DISERTASI
MARGINALISASI SENI PERTUNJUKAN
GANDRUNG TRADISI LOMBOK, NUSA
TENGGARA BARAT
IDA AYU TRISNAWATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
ii DISERTASI
MARGINALISASI SENI PERTUNJUKAN
GANDRUNG TRADISI LOMBOK,
NUSA TENGGARA BARAT
IDA AYU TRISNAWATI NIM. 1290371012
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
iii
MARGINALISASI SENI PERTUNJUKAN
GANDRUNG TRADISI LOMBOK,
NUSA TENGGARA BARAT
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya
Program Pascasarjana Universitas Udayana
IDA AYU TRISNAWATI NIM. 1290371012
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
iv
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 21 MARET 2016
Promotor,
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum NIP. 19610212 198803 1 001
Ko-promotor I
Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A. NIP. 19481231 197602 1 001
Ko-promotor II
Dr. I Gede Arya Sugiartha, SSKar.,M.Hum. NIP. 19661201 199103 1 003
Mengetahui,
Ketua
Program Studi Doktor (S3)
Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. NIP. 19480720 197803 1 001
Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana
v
Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tahap I (Tertutup) Tanggal 21 Maret 2016
Panitia Penguji Disertasi, Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 1115/UN14.4/HK2016, Tanggal 17 Maret 2016
Ketua : Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.
Anggota :
1. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum 2. Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A
3. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Skar.,M.Hum. 4. Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S
5. Dr. Putu Sukardja, M.Si
vi
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA : Ida Ayu Trisnawati
NIM : 1290371012
PROGRAM STUDI : S3 Kajian Budaya
JUDUL DISERTASI :“Marginalisasi Seni Pertunjukan Gandrung Tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat”
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila pada kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 1 April 2016
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastyastu
Puja dan puji syukur dipersembahkan ke hadapan Tuhan Yang
Mahakuasa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) berkat perlindungan dan cinta kasih
yang diberikan disertasi yang merupakan salah satu persyaratan terakhir untuk memperoleh gelar doktor di Program Pascasarjana, Universitas Udayana
Denpasar, dapat diselesaikan sesuai dengan batas waktu yang direncanakan.
Dengan penuh kesadaran bahwa semua ini dapat dilakukan berkat kerja keras
tanpa mengenal lelah, dengan segala pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki, didukung rasa tanggung jawab moral yang tinggi sehingga dapat
memicu semangat studi. Di balik semua kelancaran proses tersebut tentu tidak
dapat diabaikan bantuan dari berbagai pihak.
Atas segala bantuan yang diberikan, melalui kesempatan ini
disampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. yang telah banyak memberikan bimbingan
dan arahan sejak studi di Pascasarjana Unud, beliau sebagai Promotor. Prof. Dr.
I Gde Parimartha, M.A. sebagai kopromotor I adalah pembimbing akademik dan sekaligus beliau mengetahui dan memahami betul keberadaan penulis
sehingga tanpa ada rasa keraguan dalam membimbing dan mengarahkan
penulis, sejak awal sampai masa akhir studi dengan penuh kesabaran. Dr. I
Gede Arya Sugiartha, S.S.Kar., M.Hum. sebagai kopromotor II, yang selalu
mengingatkan penulis agar tetap konsentrasi sepenuhnya dalam penyelesaian
viii
Terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Bapak
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.P.D.KEMD. atas kesempatan dan fasilitas
kampus yang diberikan kepada penulis guna mengikuti dan menyelesaikan
Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Ibu
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made
Budiarsa, M.A. atas berbagai arahan akedemik dan fasilitas perkuliahan yang
disediakan.
Selanjutnya, ucapan terima kasih juga kepada Ketua dan Sekretaris
Program Studi Doktor kajian Budaya, Program Pasca Sarjana, Universitas
Udayana, Bapak Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. dan Bapak Dr. Putu
Sukardja, M.Si. Ucapan teima kasih pula kepada Prof. Dr. I Nyoman Suarka,
M.Hum., Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan,
S.U., Prof. Dr. I Wayan Cika, M.Si., Dr. I Gede Arya Sugiartha, SSKar.,
M.Hum., Dr. Putu Sukardja., M.Si., Dr. Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si., dan Dr.
Ni Made Ruastiti, SST., M.Si. selaku penguji dan telah banyak memberikan masukan dan saran-saran demi kesempurnaan disertasi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih dan salam hormat kepada semua
dosen Program Studi Kajian Budaya, atas segala petunjuk dan arahannya: Prof.
Dr. I Gde Widja, M.A., Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A., Prof. Dr. I
Gede Semadi Astra., Prof. Dr. I Made Suastika, S.U., Prof. Dr. I Wayan Ardika,
M.A., Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana,
ix
Meko Mbete., Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., Prof. Dr. I Wayan Rai S.,
M.A., Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., Prof. Dr. I Ketut Nehen, S.E.,
M.Ec., Prof. Dr. I Made Sukarsa, S.E., M.S., Dr. Putu Sukardja, M.Si., Dr. I Gde Mudana, M.Si., Dr. I. B. Gde Pujaastawa, M.A., Dr. I Nyoman Dhana,
M.A., Dr. Industri Ginting Suka, M.S., dan Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum.
Selanjutnya ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh
Civitas Akademika Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Bapak Rektor Dr. I
Gede Arya Sugiartha, SSKar., M.Hum., Bapak Prof. Dr. I Wayan Rai S, M.A.
mantan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Wakil Rektor I, Prof. Dr.
I Nyoman Artayasa, M. Kes., Wakil Rektor II, Drs. I Gusti Ngurah Seramasara,
M. Hum. Wakil Rektor III, Drs. I Wayan Gulendra., M.Sn, Wakil Rektor IV, I
Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar,
Bapak I Wayan Suharta, S.SKar., M.Si, beserta seluruh pimpinan Fakultas Seni
Pertunjukan ISI Denpasar, dan rekan-rekan di Program Studi Seni Tari, atas
kesempatan dan ijin yang diberikan guna menempuh pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga untuk suami tercinta I Gusti
Agung Ngurah Ketut Suparta,SE.,M.Si. anak-anak tersayang, dr Anak Agung
Ayu Diah Citradewi, Anak Agung Ngurah Bayu Putra, S.Ked., Anak Agung
Ngurah Surya Putra, Herdiyan, menantu, cucu-cucu yang selalu menghibur, dan
x
Sujud dan bakti kepada kedua orang tua penulis Bapak, Ibu Ida Bagus
Anom, dan I Gusti Ayu Mulyani, kakak-kakak, adik-adik, yang hingga kini
tetap menuntun dan memberi doa untuk penyelesaian studi ini. Demikian pula
terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Kajibu’12 yang selalu memberikan doa semangat kebersamaan dan motivasi untuk segera
menyelesaikan tulisan ini.
Ucapan terimakasih pula kepada nara sumber, Bapak Haji Abdul Hamid
Hamzah, Haji Jalaludin Arzaki (alm), Haji Parhan, Ibu Sri, Bapak Amaq Raya,
Ibu Siti, Inaq Gandik, Haji Sahmad, Raden Bayan, Ibu Sri Yaningsih, Bapak
Dr. I Gede Wirata, Drs. Haji Lalu Anggawa Nuraksi, dan Bapak I Made
Bagiana, serta informan lainnya yang tidak dapat disebut satu per satu atas
bantuannya selama kegiatan pencarian data di lapangan.
Demikian pula kepada para karyawan/wati Program Studi Kajian
Budaya, yaitu Bapak Putu Sukariawan, S.T., Dra. Ni Luh Witari, Ni Wayan
Ariyati, S.E., I Ketut Budiastra, I Nyoman Candra, Putu Hendrawan, I Made
Kurniawan Gria, Ni Komang Juliartini, I Gusti Putu Taman, S.H., Cok Istri Murniati, dan A.A. Ayu Indrawati, atas segala pelayanan yang diberikan, baik
berkenaan dengan administrasi akademik maupun administrasi keuangan
selama studi. Sebagai akhir kata, atas segala perhatian, motivasi, dan bantuan
yang diberikan semua pihak, penulis hanya dapat membalasnya dengan ucapan
terima kasih yang sedalam-dalamnya. Di samping itu, sekaligus menyampaikan
permohonan maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang diperbuat, baik
xi
selalu memberikan perlindungan dan sinar suci-Nya sehingga berbagai
kesulitan yang dialami dapat diatasi dengan tenang dan damai.
