• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan perceraian maupun perkawinan kembali. Dalam beberapa budaya di Indonesia,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dengan perceraian maupun perkawinan kembali. Dalam beberapa budaya di Indonesia,"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ajaran tentang perkawinan secara umum adalah persatuan eksklusif seumur hidup dari satu laki-laki dan satu perempuan.1 Namun saat ini terdapat berbagai kelonggaran berkaitan dengan perceraian maupun perkawinan kembali. Dalam beberapa budaya di Indonesia, perkawinan lebih dari satu juga diizinkan sekalipun tidak diakui dalam agama seperti Kristen Protestan dan Katolik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), poligami merupakan sistem perkawinan di mana salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan.2 Namun di Indonesia, poligami lebih sering dikaitkan dengan poligini yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang laki-laki memiliki beberapa perempuan sebagai istrinya dalam waktu bersamaan.3 Dalam perkembangannya istilah poligini jarang sekali dipakai, bahkan bisa dikatakan istilah ini tidak dipakai lagi oleh masyarakat, kecuali di kalangan antropolog saja. Sehingga istilah poligami secara langsung menggantikan istilah poligini dengan pengertian perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan disebut poligami, dan kata ini dipergunakan sebagai lawan poliandri yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang perempuan yang mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan.4

1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dilihat dalam JDIH BPK RI Database Peraturan. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974

2Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bali Pustaka, 1999), 779

3“Citatiton”. Def. Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, diakses Pada 24 Juli 2021.

4 Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami,(Yogyakarta: Al-Kautsar, 1990), 71-72

(2)

2

Poligami diizinkan namun poliandri dilarang merupakan salah satu ciri dari kebudayaan patriarki.5 Dalam kebudayaan patriarki, laki-laki sebagai kepala keluarga atau pater fasilitas mewakili dirinya sebagai individu maupun seluruh keluarga sebagai kepala

kolektifnya. Perempuan, anak-anak dan budak berada di bawah kepemimpinan laki-laki.

Selain itu, perempuan menurut kodratnya tetap tidak bebas, sehingga sedikit kemungkinan bagi perempuan menjadi orang mandiri atau orang sipil dalam masyarakat.6 Tugas-tugas perempuan diatur sesuai kepentingan laki-laki. Dalam sistem patriarki ini, perempuan diposisikan sebagai seorang istri yang harus selalu menyenangkan, mendampingi, melayani suami untuk mendapatkan sebuah penghargaan dan cinta kasih suami terhadapnya. Naluri keibuan selalu mengharuskan kesiapsediaan perempuan untuk menyampingkan kebutuhannya sendiri demi melayani orang lain. Dengan demikian, gagasan bahwa perempuan harus melayani kebutuhan laki-laki dalam perkawinan menjadi gambaran sentral dalam kehidupan kaum perempuan hingga masa kini.7

Dalam realita kehidupan kaum perempuan Indonesia, poligami merupakan hal yang sering dijumpai. Poligami yang terjadi di Indonesia semakin didukung oleh peraturan perkawinan yang diatur dalam undang-undang perkawinan (UUP) yang disahkan pada akhir tahun 1973 dan diundangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan penjelasan PP No. 9 tahun 1975 yang terkesan pro poligami.8 UUP tersebut menyatakan bahwa pengadilan dapat

5Jeanne Becher, Perempuan, Agama dan Seksualitas: Studi tentang Pengaruh Agama terhadap Perempuan, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001), 52

6 Becher, Perempuan, Agama dan Seksualitas,293

7 Anne Borrowdale, Tugas Rangkap Wanita;Mengubah Sikap Orang Kristen,(Jakarta BPK Gunung Mulia,1993), 1-3

8PP No 9 dianggap penting untuk mendukung kelancaran pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1) sehingga diperoleh beberapa ketentuan umum antara lain a. Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan b. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya c. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum; d.

Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian. Peraturan ini juga mengatur beberapa hal lain tentang perkawinan seperti pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, beristeri lebih dari seorang (poligami) dan ketentuan pidana. Untuk peraturan tentang poligami, termuat dalam Bab VIII pasal 40,41,42,43 Undang Undang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(3)

3

memberi izin untuk poligami atas permintaan yang bersangkutan jika; istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan yang diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UUP. Namun demikian, praktik poligami juga harus mempertimbangkan persetujuan dari istri pertama serta adanya jaminan bahwa suami mampu bersikap adil dan dapat menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya, yang termuat dalam pasal 5 UUP.9

Dalam hukum perkawinan di Indonesia, perkawinan juga dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.10 Agama Islam membolehkan poligami dengan batasan maksimal 4 orang istri, sementara agama Kristen Protestan dan Katolik tidak membolehkan poligami. Namun dalam beberapa masyarakat adat yang masih menganut agama suku, poligami dapat diizinkan. Menurut sejarahnya, sebelum agama Kristen dan Katolik masuk dan meluas di Indonesia, poligami telah dikenal secara adat di kalangan suku-suku bangsa di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur.

Poligami pada masa lampau banyak dilakukan oleh golongan bangsawan dan tua adat. Namun dengan perkembangan agama Kristen dan Katolik maka poligami semakin berkurang.11

Desa Gaura merupakan salah satu wilayah di kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur yang masih sering melakukan perkawinan poligami dan praktik tersebut dapat diakui secara adat. Hal ini dikarenakan seluruh penduduk asli di desa Gaura merupakan bagian dari masyarakat adat.12 Masyarakat adat di desa Gaura sebagian besar menganut agama Kristen

9 Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia :Hukum Masyarakat, (Jakarta Timur :Ghalia Indonesia ,1984),107-108.

