• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Budaya Raju dalam Pluralitas Dou Mbawa di Bima Nusa Tenggara Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Praktik Budaya Raju dalam Pluralitas Dou Mbawa di Bima Nusa Tenggara Barat."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTIK BUDAYA

RAJU

DALAM PLURALITAS

DOU

MBAWA

DI BIMA, NUSA TENGGARA BARAT

 

ABDUL WAHID 1090371029

NIM 1090371029

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

DISERTASI

DIAJUKAN UNTUK UJIAN

(2)

   

ii

PRAKTIK BUDAYA

RAJU

DALAM PLURALITAS

DOU

MBAWA

DI BIMA, NUSA TENGGARA BARAT

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

           

ABDUL WAHID 1090371029

NIM 1090371029

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

 iii

LEMBAR PENGESAHAN

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 04 DESEMBER 2015

Promotor,

Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. NIP. 19520218 198003 1002

Kopromotor I,

Prof. Dr. Aron Meko Mbete NIP. 194707231979031002

Ketua

Program Doktor Kajian Budaya Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. NIP. 194807201978031001

Kopromotor II,

Dr. I Gede Mudana, M.Si. NIP. 196412021990111001

Mengetahui:

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

(4)

   

iv

Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 04 Desember 2015

Panitia Penguji Disertasi

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

No.: 4036/UN.14.4/HK/2015, Tanggal 30 November 2015

Ketua: Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U

Anggota:

1. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A

2. Prof. Dr. Aron Meko Mbete

3. Dr. I Gede Mudana, M.Si

4. Prof. Dr. I Made Suastika, S.U

5. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt

6. Dr. Putu Sukardja, M.Si

(5)

 v

PERNYATAAN KEASLIAN

Nama : Abdul Wahid

Nomor Induk Mahasiswa : 1090371029

Program Studi : Doktor (S3) Kajian Budaya

Judul Disertasi : Praktik Budaya Raju dalam Pluralitas Dou Mbawa

di Bima, Nusa Tenggara Barat

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini asli, bukan hasil plagiasi.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiasi dalam karya ilmiah ini, maka

saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun

2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 1 Februari 2016

(6)

   

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, berkat Rahmat-Nya

disertasi dengan judul “Praktik Budaya Raju dalam Pluralitas Dou Mbawa di

Bima, Nusa Tenggara Barat” ini akhirnya selesai. Meski sempat terhenti dalam

jangka waktu lama (setahun lebih) karena kecelakaan yang menimpa penulis, pada

akhirnya disertasi ini bisa lahir, berkat dorongan, dukungan, dan keterlibatan

banyak pihak. Tanpa kontribusi mereka, mustahil kiranya pekerjaan ini bisa

diselesaikan.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan tak terhingga kepada

Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A selaku Promotor, yang dengan dedikasi keilmuan

dan tanggungjawab moral telah membimbing secara saksama sehingga disertasi

ini layak sebagaimana diharapkan. Hal yang sama disampaikan kepada Prof. Dr.

Aron Meko Mbete selaku Kopromotor I, yang tidak henti memberi dorongan dan

arahan yang begitu berarti dalam mengembalikan kekuatan untuk merampungkan

disertasi ini. Demikian pula kepada Dr. I Gede Mudana, M.Si selaku Kopromotor

II yang telah ikhlas menjadi teman diskusi yang hangat terutama dalam

internalisasi semangat Kajian Budaya, sehingga disertasi ini mendapatkan warna

Cultural Studies.

Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Prof. Dr. A.A.

Bagus Wirawan, S.U dan Dr. Putu Sukardja, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris

Program Studi Doktor Kajian Budaya yang telah menyediakan fasilitas

(7)

 vii

memungkinkan kerja penelitian ini berjalan sebagaimana mestinya. Ucapan yang

sama disampaikan kepada Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr.

dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiarsa,

M.A, dan Asisten Direktur II, Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, Ph.D.

Kepemimpinan, fasilitas, dan kesempatan yang mereka berikan kepada penulis

sebagai karyasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas

Udayana begitu berarti. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada

Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti dan

menyelesaikan Program Doktor di Universitas Udayana.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para staf akademik Program

Studi S3 Kajian Budaya atas segala dedikasi, kehangatan, dan kekeluargaan

mereka dalam memberi pelayanan administrasi dan informasi selama proses

kuliah sampai proses penulisan disertasi ini. Mereka adalah Putu Sukaryawan, S.T,

Dra. Ni Luh Witari, Ni Wayan Ariyati, S.E, Cok Istri Murniati, S.E, A.A. Ayu

Indrawati, I Nyoman Chandra, Putu Hendrawan, Ketut Budi Arsa, Nyoman

Juliartini, dan Kadek Griya.

Terima kasih yang tidak terhingga kepada para penguji ujian Tertutup, yakni

Prof. Dr. I Made Suastika, S.U, Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U, Prof. Dr. I

Nyoman Darma Putra, M.Litt, Dr. Putu Sukardja, M.Si, dan Dr. I Wayan Gde

Suacana, M.Si yang telah memberikan sanggahan, informasi, dan saran dengan

(8)

   

viii

Penulis tidak lupa menyampaikan rasa hormat dan bakti kepada para dosen

yang telah memberi basis keilmuan bagi keterlibatan penulis dalam lapangan

Kajian Budaya. Mereka di antaranya Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A, Prof. Dr.

Aron Meko Mbete, Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A, Prof. Dr. I Gede Widja,

M.A, Prof. Dr. I Nengah Bawa Atmadja, M.A, Prof. Dr. I Made Suastika, S.U,

Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A, M.Phil, Prof. Dr. Irwan Abdullah, M.A,

Prof. Dr. Ir. Sulistyawati, M.S, Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H, M.H, Prof. Dr.

Emiliana Mariyah, M.S, Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum, Dr. Putu Sukardja, M.Si,

dan Dr. I Gede Mudana, M.Si, serta dosen lain yang telah memberikan

sumbangan pemikiran dan pemahaman yang kritis dan mendalam, khususnya

dalam aspek teori-teori kebudayaan kritis.

Terima kasih mendalam juga kepada para Indonesianis yang dari mereka

penulis banyak menyerap ilmu, etos dan disiplin akademik, serta kepada siapa

penulis banyak bertukar pikiran untuk mendapatkan penajaman konseptual dan

kerangka pikir mengenai penelitian ini. Mereka adalah Greg Fealy, Sally White,

James Fox, AH Johns, Anthony Reid, dan Virginia Hooker di Autralian National

University, Greg Barton dan Julian Millie di Monash University, serta Tim

Lindsey di Melbourne University.

Atas diskusi-diskusi yang hangat dan mendalam dengan Phillip Winn,

selaku supervisor dalam Program PIES (Partnership in Islamic Education

Sholarship) yang penulis ikuti selama dua semester pada 2014 di ANU, penulis

sampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi. Demikian juga dengan

(9)

 ix

Graduate Fellowship yang penulis ikuti selama dua bulan lebih pada 2012 di Asia

Research Institute, National University of Singapore. Mereka telah bertindak

sebagai mentor yang memperkaya materi dan cara analisis serta penulisan

akademik dari disertasi ini.

Kepada kawan-kawan seperjuangan dan seangkatan (2010) di Program

Doktor Kajian Budaya, para kolega di IAIN Mataram khususnya di Fakultas

Dakwah, para budayawan di Bima dan Mataram, juga dihaturkan terima kasih atas

kehangatan diskusi-diskusi yang telah dilibati bersama penulis. Mereka juga telah

memberikan semangat dan dukungan dalam upaya penyelesaian disertasi ini.

Kepada sahabat Abdul Alim, Arif Tarigan, Lingua Usop, dan Salman Faris saya

sampaikan penghargaan yang tinggi atas keikhlasan membantu proses pengurusan

ujian demi ujian dan hadir ketika penulis in abcentia.

Ucapan terima kasih yang sangat mendalam juga disampaikan kepada para

narasumber dan informan, baik yang ada di Mbawa maupun yang ada wilayah

Bima lainnya. Kepada para informan dan narasumber lepas yang tidak dapat

disebut satu persatu, juga disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih.

Akhirnya, kepada keluarga penulis yang begitu mencintai dengan segala doa

dan dukungan yang tak dapat dinilai dengan apa pun. Khususnya kepada Atun

Wardatun, istri sekaligus teman diskusi dan pembaca utama disertasi ini, yang

dengan penuh ketekunan telah mencurahkan dukungan di tengah kesibukannya

sendiri menyelesaikan disertasi di Western Sydney University. Demikian juga

kepada ketiga putra terkasih (Aqara Waraqain, Ara Wali, dan Aribal Waqy) yang

(10)

ayah-   

x

ibunya sehingga seringkali mengambil waktu mereka. Doa tak bertepi dari ibunda

Hj. Siti Maryam yang sangat terasa kehadirannya di tengah suka-duka selama

studi ini. Dukungan juga datang dari seluruh saudara penulis yang telah tulus

mengisi hal-hal yang menjadi tanggungjawab sosial penulis yang tidak bisa

ditunaikan selama proses perkuliahan. Doa dari bapak mertua H.M. Saleh Ishaka

dan dukungan dari semua saudara ipar yang begitu signifikan dalam menopang

kelanjutan penulisan ini. Doa dan dukungan mereka adalah kekuatan tiada tara,

lebih-lebih saat penulis menjalani masa-masa sulit akibat kecelakaan yang hampir

membuat penulis berhenti dari penyelesaian disertasi ini.