Semoga kebaikan datang dari segala arah.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Denpasar, 1 April 2016
xii ABSTRAK
Seni pertunjukan Indonesia memiliki ciri istimewa, yaitu sebagai sebuah seni yang sangat lentur dan cair karena lingkungan masyarakatnya selalu berada dalam kondisi yang terus berubah-ubah pada suatu kurun waktu tertentu, mapan, dan tumbuh sebagai suatu "tradisi". Perkembangan kehidupan masyarakat telah mengubah aspek seni pertunjukan mengikuti perkembangan zaman. Perubahan juga terjadi pada salah satu seni pertunjukan gandrung tradisi di Desa Dasan Tereng, Kecamatan Narmada, Nusa Tenggara Barat. Perkembangan pemahaman agama dari Islam Sasak wetu telu ke Islam Sasak waktu lima telah memberikan dampak luas bagi perkembangan seni pertunjukan gandrung tradisi yang ada di daerah ini. Untuk memahami yang terjadi dengan gandrung tersebut, maka dirumuskan beberapa tujuan, yaitu untuk mengetahui bentuk marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi, alasan mengapa seni pertunjukan gandrung tradisi mengalami marginalisasi, serta implikasi dan makna bagi masyarakat di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Agar diperoleh data yang valid maka pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan kajian dokumen yang berhubungan dengan gandrung tradisi. Hasil pengumpulan data selanjutnya dianalisis dengan menggabungkan teori subaltern (Gayatri Chakravorty Spivak), teori praktik sosial (Pierre Bourdieu), dan teori dekonstruksi (Jacques Derrida).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya penguatan fundamentalisme agama Islam, dari Islamwetu telu ke Islam waktu lima pada masyarakat Sasak. Penguatan fundamentalisme agama Islam sangat berpengaruh terhadap keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi dan pergulatan politik identitas dalam seni pertunjukan tari gandrung. Secara detail hasil penelitian menunjukkan bentuk marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat terdiri dari memudarnya spirit melalui representasi tema dan gerak tari; keterpinggiran aspek busana dan tata rias,dan keterpinggiran aspek musik iringan, tata panggung dan penonton yang menikmati tari gandrung tradisi.
Selanjutnya yang melatarbelakangi marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi ditinjau dari terbatasnya peran pemerintah, adanya penguatan fundamentalisme keagamaan, setting kebudayaan di era globalisasi dan ketidakberdayaan komunitas pendukung tari gandrung tradisi. Implikasi marginalisasi antara lain bergesernya nilai seni pertunjukan gandrung tradisi, terpinggirkannya seni gandrung tradisi dari kesenian budaya Sasak. Dipihak lain makna marginalisasi ditinjau dari aspek makna transformasi kreativitas seni pertunjukan gandrung tradisi; makna solidaritas pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi, dan makna pergulatan kekuasaan.
xiii ABSTRACT
The Indonesian performing art has a special characteristic, namely, it is higly flexible and assimilates the environment where is performed. The reason is that the condition where it is performed keeps changing. Within a period of time, it is established and grows into a “tradition”. The development of the societal life has changed the aspects of the performing art and follows the era development. Such a change has also occurred to the traditional gandrung performing art at Dasan Tereng Village, Narmada District, West Nusa Tenggara. The development of the Sasak wetu teluIslamic concept intoSasak waktu lima Islamic concept has widely affected the development of the traditionalgandrungperforming art. In other to understand what has happened to such a dance, the present study is intended to identify the form of the marginalization of the traditional gandrung performing art, what factors contributing to the marginalization of the traditional gandrung performing art, and what are the implication and meaning of such a marginalization on the people living in Lombok, West Nusa Tenggara Barat. In order to obtain the valid data, the data were collected through observation, in-depth interview, and documentary study. The data were then analysed using the theory of subaltern proposed by Gayatri Chakravorty, the theory of social practice proposed by Pierre Bourdieu, and the theory of deconstruction proposed by Jacques Derrida.
The result of the study shows that the strengthening of the Islamic fundamentalism from wetu telu Islam into waktu lima Islam has strongly affected the existence of the tradisional gandrung performing art and the struggle for the politics of identity. What have exactly been responsible for the marginalization of the tradisional gandrungperforming art are the limited role played by the government, the strengthening of the religious fundamentalism, the cultural setting in the globalization era and the powerlessness of the supporting community. Such a marginalization has coused the value of the traditional performing art to shift. It has also caused the traditional gandrung performing art to be marginalized from the Sasak cultural art. On the other hand, the meaning of such a marginalization, if viewed from the aspect of transformational meaning of the creativity of the traditional gandrung performing art includes the meaning of solidarity among its supporting people and the meaning of the stuggle for power.
xiv RINGKASAN
Seni pertunjukan Indonesia memiliki ciri istimewa, yaitu sebagai sosok seni yang sangat lentur dan cair sebab lingkungan masyarakatnya selalu berada dalam kondisi yang terus berubah-ubah pada suatu kurun waktu tertentu, mapan, dan tumbuh sebagai suatu "tradisi". Seni pertunjukan sebagai bagian dari seni Indonesia juga mengalami perubahan. Perkembangan kehidupan masyarakat telah mengubah aspek seni supaya mengikuti perkembangan zaman. Saat ini hampir seluruh jenis seni pertunjukan, yaitu musik, tari, dan teater diselenggarakan untuk menunjang kebutuhan pariwisata. Disamping itu, beberapa juga diselenggarakan di luar kepentingan utamanya sehingga seni pertunjukan tradisi yang bernilai adiluhung menjadi termarginal. Kenyataan bahwa seni pertunjukan tradisi telah turut ditempatkan di dalam aktivitas industri pariwisata dan politik pencitraan teramati dari adanya pengemasan kesenian seni pertunjukan tradisional dikomodifikasi menjadi seni pertunjukan modern seperti seni pertunjukan gandrung tradisi. Marginalisasi pada seni pertunjukan terjadi karena adanya komodifikasi yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk kepentingan tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa proses erat dikaitkan dengan kapitalisme, yaitu objek-objek, kualitas-kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, seperti itulah keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi sekarang. Berbagai cara dilakukan, seperti pemadatan, variasi, dan membuat lebih atraktif. Tujuannya adalah agar pertunjukan sesuai dengan sifat-sifat pariwisata bernilai ekonomi yang memiliki waktu terbatas. Agar seni pertunjukan tradisi dapat dipentaskan dengan waktu terbatas lahirlah seni pertunjukan gandrung modern binaan pemerintah daerah. Hal itu menyebabkan seni pertunjukan tradisi semakin termarginal.
xv
Nusa Tenggara Barat? Ketiga, apakah implikasi dan makna marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Penelitian marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat adalah sebuah penelitian kualitatif yang berada dalam wilayah ilmu kajian budaya (cultural studies). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumen. Data dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif melalui teori subaltern (Gayatri Chakravorty Spivak), teori praktik sosial (Pierre Bourdieu), dan teori dekonstruksi (Jacques Derrida) yang diterapkan secara eklektik.
Menurut teori subaltern, istilah subaltern bagi kelompok sosial yang berada di subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas berkuasa. Perhatian utamanya adalah menggali, menginvestigasi, dan menggambarkan sumbangan yang diberikan oleh rakyat terhadap kondisi mereka sendiri, bebas dari elite, dan membangun kesadaran petani atau subaltern. Dalam teori praktik sosial diyakini bahwa penekanan keterlibatan subjek (masyarakat pelaku budaya) di dalam proses konstruksi budaya bertalian erat dengan habitus, modal, dan ranah objektif dalam rangka mengonstruksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan produk dari relasi antara habitus sebagai pemahaman persepsi, modal sebagai kekuatan pendukung dalam arena aktivitas kegiatan sebagai ranah medan sosial pergulatan kekuasaan berdasarkan modal/kapital (budaya, ekonomi, simbolik) yang dimiliki.
xvi
tulisan berada pada pangkal asal mula makna. Derrida mendekonstruksi gagasan bahwa tuturan menyediakan identitas untuk tanda dan makna.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara tidak langsung terlepas dari pro dan kontra pergeseran makna, tata rias, waktu pertunjukan, jumlah penari, dan tata musiknya menunjukkan seni sebagai sebuah aktivitas penuh makna spiritual bergeser ke kepentingan lainnya, seperti ekonomi, pencitraan, hiburan semata, dan sudah mulai bergeser dari pakem awalnya. Sebuah perubahan yang perlu disikapi lebih dan menjadi perhatian bersama.
