung kepentingan itu sendiri bisa dilihat operasinya dalam lingkup masyarakat yang terlibat dalam relasi dengan dunia luar, berupa hegemoni kelompok dominan yang memandang Dou Mbawa sebagai ‘the other’. Oleh karena itu, penting juga penelitian ini menggunakan Teori Hegemoni untuk melihat sisi politis dari praktik budaya Raju sebagai wacana perlawanan dan resistensi masyarakat pendukungnya terhadap dominasi dari luar. Dengan demikian, dua teori ini ibarat “dua ujung tombak” yang akan membongkar dimensi-dimensi struktur ide, kepentingan, dan relasi dari praktik budaya Raju.

Dokumen terkait