10Aturan ini termuat dalam Bab II, Pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 yang Mengatur tentang Pencatatan Perkawinan.

11Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Timur, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1983), 26

12 Masyarakat adat yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah masyarakat yang hidup di suatu wilayah berdasarkan kesamaan leluhur, diatur oleh hukum adat atau lembaga adat, dan memiliki hak atas hasil dan pengelolaan wilayah mereka.

(4)

4

dan aliran kepercayaan Marapu dengan persentasi 64,6% keluarga yang beragama Kristen, dan 33,1% beragama Marapu sementara sisanya 2,3% adalah beragama Katolik.

Pada dasarnya agama Kristen mengakui asas monogami sedangkan poligami dilarang.

Namun dalam praktiknya masih terdapat masyarakat beragama Kristen yang melakukan poligami. Berkaitan dengan poligami, Gereja Kristen Sumba (GKS) secara umum telah mengambil sikap untuk menolak sepenuhnya praktik poligami sehingga GKS tidak mendata keluarga Kristen yang terlibat dalam praktik poligami. Namun GKS mengakui bahwa masih ada warga jemaatnya yang ada dalam perkawinan poligami.13 Misalnya di GKS Gaura, terdapat satu keluarga warga jemaat GKS yang sementara ada dalam perkawinan poligami.

Umumnya masyarakat di desa Gaura menganggap bahwa poligami adalah hal yang wajar bagi laki-laki. Akibatnya, terjadi pengabaian pada masa depan pendidikan anak dan kedudukan istri dianggap setara dengan pekerja atau budak untuk melayani keluarga suami.14 Dalam hal ini, istri harus ikut memikul tugas-tugas berat di ladang seperti bercocok tanam, mengurus ternak, maupun tugas-tugas kerumahtanggaan seperti memasak, mencuci, mengasuh anak, menimba air dan tugas-tugas lainnya. Namun yang membedakan perempuan dengan pekerja atau budak adalah, seorang istri tidak perlu mendapat bayaran atau upah.

Dalam praktik poligami yang terjadi di desa Gaura, laki-laki sering melakukan poligami tanpa mempertimbangkan kesejahteraan istri dan anak-anak. Ketidakadilan juga sering terjadi antara istri pertama dan istri selanjutnya padahal persyaratan adil merupakan wacana yang paling sering dikaitkan dengan praktik poligami. Motivasi laki-laki untuk mengambil istri lagi biasanya karena istri pertama telah mencapai usia tua, sedangkan fungsi seksual pria masih sangat baik. Hal ini membuat laki-laki cenderung lebih memberikan

13Berdasarkan hasil wawancara dengan Badan Pengurus dari Women Crisis Center (WCC ) yang menjadi bagian dari Sinode GKS di Bidang Komisi Perempuan Sinode GKS Pada Tanggal 3 Agustus 2021.

14Pandangan ini tidak terlepas dari tolak ukur aneh yang berlaku dalam dunia pekerjaan laki-laki dan perempuan. Diam di rumah, mengasuh anak, menyiapkan makanan dan memberi makan hewan peliharaan dilakukan oleh seorang perempuan sementara laki-laki melakukan seluruh pekerjaan di ranah publik. Anne Borrowdale, Tugas Rangkap Wanita, 1

(5)

5

perhatian kepada istrinya yang paling muda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis dalam masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat ditemukan bahwa terdapat tiga puluh enam (36) laki-laki yang sementara melakukan poligami dan delapan puluh dua (82) perempuan yang terlibat dalam perkawinan poligami, baik sebagai istri pertama maupun istri selanjutnya. Hal ini menampilkan tidak sedikitnya jumlah pasangan rumah tangga yang sedang menjalani perkawinan poligami.

Dalam budaya di desa Gaura, poligami merupakan suatu hal yang wajar. Sekalipun perkawinan poligami tidak diakui oleh pemerintah dan gereja namun praktik tersebut tetap dilakukan hingga saat ini karena sebagian besar masyarakat masih menganut aliran kepercayaan Marapu yang mengakui asas poligami. Berdasarkan penelusuran penulis, dari 36 laki-laki yang melakukan poligami terdapat 35 orang yang menganut kepercayaan Marapu, sementara 1 orang beragama Kristen. Dalam kepercayaan Marapu, poligami dapat diizinkan karena syarat perkawinan dalam Marapu adalah apabila laki-laki mampu melaksanakan kewajiban belis bagi perempuan. Mereka yang melakukan poligami juga umumnya memiliki kekayaan dan kekuasaan namun saat ini poligami tidak hanya terjadi di kalangan bangsawan atau golongan orang yang memiliki status sosial yang tinggi tetapi juga bagi masyarakat menengah ke bawah. Perubahan ini disebabkan karna terdapat kelunakan berkaitan dengan hukum perkawinan adat yaitu laki-laki yang mampu membelis15 perempuan maka dirinya diizinkan untuk memiliki istri sesuai kemampuannya dalam memenuhi kewajiban belis, tanpa memperhatikan faktor-faktor lain seperti kemampuan suami untuk menjamin kesejahteraan istri-istrinya jika dirinya melakukan poligami.16

15Membelis memiliki arti memberikan belis. Sedangkan Belis sendiri berarti mas kawin atau mahar.