Di samping perkembangan era globalisasi membuat seni pertunjukan tradisi termarginal adanya perubahan ideologi dan pemahaman juga berkontribusi besar bagi perkembangan sebuah aktivitas kesenian. Perubahan itu terjadi pada seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok khususnya di Desa Dasan Tereng, Kecamatan Narmada, Nusa Tenggara Barat. Perkembangan pemahaman agama dari Islam Sasak wetu teluke Islam Sasakwaktu limatelah memberikan dampak luas bagi perkembangan kesenian gandrung di daerah tersebut.
Sejak pemurnian ajaran Islam di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat telah membuat aktivitas masyarakat di Pulau Lombok secara perlahan mengalami perubahan, begitu juga aktivitas berkesenian. Aktivitas masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam waktu lima mendapat label negatif, dianggap perlu disesuaikan dan ditinggalkan. Proses ini menyebabkan aktivitas kebudayaan, yaitu salah satu diantaranya seni pertunjukan gandrung mengalami marginalisasi khususnya seni pertunjukan gandrung tradisi. Pelaksanaan aktivitas agama yang tidak sesuai dengan ajaran agamawaktu lima (salat lima waktu), hanya melakukan aktivitas wetu telu (salat tiga kali) dipandang tidak sesuai dan sesat dalam syariat Islam. Selain itu, implikasinya meluas pada aktivitas seni pertunjukan gandrung tradisi dipandang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang dianut oleh masyarakat umum di daerah Lombok sekarang ini.
xvii
Sebagai pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi sangat berpengaruh besar bagi keberadaan kelestarian kesenian gandrung tradisi sehingga sekarang seni pertunjukan gandrung tradisi masyarakat Lombok Sasak mengalami marginalisasi. Bukti marginalisasi itu dapat dilihat dalam bentuk-bentuk marginalisasi. Berdasarkan kajian dan penelitian kajian budaya terjadinya marginalisasi dilihat dari berbagai aspek, yaitu perubahan tema dan gerak tari. Perubahan tema (adanya perubahan tema seni pertunjukan, yaitu dari yang bersifat ketuhanan menjadi hiburan). Perubahan gerak (tari gandrung yang dipengaruhi globalisasi, yaitu dari bentuk berpola menjadi tidak berpola). Perubahan nilai ketuhanan tidak bisa dilepaskan dari pemahaman dan pemurnian agama Islam, yaitu berubahnya masyarakat pendukung seni perunjukan gandrung dari penganut Islam wetu telu ke Islam waktu lima. Masyarakat Sasak penganut wetu telu memiliki pemahaman bahwa seni gandrung tradisi bukan sekadar seni hiburan, tetapi sarat makna dan fungsi spiritual.
Seni pertunjukan gandrung tradisi bagi masyarakat Sasak Islam wetu telu merupakan bentuk syukur dan permohonan keselamatan kepada Yang Mahakuasa dalam menjalani kehidupannya. Syukur karena mereka memperolah hasil panen pertanian melimpah dan keselamatan dalam menjalani kehidupan di dunia. Begitu juga pemilihan waktu tidak bisa dipentaskan sembarangan, tetapi hanya bisa dipentaskan dalam waktu khusus. Dalam konteks Islam wetu telu secara ideologi terjadi akulturasi kebudayaan, yaitu Islam, kebudayaan Sasak, dan Hindu sebagai agama yang dianut sebelumnya. Perubahan terjadi ketika Islam waktu lima pada zaman orde baru, yang lebih dikenal dengan“pemurnian Islam” mengirim para ulama dari Jawa untuk melakukan pemurnian agama Islam yang ada di Lombok dariwetu teluke waktu lima.
xviii
oleh masyarakat pendukungnya. Perubahan gerakan, terutama pada gerakan-gerakan maknawi tangan dan wajah. Pada zaman dahulu semasa tari gandrung tradisi masih exsis di lingkungan pendukung tari gandrung tradisi ditarikan dengan menggunakan pola gerakan tari yang beraturan di depan umum.
Gerakan tari gandrung tradisi menggunakan struktur baku. Gerakan itu tidak boleh diubah dari dahulu, sebagaimana pesan penari gandrung laki-laki pertama. Akan tetapi, setelah berkurangnya eksistensi tari gandrung tradisi di lingkungan masyarakat pendukungnya, pola gerakan mulai berubah satu per satu kadang ada yang tertinggal. Bahkan, sekarang ada tidak berpola dengan struktur baku yang telah ditentukan. Ini bisa terjadi karena pemahaman pengajar tari gandrung sekarang berbeda dengan dahulu. Adanya perubahan penari (dalam hal ini adanya penambahan jumlah penari gandrung dan kualitas penari gandrung yang mulai menurun). Dilihat dari aspek tata rias dan busananya, tampak terjadi perubahan musik iringan dahulu dan sekarang, perubahan tata panggung, dan penonton gandrung di masyarakat. Keseluruhan bentuk marginalisasi tersebut saling memengaruhi dan menjadikan gandrung tradisi semakin terpinggirkan di wilayahnya sendiri. Seolah-olah tidak sesuai dengan masyarakat Sasak, padahal seni pertunjukan gandrung tradisi merupakan salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat.
xix
dengan adanya gerakan penguatan fundamentalisme agama Islam, yaitu pemurnianIslam wetu telukeIslam waktu lima.
Penguatan fundamentalisme agama Islam menyebabkan jumlah masyarakat pendukung kesenian gandrung tradisi berkurang. Ini berdampak pada setting seni gandrung tradisi semakin sempit pada komunitas Islam wetu telu yang terbatas adanya. Penguatan fundamentalisme agama Islam seiring dengan perubahan ideologi agama berdampak pada kepercayaan diri penari dan pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi. Tari gandrung tradisi mulai termarginal karena mendapat label yang tidak baik dalam masyarakat sehingga mereka kehilangan kepercayaan diri untuk melanjutkan kesenian ini. Dipihak lain pemurnian agama juga berpengaruh terhadap pola norma yang dianut oleh masyarakat di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Nilai sopan dan santun dalam berpakaian, gerak-gerak tubuh penari juga menjadi terbatas sehingga membuat etika berkesenian di masyarakat pendukung gandrung mulai terbelenggu. Artinya, dibatasi oleh norma agama dan etika agama yang dianut. Fenomena itu mempercepat dan memperkuat marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
xx
kekuasaan terhadap seni pertunjukan gandrung tradisi. Tari gandrung menjadi budaya subaltern di tengah-tengah kebudayaan modern yang semakin semarak.
Makna marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, antara lain makna transformasi kreativitas seni pertunjukan gandrung. Seni pertunjukan gandrung dalam eksistensinya saat ini mengalami kendala. Masyarakat tidak dapat mengekspresikan nilai-nilai kreativitas estetis dalam lingkungannya. Peran seni pertunjukan gandrung tradisi dalam aktivitasnya berkaitan dengan kesakralan di masyarakat pendukungnya tidak dilakukan lagi. Selain itu, terjadinya penurunan nilai estetis seni pertunjukan gandrung tradisi dan beberapa seka (sekehe) melakukan tranformasi terhadap seni pertunjukan gandrung tradisi dengan kreativitas meraka. Walaupun terjadi tranformasi nilai seni pertunjukan gandrung tradisi tetap berkurang. Hal ini ditentang oleh sebagian pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi. Persepsi masyarakat pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi secara bertahap mulai berubah, yaitu mengarah kepada sikap keterbukaan, mulai menempatkan seni pertunjukan gandrung tradisi dalam peran dan fungsi sosial yang lebih layak bagi golongan tertentu. Meskipun tidak luput dari benturan dengan nilai-nilai, kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan tatanan nilai dalam berkesenian, sudut pandang etika, dan estetika.
xxi
pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi sama-sama merasakan terbelenggunya kreativitas estetika yang dimiliki.
Makna pergulatan kekuasaan menyebabkan terjadinya penguatan identitas. Berkurangnya masyarakat pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi tentu menyebabkan semakin berkurangnya solidaritas antar-pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi, bahkan hilangnya identitas Sasak sebagai masyarakat yang memiliki budaya seni pertunjukan gandrung tradisi. Dalam perkembangan selanjutnya seni pertunjukan gandrung tradisi bisa saja tidak dikenal sebagai identitas Sasak lagi. Jika hal ini terjadi dalam perkembangan sekarang, maka Lombok Nusa Tenggara Barat telah mentransformasi kreativitas seni pertunjukan gandrung tradisi sebagai bagian aset kesenian budaya Sasak yang bisa dijual dalam kegiatan pariwisata. Ini merupakan kerugian besar dalam pengembangan kesenian tradisi Sasak bagi sebagian masyarakat Lombok sebagai tujuan wisata alam dan budaya. Di sisi lain untuk memenuhi kepentingan terjadinya penguatan identitas perlu terus dipertahankan dan dikembangkan agar aset seni pertunjukan gandrung tidak sampai hilang. Di sinilah terjadi dilema yang sangat sulit disikapi, yaitu antara kepentingan kekuasaan dan kepentingan kelompok marginal.