Hanya doa terbaik dan tulus yang bisa penulis sampaikan untuk membalas

semua sumbangsih dan kebaikan yang telah diberikan oleh berbagai pihak

tersebut. Mudah-mudahan bernilai ibadah dan mendapat pahala dari Tuhan Yang

Maha Esa.

Denpasar, 1 Februari 2016

(11)

 xi

ABSTRAK

Penataan ulang kehidupan keagamaan dalam rezim Orde Baru (1966-1998), yang mengharuskan penduduk memeluk salah satu dari agama resmi, telah menciptakan ketegangan bagi kepercayaan lokal, Parafu, di kalangan Dou Mbawa di Bima, Nusa Tenggara Barat. Kehadiran Islam dan Kristen sebagai agama baru dan resmi menjadikan mereka sebagai masyarakat yang pluralistik yang bisa memicu budaya kompetisi dan konflik. Karena Islam, Kristen, dan Parafu

memiliki ideologi dan identitas, maka perebutan hegemoni di antara mereka tidak bisa dihindarkan. Konteks ini menghasilkan kegelisahan sekaligus kearifan komunal yang berujung pada reproduksi praktik budaya Raju, yaitu doa bersama yang dihelat tahunan dan melibatkan ketiga komunitas agama.

Praktik budaya Raju sebagai bentuk kearifan lokal Dou Mbawa untuk merawat harmoni, sayangnya, dipandang sebagai bentuk sinkretisme agama oleh masyarakat Muslim Bima mayoritas. Dou Mbawa, tak ayal, dianggap membahayakan kemurnian ajaran agama semitik. Praktik budaya Raju akhirnya menjadi medan budaya bagi pertarungan dan relasi kuasa.

Subyek penelitian ini adalah praktik budaya Raju dalam fungsinya sebagai wahana merespons hegemoni dari luar dan perangkat komunikasi internal Dou

Mbawa. Pertanyaan penelitian adalah: (1) Apa basis sosial dan modal yang memicu reproduksi praktik budaya Raju dalam pluralitas Dou Mbawa; (2) Bagaimana respons terhadap hegemoni berlangsung pada praktik budaya Raju

dalam pluralitas Dou Mbawa; (3) Bagaimana makna tindakan komunikasi pada praktik budaya Raju dalam pluralitas Dou Mbawa.

Permasalahan ditelusuri dan dijawab menggunakan pendekatan kualitatif dengan corak etnografi kritis (critical ethnography). Sebagai penelitian kajian budaya yang berbasis teori kritis, penelitian ini bertolak dari argumentasi bahwa ritual adalah tindakan politik yang mencerminkan gagasan ideologi bagi pendukungnya, dan menggambarkan relasi dan struktur sosial. Penelitian ini, karenanya, membingkai praktik budaya Raju dengan teori-teori relevan yang digunakan secara eklektik, yaitu praktik Bourdieu, teori hegemoni Gramsci, dan teori tindakan komunikatif Habermas.

Berdasarkan studi lapangan di Mbawa dalam rentang waktu 2011-2014 penelitian ini menghasilkan temuan: Pertama, praktik budaya Raju muncul dari tantangan pluralitas dan dibentuk oleh habitus Mori Sama, yaitu pandangan dunia komunal yang disatukan oleh kesamaan asal usul dan kepercayaan Kedua, transformasi praktik budaya Raju mencerminkan operasi hegemoni pada wilayah pengetahuan dan otoritas moral, menghasilkan penerimaan, kontra-hegemoni, dan varian quasi-hegemoni. Ketiga, tindakan komunikatif dalam praktik budaya Raju

berupa wacana dan doa menghasilkan penguatan identitas, konsolidasi internal, dan doktrin kehidupan bersama bagi harmoni sosial.

(12)

  official religions changes Dou Mbawa into a pluralistic society and has triggered cultural competition and conflict. As Islam, Christianity, and Parafu have their own ideology and identity, the struggle for hegemony between them is inevitable. It is with this background, the communal anxiety and wisdom emerged which led to the reproduction of cultural practice of Raju, an annual public prayer, involving all three religious groups. The cultural practice of Raju as a form of local wisdom for social harmony, unfortunately, is seen as a religious syncretism by majority of Bimanese Muslims. As consequence, Dou Mbawa and their cultural practice of

Raju are considered harmful to the purity of semitic religion. The cultural practice of Raju eventually became the field for battles and power relations.

The subjects of this study is the cultural practice of Raju in its function as a vehicle for responding to the hegemony from outsider and a device for internal communication among Dou Mbawa. The research questions focused on: (1) What is the social and capital bases which trigger the reproduction the cultural practice of Raju in a pluralistic Dou Mbawa; (2) How is the response to the hegemony took place in the cultural practice of Raju among Dou Mbawa; (3) How is a communicative action embedded and meant in the cultural practice of Raju for the plurality of Dou Mbawa.

The aforementioned questions are explored and answered by using qualitative approach in the form of critical ethnography. As a cultural studies based on critical theory, this research argues that a ritual is a political act that reflects the notion of ideology for the supporters, and describe the relationships and social structures. This study, therefore, framed the cultural practice of Raju

with relevant theories such as the Bourdieu’s theory of practice, the Gramsci’s theory of hegemony, and the Habermas’s theory of communicative action.

Based on fieldwork in Mbawa during 2011-2014, this study uncovers three important topics: First, the cultural practice of Raju emerged from the challenges of social and religious plurality faced by Dou Mbawa and shaped by habitus Mori Sama (living together), a world view of Dou Mbawa united by their common origin and belief. Second, the transformation of cultural practice of Raju reflects the operation of hegemony in the realm of knowledge and moral authority, generates acceptance and accomodation, counter-hegemony, and practice of quasi-hegemony. Third, the communicative action embedded in the discourse, text, and cultural practice of Raju has strengthened identity, internal consolidation, and the doctrine of living together for social harmony for Dou Mbawa.

(13)

 xiii

RINGKASAN

Fokus kajian ini adalah dinamika sosial masyarakat pluralistik yang hidup

dalam kontestasi Islam dan Kristen di Mbawa, daerah pegunungan Bima, Nusa

Tenggara Barat. Masyarakatnya dikenal dengan nama Dou Mbawa (orang

Mbawa) dan menganut kepercayaan lokal bernama Parafu. Kehidupan mereka

yang penuh dinamika telah berlangsung sejak era modernisasi Indonesia, terutama

masa Orde Baru (1996-1998) yang membawa perubahan dalam struktur

kebudayaannya terutama dengan ‘memaksakan’ agama baru dan resmi (diakui

pemerintah). Menariknya, kepercayaan Parafu tidak benar-benar mati, bahkan

menunjukkan geliat revitalisasi sebagai identitas, kendati sejak masa tersebut,

sebagian Dou Mbawa beralih menjadi penganut Islam atau Kristen. Fakta tersebut

menjadikan Dou Mbawa berada pada ambiguitas dan dilema budaya. Kehidupan

‘peasantry’ Mbawa berubah menjadi hiruk-pikuk kultural. Konflik keagamaan

dengan kekerasan pecah di tahun 1969, 1972, dan 2000. Hingga saat ini, Mbawa

menjadi medan bagi pertarungan kebudayaan antar-insider, antara insider dan

outsider, juga antar-outsider.

Sebagai masyarakat dengan basis tradisi, Dou Mbawa menemukan jalan

keluar alamiah bagi kesunyatan hidup sosial dalam situasi dan konteks

pertarungan kebudayaan tersebut. Hal ini terlihat pada praktik budaya Raju, ritual

doa musim tanam yang melibatkan komunitas Muslim dan Kristen yang berakar

pada pandangan dunia Parafu. Praktik budaya Raju terbentuk dan bersumber dari

moralitas komunalisme serta terejawantah dalam praktik sosial-budaya, yang lalu

diwarisi dan ditransformasikan secara terus-menerus. Praktik ini menjadi locus

hegemoni dan kontestasi dari pelbagai segmentasi masyarakat.

Kajian ini menyingkap makna praktik budaya Raju bagi Dou Mbawa, aspek

yang mengitarinya dalam konteks masyarakat yang plural dan multikultural dan

relasi kuasa yang ada di dalamnya. Praktik budaya Raju sebagai akumulasi

pengetahuan adalah pintu masuk dalam menjelajahi relasi dan pertarungan dari

(14)

   

xiv

(universal), di mana yang satu terpinggirkan sementara yang lain dominan. Kajian

ini memperbincangkan praktik budaya Raju yang dimaknai secara kreatif

berdasarkan konteks sosio-historis Dou Mbawa. Secara khusus, permasalahan

mencakup bagaimana praktik budaya Raju lestari di tengah pengikisan tradisi

kecil oleh tradisi besar, dalam hal ini dakwah agama-agama langit, dan bagaimana

praktik itu bekerja sebagai wahana yang dapat menjamin kerekatan sosial. Kajian

ini pada gilirannya memberi sumbangan pemahaman tentang perubahan

sosial-keagamaan seiring dengan pergeseran makna dan bentuk praktik budaya dari

waktu ke waktu, dan memperkaya khazanah praktik bina damai dalam masyarakat

Indonesia yang majemuk.

