• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Psikoanalisa

Dalam dokumen Studi Gender (Halaman 22-88)

keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna Megawangi, 1999: 226).

Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.

6. Teori Ekofeminisme

Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminism modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189).

Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya, yang terlihat adalah kompetisi, self-centered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh nyata dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna Megawangi, 1999: 183).

7. Teori Psikoanalisa

Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 23

ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999: 46).

Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak dapat dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi social berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan (Nasaruddin Umar, 1999: 41).

Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagai objek irihati.

Pendapat Freud ini mendapat protes keras dari kaum feminis, terutama karena Freud mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan tanpa rasa malu. Teori psikoanalisa Freud sudah banyak yang didramatisasi kalangan feminis. Freud sendiri menganggap kalau pendapatnya masih tentatif dan masih terbuka untuk dikritik. Freud tidak sama sekali menyudutkan kaum perempuan. Teorinya lebih banyak didasarkan pada hasil penelitiannya secara ilmiah. Untuk itu teori Freud ini justeru dapat dijadikan pijakan dalam mengembangkan gerakan feminisme dalam rangka mencapai keadilan gender. Karena itu, penyempurnaan terhadap teori ini sangat diperlukan agar dapat ditarik kesimpulan yang benar.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 24

Defenisi Konsep

Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau

persamaan (equality) dan keadilan (justice) hak dengan pria. Jadi gerakan feminisme adalah sebuah gerakan pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam masyarakat. Adapun gerakan feminisme ini lebih memusatkan perhatian kepada ”masalah perempuan” yang mengasumsikan bahwa munculnya permasalahan ketidakmampuan kaum perempuan untuk bersaing dengan laki-laki tetapi pada dasarnya perempuan adalah makluk rasional yang memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Adapun konsep persamaan (equality) dan keadilan (justice) adalah:

Persamaan (Equality). Persamaan adalah suatu konsep yang menunjukkan

bahwa semua manusia ”sama” dimata hukum. Persamaan juga menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang ”sama” untuk mendapatkan perlakuan yang adil terutama persamaan hak bagi perempuan harus ditegakkan di dalam suatu negara. Persamaan dan perbedaan keduanya istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri, persamaan dan perbedaan telah menggambarkan perbedaan dan perspektif yang bersaing dalam teori feminis.

Jika seseorang memperluas kerangka analisa ideologi dan geografis dengan perspektif kronologis, maka seseorang dapat melukiskan jalur teori feminis sehubungan dengan persamaan dan perbedaan sebagaimana dimulai dengan persamaan (equality), peralihan pada perbedaan, kemudian pergerakan terhadap resolusi dikotomi. Beberapa komentator telah memilih melambangkan tahapan feminisme ini sebagai feminisme gelombang-gelombang.

Orang lain melihat pergerakan dari persamaan ke perbedaan sebagai internal terhadap feminisme gelombang kedua. Misalnya, Nancy Fraser menganggap bahwa perubahan terjadi dalam pergerakan wanita Amerika Serikat pada akhir era 1970an. Karena setiap cerita kronologis ini menggangap sesuatu dari perasaan dalam perdebatan feminis, maka masing-masing lebih skematis dan menanamkan dirinya 1. Gelombang pertama, yang di tandai oleh komitmen terhadap persamaan (equality). 2. Gelombang kedua, oleh komitmen terhadap perbedaan. 3. Gelombang ketiga, komitmen terhadap keragaman. dalam kerangka normatif tertentu. Memungkinkan juga untuk mengkarakterisasikan sifat dinamis dari perdebatan persamaan dan perbedaan. Memetakan perdebatan persamaan dan perbedaan dari perspektif usaha-usaha saat ini untuk bergerak

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 25

”melebihi” persamaan dan perbedaan. Pelaksanaan yang berlebihan inilah yang secara lebih jelas mengkarakteristikan momen saat ini terhadap teorisasi gender. Status perspektif keragaman ketiga adalah kompleks tidak dimaksudkan untuk meliputi semua upaya yang dilakukan untuk mlebihi alat untuk mensistensikan perspektif persamaan dan perbedaan. Lebih dipahami sebagai negosiasi kompleks dari pola dasar yang ada dari pada artikulasi dari pola dasar yang baru.