Implikasi dan makna marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi menjadi permasalahan bagi masyarakat pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi, seperti penari, penabuh, dan pemilik sekaa. Penari dan penabuh menggantungkan hidupnya pada aktivitas seni pertunjukan gandrung tradisi yang semakin terhimpit oleh situasi zaman. Hal ini merupakan sebuah dilema bagi masyarakat pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi. Dengan demikian, akibat terjadinya transformasi kreativitas seni pertunjukan gandrung secara bertahap akan berakhir dengan kepentingan kekuasaan yang menyebabkan terjadinya perguatan identitas.
xxii
tata rias, Keterpinggiran aspek musik iringan, tata panggung, dan penonton. Penyebab marginalisasi terdiri atas terbatasnya peran pemerintah, penguatan fundamentalisme keagamaan, terbatasnyasettingkebudayaan di era globalisasi, dan ketidakberdayaan komunitas pendukung. Dipihak lain yaitu implikasi marginalisasi bergesernya nilai seni pertunjukan gandrung tradisi, terdesaknya komunitas seni pertunjukan gandrung tradisi sebagai bagian aset budaya Sasak. Makna marginalisasi terdiri atas makna tranformasi kreativitas seni pertunjukan gandrung tradisi, makna solidaritas pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi, dan makna kepentingan kekuasaan.
Penelitian marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok menghasilkan sejumlah temuan baru sebagai berikut. Pertama, keberadaan Islam waktu lima di Lombok cenderung lebih fundamentalis, seni pertunjukan gandrung tradisi tidak dianggap Islami. Seni pertunjukan gandrung yang didukung oleh kebudayaan Sasak khususnya Islam wetu telu dianggap bertentangan dengan konsep Islam setempat masa kini yang memiliki aturan Islam waktu lima. Kedua, meskipun seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok bertransformasi ke dalam bentuk baru yang disebut gandrung modern, produk terbaru ini tetap dikategorikan memiliki identitas Sasak. Tindakan ini membuktikan kuatnya politik identitas dalam seni pertunjukan gandrung. Ketiga, dalam konteks kehidupan Lombok masa kini, yaitu kekuasaan Islam semakin besar, seni pertunjukan gandrung tradisi dianggap semakin negatif dibandingkan dengan masa lalu.
xxiii
xxiv DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL ... i
PRASYARAT GELAR ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT... xii
RINGKASAN ... xiii
DAFTAR ISI... xxiii DAFTAR TABEL... xxviii
DAFTAR GAMBAR ... xxix
GLOSARIUM... xxxi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 12
1.3 Tujuan Penelitian... 13
1.3.1 Tujuan Umum... 13
1.3.2 Tujuan Khusus ... 13
xxv
1.4.1 Manfaat Teoretis ... 14
1.4.2 Manfaat Praktis ... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN ... 15
2.1 Kajian Pustaka... 15
2.2 Konsep ... 21
2.2.1 Marginalisasi ... 21
2.2.2 Seni Pertunjukan... 23
2.2.3 Gandrung Tradisi Lombok... 26
2.3 Landasan Teori... 29
2.3.1 Teori Subaltern ... 29
2.3.2 Teori Praktik Sosial... 31 2.3.3 Teori Dekonstruksi... 33
2.4 Model Penelitian ... 36
BAB III METODE PENELITIAN... 39 3.1 Rancangan Penelitian ... 39
3.2 Lokasi Penelitian ... 40
3.3 Jenis dan Sumber Data ... 41
3.3.1 Jenis Data ... 41
3.3.2 Sumber Data ... 41
3.4 Penentuan Informan... 42 3.5 Instrumen Penelitian ... 43
xxvi
3.6.1 Observasi... 44
3.6.2 Wawancara ... 45
3.6.3 Dokumentasi... 46
3.7 Teknik Analisis Data ... 47
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 48
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 49 4.1 Gambaran Umum Lombok ... 49
4.2 Gambaran Umum Lombok Barat ... 52
4.2.1 Sejarah Lombok Barat ... 52
4.2.2 Orbitrasi dan Geografi Lombok Barat ... 61
4.2.3 Demografi Lombok Barat ... 64
4.2.3.1 Mata Pencaharian Penduduk Lombok Barat ... 64
4.2.3.2 Kehidupan Beragama Penduduk Lombok Barat ... 65
4.3 Sosial Budaya Lombok Barat ... 70
4.3.1 Sejarah Suku Sasak ... 73
4.3.2 Adat Istiadat dan Tradisi ... 76
4.3.3 Pelapisan Sosial ... 78
4.3.4 Sistem Kekerabatan... 80
4.3.5 Bahasa Masyarakat Lombok Barat ... 85
4.3.6 Kehidupan Kesenian Masyarakat Lombok Barat ... 86
4.4 Eksistensi Gandrung di Lombok ... 95
4.4.1 Sejarah Gandrung Tradisi Lombok... 96
xxvii
4.4.3 Perkembangan Gandrung Lombok pada Masa Kini ... 102
4.4.3.1 Gandrung dalam Konteks Tradisi... 108
4.4.3.2 Gandrung dalam Konteks Modern ... 109
BAB V BENTUK MARGINALISASI SENI PERTUNJUKAN GANDRUNG TRADISI LOMBOK, NUSA TENGGARA
BARAT ... 112
5.1 Memudarnya Sprit Tradisi melalui Representasi Tema dan Gerak Tari 112
5.1.1 Tema... 113
5.1.2 Gerak Tari... 119
5.2 Keterpinggiran Aspek Penari, Perubahan Busana dan Tata Rias ... 131
5.2.1 Penari... 131
5.2.2 Busana dan Tata Rias ... 143 5.3 Keterpinggiran Aspek Musik Iringan, Tata Panggung dan Penonton . 151
5.3.1 Musik Iringan... 151
5.3.2 Tata Panggung dan Penonton ... 154
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG
MARGINALISASI SENI PERTUNJUKAN GANDRUNG
TRADISI LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT... 160
6.1 Terbatasnya Peran Pemerintah... 160
6.2 Penguatan Fundamentalisme Keagamaan ... 180
6.3SettingKebudayaan di Era Globalisasi ... 195
xxviii
BAB VII IMPLIKASI DAN MAKNA MARGINALISASI SENI PERTUNJUKAN GANDRUNG TRADISI LOMBOK, NUSA
TENGGARA BARAT ... 212
7.1 Implikasi Marginalisasi Seni Pertunjukan Gandrung Tradisi ... 212
7.1.1 Bergesernya Nilai Seni Pertunjukan Gandrung Tradisi... 212
7.1.2 Terpinggirkannya Seni Gandrung Tradisi dari Kesenian
Budaya Sasak……….……….... 221
7.2 Makna Marginalisasi Seni Pertunjukan Gandrung Tradisi Lombok... 229
7.2.1 Makna Transformasi Kreativitas Seni Pertunjukan Gandrung Tradisi 229
7.2.2 Makna Solidaritas Pendukung Seni Pertunjukan Gandrung Tradisi 234
7.2.3 Makna Pergulatan Kekuasaan……….………... .. 240
BAB VIII PENUTUP ... 246 8.1 Simpulan ... 246
8.2 Temuan ... 252
8.3 Saran ... 253
DAFTAR PUSTAKA... 255
xxix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Bupati Lombok Barat sejak Tahun 1959 sampai sekarang... 59
Tabel 4.2 Pejabat Ketua DPRD Kabupaten Lombok Barat ... 60
Tabel 4.3 Banyaknya Mesjid, Musala, Gereja, Pura, dan Wihara
diperinci per Kecamatan Tahun 2012 ... 67
xxx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Penelitian ... 36
Gambar 4.1 Peta Lombok Barat... 62 Gambar 4.2 Skema Sekuren Sasak... 83
Gambar 4.3 Kesenian Bela Diri Presean ... 87
Gambar 4.4 Tari Gandrung Sakral di Desa Sidatapa ... 104
Gambar 5.1 Gerak Dasar Tari Sasak... 123
Gambar 5.2 Wawancara dengan H. Jalaludin Arzaki dan Abdul Hamid
Hamzah ... 127
Gambar 5.3 Amdul Hamid Hamzah Memperlihatkan Salah Satu
Gerakan Tari Gandrung... 128
Gambar 5.4 Wawancara dengan Amaq Raya Penari Laki-laki
Gandrung ... 131
Gambar 5.5 Ibu Sri Penari Gandrung Wanita Murid Ibu Siti... 137
Gambar 5.6 Rias Gandrung Dulu... 144 Gambar 5.7 Rias Gandrung Sekarang ... 144
Gambar 5.8 Peralatan Kosmetik Modern ... 145
Gambar 5.9 Pakaian Gandrung Laki-laki ... 147
Gambar 5.10 Pakaian Gandrung Wanita ... 147
Gambar 5.11 Busana Gandrung Dulu ... 148
Gambar 5.12 Busana Gandrung Sekarang ketika Pentas di Taman
xxxi
Gambar 5.13 Busana Tari Gandrung Tradisi Milik Ibu Sri Penari
Gandrung Tradisi... 150
Gambar 5.14 Penataan Bentuk Huruf L ... 156
Gambar 5.15 Penataan Bentuk Huruf H... 156 Gambar 5.16 Tata Panggung dan Penonton ... 157
Gambar 6.1 Kantor Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat ... 162
Gambar 6.2 Kantor Pemeritahan Kabupaten Lombok Barat... 162
Gambar 6.3 Tempat Berkumpulnya KomunitasWetu Telu... 181
Gambar 6.4 Pak Parhan Waktu Diwawancarai... 185
Gambar 6.5 Gubernur NTB MeresmikanIslam Centerdi Kota
Mataram... 191
Gambar 6.6Islam CenterNTB di Kota Mataram... 192
Gambar 6.7 Lokasi Pertanian... 197
Gambar 6.8 Lahan Pertanian yang Sudah Dibangun ... 197
xxxii GLOSARIUM
acara ngawe : acara pernikahan
ambun mbe balang sangit : seperti bau walang sangit
ampok-ampokbelakang : hiasan pinggul bagian belakang
angin nare : angin datang
apok-ampokdepan : hiasan pinggul bagian depan
atal : bedak yang terbuat dari sejenis batu-batuan berwarna kuning.