Kajian ini menggunakan perspektif teori kritis secara eklektik untuk

menyingkap tindakan politik di balik ritual serta mengurai ffaktor dan

aktor-aktor dalam selubung hegemoni pada praktik budaya Raju. Data diperoleh dari

fieldwork dalam rentang tahun 2011-2014 yang melibatkan pengamatan,

wawancara, dan dokumentasi. Dengan cara ini dihimpun tiga jenis teks, yaitu

“teks” sosial, “teks” fisik, dan teks (tanpa tanda petik) doa Kasaro yang

dilantunkan dalam puncak praktik budaya Raju. Kajian ini dipandu oleh cara kerja

analisis wacana dalam menemukan ‘kode referensial’ yang dapat menuntun

kepada makna kultural di balik suatu praktik.

Berdasarkan rangkaian fieldwork penulis mengajukan dua argumentasi.

Pertama, praktik budaya Raju adalah akumulasi pengetahuan dan representasi

struktur dan relasi sosial dalam Dou Mbawa, karenanya mengandung dimensi

kultural yakni visi sosial dan kepentingan. Kedua, praktik budaya Raju telah

menjelma menjadi strategi komunikasi, manajemen konflik, dan cara mengatasi

hegemoni. Argumentasi ini bertolak dari peta sosial-keagamaan Dou Mbawa yang

penuh dinamika. Masyarakat yang mendiami kampung di pegunungan sebelah

barat Kota Bima ini telah menjadi locus kontestasi budaya, sejak masuknya orang

luar khususnya melalui praktik penyebaran agama Islam dan Kristen. Kedua

kekuatan agama ini masuk melalui celah citra diri dan konstruksi identitas Dou

Mbawa yang berbeda secara lokalitas, agama, dan etnisitas karena mereka hidup

(15)

 xv

dikatakan terbelakang, ‘kafir’ atau ‘musyrik’, dan sebagai “orang lain” (the

others) dalam hubungan sosial. Atas dasar itu, intervensi diperkenalkan kepada

Dou Mbawa oleh negara dengan ideologi pembangunan berbagai bidang dan oleh

kelompok keagamaan universal Islam dan Kristen.

Jika pemerintah (negara) melakukan intervensi dengan cara dan modus

pembangunan fisik dan spiritual, maka masyarakat sipil dari kalangan Islam dan

Kristen memperkuatnya, terutama dari segi keagamaan melalui praktik dakwah

dan zending. Awalnya, usaha kalangan Kristen lebih mendapatkan tempat,

meskipun periode Kristenisasi berlangsung belakangan dari Islamisasi yang sudah

berlangsung sejak masa kesultanan. Akibatnya, Dou Mbawa lebih dikenal sebagai

masyarakat Kristen dibanding predikat lamanya sebagai penganut Parafu. Lebih

dari itu, Mbawa dikenal sebagai satu-satunya basis Kristen(isasi) di wilayah Bima

yang mayoritas Islam. Belakangan, Islamisasi masuk kembali (reislamisasi) secara

lebih gencar untuk menebus dakwah masa silam yang lamban dan ‘kekalahan’

atas Kristenisasi. Ini membentuk konfigurasi Dou Mbawa yang penuh pergulatan

dan menjadi locus hidup dan pertarungan berbagai budaya, ideologi, dan

kepentingan.

Hegemoni berupa kepemimpinan moral dan intelektual berlangsung dalam

Dou Mbawa melalui moralitas baru berbentuk ajaran agama universal

menggantikan moralitas berbasis Parafu. Gaya Dou Mbawa merespons moralitas

baru itu mengandung suatu ‘seni menolak diam-diam’ dan ‘seni adaptasi’. ‘Teks’

atau pernyataan diam-diam yang mengisyaratkan hidden transcript (seni melawan

dominasi) antara lain pembongkaran ‘Pohon Wangi’ (penanda lokasi Muslim)

untuk dibangun gereja sementara masjid dibangun di bawah naungan ‘Pohon Bau’

(lokasi non-Muslim). Penyatuan kuburan Muslim dan Kristen tanpa sekat dapat

dibaca sebagai penolakan terhadap pemilahan spasial Dou Mbawa berdasarkan

sekat keagamaan. Masih banyak praktik lain yang mengindikasikan gagasan

penolakan.

Sementara itu, seni menerima dapat dibaca secara semiotis dari beberapa

penampakan lingkungan fisik Uma Ncuhi, rumah adat representasi budaya dan

(16)

   

xvi

lain dan baru ke dalam struktur Uma Ncuhi menandai masuknya elemen

modernitas dalam tradisi Mbawa. Demikian juga dengan tegaknya rumah ala

Bima kota persis di samping Uma Ncuhi dan banyaknya perangkat ibadah Kristen

di dalamnya. Dalam praktik budaya Raju sendiri terdapat pertunjukan tari Kalero

yang gerakannya ditengarai mengadopsi posisi dan gerakan sholat kaum Muslim.

Praktik Dewa, pengobatan dengan mantra, juga menyerupai tradisi i’tikaf kaum

Muslim, yakni berdiam diri sambil berzikir (melafalkan potongan kalimat atau

kata dari al-Qur’an) sampai keadaan tertentu. Paling kentara dari semua itu adalah

struktur doa Kasaro pada puncak praktik budaya Raju, di mana mantra-mantra

adat berpadu dengan ungkapan-ungkapan dari tradisi Islam dan Kristen.

Dari paparan di atas dapat dikatakan Dou Mbawa memiliki strategi kultural

dalam merespons tantangan dari luar, yang beroperasi di celah dua tebing

resistensi dan akomodasi. Dalam kelenturan budaya, mereka dayagunakan praktik

Raju sebagai pengelola kepentingan melawan hegemoni dan menyetujuinya. Pada

gilirannya, praktik budaya Raju melampaui fungsi dasarnya sebagai ekspresi

natural keagamaan untuk memasuki fase kultural sebagai ruang publik dan

komunikasi. Dalam fungsinya yang terakhir, praktik budaya Raju menjadi tempat

bertemu berbagai elemen masyarakat untuk kembali menyatu setelah

terperangkap dalam ruang-ruang privat keagamaan. Mereka menggelar ruang

diskursif, berupa ‘Paresa Rawi Rasa’ tempat dan saat dan memecahkan persoalan

sosial tanpa hierarki. Itulah ruang publik ala Mbawa, tempat bertemunya ide,

aspirasi, dan komitmen komunal untuk suatu kondisi masyarakat komunikatif

sebagaimana diandaikan oleh Habermas.

Doa-mantra Kasaro yang dipanjatkan pada puncak pertemuan itu lebih dari

sekedar teks agama atau bahasa ritual. Kasaro adalah ‘perangkat’ tindakan

komunikasi yang berbicara kepada Tuhan, kepada nenek-moyang, nasehat dan

peringatan bagi komunitas, dan ‘speak out’ bagi orang luar. Dalam pembacaan

Kasaro terdapat aspek hierarki pengetahuan yang menggambarkan relasi kuasa

dan distribusi kekuasaan. Terdapat identifikasi diri dalam bait-bait Kasaro yang

(17)

 

xvii

yang menunjukkan politik. Dengan demikian teks Kasaro adalah perangkat

komunikasi politik ala Mbawa, adalah tindakan komunikasi

Diskursus dalam praktik budaya Raju juga menghasilkan pengetahuan

ontologis sebagai basis doktrin hubungan antaragama. Pengetahuan ontologis itu

tercetus dari praktik Paresa Tua, yaitu perbincangan filosofis di kalangan tetua

mengenai hakekat Tuhan, penciptaan manusia serta ibadah agama-agama, bahkan

mengenai asal-usul agama dan sejarahnya. Doktrin inilah yang menjadi akar dari

keselarasan hubungan sosial yang melahirkan moralitas dan norma kehidupan

sosial bagi Dou Mbawa.

Doktrin ini kait-mengkait dengan tindakan ‘menolak’ dan ‘menerima’ ala

Mbawa sebagaimana disinggung terdahulu. Hal ini menciptakan akumulasi

kearifan komunal yang elemen-elemennya diturunkan menjadi perangkat bina

damai atau mekanisme pencegahan konflik di kalangan Dou Mbawa secara

internal. Kepada kalangan eksternal, kearifan ini melahirkan gaya hubungan sosial

dengan orang luar yang menekankan kesamaan posisi, betapa pun secara

minoritasnya sebuah kelompok.