Orang-orang yang mendekati teori gender dan politik dari perspektif persamaan sangat meyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan secara politik atau tidak berhubungan, kenyataan bahwa pria dan wanita pada umumnya berbeda. Alasan yang tidak cukup untuk memperlakukan mereka secara berbeda dalam lingkungan politik. Proyek pemerintahan apapun yang benar-benar melaksanakan prinsip-prinsip persamaan liberal harus melebihi anggapan sexist tentang perbedaan Gender yang telah meneliti perbedaan tehadap wanita, untuk memberikan kepada wanita hak-hak yang sama dengan pria dan untuk memungkinkan wanita berpartisipasi seperti halnya pria dalam lingkungan publik. Perbedaan gender dipasang sebagai sebuah manifestasi seksisme, sebagai penciptaan yang digunakan untuk menasionalisasikan persamaan antara pria dan wanita. Anggapan yang luas bahwa wanita tidak rasional sepenuhnya digunakan secara berulang kali sebagai ”justifikasi” untuk melanjutkan pengeluaran mereka dari kewarganegaraan penuh.

Gagasan bahwa wanita tidak dapat memiliki kemampuan rasional, abstrak, yang menguniversalisasikan bentuk pemikiran yang dibutuhkan untuk terlibat dalam arena penelitian dan politik publik perlu ditemui dengan penegasan kesamaan wanita dengan pria. Sebagaimana yang dijelaskan Fraser, dari perspektif persamaan, maka perbedaan gender terlihat tidak memungkinkan untuk lepas dari seksisme. Tugas-tugas politik selanjutnya akan lebih jelas, tujuan feminisme adalah untuk melepaskan belenggu ”perbedaan” dan membentuk persamaan yang membawa pria dan wanita dibawah sebuah ukuran umum. Dari perspektif persamaan tersebut.

Keadilan (Justice) Mengenai keadilan (justice) dalam literatur gender, dalam teori

politik disamakan dengan ”etika keadilan”. Pertama, etika keadilan adalah perspektif yang lebih tepat dan memungkinkan. Menurut pandangan tidak dari manapun dan oleh karena itu pada dasarnya netral sehubungan dengan masalah gender. Kedua, etika keadilan adalah sebuah produk dari jiwa pria dan secara intrinsik bergender. Ketiga, etika keadilan adalah sebuah bentuk pemikiran moral yang terbatas secara khusus dan spesifik secara historis yang memainkan peranan signifikan dalam proses pengenderaan identitas sosial.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 26

Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Dari perspektif pertama para ahli teori tidak mengecam etika keadilan itu sendiri. Mereka menganggap bahwa tingkatan aplikasinya harus diperluas hingga meliputi bentuk-bentuk hubungan sosial dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa ini adalah bentuk pemikiran moral dan bentuk yang khusus bagi pria. Ada bentuk lain yang diambil dari dalam pendekatan kedua adalah pemikiran moral yang disebut etika kepedulian yang harus juga dikenal, Bahkan dikatakan bahwa wanita lebih memungkinkan mengadopsi etika kepedulian ini dibandingkan pria, bahwa hak istimewa yang diberikan pada etika keadilan adalah untuk suara moral yang berbeda dari para wanita. Dengan kata lain ini adalah strategi universal.

Berbeda dengan konsepsi yang dibedakan gender kedua tentang pemikiran moral, para ahli teori gender yang mendekati perdebatan ini dari perspektif ketiga adalah penting dari pergerakan ke bentuk-bentuk pemikiran moral yang terbagi dan untuk menyelenggarakan antitesisnya dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa etika keadilan adalah bukan salah satu dari dua bentuk pemikiran moral yang memungkinkan tentang bentuk universal tunggal dari pemikiran moral. Oleh karena itu, model keadilan dari pemikiran moral tidak hanya berbeda dengan model kepedulian ini. Dengan mengetahui bahwa model kepedulian hanya ada dalam hubungan sebagai pengingat model keadilan, maka adopsi setiap model bekerja untuk mengabadikan dualisme hirarki dari perdebatan moral yang dihasilkan oleh etika keadilan yang merupakan strategi pergantian.

Untuk memahami sepenuhnya isu-isu dalam politik secara khusus sebagai lawan dari perdebatan dan relevansinya dengan politik secara khusus sebagai lawan dari perdebatan moral, terlebih dahulu harus mempertimbangkan etika keadilan dan etika kepedulian. Selanjutnya kita akan merenungkan dua isu tambahan yang telah menjadi pusat pada perdebatan keadilan dan kepedulian sifat hubungan antara dua etika dan dua gender. Ini menyebabkan pertimbangan dari beberapa strategi yang berbeda yang diadopsi untuk melebihi dikotomi keadilan dan kepedulian. Apa yang telah muncul dalam teori feminis akan dilambangkan sebagai perspektif ”etika keadilan” adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral.