bapang : hiasan yang melingkar di sekitar leher, yang menutupi pundak, dada bagian atas, dan punggung bagian atas.
beterus : diajak tidur
cungklik : alat musik gamelan terbuat dari kayu nangka, kayu kelapa/seh seh, bambu, dll.
dedara : anak gadis
elaq-elaq : lidah-lidah yang tergantung pada bapang sampai ke perut, terbuat dari kain.
false consciousness : kesadaran palsu
false image : citra palsu
gandrum : gandrung
gelung/gegelung : hiasan/penutup kepala yang seluruh permukaan luar bagian belakang dihiasi dengan bunga kamboja, yang diikatkan/disangkutkan pada permukaan gelung.
xxxiii
gerak bedeser : gerakan menggeser dengan gerakan kaki ke samping, menghadap atau membelakangi penonton, di belakang atau di samping kiri dan kanan.
gerak nyusur : mau mencium penari.
gerakan nganten : penari mengajak berdiri pengibing dengan mengangkat tangannya sambil berdiri.
gonjer/gegonjer : sejenis selendang warna-warni sebagai hiasan pinggang.
igel bapangan : tari bapangan (dikenal di Lombok Barat).
igel Nowes : tari nowes (bapangan versi Lombok Timur).
igel tindak barung : tari tindak barong (bapangan ala versi Lombok Tengah).
Islam Waktu Lima : Islam waktu lima
islam wetu telu : Islam waktu tiga
kain batik nine : sarung batik Jawa umumnya batik Pekalongan, motif bunga-bunga dengan warna dasar gelap hitam, cokelat, dll.
kelian/sesatang : dukun/orang sakti kerante kodeq : mantra
nangkap : menyewa
nepek : berdiri tegak lalu menyentuhkan kipas penari ke tubuh sasaran pengibing. Bahkan, sekarang sasaran pengibing disentuh dengan melemparkan kipas penari jika pengibing lambat bergerak, dan penari akan menarik tangan pengibing masuk kalangan (arena).
nganjek : memainkan punggung ke muka ke belakang. ngeliep : (dalam tari Balinyeledet) memainkan bola mata.
xxxiv
ngengguq : menggerak-gerakkan kepala ke depan sambil memutar leher dengan pandangan atau muka menunduk melihat ke tanah.
ngibing : menari dengan penari setelah ditepek. ngintek : menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan.
nyeluk atas : gerakan tonjok atau tusuk/seluk atas sekitar dada yang tujuannya menusuk susu.
nyeluk bawah : tusuk/tonjok bagian vital penari dengan sasaran kemaluan wanita.
nyiuh gero : kelapa tua
nakem : ketentuan baku
papuk balok : ibu nenek
profan : komersial atau sudah modern.
nenabuh : pemain alat musik
niranda magis : untuk penolak sihir
niranti/ andang-andang : kelengkapan upacara
raos-raos doang : janji-janji saja
rias janggeran : hiasan kepala yang dibuat dari rincikan bunga kamboja.
sakral : suci
sekeha : kelompok kesenian
sembeq tapak dara : peranti berupa bunga rampai dengan coretan kapur untuk campuran makan sirih.
senggeger : guna-guna
xxxv
stagen : sabuk panjang yang terbuat dari kain warna hitam atau putih polos.
subaltren : kelompok terpinggirkan
tanduk katik sumpang : tangkai riasan di atas telinga kiri dan kanan yang tajam sebagai senjata melawan pengibing yang menyerang dan bikin kacau tarian.
tari cokleq : pencak silat ala penari gandrung untuk menangkis pengibing.
tari duduk nganten : mengajak berdiri
tari duduk ngiber : berdiri dengan gerakan ngancang, desain lantai rendah.
tari nyengkeng : duduk dengan mengangkat satu lutut dan kangkang.
teluk nare : angin laut
tiang lanang : saya laki-laki
tiang mas : saya perempuan
tindak barong : mengangkat telapak kaki ke depan dengan menggerak gerakkan dan memutar, sambil bersandaran dengan mengipas mulut untuk menggetarkan suara.
tiyang lanang beli bagus : saya laki-laki kakak
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seni pertunjukan Indonesia memiliki ciri istimewa, yaitu sebagai sosok
seni yang sangat lentur dan cair karena lingkungan masyarakatnya selalu berada
dalam kondisi yang terus berubah pada suatu kurun waktu tertentu, mapan, dan
tumbuh sebagai suatu "tradisi" (Kayam, 1981:21). "Tradisi" yang dimaksud di
sini adalah penerimaan masyarakat kepada suatu "hasil budaya" yang dialih-
teruskan secara turun-temurun. Seni pertunjukan tradisi juga tumbuh bersama
dengan sistem kepercayaan dalam masyarakat pertanian, yang teraktualisasi
dalam berbagai ritus yang nantinya menyebabkan keanekaragaman bentuk dan
gerak seni pertunjukan tradisi.
Soedarsono (2003:1) menyebutkan fungsi seni pertunjukan di dalam
kehidupan masyarakat sangat beragam, di antaranya sebagai ritual kesuburan,
memperingati daur hidup sejak kelahiran manusia sampai meninggal, mengusir
wabah penyakit, melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, hiburan
pribadi, presentasi estetik (tontonan), media propaganda, penggugah solidaritas
sosial, pengikat solidaritas nasional, dan sebagainya. Seni pertunjukan tradisi
disebut juga seni pertunjukan "lokal" karena tumbuh dan berkembang di
berbagai wilayah etnis di KePulauan Indonesia. Keberadaan seni pertunjukan di
2
perkembangan sejarah sendiri-sendiri. Dalam perkembangan masyarakat
selanjutnya, seni pertunjukan tradisi juga menjadi salah satu daya tarik wisata.
Perkembangan seni yang berpijak pada tradisi sebagai salah satu daya
tarik pariwisata tidak jarang ditempatkan di barisan depan untuk menyongsong
kedatangan wisatawan (Kusmayati, 2000:2). Aspek-aspek penopang wujud seni
yang tampil sekilas dipandang memiliki kekuatan atau pesona yang mampu
memberikan pengalaman kenangan bagi para wisatawan, baik domestik
maupun mancanegara. Hampir seluruh jenis seni pertunjukan, seperti seni
musik, tari, dan teater saat ini diselenggarakan untuk menunjang kebutuhan
pariwisata dan beberapa juga diselenggarakan di luar kepentingan utamanya.