Belis dalam budaya Sumba menunjuk kepada barang-barang yang diserahkan oleh pihak pengambil istri (laki-laki) kepada pihak pemberi istri (perempuan) berupa hewan (terutama kuda dan kerbau), mamuli atau perhiasan yang terbuat dari emas, perak dan tembaga. Barang-barang ini dipandang sebagai maskulin. Belis merupakan syarat utama dalam perkawinan masyarakat Sumba.

16Hasil Wawancara dengan Rato Edu Bota Pada Tanggal 8 Mei 2021.

(6)

6

Masyarakat adat di desa Gaura menyebut belis dengan istilah walli.17 Jika laki-laki mampu melunasi belis atau walli bagi lima perempuan maka ia diizinkan untuk memiliki lima istri. Dengan demikian, belis memegang peranan penting dalam perkawinan bagi masyarakat adat di desa Gaura. Seorang laki-laki yang mampu memberikan belis bagi keluarga perempuan maka dengan sendirinya berkuasa atas istrinya. Seorang perempuan yang dibellis harus tunduk kepada suaminya dan apabila perempuan tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam perkawinan, maka ia harus siap menerima segala perlakuan yang diberikan oleh pihak laki-laki salah satunya adalah poligami. Dalam beberapa kasus yang ditemukan di Sumba Barat, terdapat laki-laki yang bahkan memiliki dua belas istri.18

Poligami merupakan satu dari sekian banyak persoalan seksualitas yang sedang terjadi dalam tatanan agama dan masyarakat di desa Gaura, Sumba Barat. Persoalan-persoalan seksualitas tersebut antara lain perselingkuhan, perkawinan di bawah umur, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah dan hamil di luar nikah. Namun poligami menjadi fokus dalam penelitian ini dikarenakan, masyarakat di desa Gaura melihat poligami sebagai suatu fenomena yang wajar yang tanpa disadari menghasilkan hubungan yang eksploitatif dan diskriminatif dalam relasi perkawinan.

Poligami merupakan salah satu wujud dari politik seksualitas dalam keluarga yang membuat laki-laki menjadi lebih berkuasa atas perempuan. Dominasi kekuasaan laki-laki sekaligus memberinya kekuatan untuk menguasai perempuan, salah satunya dengan melakukan poligami. Budaya yang ada dalam masyarakat di desa Gaura juga melanggengkan

17Masyarakat Desa Gaura secara umum mengenal istilah belis dengan sebutan walli. Walli merupakan bagian utama dari ritual perkawinan adat dan menentukan sah tidaknya perkawinan adat yang diselenggarakan. Pemberian Walli juga merupakan ritual penghargaan dari keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan sebagai jasa atas jerih payah orang tua, sebagai tanda penggantian nama mempelai perempuan. Seorang perempuan yang diwalli, barulah dapat dipindahkan dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya

18 Hasil Wawancara dengan Bapak Dean Nunu pada Tanggal 26 Februari 2021.

(7)

7

hal tersebut karena sebagian besar budaya di Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki.

Dengan demikian, penulis merasa tertarik untuk meneliti persoalan poligami dalam kajian teori seksualitas. Hal ini dikarenakan tidak banyak yang memahami bahwa poligami yang paling utama terjadi karena hasrat atau dorongan seksual laki-laki. Realita tersebut selalu dibungkus oleh budaya patriarki yang berlangsung di desa Gaura yang membuat alasan terjadinya poligami selalu dilimpahkan sepenuhnya karena kegagalan perempuan. Fenomena tersebut juga semakin menarik untuk dikaji karena sejauh ini belum ada penelitian yang membahas tentang poligami dari perspektif teori seksualitas lebih khusus pada praktik poligami yang terjadi di desa Gaura, Sumba Barat.

Namun terdapat beberapa penelitian terdahulu yang membahas perihal poligami dari perspektif yang berbeda. Misalnya penelitian dari Dewani Romli yang mengulas persepsi kaum perempuan terhadap poligami di Indonesia. Romli mengkaji poligami dari perspektif hukum Islam. Menurut Romli kasus poligami ditanggapi berbagai organisasi wanita Islam secara berbeda. Organisasi 'Aisyiyah, misalnya, berpendapat bahwa poligami harus dihindari karena dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, dan menimbulkan penderitaan dalam sebuah rumah tangga.19 Terdapat penelitian lain yang juga membahas poligami dari perspektif hukum Islam yaitu penelitian dari Ririn Tri Wulandari yang mengkaji perkawinan poligami menurut hukum Islam dan korelasinya dengan sikap masyarakat di kabupaten Boyolali tentang norma- norma dalam poligami. Wulandari menyimpulkan bahwa, poligami yang terjadi di masyarakat menimbulkan beberapa pendapat dan pemahaman terhadap perkawinan poligami, baik itu datang dari kalangan masyarakat awam maupun dari kalangan intelektual. Di mana umumnya

19Dewani Romli. Poligami dalam Persepktif Gender Vol V No 1(Universitas Raden Intan Lampung: Al’Adyan Publisher, 2010), 105-113

(8)