Immanuel Kant, dengan jelas memperdebatkan kerangka historis, universal untuk mendasarkan klaim-klaim moral. Kant berusaha menjelaskan dan membentuk dasar objektif dari moralitas. Dia menolak semua usaha untuk mendasarkan moralitas pada pengalaman dan bekerja untuk membentuk eksistensi dari hukum moral dasar, universal, objektif untuk semua sifat rasional. Yang mengkarakteristikan imperialitas sebagai

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 27

konsepsi pemikiran moral yang menganggap bahwa agar agen melepaskan egoisme, dan mencapai objektivisme, dia harus mengadopsi sudut pandang universal yang sama untuk semua agen rasional. Penekanan terhadap pelepasan dari konteks, sebagaimana dengan rasionalisme, dipandang sebagai alat yang mempertinggi kekhususan emosional yang menarik dan pencapaian sudut pandang universal.

Ketidakadilan Gender

Merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih. Ketidakadilan gender dapat bersifat :

Langsung (Perbedaan perlakuan secara terbuka, baik disebabkan perilaku atau sikap

norma/nilai maupun aturan yang berlaku). Tidak Langsung (Seperti peraturan sama, tetapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu). Sistemik (Ketidakadilan yang berakar dalam sejarah atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan).

Adapun bentuk diskriminasi gender :

 Marginaslisasi (peminggiran), biasa dalam bidang ekonomi.  Subordinasi (penomorduaan), menganggap perempuan lemah.  Stereotype (citra buruk), serangan fisik dan psyikis.

 Beban kerja berlebihan.

Asma Barlah, penulis buku Cara Quran Membebaskan Perempuan mengatakan inti dari ketidaksetaraan gender adalah pencampur-adukan antara biologis (jenis kelamin) dan makna sosialnya (gender). Begitu juga Marshall Sahlin berpendapat bahwa ketidakadilan gender merupakan subordinasi hal simbolik dibawah hal alamiah.

Al-Quran (Islam) dan Kesetaraan

Shahin Iravani dalam tulisannya menyebutkan Islam selalu mempunyai definisi sendiri tentang hak-hak perempuan, juga sebuah definisi yang jelas mengenai posisi perempuan. Meskipun memiliki perbedaan biologis tetapi mempunyai kedudukan yang sama secara etis-moral. Menurut Al-Quran, alasan kesetaraan dan keserupaan kedua jenis kelamin adalah bahwa keduanya diciptakan untuk hidup bersama dalam kerangka saling mencintai dan mengakui satu sama lain. Dalam Al-Quran laki-laki dan perempuan justru bersumber dari diri yang sama, pada saat yang bersamaan dan dengan cara yang sama, artinya keduanya adalah setara dan berasal dari sumber yang sama.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 28

Laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas agensi, pilihan dan individualitas moral yang sama, yaitu :

1. Al-Quran menetapkan standar perilaku yang sama bagi laki-laki maupun perempuan dan menetapkan standar penilaian yang sama bagi keduanya, artinya Al-Quran tidak mengaitkan agensi (wakil) moral dengan jenis kelamin tertentu.

2. Al-Quran menyebut laki-laki dan perempuan sebagai penuntun dan pelindung satu sama lain, dengan menyebutkan bahwa keduanya mampu mencapai individualitas moral dan memiliki fungsi penjagaan yang sama terhadap satu sama lain.

Prinsip-prinsip kesetaraan (dalam buku perempuan dalam pasungan) :

1. (Adam dan Hawa) sama-sama menjadi hamba dan khalifah dibumi, termaktub dalam Al-Quran surat Az-Zariyat (51) : 56, Al-Hujarat (49) : 13, An-Nahl(16) : 97, Al-An‟am (7) : 165, Al-Baqarah (2) : 30.

2. (Adam dan Hawa) sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis.

a. Keduanya diciptakan disurga dan memanfaatkan surga. (Al-Baqarah (2) : 35).

b. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Al-A‟raf (7) : 20).

c. Keduanya makan buah kuldi dan sama-sama menerima akibat jatuh dibumi (Al-A‟raf (7) : 22).

d. Keduanya mohon ampun dan sama-sama diampuni (Al-A‟raf (7) : 23). 3. Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial, berikrar

akan keberadaan Tuhan (Al-A‟raf (7) : 172).

4. Sama-sama berpotensi meraih prestasi, (Ali-Imran (3) : 195, An-Nissa (4) : 124, Al-An‟am (6) : 97, Al-Mukmin (40) : 40).