Pariwisata telah menyebabkan terjadinya pergeseran dari seni sebagai ideologi
agama, ekspresi jiwa berkembang menjadi ideologi ekonomi dengan tujuan
komersialisasi.
Kenyataan bahwa seni pertunjukan tradisi telah turut ditempatkan di
dalam aktivitas industri pariwisata, teramati dari adanya pengemasan seni yang
lebih praktis. Berbagai cara dilakukan, seperti pemadatan, variasi, dan membuat
lebih atraktif. Tujuannya adalah agar pertunjukan sesuai dengan sifat-sifat
pariwisata yang memiliki waktu terbatas untuk menonton seni pertunjukan
pariwisata. Namun, para pengamat dan pendukung seni pertunjukan tradisi
menanggapi berbeda-beda ketika menghadapi kenyataan ini. Di satu sisi,
mereka yang mendukung tidak ragu untuk menyambut dampak positif
keterlibatan pariwisata di dalam kehidupannya, sementara di sisi lain, mereka
3
Jika dipahami lebih dalam, sebenarnya ini sesuai dengan hakikat seni
sebagai bagian dari kebudayaan yang selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan manusianya. Oleh sebab itu, sesungguhnya seni pertunjukan
tradisi tidak dapat dijadikan sebagai seni yang berhenti dan mempertahankan
yang sudah ada saja, tetapi berdinamika. Seperti yang disampaikan oleh
Kodiran (1998: 541-544) bahwa kesenian mengalami perubahan sejalan dengan
pola-pola berpikir masyarakatnya. Hubungan antara seni, masyarakat, dan
komunitasnya saling memengaruhi. Selain itu memberikan juga dampak
perubahan pola berpikir dan bermacam-macam fenomena perkembangan dalam
seni pertunjukan (Graburn, 1976:10-11).
Dampak hubungan tersebut terlihat dari keragaman seni pertunjukan di
Indonesia. Salah satu fenomena seni pertunjukan dipengaruhi oleh dampak pola
pikir dan fenomena perkembangan yang ada. Salah satu di antaranya adalah
seni pertunjukan gandrung tradisi di Desa Dasan Tereng Kecamatan Narmada
Lombok Barat. Seni pertunjukan gandrung merupakan nama sebuah seni
pertunjukan tradisi Indonesia yang terdapat di sejumlah wilayah, yakni
Banyuwangi (Jawa Timur), Bali, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Tiap-tiap
seni memiliki ciri khas keunikan tersendiri, kekhasannya tidak dimiliki oleh
kesenian lain. Dilihat dari konteks sejarahnya gandrung merupakan sebuah seni
pertunjukan yang awalnya berada dalam konteks tradisi. Dengan
berkembangnya zaman, pola pikir, dan tekanan dari Islam waktu lima seni
pertunjukan gandrung tradisi berubah sebagai seni pertunjukan gandrung masa
4
juga dipertunjukan untuk tujuan di luar kepentingan tradisi seperti acara musik
pop. Situasi ini bisa dipandang sebagai pergeseran dan modifikasi nilai seni
pertunjukan gandrung tradisi dari nilai sakral ke nilai profan.
Di daerah Banyuwangi seni pertunjukan gandrung tradisi berkembang di
kalangan rakyat sejak zaman kerajaan, masa penjajahan, hingga sekarang.
Peranan seni pertunjukan gandrung tradisi Banyuwangi sangat besar terutama
pada penampilannya dan gending-gending yang dibawakan sangat menarik.
Dengan demikian, seni pertunjukan gandrung tradisi berfungsi sebagai filter
masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Tidak mengherankan seni pertunjukan gandrung tradisi Banyuwangi masih
mendapat perhatian baik di kalangan masyarakat pendukungnya.
Begitu pula dengan keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi di
beberapa daerah di Bali masih mendapat perhatian dari masyarakat
pendukungnya. Salah satu seni pertunjukan gandrung tradisi di Bali adalah
Gandrung Ketapian. Pada awal diciptakan tarian gandrung berfungsi untuk
mengusir wabah penyakit. Ketapian adalah salah satu tempat di wilayah Jalan
Katrangan Kelurahan Sumerta, Denpasar Timur. Keunikan tarian ini, yaitu
penari tidak mencari pengibing (seperti dalam tarian joged bumbung). Akan
tetapi pengibing yang datang sendiri untuk ikut menari. Hal ini dilakukan
karena seni pertunjukan gandrung Ketapian ini merupakan sebuah tari sakral
sehingga nilai kesakralannya tetap dijaga hingga sekarang. Fenomena yang
sama juga terjadi di beberapa desa tua (Bali Aga) di Kabupaten Buleleng yang
5
Di daerah tersebut tradisi gandrung menjadi tarian sakral yang dipentaskan
secara berkala sebagai wujud syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Berbeda halnya dengan seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, seni
pertunjukan gandrung tradisi pada awalnya berfungsi sebagai tarian ucapan
syukur atas rahmat Yang Mahakuasa setelah panen padi. Akhirnya, berkembang
sebagai tarian hiburan pesta perkawinan, khitanan, dan upacara daur hidup
lainnya. Seni pertunjukan gandrung bisa ditemukan di Pulau Lombok, seperti
Desa Lenek dan Desa Suwangi (Lombok Timur) serta di Desa Dasan Tereng di
Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat (wawancara Dengan Ibu Sri
Yaningsih,tanggal 15 Juli 2013). Keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi
Lombok diperkirakan telah ada pada tahun 1907-1910. Seni itu berasal dari
Banyuwangi melewati Bali Utara menuju ke Lombok. Hal itu terjadi mengingat
adanya hubungan perdagangan antara Bali Utara dan Banyuwangi. Pada saat
pemerintahan I Gusti Putu Geria dari Singaraja yang diangkat sebagai pepatih
di Lombok, diadakan pesta keramaian di Mataram, dengan mendatangkan tim
kesenian dari Bali Utara (Singaraja) ke Mataram. Salah satu di antara kesenian
tersebut adalah seni pertunjukan gandrung (Yaningsih dkk., 1993:13). Seni
pertunjukan gandrung merupakan salah satu seni pertunjukan populer di antara
seni pertunjukan lainnya di Lombok. Pada tahun 1920-an, penari gandrung
tradisi berjenis kelamin laki-laki diselang-selingi dengan yang perempuan.
Namun, pada tahun 1930-an penari gandrung lebih banyak ditarikan oleh
6
Keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi sebagai seni pertunjukan
masa kini dapat dilihat dari beragamnya etnis pendukung seni pertunjukan
gandrung tradisi tersebut. Van der Kraan (1980:2) dalam buku Lombok,
Conquest, Colonization, and Underdevelopment (1870-1940) menyatakan ada
tiga pengaruh besar datang dari luar yang mengadakan interaksi dengan rakyat
Lombok pada pengujung abad ke-19. Pertama, pengaruh kebudayaan Jawa
sangat kuat yang mungkin berasal dari abad ke-15 dan 16. Kedua, pengaruh
bersama antara Bali dan Makassar pada abad ke-17. Ketiga, masa konsolidasi
kekuatan politik Bali mulai awal abad ke-18 dan seterusnya sampai runtuhnya
dominasi Bali di Lombok (1894) dengan raja terakhir, yaitu Ratu Agung Ketut
Karangasem. Akibat perang Lombok raja ini dibuang ke Batavia (Jakarta) oleh
Belanda.
Bukti sejarah adanya hubungan Jawa, Bali, dan Lombok dilihat dari
beberapa kesamaan budaya, seperti dalam bahasa dan tulisan. Jika ditelusuri,
asal usul banyak berakar dari Hindu Jawa. Hal itu tidak lepas dari pengaruh
penguasaan kerajaan Majapahit yang mengirimkan anggota keluarganya untuk
memerintah atau membangun kerajaan di Lombok. Pengaruh Bali memang
sangat kental dalam kebudayaan Lombok. Hal tersebut tidak lepas dari
ekspansi oleh kerajaan Karangasem Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat
Pulau Lombok. Hal itu dapat dilihat dari terciptanya genre-genre campuran
dalam kesenian atau terjadi akulturasi budaya Bali dan Lombok.