8

masih banyak yang menganggap bahwa perkawinan poligami tidak menunjukkan keadilan dan rasa manusiawi.20

Terdapat tesis dari Mr. Hanif Yusoh yang juga melakukan analisis pelaksanaan poligami dan implikasinya di Thailand selatan namun dari perspektif rukun Islam. Hasil penelitian dari Yusoh menunjukkan bahwa poligami yang dipraktikkan oleh masyarakat adalah poligami (nikah siri) karena mereka percaya bahwa poligami itu merupakan sunah nabi dan adanya anggapan masyarakat bahwa (perkawinan) tetap di pandang sah walaupun tidak dicatatkan. Padahal ha itu menimbulkan banyak permasalahan bagi kehidupan rumah tangga yang di dalamnya terjadi praktik poligami.21

Tesis dari Titi Isnaini Fauzah juga membahas poligami dalam Islam ditinjau dari perspektif keadilan gender. Menurut Fauzah, perundangan Nasional yang telah mengakomodir hukum Islam ternyata tidak terlepas dari adanya faktor demografi Indonesia, di mana mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Selanjutnya, melalui tinjauan kritis perspektif keadilan gender yang dilakukan terhadap Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan, maka diperoleh kesimpulan bahwa pasal 3, 4, dan 5 di dalam substansinya cenderung bersifat ambigu, patriarki dan juga bias gender. Hal tersebut dapat terlihat dengan jelas, khususnya dari adanya tiga butir persyaratan terkait pemberian izin oleh pengadilan terhadap suami yang akan melakukan poligami yang sangat bias gender. 22

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya tentang poligami, tulisan ini akan membahas tentang poligami namun difokuskan pada poligami yang terjadi dalam masyarakat

20Ririn Tri Wulandari.“Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam dan Korelasinya dengan Sikap Masyarakat di Kabupaten Boyolali”(Skripsi Sarjana, Universitas Muhamadiyah Surakarta,2009).

21 Mr. Hanif Yusoh, “Analisis Pelaksanaan Poligami dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Rumah Tangga: Studi Kasus di Desa La’han, Kabupaten Yingo, Propinsi Narathiwat, Thailand Selatan”, (Tesis Magister, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2015)

22Titi Isnaini Fauzah, “Poligami dalam Islam Ditinjau dari Perspektif Keadilan Gender: Analisis Kritis Studi Jender dan Teori Keadilan Jender Susan Moller Okin”,(Tesis Magister: Universitas Kristen Satya Wacana,2016)

(9)

9

Sumba yang tidak terpisahkan dari budaya patriarki dalam hal ini Belis dan legitimasi kepercayaan asli masyarakat Sumba yaitu aliran kepercayaan Marapu. Penulis juga melakukan kajian kritis dari perspektif yang baru yaitu teori seksualitas tentang poligami dalam budaya patriarki.

Dengan demikian dalam penelitian ini, penulis hendak melakukan kajian kritis teori seksualitas terhadap praktik poligami dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat serta mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan praktik poligami jika dilihat dari pemikiran-pemikiran dalam teori seksualitas tentang poligami dalam budaya patriarki.

Seksualitas diekspresikan melalui interaksi dan hubungan individu dan jenis kelamin yang berbeda dan mencakup pikiran, pelajaran, pengalaman, ideal, nilai, fantasi dan emosi.23 Kekuasaan seksualitas berjalan terutama melalui praktik ekonomi, rumah tangga dan bahkan tata lingkungan. Relasi kekuasaan, pengetahuan dan kenikmatan merupakan arena yang kompleks. Tanpa disadari seksualitas diatur dan diarahkan untuk membentuk suatu individu yang patuh.24

Pada abad ke 21 ini masih terdapat sekelompok orang yang melihat seks dan seksualitas sebagai sesuatu yang bersifat tabu sehingga studi-studi tentang seksualitas masih terbilang sangat lamban. Hal ini tidak terlepas dari sejarah perkembangan wacana seksualitas khususnya dalam masyarakat abad pertengahan yang menempatkan seks pada ranah privat.

Dalam analisis Focault menyatakan bahwa menginjak abad pertengahan, saat dimulainya Eropa di bawah cakrawala dominasi gereja, Foucault melihat terdapat perubahan besar dalam cara pandang seksualitas. Pada masa itu, gereja sangat ekstrim memandang hasrat seksualitas sebagai hal satani, yang dapat mencelakakan manusia jika salah dimanfaatkan. Ilusi-ilusi

23 Made Diah Lestari dkk, Bahan Ajar Psikologi Seksual, (Universitas Udayana: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran, 2016), 9

24 Hermawan Septian Abadi, Kekuasaan Seksualitas Dalam Novel :Perspektif Analisa Wacana Kritis Micel Focault,Vol 2, No 2 September 2017,177.

http://jurnal.unmuhjember.ac.id/index.php/BB/article/view/828. Diakses 25 Februari 2021.

(10)

10

berkaitan dengan kenikmatan tubuh juga dianggap dapat mendatangkan dosa bagi manusia.