Gender

Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron&Byrne, 1979). Pada beberapa kepentingan, norma sosial mengacu pada norma tradisional dan perilaku yang sesuai

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 29

dengan jenis kelaminnya diharapkan oleh masyarakat, dimana laki-laki lebih diharapkan lebih kuat, dominant, asertif, sementara perempuan seharusnya mempunyai sifat merawat, sensitif, dan ekspresif. Jika situasinya sesuai dan nyaman, maka akan sangat memuaskan untuk mengikuti dan bertingkah laku sesuai norma sosial tersebut, namun jika tidak sesuai, maka tingkah laku dapat disesuaikan dengan kondisi (Wood et al., 1997 dalam Baron&Byrne, 1979).

Androgynous

Kebanyakan dari kita melihat maskulinitas dan femininitas sebagai dua hal yang berada di dua ujung kutub dari satu kontinum (Storm, 1980 dalam Spencer&Jeffrey, 1993 ). Oleh karena itu kita berasumsi bahwa semakin maskulin seseorang, maka semakin kurang feminin ia dan begitu pula kebalikannya. Sehingga, seorang pria yang memiliki sifat stereotipikal feminin seperti pengasuhan, tenderness, dan emosional sering dilihat sebagai kurang maskulin dibanding pria lain. Perempuan yang bersaing dengan laki-laki dalam dunia bisnis diterima bukan hanya lebih maskulin tapi juga kurang feminin dibanding wanita lain.

Beberapa ilmuwan behavioral berargumen bahwa maskulinitas dan femininitas sebenarnya membandingkan dua dimensi kepribadian yang berdiri sendiri (Bem, 1975; Spence at al.,1975; Helmreich et al, 1979 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Orang yang memiliki maskulinitas tinggi, baik laki-laki maupun wanita dapat pula memiliki sifat feminin dan kebalikannya. Orang yang mempertunjukkan keasertifan dan keterampilan instrumental yang bersifat maskulin berjalan beriringan dengan pengasuhan dan kerjasama yang bersifat feminin yang cocok dengan maskulinitas dan femininitas peran gender. Mereka ini disebut telah menunjukkan psychological androgyny. Orang yang tinggi dalam assertiveness dan keterampilan instrumental hanya cocok dengan stereotipe maskulin. Orang yang tinggi dalam sifat seperti pengasuhan dan kerjasama cocok dengan stereotipe feminin. Orang yang rendah di pola stereotipe maskulin dan feminin dilihat sebagai “undifferentiated” merujuk pada stereotipe peran gender. Orang yang psychologically androgynous mampu untuk memanggil range yang lebih luas dari sifat maskulin dan feminin untuk menemukan tuntutan dari berbagai macam situasi dan untuk mengekspresikan hasrat dan bakat mereka.

Terdapat pula bukti bahwa sifat feminin, seperti pengasuhan dan sensitivitas, muncul untuk memprediksi keberhasilan dalam hubungan intim-dengan laki-laki sebaik

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 30

dengan perempuan. Laki-laki androgynous lebih mungkin untuk mengekspresikan perasaan cintanya kepada pasangannya dan lebih dapat menerima kesalahan pasangannya daripada tipe maskulin (Coleman & Ganong, 1985 dalam Spencer&Jeffrey, 1993 ).

Remaja maskulin dan androgynous dari kedua gender cenderung untuk lebih popular dan memiliki harga diri yang tinggi dibanding remaja lain (Lamke, 1982 dalam Spencer&Jeffrey, 1993) . Hal ini tidak mengejutkan, merupakan hal yang biasa bahwa remaja laki-laki lebih sejahtera apabila memiliki stereotipe sifat maskulin. Namun yang lebih mengejutkan, adalah para remaja perempuan juga lebih sejahtera ketika mereka mempertunjukkan stereotip sifat maskulin, seperti assertiveness dan kemandirian. Terlihat bahwa perempuan muda tidak beresiko apabila orang lain mempertanyakan femininitas mereka apabila mereka mempertunjukkan sifat maskulin, menyediakan lebih banyak bukti bahwa konstelasi dari sifat yang kita sebut maskulinitas dan femininitas merupakan kelompok yang berdiri sendiri.

Laki-laki dan perempuan yang psychologically androgynous lebih merasa nyaman dengan seksualitas mereka daripada laki-laki maskulin dan wanita feminin (Wolfish & Mayerson, 1980 dalam Spencer&Jeffrey, 1993).