Silih bergantinya penguasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh
7
kebudayaan Sasak. Menurut Yaningsih dkk. (1993:8), “seni pertunjukan
gandrung gaya Sasak/Lombok” adalah gaya tari yang merupakan perpaduan
estetis dari unsur-unsur tari dari Jawa, Banyuwangi, Bali, dan unsur-unsur
estetis lokal, yaitu Lombok.
Dari konteks perjalanan sejarah yang cukup panjang dan intens tersebut,
diperoleh aneka pengaruh bentuk-bentuk kesenian dan adat istiadat. Sejarah
kedatangan orang-orang luar ke Pulau Lombok, baik dengan jalan kekerasan
maupun dengan jalan damai (dagang) tercermin pada keanekaragaman kesenian
yang ada di daerah ini. Menurut Yaningsih dkk. (1993/1994:6), penduduk suku
Sasak dan Bali telah saling meminjam kesenian dan keduanya bersama-sama
menyerap atau mengubah wajah tradisi-tradisi seni pertunjukan dari Jawa.
Interaksi budaya dan seni musik khususnya antara suku-suku bangsa telah
berlangsung selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Hal ini terbukti terdapat (1)
kesenian yang termasuk dalam rumpun Jawa Bali, (2)
kesenian-kesenian yang termasuk dalam rumpun Melayu, dan (3) kesenian-kesenian-kesenian-kesenian yang
termasuk dalam rumpun yang bernapaskan Islam. Senada dengan itu, menurut
Harnish (1985:103), dalam “Musical Tradition of Lombok Balinese” banyak
genre seni pertunjukan tradisional di Lombok berasal dari tradisi-tradisi seni
pertunjukan kelompok etnik lainnya.
Hal yang sama juga terjadi pada gandrung. Artinya, penyebaran dan
perkembangan seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok tidak terlepas dari
faktor akulturasi karena semakin terbukanya sistem kekerabatan masyarakat
8
banyaknya terjadi mobilitas penduduk (Larasati, 1996:15). Faktor ikatan
bertambah erat dengan terjalinnya hubungan antara penduduk Lombok
(masyarakat suku Sasak) dan penduduk Bali. Dalam praktik keseharian,
orang-orang yang tinggal di Lombok Barat mempunyai hubungan kekeluargaan yang
erat dengan orang-orang yang bermukim di Bali, khususnya Bali bagian timur.
Kekeluargaan inilah yang kini dikenal dengan istilah “sidikara” (Amin et al.,
1977/1978:22). Melalui ikatan kekeluargaan yang erat, tidak jarang beberapa
unsur kebudayaan turut serta terbawa, misalnya dalam bentuk bahasa, kesenian,
adat istiadat, dan kerajinan.
Saat ini mayoritas pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi
Lombok beragama Islam. Seni pertunjukan gandrung tradisi merupakan
warisan tradisi Islam wetu telu suku Sasak. Wetu telu dalam sejarahnya adalah
wujud akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam. Hindu sebagai agama awal
masuk ke Lombok memberikan dasar ideologi yang cukup kuat. Hal ini
mewarnai kehidupan seni gandrung yang nantinya diidentikkan sebagai budaya
Islam wetu telu. Islam sebagai agama masuk ke Lombok sepanjang abad XVI
Masehi berasal dari berbagai daerah. Pertama, berasal dari Jawa dengan cara
Islam masuk lewat Lombok Timur. Kedua, pengislaman berasal dari Makasar
dan Sumbawa. Ketika ajaran Islam diterima oleh kaum bangsawan ajaran
tersebut dengan cepat menyebar ke kerajaan-kerajaan di Lombok Timur dan
Lombok Tengah.
Pemahaman awal masyarakat Lombok, khususnya masyarakat Islam
9
seorang penari laki-laki berbusana perempuan, diiringi seperangkat gamelan
cungklik (sabarungan dalam istilah suku Sasak), puisi, dan nyanyian dalam
bahasa suku Sasak disebut lelakaq, dan sandaran (Larasati, 1996:16). Seni
pertunjukan gandrung tradisi Lombok biasanya dipentaskan dalam perayaan
pesta desa setelah masa panen padi, dengan penuh suka cita dan syukur dari
masyarakat suku Sasak.
Seiring dengan perkembangan zaman, pola piker, dan pengaruh
kekuasaan, seni pertunjukan tradisi secara umum di Lombok mulai
termarginalkan. Hal yang sama juga terjadi pada kesenian tari gandrung tradisi
dengan pendukung Islam wetu telu di Desa Dasan Tereng, Lombok Barat
sebagai pusat tarian ini. Islam wetu telu mengatakan bahwa seni pertunjukan
gandrung tradisi merupakan sebuah tari pergaulan masyarakat. Kini kesenian
ini mengalami berbagai peminggiran, padahal seni pertunjukan gandrung di
Desa Dasan Tereng, Lombok Barat merupakan salah satu warisan tari
tradisional masyarakat Islam wetu telu suku Sasak.
Seni pertunjukan gandrung merupakan tari tradisi yang dipentaskan
secara turun temurun. Sekarang sosok penarinya tidak muda lagi karena mereka
keturunan dari terdahulu dan anak muda sekarang tidak mau menari gandrung
tradisi. Hal itu disebabkan oleh menari tari gandrung tradisi dirasakan kuno
dan larangan dari suami bagi yang sudah menikah. Pergeseran juga terjadi
dalam berbagai bidang. Salah satu di antaranya dari musik iringannya. Seni
pertunjukan gandrung tradisi pada awalnya memakai musik iringan cungklik
10
kebyar, yaitu gamelan dari Bali. Seni pertunjukan gandrung tradisi selain
langka peminat karena yang suka hanya orang tua-tua juga jarang diikutkan,
baik dalam berbagai kegiatan regional, nasional, maupun internasional.
Fenomena ini menyebabkan seni pertunjukan gandrung tradisi semakin
termarginal dalam lingkungan masyarakat pendukungnya.
Bergesernya nilai seni pertunjukan gandrung tradisi tidak lepas dari
adanya berbagai aspek kepentingan, pengikisan sistem nilai budaya, keberadaan
Islam wetu telu suku Sasak mulai sedikit penganutnya. Di samping itu juga
telah diterimanya ajaran Islam waktu lima secara luas di berbagai daerah di
Indonesia, termasuk di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat.
Seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok termarginalisasi, antara lain
munculnya banyak pilihan budaya global, terjadinya kecenderungan profanisasi
akibat kehidupan modern, datangnya pengaruh pariwisata yang semakin
menyebabkan profanisasi, berlangsungnya gerakan pemurnian (ortodoksi) Islam
masa pemerintahan Soeharto yang melakukan pengislaman murni di daerah
Lombok dengan mengirim para ulama muslim (ustad). Hal ini menarik
dipersoalkan secara keilmuan sebagai sebuah kajian budaya dengan tujuan
tertentu demi emansipasi kelompok terpinggirkan dalam persoalan yang
dibahas sebagaimana dikatakan Barker (2009:6), bahwa fenomena sosial selalu
terjadi karena ada ideologi yang memengaruhi. Hal itu melibatkan berbagai
struktur, ada hegemoni, dan dominasi. Sebaliknya, dipinggirkan dari struktur
didominasi dan dihegemoni oleh pemilik modal yang lainnya. Semua itu
11
Perubahan sosial memengaruhi keberadaan seni pertunjukan Lombok,
khususnya seni pertunjukan gandrung tradisi di Desa Dasan Tereng, Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Gandrung mulai termarginal tidak saja dilihat sebagai
perubahan sosial semata, tetapi bisa didekonstruksi sebagai sebuah fenomena
sosial yang melibatkan berbagai ideologi, praktek modal kuasa, ekonomi, dan
struktur sosial lainnya. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi
dalam sebuah penelitian kajian budaya kritis. Realita sosial di kalangan
masyarakat Islam wetu telu sebagai pendukung utama seni gandrung
bertentangan dengan visi dan misi pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat
telah berkomitmen untuk mengembangkan masyarakat madani yang berakhlak
mulia, berbudaya, menghormati pluralitas, dan kesetaraan gender (Martono
2011:4). Namun, pada kenyataan di lapangan justru keberadaan seni
pertunjukan gandrung tradisi yang merupakan warisan budaya tradisi Islam
wetu telu suku Sasak mengalami marginalisasi.
Sejak tahun 1992-an hingga sekarang seni pertunjukan gandrung tradisi
tidak termasuk ke dalam daftar seni pertunjukan di Kabupaten Lombok Barat.