Selain itu, kekuasaan borjuasi kaum Victorian turut menentukan seperangkat norma yang bercirikan menahan diri atau disebut fenomena represi.25 Kaum Borjuasi Victorian kemudian membuat seks dipingit rapi dan dirumahtanggakan.26 Seksualitas menjadi jubud suami istri yang menyitanya dan membenamkan seluruhnya ke dalam reproduksi yang hakiki. Orang tidak berani lagi mengatakan apapun terkait seks dikarenakan fenomena represif.27 Borjuis Victorian membatasi wacana seksualitas dengan menarik kembali dan memosisikan seks ke dalam wilayah privat, di rumah, dan seksualitas bukan lagi menjadi wacana publik.

Seksualitas hanya dimaknai sebagai aktivitas reproduksi biologis pasangan suami istri dalam ikatan pernikahan.28

Namun perlu disadari bahwa, di era modern ini seks dan soal-soal menyangkut seksualitas memainkan peranan penting. Dalam tiap-tiap media masa, terdapat banyak kasus yang memuat berita-berita tentang kawin paksa, pemerkosaan, perzinahan, perceraian pelacuran dan lain-lain. Dalam berita-berita hiburan di televisi maupun majalah, memilih seks seperti

25 Ampi Kali, Diskursus Seksualitas Michel Focault, (Maumere:Ledalero,2013),69-75

26Kaum Victorian (les victoriens) adalah Masyarakat yang dipengaruhi oleh pengendalian tingkah laku ala Ratu Victoria I (1819-1901). Ratu ini tidak hanya mengendalikan kerajaan tetapi juga tingkah laku kawulannya, dan pengaruhnya terasa sampai ke seberang selat Chanel. Bagi Kaum Victorian, termasuk di dalamnya Eropa Daratan, kesantunan puritan sangat penting, sehingga tindak seksual tidak hanya dikekang oleh kesantunan tetapi juga ditolak, dibungkam. Namun, karena tidak mungkin dilarang sepenuhnya, tindak yang dianggap ilegal itu, disediakan tempat khusus, yaitu rumah pelacuran dan rumah sakit jiwa. Michel Focault, Ahli Bahasa Rahayu S. Hidayat, Ed. Jean Couteau, Seks, Kekuasaan Sejarah Seksualitas (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,199),202.

27 Dalam KBBI Represif artiya bersifat represi (menekan,mengekang, menahan atau menindas).

Dalam kamus Psikologi : Kata menindas, menahan, menekan disebut Repress (psikoanalisis) berarti 1.

Pengusiran sekuat tenaga dari kesadaran terhadap pengalaman atau implus yang memalukan atau yang menyakitkan hati, yang oleh individu yang bersangkutan dirasakan sebagai bertentangan atau tidak cocok dengan penilaian mengenai dirinya atau menyebabkan kecemasan. 2. Menindas, menekan, menyembunyikan atau menolak secara sadar. Rerpress secara teknis dapat dilihat juga sebagai Repression (psikoanalaisis) yang berarti pengusiran sekuat tenaga dari kesadaran semua implus, ingatan, atau pengalaman yang menyakitkan dan memalukan dan yang menimbulkan kecemasan tingkat tinggi. Represi menurut psikoanalisis Freud merupakan satu fungsi dari ego. Implus yang timbul dari id primitif dan selalu mencari kesenangan, berusaha mencari kesadaran begitu rupa sehingga mungkin bisa memaksa ego untuk meencari kepuasan bagi mereka.

Namun demikian, ego yang berkepentingan dengan realitas dan tuntutan-tuntutan superego berusaha mendesak implus tersebut. J.P Chaplin, Penerjemah Kartini. Kartono, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta:PT. Rajagrafindo Pesada, 2005),429-430.

28Nanang Martono, Sosiologi Pendidikan Michel Focault: Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin,Hukuman dan Seksualitas, Jakarta:PT Grafindo Persada,2014),124

(11)

11

seks pra-nikah, abortus, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, pengguguran, homoseksualitas sebagai pokok pembahasan.29 Anggapan masyarakat adat di desa Gaura bahwa poligami adalah hal yang wajar juga menampilkan tidak sedikitnya persoalan seksualitas dalam masyarakat. Dengan demikian seks dan seksualitas tidak dapat lagi dilihat sebagai sesuatu yang samar-samar, tertutup dan bersifat pribadi. Diperlukan diskursus yang tepat tentang seksualitas dalam agama dan masyarakat. Selain itu poligami sebagai sebuah fenomena sosial keagamaan dan budaya juga harus diungkap secara holistik dengan menggunakan berbagai pendekatan termasuk di dalamnya teori seksualitas.

Studi seksualitas tentang praktik poligami untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya dalam masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat juga semakin penting dikarenakan, dalam asumsi penulis lembaga pengambil kebijakan publik baik pemerintah, agama dan adat sebagai tiga batu tungku dalam tatanan masyarakat di desa Gaura belum memahami secara baik tentang praktik poligami di desa Gaura serta faktor-faktor menyebabkan terjadinya praktik poligami jika dikaji dari teori seksualitas. Penyebab terjadinya poligami sejauh ini hanya dilimpahkan sepenuhnya kepada kegagalan perempuan dalam melaksanakan kewajibannya menurut konstruksi budaya. Akibatnya belum ada suatu tindakan yang tepat untuk menghadapi praktik poligami di desa Gaura Sumba Barat. Tulisan ini diharapkan dapat memuat suatu tinjauan kritis teori seksualitas terhadap praktik poligami sebagai sebuah realita sosial yang terjadi dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat. Dalam penelitian ini, penulis mengamati sekelompok masyarakat adat di desa Gaura untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong terjadinya praktik poligami dengan menggunakan teori seksualitas tentang poligami dalam budaya patriarki. Dengan demikian ide penelitian yang muncul dari tulisan ini diuraikan dengan judul: Tinjauan Teori Seksualitas Terhadap Praktik Poligami dalam Masyarakat Adat di Desa Gaura-Sumba Barat.