Dari berbagai macam sudut pandang, kita telah memeriksa bahwa laki-laki termasuk dalam kelompok standardisasi menunjukkan dengan jelas minat yang berbeda dalam mengeksploitasi dan berpetualang, di outdoor, dan secara fisik memiliki pekerjaan yang sibuk, dalam bidang perlengkapan dan mesin, ilmu sains, fenomena fisik, dan penemuan. Di pihak lain perempuan dalam kelompok kita telah menunjukkan dengan jelas minat yang berbeda pada pekerjaan domestik dan pada objek dan pekerjaan estetik, mereka secara berbeda memilih pekerjaan yang menetap dan pekerjaan indoor, pekerjaan tersebut lebih ministrative secara langsung, khususnya bagi orang muda, ketidakberdayaan, distress yang muncul.

Laki-laki secara langsung maupun tak langsung memuat self-assertion yang lebih besar dan juga agresivitas : mereka lebih mengekspresikan kepayahan dan ketidaktakutan, lebih kasar dalam perbuatan, bahasa dan perasaan. Perempuan mengekspresikan diri sendiri lebih mudah terharu dan simpatik, lebih malu-malu, lebih pemilih dan sensitif secara estetik, secara umum lebih emosional, lebih kuat memegang moral, lebih lemah dalam mengendalikan emosi dan lemah dalam hal fisik.

Orang-orang maskulin dan androgynous dari kedua gender cenderung untuk memiliki harga diri yang lebih tinggi dan secara umum lebih baik dalam menyesuaikan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 31

secara psikologis daripada orang yang feminin atau undifferentiated. Contohnya penelitian yang menyatakan bahwa individu laki-laki maupun perempuan yang androgini dikatakan lebih baik dibandingkan individu yang menganut tipe gender pada umumnya (Major, Carnevale,&Deaux, 1981 dalam Baron&Byrne 1979), lebih kreatif dan optimis (Norlander, Erixon,&Archer, 2000 dalam Baron&Byrne 1979), lebih ,mudah menyesuaikan diri (Williams&D‟Alessandro, 1994 dalam Baron&Byrne 1979), lebih baik dalam beradaptasi dengan permintaan dari situasi yang berbeda-beda (Prager&Bailey, 1985 Baron&Byrne 1979), lebih fleksibel dalam menangani stress (McCall&Struthers, 1994 Baron&Byrne 1979), lebih baik dalam mengurangi stress orang lain (Hirokawa et al, 2001 dalam Baron&Byrne 1979), lebih tidak rawan terkena eating disorder (Thornton, Leo,&Alberg, 1991 dalam Baron&Byrne 1979), lebih nyaman dengan seksualitasnya (Garcia, 1982 dalam Baron&Byrne 1979) dan lebih puas dengan hubungan interpersonalnya (Rosenzweig&Daley, 1989 dalam Baron&Byrne 1979) dn dengan kehidupannya secara umum (Dean-Church&Gilroy, 1993 dalam Baron&Byrne 1979).

Selanjutnya hal ini muncul bahwa keuntungan tersebut lebih berkaitan secara kuat dengan kehadiran sifat maskulin daripada kombinasi antara sifat maskulin dan feminin (Bassoff & Glass, 1982; Whitley, 1983 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Sehingga, sifat maskulin seperti assertiveness dan independence dapat dikaitkan dengan psychological well-being, walau dengan atau tanpa adanya ia dikombiansikan dengan sifat feminin seperti kehangatan, pengasuhan dan kerjasama. Kehadiran dari kepribadian yang maskulin hadir pada satu sampel dari mahasiswa yang lebih kuat diasosiasikan dengan kemampuan beradaptasi dan kecakapan dalam berbagai hal daripada androgyny (Lee & Scheuree, 1983 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Di lain pihak, terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa mahasiswa androgynous lebih mungkin untuk memiliki sense of personal identity dan intimacy ketimbang mahasiswa feminin, undifferentiated dan maskulin (Schiedel & Marcia, 1985 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Sehingga mereka lebih mungkin dalam mengembangkan sebuah sense yang kuat mengenai siapa diri mereka dan apa yang mereka percayai (identitas)., dan mereka memiliki kapasitas yang lebih besar untuk membentuk dan menjaga keintiman, hubungan berbagi.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 32

Mengapa peran gender tradisional masih kuat pada abad 21?

Seiring semakin tuanya usia dunia ini, cerita panjang mengenai perbedaan

Dalam dokumen Studi Gender (Halaman 22-88)