Sekaa yang terdiri atas empat puluh sekaa tidak ada satu pun yang menyatakan
seni pertunjukan gandrung tradisi. Hal ini membuktikan bahwa seni
pertunjukan gandrung tradisi benar-benar termaginalkan di dalam lingkungan
masyarakat pendukungnya. Walaupun seni pertunjukan gandrung tidak terdaftar
ke dalam seni pertunjukan di Kabupaten Lombok Barat, masyarakat
pendukungnya masih mengakui keberadaan seni pertunjukan gandrung tersebut.
12
jarang karena pada setiap acara pernikahan, khitanan, maupun dan acara adat
lainya lebih banyak ditampilkan pertunjukan ale-ale. Dapat dikatakan bahwa
frekuensi penampilan kesenian gandrung tradisi saat ini satu banding sembilan
dengan pertunjukan ala-ale atau kesenian lainnya dalam acara-acara adat.
Marginalisasi kesenian gandrung tradisi di Desa Dasan Tereng,
Lombok, Nusa Tenggara Barat menyebabkan perubahan pada gandrung tradisi
dan masyarakat pendukungnya. Implikasi ini akan mengubah struktur seni
gandrung tradisi dan struktur sosial masyarakat di Desa Dasan Tereng,
Lombok, Nusa Tenggara Barat. Perubahan struktur seni dan masyarakat
pendukungnya membawa dampak positif dan negatif. Masyarakat pendukung
yang masih ada tentunya juga masih berupaya tetap menjaga keajekannya. Ini
tentunya menyebabkan ada penyesuaian dan ada hal yang dipertahankan.
Bentuk-bentuk perubahan dan implikasinya ini dikaji lebih lanjut dalam
penelitian yang berjudul “Marginalisasi Kesenian Gandrung Tradisi Lombok,
Nusa Tenggara Barat”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini dapat
dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan berikut.
(1) Bagaimanakah bentuk marginalisasi seni pertunjukan gandrung
tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat?
(2) Apa yang melakatarbelakangi marginalisasi seni pertunjukan
13
(3) Apakah implikasi dan makna marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, memahami,
dan mendeskripsikan berbagai hal yang terkait dengan fenomena marginalisasi
seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini
menjadi ironis dan paradoksal mengingat pada saat ini Lombok, Nusa Tenggara
Barat berkembang sebagai destinasi pariwisata internasional.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus dilakukan untuk tujuan-tujuan berikut.
(1) Memahami bentuk marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi
Lombok, Nusa Tenggara Barat.
(2) Memahami latar belakang proses marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
(3) Memahami implikasi dan makna marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
14
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian diharapkan menjadi referensi ilmiah bagi penelitian
selanjutnya. Selain itu, penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan
dalam mengembangkan wawasan keilmuan di bidang seni pertunjukan,
khususnya bidang kajian budaya (cultural studies), termasuk konseptualisasi
dan fenomena marginalisasi seni pertunjukan gandrung Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Penelitian kajian budaya ini sebagai sebuah bidang
interdisipliner dan multidisipliner dan terkait erat, terutama dengan estetika,
sosiologi, budaya, agama, dan pariwisata.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada pihak
pemegang kebijakan pada instansi pemerintah (Pemerintah Mataram, Nusa
Tenggara Barat dan Pemerintah Indonesia umumnya), sebagai bahan
pembuatan kebijakan kebudayaan, khususnya seni pertunjukan daerah. Bagi
pelaku kebudayaan dan masyarakat setempat, penelitian ini dapat dipakai
sebagai salah satu strategi dalam upaya menyelamatkan, melakukan pelestarian,
pengembangan, dan pemanfaatan seni pertunjukan gandrung dalam konteks
tradisi setempat (Sasak). Di samping itu, juga bermanfaat bagi kehidupan
global pariwisata yang secara ekonomi dapat mendatangkan keuntungan bagi
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini dilakukan penelusuran beberapa hasil penelitian
dan tulisan, baik berbentuk makalah, jurnal, tesis, buku teks, maupun dalam
bentuk karya ilmiah lainnya yang telah membahas seni pertunjukan gandrung di
Indonesia. Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu sangat penting
dilakukan, terutama yang berkaitan dengan marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini bertujuan untuk
menunjukkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Di sini dikemukakan beberapa tulisan yang masih berkaitan dan relevan
dipakai sebagai kajian pustaka. Salah satu di antaranya yang ditulis oleh Tim
Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara Barat dengan judul ”Deskripsi Tari
Gandrung Lombok Daerah Nusa Tenggara Barat (1990)”. Tim Pembinaan
Kesenian Nusa Tenggara Barat memaparkan sejarah gandrung Lombok, latar
belakang sosial budaya, deskripsi teknis penyajian seni pertunjukan gandrung,
gerak-gerak dasar, serta musik pengiring dan pengembangannya. Tarian
gandrung tradisi ini memiliki nilai seni yang tinggi, baik dari segi falsafah
hidupnya maupun dari kekayaan gerak dan musiknya. Tulisan tersebut
merupakan hasil pencatatan dan pendokumentasian jenis-jenis kesenian yang
16
Tulisan Tim Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara Barat dengan
penelitian yang penulis lakukan jauh berbeda. Tim Pembinaan Kesenian Nusa
Tenggara Barat memaparkan deskripsi tari gandrung Lombok dalam rangka
pendataan kesenian tradisional sebagai kekayaan budaya, sedangkan penulis
meneliti marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Relevansi tulisan Tim Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara
Barat dengan penelitian penulis adalah dalam kesamaan objek yaitu tari
gandrung Lombok sudah tentu sangat bermanfaat bagi penulis untuk
menambah wawasan penulis dalam mengkaji marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Tesis Suyanto (2007) yang berjudul ”Konflik Kepentingan dalam Seni
gandrung Banyuwangi: Perspektif Kajian Budaya” mengemukakan bahwa tari
gandrung Banyuwangi merupakan kesenian yang masih bertahan hidup di
tengah krisis identitas, dikotomi abangan dan santri, serta kritik yang bernuansa
moralitas lainnya. Ada beberapa bentuk konflik kepentingan yang muncul
dalam seni gandrung Banyuwangi. Pertama, konflik kepentingan antartamu,
yaitu seorang gandrung menghampiri semua meja yang dikitari tamu secara
berurutan. Jika tidak dilakukan secara urut, pasti akan menimbulkan
kecemburuan antarmeja. Kedua, konflik kepentingan antara masyarakat
tradisional dan kaum santri (agamais). Konflik ini terjadi tidak di arena
pergelaran gandrung, tetapi di lingkungan masyarakat secara umum. Ketiga,
konflik kepentingan politis. Konflik ini muncul pada saat pemilihan calon
17
Dilihat dari segi fungsinya, ada berbagai bentuk konflik kepentingan
yang memiliki beberapa fungsi, yaitu (1) fungsi untuk melegitimasi pemerintah,
(2) fungsi untuk mempertahankan struktur, (3) fungsi untuk memenuhi nafkah
gandrung (yang dimaksud dalam hal ini adalah beberapa penari atau penyanyi
wanita dan semua musisi gandrung ditambah juragan (majikan) grup gandrung,
dan (4) fungsi untuk eksistensi diri yang mengarah pada hakikat gandrung
sebagai kesenian yang berwujud apa adanya.
Makna konflik kepentingan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,
makna pengembangan. Konflik kepentingan dianggap sebagai cambuk untuk
memotivasi gandrung ke arah yang lebih maju dan modern. Kedua, makna
solidaritas. Fenomena seni tayub (ledhek) di Jawa Timur bagian barat dan Jawa
Tengah yang sarat dengan nuansa konflik dan gandrung Banyuwangi yang tidak
bisa melepaskan diri dari aroma konflik, merupakan tantangan hidup kesenian
yang selalu timbul dan tenggelam. Ketiga, makna kerukunan antarseni. Adanya
berbagai jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang, bahkan mati di
Banyuwangi, merupakan berkah tersendiri bagi Banyuwangi. Keempat, makna
kesejahteraan. Konflik kepentingan yang terjadi di dalam dan di luar komunitas
kesenian gandrung ternyata menimbulkan kesadaran yang tinggi pada
masyarakat pendukung kesenian.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Suyanto, yaitu dalam
penelitian Suyanto lebih memfokuskan kepada konflik kepentingan dalam seni
gandrung Banyuwangi, sedangkan penelitian ini lebih menekankan dan