29J.l Ch. Abineno,Seksualitas dan Pendidikan Seksuil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983),7

(12)

12 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah dapat dirumuskan berupa pertanyaan-pertanyaan berikut.

1) Bagaimana praktik poligami dalam masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat?

2) Apa faktor-faktor penyebab terjadinya praktik poligami dalam masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat?

3) Bagaimana kajian kritis teori seksualitas terhadap praktik poligami dalam masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat?

1.3. Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini yaitu:

1) Mendeskripsikan dan menganalisa praktik poligami dalam masyarakat adat di desa Gaura, Sumba Barat.

2) Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab poligami dalam masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat.

3) Melakukan kajian kritis terhadap praktik poligami dalam masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat dengan menggunakan teori seksualitas tentang poligami dalam budaya patriarki.

1.4. Signifikansi Penulisan

Secara teoritik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya berkaitan dengan studi seksualitas dalam agama dan masyarakat. Melalui penelitian ini juga kiranya dapat memberikan kesadaran bagi mereka yang sedang ada dalam perkawinan poligami untuk memahami bahwa poligami bukanlah satu-satunya solusi untuk mengatasi persoalan dalam sebuah perkawinan. Poligami hanyalah merupakan salah satu wujud dari relasi eksploitatif antara laki-laki dan perempuan. Sehingga

(13)

13

mereka dapat mensosialisasikan itu kepada generasi berikutnya untuk tidak terlibat dalam praktik poligami.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi pengambil kebijakan publik dalam hal ini pemerintah, komunitas agama baik Kristen maupun aliran kepercayaan Marapu, serta lembaga adat di desa Gaura untuk melakukan langkah konkret seperti pendampingan dan pengawasan terhadap praktik poligami dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat.

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan analitis- deskriptif. Penelitian kualitatif menekankan pada segi kualitas secara alamiah karena menyangkut pengertian, konsep, nilai serta ciri-ciri yang melekat pada objek penelitian lainnya. Dalam penelitian kualitatif, peneliti mengumpulkan data berdasarkan pengamatan situasi yang wajar (alamiah), sebagaimana adanya tanpa dipengaruhi atau dimanipulasi.

Peneliti yang memulai meneliti atau memasuki lapangan berhubungan langsung dengan situasi dan orang yang diselidikinya. Menurut Lyncoln dan Guba, secara ontologis penelitian kualitatif secara alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan bahwa manusia dengan segala aspeknya tidak dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.30Dengan demikian penulis memilih metode penelitian kualitatif karena dalam rencana penelitian ini, penulis hendak mengeksplorasi, memahami kemudian menganalisa suatu gejala sentral dalam masyarakat.

Dalam penelusuran penulis, penelitian kualitatif dengan pendekatan analitis-deskriptif dapat menolong penulis untuk menjawab fokus penelitian.

30H. Kalean, Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner Bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora, (Yogyakarta:Paradigma,2012),10-11.

(14)

14 1.5.1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menjadi bagian yang penting dalam penelitian kualitatif.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan observasi, wawancara dan dari dokumen-dokumen yang mendukung penelitian ini. Observasi adalah suatu pengamatan terhadap objek yang diteliti baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk memperoleh data yang harus dikumpulkan dalam penelitian.

Dalam proses observasi, peneliti secara langsung terjun ke lapangan dan mengamati lingkungan sosial di mana para partisipan berinteraksi, bagaimana perilaku serta pola hidup bermasyarakat di lokasi penelitian. Namun dalam proses observasi ini, penulis juga melakukan secara tidak langsung yaitu melalui alat bantu baik audio, visual maupun audiovisual dalam hal ini melalui media telepon. Namun observasi saja tidak cukup karena dalam penelitian kualitatif, peneliti harus menemukan makna kehidupan yang berkaitan dengan aspek sosial, budaya maupun keagamaan. Oleh sebab itu, peneliti harus juga melakukan wawancara mendalam (In depth interviewing) untuk memperoleh informasi secara detail dari partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi.31 Penulis memilih teknik ini karena persoalan poligami merupakan persoalan yang kompleks dan bersifat sensitif. Dalam proses ini, penulis terlibat dalam kehidupan sosial partisipan dalam jangka waktu yang cukup lama berkisar empat hingga tujuh hari untuk membangun kepercayaan dari partisipan kemudian dalam suatu waktu yang telah disepakati, penulis melakukan tanya jawab secara tatap muka dengan partisipan untuk melihat tanggapannya terkait fenomena yang dialami berdasarkan perspektifnya dengan jujur dan terbuka.

1.5.2. Unit Amatan dan Unit Analisa

Penelitian ini berlokasi di desa Gaura, Kecamatan Laboya Barat Kabupaten Sumba Barat, dengan narasumber sebanyak 17 partisipan yang meliputi tokoh masyarakat, tokoh

31Kalean, Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner 4,100-101,110-111.