Dari perbincangan singkat dan pembacaan teks-teks di atas dapat ditangkap

suatu konotasi berupa adanya relasi hegemonik dalam selubung kebudayaan Dou

Mbawa. Dalam relasi penuh dominasi itu praktik budaya Raju menunjukkan

kelenturannya untuk berperan sebagai pemelihara identitas lokal dari gerusan

budaya dominan. Dalam proses adaptasi kultural, unsur-unsur keislaman dan

kekristenan masuk membentuk konfigurasi unik dari praktik budaya Raju

sehingga penuh warna dan dinamis. Dengan karakter seperti itu praktik budaya

Raju dalam salah satu sisi akhirnya menjadi praktik manajemen konflik. Posisi

kultural yang signifikan bagi pluralitas Dou Mbawa itu dapat diidentifikasi dari

tergelarnya ruang diskursif di dalamnya serta potensinya sebagai wahana

komunikasi.

Dari simpulan di atas, penelitian ini memberi rekomendasi reflektif dalam

dua hal. Pertama, intervensi negara dan legitimasi agama resmi di dalamnya tidak

harus menggerus tradisi dan identitas lokal, justru harus berorientasi kepada

(18)

   

xviii

menghasilkan keretakan. Kedua, manajemen konflik tidak serta-merta bersifat

struktural karena pengetahuan dan kearifan tidak saja milik negara dengan

birokrasi pemerintahannya. Sebuah masyarakat juga memiliki pengetahuan

sehingga mereka bisa meretas mekanisme kulturalnya sendiri dalam mengatasi

(19)

 xix

GLOSARIUM

bid’ah : Praktik ‘mengada-ngada’ yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah. da’i : Penganjur agama Islam.

dakwah : Praktik penganjuran kepada agama Islam.

dana : Tanah.

i’tikaf : Praktik berdiam diri di masjid sambil merenung.

hisab : Praktik menghitung bulan untuk menentukan hari ritual. istisqa : Sholat minta hujan.

kalero : Nama tarian.

kasaro : Doa membaca mantra. katekis : Guru agama Kristen. kenduri : Doa mohon keselamatan.

lebe : Imam masjid yang memimpin ritual sholat. madrasah : Sekolah agama Islam.

masjid : Tempat ibadah umat Islam.

mbojo : Nama lokal bagi Bima.

mpisi : Nama tarian.

muballigh : Menyampai ajaran agama Islam. muallaf : Orang yang baru masuk agama Islam.

musholla : Tempat ibadah umat Islam dengan kapasitas kecil bawah masjid. muslim : Pemeluk Islam laki-laki.

muslimah : Pemeluk Islam perempuan.

naka : Nama era sebelum era Ncuhi; nama kepala suku.

ncuhi : Nama era sebelum kerajaan Bima; nama kepala suku.

parafu : Nama kepercayaan lokal.

paresa : Diskusi, membahas sesuatu.

pastor : Pemimpin gereja Kristen (Protestan). pendeta : Pemimpin gereja Kristen (Katolik). pesantren : Lembaga tradisional pendidikan Islam.

qamariah : Perhitungan bulan berdasarkan peredaran bulan. qunut : Doa khusus dalam sholat Shubuh.

rafu : Keturunan.

rasa : Kampung.

rawi : Praktik budaya.

ru’yat : Praktik melihat bulan untuk menentukan hari ritual.

sando : Dukun.

sangaji : Panggilan raja Bima.

(20)

   

xx

sholawat : Ucapan doa untuk Nabi Muhammad. sholeh : Baik atau bijaksana.

so : Padang sabana.

sori : Sungai.

syahadat : Pengakuan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. syirik : Praktik menyembah selain Allah.

tahayyul : Kepercayaan yang bersifat supranatural.

tarekat : Praktik ibadah Muslim yang mengenyampingkan dunia. tasawuf : Aspek agama Islam yang menekankan kesucian jiwa. tauhid : Keyakinan pada ke-esa-an Tuhan.

tawashul : Praktik berdoa melalui perantara. ulama : Pemimpin atau elit agama Islam.

uma : Rumah.

ustadz : Guru agama Islam.

wura : Bulan.

(21)

 xxi

DAFTAR SINGKATAN

Alm. : Almarhum (anumerta) API : Angkatan Pemuda Islam

DDII : Dewan Dakwah Islam Indonesia DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah FGD : Focused Group Duscussion GPII : Gerakan Pemuda Islam Indonesia G30S : Gerakan 30 September

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MA : Madrasah Aliyah

MI : Madrasah Ibtidaiyah MTs : Madrasah Tsanawiyah MTQ : Musabaqah Tilawatil Qur’an MUI : Majelis Ulama Indonesia

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia NTB : Nusa Tenggara Barat

PTKI : Perguruan Tinggi Keagamaan Islam RI : Republik Indonesia

RT : Rukun Tetangga SD : Sekolah Dasar

SAW : Sallallahu Alaihi Wasallam (ungkapan doa setelah nama Nabi) Sekber Golkar : Sekretariat Bersama Golongan Karya

SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama SWT : Subhanahu Wa Ta’ala

TGH : Tuan Guru Haji

(22)

 

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN ... 21

2.1 Kajian Pustaka ... 21

(23)

 

2.3.1 Teori Praktik Bourdieu ... 44

2.3.2 Teori Hegemoni Gramsci ... 51

2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif Habermas ... 59

2.4 Model Penelitian ... 69

3.6.3 Dokumentasi dan Kepustakaan ... 82

3.6.4 Diskusi Kelompok ... 83

3.7 Teknik Analisis Data ... 84

3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian ... 85

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN:

SILANG BUDAYA BIMA - MBAWA ... 86

4.1 Bima: Dana, Dou, dan Rawi Mbojo ... 86

4.1.1 Dana Mbojo: Pertemuan Tradisi-tradisi ... 87

4.1.2 Dou Mbojo: Outsider ... 95

4.1.3 Rawi Mbojo: Supremasi Budaya Islam ... 104

4.2 Persilangan Kebudayaan antara Bima dan Mbawa ... 112

(24)

   

xxiv

4.2.2 Kontestasi Bima-Sila: Perebutan Pusat dan Dominasi ... 117

4.2.3 Hegemoni Bima dan Sila atas Donggo (juga Mbawa) ... 122

4.3 Mbawa: Lokalitas, Etnisitas, dan Religiusitas ... 125

4.3.1 Mbawa: Tanah dan Kampungnya ... 126

4.3.1.1 Mbawa Ese: Pusat Kosmos ... 131

4.3.1.2 Mbawa Awa: Pintu Terbuka ... 138

4.3.2 Dou Mbawa: Asal-usul dan Kosmologi ... 146

4.3.3 Budaya dan Identitas ... 152

4.3.4 Religiusitas: Dari Parafu ke Pluralisme Agama ... 156

BAB V HABITUS DAN MODAL DALAM RANAH

PRAKTIK BUDAYA DOU MBAWA ... 161

5.1 Pluralitas Agama dan Identitas ... 161

5.1.1 Keparafuan: Ideologi dan Elite ... 165

5.1.1.1 Ideologi: Konservatisme Budaya ... 168

5.1.1.2 Elite: Otoritas Ncuhi dan Distribusi Kekuasaan ... 172

5.1.2 Kekristenan: Ideologi dan Elite ... 180

5.1.2.1 Ideologi: Pemberdayaan dan Inkulturasi ... 183

5.1.2.2 Elite: Otoritas Lokal dan Pastur dari Timur ... 187

5.1.3 Keislaman: Ideologi dan Elite ... 189

5.1.3.1 Ideologi: Penyeragaman dan Puritanisme ... 191

5.1.3.2 Elite: Pengasuh Masjid dan Pekerja Agama ... 199

5.2 Dinamika dan Siasat di Tengah Kompetisi ... 202

5.2.1 Dou Mbawa dan Serangan Budaya ... 203

5.2.2 Jejak Konflik dan Ketakutan ... 209

5.2.3 Nama sebagai Siasat Budaya ... 212

5.3 Habitus, Modal, dan Ranah dalam Pluralitas ... 218

5.3.1 Budaya Kontestasi sebagai Habitus ... 220

5.3.2 Mori Sama sebagai Modal Kultural ... 225

5.3.3 Ranah dalam Praktik Budaya ... 229

(25)