(15)

15

agama, tokoh pemerintah dan tokoh adat. Penelitian ini dilaksanakan selama 42 hari dimulai dari tanggal 17 April 2021 sampai 28 Mei 2021.

Teknik pemilihan sampel pada penelitian ini adalah Non Random Sampling atau Non Probability Sampling di mana setiap individu atau unit dari populasi tidak memiliki

kemungkinan (non-probability) yang sama untuk terpilih. Terdapat pertimbangan- pertimbangan tertentu yang mendasari pemilihan sampel. Biasanya, pertimbangan- pertimbangan tersebut disesuaikan dengan latar belakang fenomena yang diangkat dan tujuan penelitian. Metode Non Random Sampling yang digunakan, dispesifikasikan menjadi teknik purposeful sampling yang mana teknik ini mendasarkan pada ciri-ciri 32 yang dimiliki oleh subjek yang dipilih harus sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan.33

Dengan demikian, unit amatan dalam penelitian ini adalah anggota masyarakat dengan kriteria; laki-laki yang melakukan praktik poligami serta perempuan yang menjadi korban praktik poligami yang terdiri dari berbagai strata sosial (masyarakat biasa, menengah dan bangsawan) yang disebut sebagai “sampling dengan variasi maksimal” atau (maximal variation sampling) dalam teknik purposeful sampling untuk menggambarkan suatu

kompleksitas dari fenomena yang diteliti. 34 Dari variasi tersebut diharapkan dapat memperkaya hasil fenomena yang diteliti. Sedangkan unit analisa dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat yang terlibat dalam praktik poligami dalam hal ini, laki-laki yang melakukan poligami dan perempuan yang merupakan pihak yang

32Ciri-ciri subjek penelitian yang dimaksudkan oleh penulis pada bagian ini adalah sampel yang memenuhi kriteria sebagai nonprobabilitas dan sampel ini secara logis dapat dianggap mewakili populasi.

Proses pemilihan dilakukan berdasarkan penilaian subjektif penulis dalam hal ini yang dinilai penulis kompeten untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Misalnya dalam penelitian ini, penulis meneliti masyarakat adat dengan berbagai latar belakang sehingga dalam pemilihan partisipan penulis mempertimbangkan beberapa hal antara lain: individu yang dapat berbahasa Indonesia dengan baik, atau individu yang pernah duduk dibangku pendidikan (minimal Sekolah Dasar) sehingga mempermudah dalam proses memahami pertanyaan penelitian serta menjawabnya.

33Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, 107,109

34Dalam penelitian ini, penulis meneliti persoalan yang bersifat sensitif karena itu anonimitas dilakukan untuk melindungi subjek penelitian dengan menjaga privasi mereka. Dalam pemilihan partisipan, penulis hanya memilih satu sampel yang terlibat dalam praktik poligami yang memenuhi kriteria dapat mewakili populasi dari setiap dusun atau wilayah pemerintahan di desa Gaura.

(16)

16

dipoligami. Jelasnya, unit analisa dalam penelitian ini tidak terpisahkan dari seluruh eksistensi dalam unit amatan.

Untuk mendapatkan data yang lebih lengkap dan menyeluruh perihal pokok penelitian, peneliti juga memilih beberapa responden sebagai sampling yang dapat menjelaskan suatu teori atau konsep dalam metode purposeful sampling. Teknik ini berperan penting untuk memberikan pemahaman yang lebih terhadap suatu konsep.35 Beberapa responden atau subjek yang menurut penulis kompeten dalam memberikan informasi terkait dengan praktik poligami di desa Gaura antara lain; Rato atau tokoh adat dalam tatanan masyarakat adat Sumba, pemerintah dalam hal ini kepala desa, tokoh-tokoh agama yaitu agama Kristen dan aliran kepercayaan Marapu. Informasi dari beberapa responden ini dapat membantu peneliti dalam memberikan pemahaman, atau membantu menemukan suatu konsep yang spesifik tentang praktik perkawinan poligami dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sumber data dalam penelitian ini yaitu sumber data primer yang diperoleh dari observasi dan wawancara dan sumber data sekunder yang diperoleh dari dokumentasi dan arsip-arsip penting yang relevan dengan judul penelitian misalnya dokumen Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa Gaura dan sumber-sumber literartur lainnya yang membahas tentang Poligami, Sumba dan Marapu.

Sementara sumber data primer akan dijelaskan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1: Sumber Data Primer Penelitian

No. Nama/Inisial Jenis Kelamin Keterangan

1 Herman Horo Laki-laki Kepala Desa

2 Antoneta Dade Perempuan Pendeta

3 Lukas Legahodi Laki-laki Pendeta

4 Edu Bota Laki-laki Rato/ Tokoh Adat

5 Dean Nunu Laki-laki Tokoh Masyarakat

6 Leni Rambu Dawi Perempuan Badan Pengurus dari Women Crisis Center (WCC ) yang menjadi bagian dari Sinode

35Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, 107,109

(17)

17

GKS di Bidang Komisi Perempuan Sinode

7 M.K, S.N, A.N, A.B, J.L Perempuan Yang ada dalam perkawinan poligami

8 N.S, R.D, I.N, L.D, N.D, A.M Laki-laki Yang melakukan poligami 1.5.3. Teknik Analisis Data

Analisis data dimulai dengan mengorganisir data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden kemudian mengonversi data tersebut menjadi satuan teks yang sesuai (misalnya sebuah kata, sebuah kalimat, sebuah cerita lengkap) untuk dianalisis dengan baik.