 

xxv

BAB VI PRAKTIK BUDAYA RAJU SEBAGAI RANAH

HEGEMONI, KONTRA-HEGEMONI, DAN AKOMODASI ... 239

6.1 Konteks, Orientasi, dan Prosesi Praktik Budaya Raju ... 239

6.1.1 Konteks Praktik Budaya Raju ... 239

6.1.2 Orientasi Praktik Budaya Raju ... 247

6.1.3 Prosesi Praktik Budaya Raju ... 249

6.2 Hegemoni dalam Praktik Budaya Raju ... 259

6.2.1 Uma Ncuhi dan Simbolisasi Hegemoni Budaya ... 259

6.2.2 Representasi Struktur Dominasi dan Relasi Kuasa ... 267

6.2.3 Masjid dan Madrasah: Penetrasi dan Penolakannya ... 276

6.3 Respons terhadap Hegemoni dalam Praktik Budaya Raju ... 282

6.3.1 Varian Praktik Budaya Raju di Tolonggeru: Hegemoni Internal .. 283

6.3.2 Munculnya Otoritas dan Praktik Lain ... 290

6.3.3 Membangun Mekanisme Akomodasi ... 295

6.3.4 Kalero dan Dewa: Wahana Akomodasi Budaya ... 297

6.3.5 Kontra-hegemoni dalam Akomodasi ... 300

6.4 Makna Lain Hegemoni dalam Praktik Budaya Raju ... 311

BAB VII PRAKTIK BUDAYA RAJU SEBAGAI

TINDAKANKOMUNIKATIF ... 319

7.1 Uma Ncuhi sebagai Wadah Komunikasi ... 319

7.2 Wacana dan Tindakan Komunikatif ... 325

7.2.1 Paresa Rawi Rasa sebagai Ruang Diskursif ... 326

7.2.2 Kasaro sebagai Bahasa Sosial-Politik ... 331

7.2.3.1 Konsolidasi Internal Dou Mbawa ... 335

7.2.3.2 Imajinasi Sosial Masyarakat Plural ... 339

7.2.3 Paresa Tua: Basis Doktrin Pluralisme Mbawa ... 343

7.3 Praktik Budaya Raju sebagai Pintu Dialog ... 347

7.4 Konsensus: Hasil Tindakan Komunikatif di Ruang Publik ... 350

(26)

   

xxvi

BAB VIII PENUTUP ... 360

8.1 Simpulan .. ... 361

8.2 Temuan Baru ... 364

8.3 Saran ... 367

DAFTAR PUSTAKA ... 369

(27)

 

xxvii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1: Data pemeluk agama di Kabupaten Bima ... 111

Tabel 4.2: Komposisi penganut Islam dan Kristen di Mbawa ... 159

(28)

   

xxviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1: Model penelitian ... 70

Gambar 4.1: Peta wilayah Bima ... 88

Gambar 4.2: Mbawa dalam peta ... 127

Gambar 4.3: Denah lokasi Mbawa ... 128

Gambar 5.1: Sila dilihat dari Mbawa dan sebaliknya ... 205

Gambar 5.2: Fashion di masjid dan fashion di gereja ... 223

Gambar 6.1: Doa Kasaro di UmaNcuhi (serambi) ... 256

Gambar 6.2: Doa Kasaro di UmaNcuhi (lantai atas) ... 258

Gambar 6.3: Uma Ncuhi dan dunia representasi ... 261

Gambar 6.4: Kuburan bersam Muslim-Kristen ... 303

Gambar 6.5: ‘Pohon Wangi’-gereja dan “Pohon Bau’-masjid ... 304

Gambar 6.6: Uma Ncuhi bantuan pemerintah lambang intervensi budaya ... 306

Gambar 6.7: Gerakan Sholat dan gerakan Kalero ... 309

Gambar 6.8: Praktik I’tikaf dan praktik Dewa ... 310

(29)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini adalah titik berangkat penelitian disertasi ini, mengemukakan

problem hubungan kebudayaan dari entitas sosial yang hidup dalam lingkup

interaksi sosio-kultural. Subjek hubungan ini adalah masyarakat Mbawa (Dou

Mbawa) di Bima, Nusa Tenggara Barat yang berhadapan dengan masyarakat

dominan di luarnya. Hubungan itu menghasilkan relasi kuasa dan marjinalisasi,

serta kontestasi yang berkepanjangan. Argumentasi yang menjadi basis penelitian

ini adalah praktik budaya sebagai wahana penampung berbagai identitas dan

kepentingan yang saling mengisi dan berkontradisksi. Penelitian ini mengambil

fokus pada praktik budaya Raju, suatu agricultural ritual (ritual pertanian)

menyambut musim tanam yang dilibati oleh Dou Mbawa tanpa sekat agama,

Muslim dan Kristen. Sebagai representasi struktur sosial-budaya Dou Mbawa,

praktik budaya Raju dapat menjadi pintu masuk kritik kebudayaan.

1.1 Latar Belakang

Benturan peradaban bersumber dari faktor ideologi, ekonomi, dan identitas

kultural. Dalam konfigurasi itu manusia terbagi ke dalam kotak-kotak peradaban

dunia di mana agama menjadi basis utama identitas dan negara bangsa sebagai

aktornya. Pada tataran makro, benturan peradaban berupa kompetisi kekuatan

ekonomi dan militer demi bertarung atas kontrol lembaga internasional dan demi

penyebaran nilai agama atau ideologi politik (Huntington, 1993: 26). Pada tataran

(30)

2

wilayah atas satu sama lain, bahkan lewat kekerasan. Pasca perang dingin,

fenomena ini memicu tampilnya dendam dan identitas etnik non-Barat, terutama

dari peradaban Konfusius dan Islam sebagai kekuatan potensial vis a vis Barat

(Huntington, 1993: 29).

Menurut Fox (2002: 433), benturan peradaban seperti digambarkan

Huntington itu tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, berdasarkan data Minorities

at Risk, konflik etnis lebih banyak terjadi di dalam internal peradaban itu sendiri,

disebabkan oleh faktor-faktor diskriminasi antara kelompok mayoritas dan

minoritas dari peradaban yang berbeda dalam suatu negara.

Benturan peradaban baik secara ideologi, ekonomi, dan budaya

sebagaimana tesis Huntington maupun antaretnis karena persoalan diskriminasi

oleh negara ala Fox di atas pada dasarnya telah mewarnai sejarah bangsa dan

negara Indonesia. Indonesia yang multikultural dan multietnis serta multiagama

sangat rentan dengan benturan peradaban dan menjadi tantangan bagi pemerintah

sejak negara ini berdiri sampai sekarang. Pertarungan ideologi antara agama langit

dan agama lokal, yang pada tataran tertentu menghasilkan benturan budaya dan

bisa menjadi sumber konflik.

Sejarah mencatat bagaimana negara Indonesia tidak menentu di bawah

kendali Orde Lama (1957-1965), antara lain terjadi karena politik perbedaan dan

aplikasi semboyan Bhinneka Tunggal Ika belum terformulasikan dengan baik.

Selanjutnya Orde Baru muncul sebagai koreksi, dan tugasnya adalah memperbaiki

institusi-institusi politik demi tercapainya kondisi stabilitas yang dibutuhkan oleh

(31)

3

1966 ditandai dengan penataan ulang aspek-aspek kehidupan kebangsaan,

meliputi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Segera setelah itu terjadi

dinamika sosial, termasuk konflik dan integrasi dalam semua tataran kehidupan

masyarakat. Pemaknaan ulang terhadap ideologi negara Pancasila, sebagai refleksi

dari peristiwa berdarah tahun 1965, melibatkan strukturisasi dan institusionalisasi

kebijakan yang berorientasi kepada penyeragaman pemahaman dan tindakan

berbangsa. Selain institusi negara, elemen civil society (masyarakat warga) terlibat

dalam transformasi sosial ini melalui pendidikan, indoktrinasi, dan upaya-upaya

kultural lainnya.

Dalam kehidupan keagamaan juga terjadi penataan yang berorientasi

penyeragaman, misalnya melalui kebijakan yang mengharuskan setiap warga

negara memeluk salah satu dari agama resmi yang diakui negara. Tindakan ini

pada dasarnya bermaksud mengurangi benturan karena banyaknya perbedaan,

tetapi pada akhirnya memunculkan masalah lain yang juga pelik. Penyeragaman

kepercayaan tersebut telah mereduksi kekayaan budaya bangsa menjadi sempit

dan hanya menyediakan kategori agama resmi. Kepercayaan-kepercayaan lokal

yang pernah hidup dan dianut oleh masyarakat tergerus dan sirna, atau terpaksa

mentransformasi dirinya dalam bentuk baru yang bisa diterima oleh sistem sosial

politik yang ada. Masyarakat tanpa kecuali, baik di perkotaan maupun di

pedesaan, menerima ini sebagai tantangan baru bagi kehidupan mereka.

Masyarakat Mbawa (selanjutnya disebut Dou Mbawa) di Kabupaten Bima,

Nusa Tenggara Barat, yang menganut kepercayaan Parafu, adalah salah satu

(32)

4

dari sistem sosial-politik baru. Ketakutan tidak terserap dalam pergaulan warga

bangsa, dan trama yang lebih hebat akibat pembantaian warga tidak beragama

yang dituduh komunis pasca kegagalan G30S/PKI 1965, memaksa Dou Mbawa

menanggalkan keyakinan lama dan menerima agama resmi yang diakui negara.

Kristen dan Islamlah dua agama yang masuk ke Mbawa untuk menjadi bagian

dari kehidupan masyarakat. Situasi ini memaksa Dou Mbawa yang semula

monolitik menyandang ragam identitas dan menjadi masyarakat pluralistik.

Kontestasi keagamaan pada akhirnya berlangsung di tengah kepentingan merawat

tradisi dan menerima perubahan dari luar. Dalam pluralitas masyarakat,

berlangsung revitalisasi tradisi sebagai identitas, dan Dou Mbawa berada pada

ambiguitas dan dilema budaya, bahkan konflik. Ketegangan antarpemeluk agama

sering terjadi bahkan melibatkan kekerasan dalam peristiwa-peristiwa tahun 1969,

1972, dan 2000.

Berada dalam situasi keragaman dengan berbagai dinamikanya tidak serta

merta menjadi malapetaka bagi Dou Mbawa, justru sebaliknya, bisa dipahami

sebagai basis bagi penguatan kehidupan keagamaan di kalangan mereka. Jika

argumentasi ini benar, maka dapat menjadi teropong dalam melihat gejala

revitalisasi kehidupan agama dan budaya dalam kehidupan Dou Mbawa. Itulah

mengapa praktik keagamaan di Mbawa dapat dilihat sebagai medan budaya di

mana kontestasi dan perdebatan kebudayaan (mencakup sosial, agama, dan

politik) berlangsung. Para aktor yang terlibat dalam dinamika kebudayaan di

tingkat lokal itu tidak lain dari agen dan otoritas di kalangan kelompok

keagamaan, termasuk pula dari kalangan mayoritas Muslim di kota dan wilayah

(33)

5

Praktik budaya Raju ditengarai sebagai representasi pertarungan budaya itu

dan menjadi locus hegemoni dan kontestasi antarkomunitas. Penelitian ini

berusaha menyingkap dimensi makna sosial-politik dalam praktik budaya Raju

dalam konteks relasi kebudayaan Dou Mbawa dengan outsider (orang luar),

khususnya relasi kuasa keagamaan. Praktik budaya Raju sebagai sebuah ritual

adalah akumulasi pengetahuan dan representasi struktur dan relasi sosial,

karenanya mengandung dimensi kultural, yaitu identitas, gagasan, dan visi sosial,

serta kepentingan. Itulah yang memungkinkan praktik budaya Raju adalah pintu

masuk dalam menjelajahi relasi dan pertarungan dari entitas budaya (yang

bermetamorfosa menjadi agama lokal) versus agama (universal), di mana yang

satu terpinggirkan, sementara yang lain mendominanasi. Asumsi ini secara

teoretik dapat mengarahkan kepada munculnya argumen bahwa dalam

pertarungan ini tentu terdapat kepentingan dan ideologi yang terlibat dan

beroperasi, termasuk kepentingan Dou Mbawa sendiri yang menggunakan ritual

itu sebagai strategi komunikasi, manajemen konflik, menjaga kohesi, dan cara

mengatasi hegemoni.

Sejak menerima Kristen sebagai salah satu agama anutan penduduk, Dou

Mbawa senjadi sasaran tudingan dan label budaya yang disematkan oleh kalangan

masyarakat Bima yang lain, terutama dari mayoritas Muslim. Dalam konteks

hubungan antaragama di wilayah Bima atau Nusa Tenggara Barat, Mbawa selalu

menjadi subjek dalam semesta pembicaraan (diskursus). Jika terjadi keretakan

hubungan bernuansa agama, maka eskalasi konfliknya selalu menyasar ke

(34)

6

tertentu berlabel agama atau kekerasan fisik berupa pengerusakan fasilitas ibadah

atau milik pribadi anggota masyarakat, tetapi di satu sisi, Mbawa menjadi contoh

hidup dinamisnya hubungan antaragama dan hidup harmoni dalam masyarakat

pluralistik. Konfigurasi sosial yang dilibati oleh Dou Mbawa sebagaimana

digambarkan berikut dapat menjadi acuan dalam melihat Mbawa sebagai sebuah

tempat kecil, tetapi menjadi isu/pelajaran besar.

Mbawa adalah nama dari gugusan kampung di dataran tinggi pegunungan

Donggo, sebelah barat selat Bima, bagian dari wilayah Kabupaten Bima, Provinsi

Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terpencil, jauh dari pusat kota. Dari Kota

Bima, Mbawa terlihat kecil di bawah pangkuan puncak Doro Leme (gunung

runcing) yang menjulang tinggi. Sebelum modernisasi merambah ke wilayah itu,

masyarakat yang mendiaminya termasuk masyarakat terasing di Indonesia

(Koentjaraningrat, 1993).

Setelah infrastruktur jalan, listrik, air bersih, dan fasilitas pendidikan masuk,

Dou Mbawa mulai berubah wajah dan menjadi lebih dinamis dari sebelumnya.

Jika dahulu hanya orang-orang tertentu yang bisa menembus wilayah Mbawa,

maka sekarang siapa pun leluasa masuk karena jalan yang membelah hutan, bukit

berbatu, lembah, dan ngarai sudah beraspal. Orang luar pun mulai masuk ke

Mbawa dengan berbagai kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Meskipun

tidak menyamai laju pembangunan wilayah lain di Kabupaten Bima, infrastruktur

yang sudah tersedia cukup menjadikan Dou Mbawa merasa sebagai bagian

integral dari masyarakat Bima, tetapi hal itu belum cukup mengantarkan Dou

(35)

7

dianggap sebagai the others (orang lain) karena menganut budaya tertentu dengan

kepercayaan yang tidak sama dengan kepercayaan mayoritas.

Dou Mbawa, di mata masyarakat Bima, tipikal dengan citra tertentu yang

dilekatkan kepada mereka. Meskipun pembangunan sudah menghampiri, tetap

saja mereka diidentifikasi sebagai orang gunung yang terbelakang, tradisional,

dan masih harus dimodernisasi. Dalam hubungan sosial mereka masih

diperlakukan sebagai orang dari budaya lain. Dalam hal agama mereka masih

dianggap “kafir” karena kepenganutan mereka yang masih teguh pada sistem

religi lama yang disebut Parafu. Parafu adalah keyakinan dan praktik yang

dianggap syirik (menyekutukan Tuhan), bertentangan dengan agama-agama

modern, terutama Islam yang menjadi anutan mayoritas masyarakat Bima.

Serangkaian intervensi kemudian diperkenalkan kepada Dou Mbawa oleh

berbagai pihak demi mengubah wajah gunung dan tradisional mereka menjadi

maju, beradab, dan sejajar (dalam pengertian seragam) dengan yang lain.

Pemerintah (negara) dan masyarakat sipil dari kalangan Islam dan Kristen

melakukan intervensi dengan cara dan modus masing-masing. Usaha-usaha

kalangan Kristen dalam lapangan sosial-keagamaan tampaknya lebih

mendapatkan tempat di hati Dou Mbawa. Meskipun periode Kristenisasi

berlangsung belakangan dari Islamisasi yang sudah berlangsung sejak masa

kesultanan, Dou Mbawa menjadi lebih dikenal sebagai masyarakat penganut

Kristen dibanding predikat lamanya sebagai penganut Parafu. Lebih dari itu,

Mbawa dikenal sebagai basis utama Kristen dan Kristenisasi di wilayah Bima

(36)

8

Kalangan Muslim masuk kembali secara lebih gencar dan intens untuk

mengimbangi usaha Kristen dan menebus upaya dakwah masa silam yang

lamban. Terjadilah reislamisasi di kalangan Dou Mbawa, dan ini merupakan

kelanjutan dari Islamisasi yang sudah berlangsung sejak masa keemasan

Kesultanan Bima awal abad ke-19. Sampai sekarang, upaya-upaya Kristenisasi

dan Islamisasi itu masih terus bergulir, membentuk konfigurasi Dou Mbawa yang

pluralistik, dinamis, penuh nuansa dan pergulatan. Mbawa akhirnya menjadi locus

eksistensi dan pertarungan berbagai budaya dan kepentingan, khususnya dalam

konteks hubungan agama.

Kondisi pluralistik ini menjadikan Dou Mbawa tempat hidup dan

berkembangnya berbagai budaya – terutama budaya yang berbasis agama-agama

– secara koeksistensial tanpa satu sama lain saling meniadakan. Itulah yang

membuat Mbawa menjadi unik sebagai contoh masyarakat majemuk dengan

tradisi yang kental. Unik karena ciri pluralistik biasanya khas masyarakat

perkotaan (Nasikun 2004: 49), sementara Mbawa adalah pedesaan yang monolitik

dalam segi tertentu, terutama asal usul dan cara hidup. Sebagai masyarakat agraris

dengan pola pertanian berladang, Dou Mbawa tentu bersahaja, sederhana, tidak

kompleks, dan mekanistik. Tetapi karena agama-agama besar Islam dan Kristen

serta agama lokal Parafu, hidup dengan membawa tradisi dan praktik keagamaan

berbeda, mereka juga masyarakat desa yang terpolarisasi, part-societies

(masyarakat terbelah) sebagaimana dikatakan Redfield (1965: II, 23). Secara lugas

dapat dikatakan, Mbawa adalah sebuah desa kecil, tetapi mengandung

(37)

9

yang sensitif dan bisa memicu kekerasan dengan skala luas.

Dinamika hubungan agama dan budaya di Mbawa menjadikan Dou Mbawa

tersegmentasi atas kelompok-kelompok keagamaan, yaitu Islam, Kristen, dan

Parafu. Mereka hidup dengan identitas dan budaya yang melekat pada

masing-masing agama anutan. Masyarakat hidup berdampingan secara damai, karena

mereka pada dasarnya berasal dari satu leluhur (Kadri, dkk, 2009). Pluralitas

agama dan identitas ini bahkan berlangsung dalam satuan sosial keluarga, di mana

ayah bisa berbeda agama dengan anak, istri, atau saudara kandung. Kepemelukan

agama bagi Dou Mbawa adalah pilihan yang bebas di tengah kondisi masyarakat

yang penuh toleran.