Setelah mengorganisasikan data, peneliti melanjutkan analisis dengan memaknai data tersebut secara keseluruhan. Peneliti mencoba memaknai wawancara tersebut sebagai sebuah kesatuan sebelum memecahnya menjadi bagian-bagian. Menulis catatan atau memo di bagian tepi dari catatan lapangan atau transkrip akan membantu proses awal analisis.36 Langkah berikut yang dilakukan penulis adalah mendeskripsikan, mengklasifikasikan, dan menafsirkan data. Dalam lingkaran ini, penggunaan kode atau kategori menjadi penting. Proses pengodean dimulai dengan mengelompokkan data menjadi satuan informasi yang lebih kecil. Oleh sebab itu proses penyaringan data dalam tahap ini menjadi penting.

Tahap yang terakhir adalah menafsirkan dan menyajikan data. Peneliti akan menafsirkan data ketika mereka melaksanakan penelitian kualitatif. Penafsiran merupakan pemaknaan terhadap data. Hal ini merupakan proses yang dimulai dengan pengembangan kode, pembentukan tema dari kode tersebut, dan diikuti dengan pengorganisasian tema menjadi satuan abstraksi yang lebih luas untuk memaknai data. Pada fase akhir, peneliti menyajikan data yaitu mengemas apa yang ditemukan dalam bentuk teks, tabel, bagan atau gambar. 37 Hasil analisis data yang dilakukan kemudian dikaitkan kembali dengan fenomena yang diangkat untuk kemudian menjawab pertanyaan penelitian dalam rumusan masalah.

36John W. Creswell, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset Memilih di antara Lima Pendekatan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2013), 254-255

37Creswell,Penlitian Kualitatif dan Desain Riset, 251

(18)

18

Proses ini menuntut kemampuan peneliti dalam merangkai kalimat menjadi suatu narasi yang menarik bagi pembaca. 38

1.6. Sistematika Penulisan

Tesis ini akan disajikan dalam lima bab yaitu ; Bab 1 berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, signifikansi penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2 akan memuat landasan konseptual dan kerangka teori yang digunakan yaitu teori seksualitas tentang poligami dalam budaya patriarki.

Pada bab 3 penulis akan memaparkan data hasil penelitian yaitu pertama, latar belakang yang meliputi letak geografis dan iklim desa Gaura Sumba Barat, sejarah singkat masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat, jumlah masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat, keadaan ekonomi dan mata pencaharian serta pendidikan. Pada sub-bab kedua penulis akan membahas perkawinan poligami di desa Gaura Sumba Barat. Pada sub-bab ketiga penulis akan membahas alasan-alasan poligami dalam masyarakat adat di desa Gaura. Pada sub-bab keempat penulis akan memaparkan peran dan status suami, istri, anak dalam perkawinan poligami. Pada sub-bab kelima penulis akan membahas masalah-masalah yang ditemukan dalam perkawinan poligami. Pada bagian akan terakhir akan berisi kesimpulan dari keseluruhan bab 3.

Pada bab 4 penulis akan menampilkan tinjauan teori seksualitas tentang poligami dalam budaya patriarki di desa Gaura Sumba Barat yang terbagi atas empat bagian. Bagian pertama memuat tinjauan kritis teori seksualitas terhadap praktik poligami di desa Gaura. Bagian kedua menjelaskan tentang analisis faktor-faktor penyebab praktik poligami dalam budaya patriarki

38Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta Seltan, Salemba Humanika, 2010), 48

(19)

19

di desa Gaura. Bagian ketiga akan memuat poligami dalam perspektif kualitas cinta personal dan cinta sebagai aktualisasi diri. Bagian terakhir berisi kesimpulan dari keseluruhan bab ini.

Bab 5 akan berisi penutup yaitu kesimpulan dan saran. Bagian ini merupakan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan tesis.

Gambar

Tabel 1: Sumber Data Primer Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, pasta (3tr4 maupun gas yang dapat mengandung mikroorganisme

Cerebritis menunjukkan tahap pembentukan abses dan infeksi bakteri Cerebritis menunjukkan tahap pembentukan abses dan infeksi bakteri yang sangat merusak jaringan

Bit yang memiliki ujung penyemprot yang besar yang dapat mengarahkan fluida pemboran ke satu arah kembali ke PDC bit, jenis ini didesain untuk menghancurkan

lama masa kosong ini menunjukkan lebih lama daripada kisaran masa kosong yang ideal atau optimum pada sapi perah FH yaitu 60-80 hari setelah beranak atau

Sedangkan menurut Berkowitz (2005), agresi ialah tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja.

Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan pupuk NPK 0 gram memiliki jumlah daun tertinggi dibandingkan dengan tanaman yang diberi pupuk NPK 1,5 dan 3 gram,

Selain itu, manipulasi gips yang dijadikan limbah juga berbeda, seperti rasio air bubuk untuk setiap tipe gips berbeda, sehingga limbah gips yang didaur ulang sebaiknya

Saringan berfungsi untuk menyaring kotoran dalam sistem agar tidak masuk kedalam pipa kapiler dan kompressor. Kotoran tersebut terdiri dari: logam yang hancur, potongan logam, sisa