Masyarakat pluralistik Mbawa merayakan perbedaan itu dengan caranya

sendiri. Mereka menyelenggarakan berbagai perhelatan sosial dan budaya untuk

mewadahi kebersamaan di antara mereka. Dalam perbedaan dan keragaman itu,

mereka meretas ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka dapat

mempertebal solidaritas dan memperkecil perbedaan-perbedaan (Kadri, dkk,

2009). Jika terjadi konflik di antara mereka selalu ditemukan cara menyelesaikan

atau meminimalisasinya agar tidak melebar, misalnya melalui bekerjanya

moralitas komunal yang terbangun sejak lama dalam komunitas (Just, 2001).

Namun, nuansa kehidupan yang dinamis, penuh kontestasi, dan ketegangan

tidak berarti nihil konflik. Konflik bernuansa agama pernah muncul di kalangan

Dou Mbawa. Pada tahun 1969 terjadi pengerusakan gereja yang dilakukan oleh

kalangan Muslim dari Desa O’o, sebuah desa tetangga. Peristiwa ini dipicu oleh

(38)

10

dipukul oleh seorang pengurus gereja. Warga Muslim terutama yang datang dari

desa tetangga yang Muslim membalas dengan membakar gereja.

Tiga tahun setelah itu, 1972, terjadi lagi peristiwa kekerasan yang dikenal

sebagai Peristiwa Donggo. Peristiwa ini sebetulnya tidak terkait dengan masalah

agama di Mbawa, tetapi murni persoalan kemarahan warga Kecamatan Donggo

kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bima yang dianggap mengabaikan

pembangunan masyarakat Donggo. Peristiwa yang dipelopori para tokoh agama

Islam kharismatik dari Desa O’o ini menggunakan sentimen dan retorika

keagamaan untuk mobilisasi massa yang mengakibatkan munculnya rasa takut

dan trauma bagi Dou Mbawa, terutama penganut Kristen dan Parafu. Pada

gilirannya, peristiwa ini memunculkan rasa permusuhan di antara sesama warga

Mbawa terutama antara yang Muslim dan non-Muslim.

Tahun 2000, pembakaran gereja dan pengerusakan rumah pemuka Kristiani

kembali terjadi di Dusun Jango, Mbawa. Peristiwa ini sebenarnya tidak murni

muncul dari konflik internal Dou Mbawa, tetapi konflik kiriman dari “Peristiwa

171” - sebutan media atas pengerusakan gereja dan fasilitas milik kaum Kristen di

Mataram Lombok yang terjadi pada 17 Januari 2000. Efek berita dari peristiwa itu

yang meluas dengan cepat, warga Muslim yang berasal dari luar, terutama dari

Sila, naik ke atas (Mbawa) dan melakukan penyerbuan dan pengerusakan.

Sejak berlangsungnya proses Kristenisasi dan Islamisasi di wilayah itu,

polarisasi, keretakan, dan ketegangan hubungan antarkelompok masyarakat selalu

saja muncul. Meskipun telah mengalami beberapa konflik bernuansa agama,

namun selalu saja ditemukan cara penyelesaian, salah satunya dengan bekerjanya

(39)

11

yang dipraktikkan oleh Dou Mbawa dalam bentuk tradisi-tradisi atau kiat dan cara

hidup sehari-hari. Hal ini karena praktik budaya bagi masyarakat memiliki fungsi

keagamaan sekaligus fungsi sosial yang diramu sedemikian rupa sehingga mampu

menjadi media bagi berlangsungnya hubungan vertikal (ketuhanan) dan horizontal

(kemasyarakatan) yang selaras.

Dalam konteks perbedaan yang penuh warna itulah, Dou Mbawa terus

menghidupkan, mewariskan, dan mengembangkan pranata budaya lokal yang

dapat menampung berbagai kegelisahan dan kepentingan dalam menghadapi

ancaman kehidupan internal dan eksternal. Mereka mengembangkan kohesi dan

solidaritas sesama orang Mbawa lewat praktik-praktik budaya yang notabene

bersifat lokal namun memiliki unsur universal yang mengikat berbagai perbedaan

di antara mereka.

Praktik budaya Raju adalah ritual utama dan besat bagi Dou Mbawa.

Mereka yang berbeda agama melaksanakan praktik itu secara bersama-sama dan

periodik (setiap menjelang musim tanam), tanpa dilandasi dan dikendalai oleh

perbedaan ajaran agama yang mereka anut. Hal ini dimungkinkan karena Dou

Mbawa pendukung praktik budaya Raju yang berbeda agama itu diikat oleh

prinsip Mori Sama (hidup bersama) dan satu spiritualitas lokal yang masih hidup

bersumber dari kepercayaan Parafu.

Praktik budaya Raju memainkan peranan penting dalam dinamika

masyarakat. Prosesi ini berlangsung selama 3 sampai 9 hari yang dimulai dari

persiapan (pengkondisian) sampai kepada puncak ritual, mengambil tempat di

(40)

12

(tetua adat) memimpin dengan pembacaan mantra-mantra yang diiringi

tarian-tarian khas seperti Mpisi dan Kalero, sesajian, Kasaro (doa-doa), pujian

kesyukuran, dan perbincangan-perbincangan. Praktik dan kreasi budaya ini

bersumber dari kepercayaan leluhur, bergulir dan membentuk jalinan dalam

perpaduan unik tradisi dan agama. Dalam jalinan itu terkandung sistem

kepercayaan, pandangan dunia, visi sosial atau cita-cita hidup, serta gambaran

mengenai kesejahteraan dan kedamaian.

Tradisi dan praktik ini, karena berakar dari mitologi dan kepercayaan

Parafu, dinilai sebagai bentuk animisme-dinamisme, syirik, bid'ah, dan khurafat

yang bertentangan dengan keyakinan Islam mainstream (arus utama) yang dianut

oleh mayoritas penduduk Bima (Kabupaten Bima dan Kota Bima). Dengan

intensifnya praktik-praktik tradisi tersebut, pemerintah sebagai sumber otoritas

modernisasi menganggap Dou Mbawa sebagai masyarakat tradisional yang harus

dimodernisasi dengan berbagai intervensi, termasuk dalam bentuk dakwah Islam

yang didesakkan melalui lembaga-lembaga keagamaan formal dan informal.

Pemerintah bekerja sama dengan kelompok ‘Islam Sholeh’ (murni dan

benar) terutama direpresentasikan oleh kaum ulama dan pekerja agama (Islam)

yang memang sejak awal menentang keyakinan dan praktik keagamaan semacam

ini. Para ulama pemilik otoritas keagamaan mainstream, terutama dari Sila,

wilayah terdekat dan salah satu pusat Islam di Bima, dengan atau tanpa sokongan

pemerintah, secara swadaya atau dalam kapasitasnya sebagai penyampai ajaran

agama (dai/muballigh), juga gencar melakukan Islamisasi kepada Dou Mbawa.

(41)

13

seperti pelabelan tertentu terhadap Dou Mbawa, mereka masuk dan menancapkan

pengaruh kultural ke dalam masyarakat.

Akibat upaya dakwah tersebut, terjadi perubahan dalam diri Dou Mbawa

dengan munculnya identitas-identitas dan tradisi-tradisi serta nuansa kehidupan

baru yang berdimensi keagamaan (Islam). Tiadanya penentangan terbuka terhadap

dakwah Islam dan bertahannya praktik budaya Raju di kalangan semua agama

menunjukkan ambiguitas antara menerima atau menentang, atau menerima dan

menentang dengan setengah hati atau diam-diam terhadap budaya luar. Terdapat

tanda berlangsungnya dominasi atau hegemoni budaya di sini dengan bekerjanya

ideologi dan aparatusnya, baik itu gagasan dari luar yang bersifat ekspansif

maupun gagasan internal Dou Mbawa yang bersifat defensif.

Pertarungan antara satu entitas budaya dan masyarakat pendukungnya

dengan entitas dan pendukung budaya lain yang dominan tampaknya tengah

berlangsung di Mbawa. Pertarungan itu dalam rangka memperebutkan makna,

mempertahankan atau menegakkan identitas, dan merebut kuasa/dominasi atas

kelompok lain. Pergulatan menjadi kompleks dan menarik dengan adanya

keterlibatan warga Kristiani dalam praktik tradisi lebih intensif dibanding dari

kalangan Muslim. Muncul kecurigaan dari elite Muslim terhadap kaum Kristiani

bahwa mereka sengaja menopang pelestarian tradisi ‘jahiliyah’ ini di kalangan

Dou Mbawa untuk memperlemah posisi Islam dalam masyarakat. Ada juga

tuduhan bahwa orang Mbawa yang Muslim telah ‘berselingkuh’ dengan penganut

agama lain untuk menentang dominasi “Mbojo Awa” (pusat kekuasaan) atas tanah

(42)

14

Wacana kontestasi itu muncul di sini dan bergerak kian kemari menyasar

kepada aspek-aspek keagamaan yang lain seperti pembangunan gereja dan masjid,

dan sedikit banyak mewarnai perdebatan dalam isu hubungan antaragama di

tingkat lokal dan regional. Kontestasi ini bertambah gaduh oleh perdebatan

internal di kalangan Muslim. Para ulama dari Bima tampaknya mendapatkan

tantangan internal dari umat Muslim Mbawa dengan sikap ketaatan mereka

terhadap tradisi leluhur atau toleransi mereka terhadap penganut agama lain.

Sementara itu, di kalangan Dou Mbawa sendiri juga terdapat kontestasi internal

memperebutkan dominasi atau kontrol terhadap hak-hak warisan leluhur,

misalnya, dalam hal siapa yang paling berhak memberi warna dan kontrol atas

situs Uma Ncuhi dan bukit kecil di tengah kampung, tempat pelaksanaan

upacara-upacara adat termasuk praktik budaya Raju. Semua pihak merasa berkepentingan

dengan penguasaan atas Uma Ncuhi sebagai pusat kosmologi mereka, sehingga

muncul corak lain dari konflik, yaitu kontestasi internal pendukung tradisi.

Dalam konfigurasi dan pusaran pertarungan ini, praktik budaya

mendapatkan pemaknaan berbeda dan khas dari penganutnya. Tentu saja

pemaknaan itu bersandar kepada kepentingan dan tantangan kehidupan komunal.

Jika praktik budaya merupakan representasi struktur objektif dan visi

sosio-religius masyarakat setempat, maka eksistensi, kebertahanan dan

perubahan-perubahannya dari waktu ke waktu, mencerminkan dinamika struktur/sistem

sosial dan pandangan masyarakat mengenai aspek-aspek kehidupan serta

religiusitas mereka. Dengan demikian, dinamika kontestasi dan pertarungan

(43)

15

dapat ditelusuri dan dijelaskan dalam diskursus mengenai praktik budaya Raju.

Kontestasi dan pertautan ideologi dan identitas itu terlihat seperti

berlangsung secara alamiah, terpatri dalam jagat ritual dan wacana serta

simbolisme dalam praktik budaya Raju. Hal menarik untuk dikaji adalah

kenyataan ambiguitas dan masih bertahannya budaya Raju sebagai praktik yang

dilakukan oleh Dou Mbawa tanpa dikendalai oleh agama anutan mereka, yaitu

Islam dan Kristen yang pada dasarnya sama-sama bersifat puritan. Dalam

kacamata cultural studies, fenomena ini bisa dan harus dilihat sebagai “ada

apa-apa” dalam diri Dou Mbawa dengan praktik budaya Raju itu, yaitu dekonstruksi

atas bangunan keyakinan keagamaan yang bersifat tunggal dan mutlak.

Mencermati paparan di atas dapat dikatakan bahwa Dou Mbawa adalah

sebuah fenomena kebudayaan yang representasi masyarakat tradsional yang

plural. Sebagai sebuah fenomena Dou Mbawa menyimpan sesuatu yang tak

terlihat di balik ‘gunung es’ praktik budaya yang mereka ekspresikan. Fakta Dou

Mbawa satu-satunya masyarakat di Bima yang masih merawat kepercayaan lama

dan praktik tradisi sementara di belahan lain tergerus, jelas memunculkan

keingintahuan. Uniknya, alih-alih tergerus, mereka bahkan bisa ‘mengatasi’

kekuatan-kekuatan besar yang hegemonik itu dalam satu pusaran tradisi yang

bernama praktik budaya Raju, warisan adat bersumber dari kepercayaan lama.

Jelas ada ideologi yang menopang kebertahannnya, dan itu adalah ideologi

kebudayaan atau gagasan mengenai pelestarian tradisi.

Permasalahannya, ideologi lokal itu berhadapan dengan ideologi keagamaan

universal dalam satu sisi, dan tumpang tindih di sisi yang lain. Ideologi

(44)

16

yang menjadi anutan resmi masyarakat. Praktik budaya di Mbawa, karenanya,

tidak dilihat sebagai praktik keseharian atau sekedar ritual agama, tetapi sebagai

representasi pertarungan makna dan kekuasaan, selain sebagai penggema suara

hati masyarakat pendukungnya yang terpinggirkan. Reproduksi praktik budaya

Raju sebagai wujud sinkretisme agama memicu kegelisahan kalangan ‘agama

langit’ dari perkotaan, terutama masyarakat Muslim mayoritas di Bima. Hal ini

menjadikan masyarakat kecil Mbawa sebagai isu sensitif dan besar dalam jagat

hubungan sosial-keagamaan masyarakat secara umum.

Uraian di atas menggambarkan bahwa penataan ulang kehidupan

keagamaan, terutama selama rezim Orde Baru sejak 1966, yang mengharuskan

penduduk memeluk salah satu dari agama resmi, telah menciptakan ketegangan

bagi kepercayaan lokal, Parafu, dalam masyarakat Mbawa. Kehadiran Islam dan

Kristen sebagai agama baru dan resmi menjadikan mereka sebagai masyarakat

yang pluralistik yang memicu budaya kompetisi dan konflik dalam masyarakat.

Islam, Kristen, dan Parafu memiliki ideologi dan identitas, karenanya perebutan

hegemoni di antara mereka tidak bisa dihindarkan. Konteks ini menghasilkan

kegelisahan sekaligus kearifan komunal yang berujung pada reproduksi praktik

budaya Raju.

Praktik budaya Raju akhirnya menjadi medan budaya bagi pertarungan dan

relasi kuasa. Dalam konteks ini, menjadi tugas kajian budaya untuk memproduksi

pemahaman yang lebih baik tentang geliat masyarakat kecil yang terpinggirkan,

sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman berkepanjangan yang berlanjut

(45)

17

demikian tidak saja berakibat peminggiran lanjut, tetapi juga perlawanan dan

konflik berkepanjangan yang menguras energi sosial.

Penelitian ini didorong oleh keingintahuan untuk menelusuri aspek-aspek

relasi kuasa dalam diri Dou Mbawa dan kearifan mereka meresponsnya. Subjek

penelitian ini adalah praktik budaya Raju dalam konteks relasi masyarakat

pluralistik Mbawa dan dalam hal mereka mendayagunakan praktik itu sebagai

wahana merespons hegemoni dan mengkomunikasikan ideologi mereka di

hadapan ideologi agama-agama besar. Dengan demikian, muara penelitian ini

adalah menjelaskan cara masyarakat pluralistik Mbawa menciptakan relasi

multikultural dan harmoni sosial di tengah hegemoni yang mengepung.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini mengenai hubungan budaya dan agama, serta hubungan antara

budaya/agama lokal dengan budaya/agama dominan dari luar. Praktik budaya

Raju sebagai pintu masuk dalam menjelajahi relasi dan pertarungan dari entitas

budaya (yang bermetamorfosa menjadi agama lokal) versus agama (universal), di

mana yang satu terpinggirkan sementara yang lain dominan. Secara umum,

penelitian ini memperbincangkan praktik budaya Raju yang dimaknai secara

kreatif berdasarkan konteks pluralitas Dou Mbawa. Secara khusus, permasalahan

penelitian berpusat pada keberadaan praktik budaya tradisional masih di tengah

kecenderungan pengikisan little tradition (tradisi kecil), yaitu praktik Parafu, oleh

great tradition (tradisi besar), dalam hal ini Islam, melalui dakwah yang

digencarkan oleh outsider dari kaum puritan kota. Penelitian ini pada gilirannya

Gambar

Gambar 2.1: Model penelitian

Referensi

Dokumen terkait

warna dari kedua resistor, kemudian resistor yang sudah disusun seri tersebut dialiri listrik menggunakan power suplay dan ukur dengan menggunakan amperemeter dan

Hal inilah yang menjadikan ketertarikan untuk meneliti lebih lanjut Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo karena dalam hal pembinaan terhadap anak didik peranan

Selain itu strategi yang dinilai cukup menarik adalah dengan memaksimalkan kegitan pemasaran untuk layanan Laparoscopy adapun bentuk kegiatan pemasaran yang

Selain pembagian ini, terdapat juga kamus bantu untuk buku pelajaran, kamus digital (software) dan kamus online (laman web). Perkembangan ilmu pengetahuan yang kemudian

Berdasarkan paparan data tentang aktivitas dan prestasi belajar siswa Kelas IX- E SMP Negeri 1 Pogalan, peneliti melakukan refleksi dari hasil temuan kegiatan penelitian sebagai

 Siswa yang mendapat tongkat saat lagu berhenti dinyanyikan maju kedepan kelas untuk mengambil undian pertanyaan mengenai isi cerita peristiwa kecelakaan pada

Berdasarkan permasalahan tersebut maka diusulkan sebuah pembangunan aplikasi pengelolaan pendaftaran izin parsial kependudukan kabupaten bandung secara online yang

Bank berasaldaribahasaitalia yaitu banco yaitu bangku.Bangku inilah yang dipergunakan oleh banker untuk melayani kegiatan operasionalnya kepada para