• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Gender

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi Gender"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 1

STUDY GENDER

(Modul Untuk Lingkungan Sendiri)

Disusun oleh :

HENDRA PRIJATNA, M.Pd

Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

Universitas Bale Bandung (UNIBBA)

2012

(2)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 2

Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum, keagamaan, maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian tentang gender masih tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di Indonesia yang belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai ketimpangan dalam penerapan gender sehingga memunculkan terjadinya ketidakadilan gender.

Memahami persoalan gender bukanlah hal yang mudah, tetapi diperlukan berbagai kajian yang bisa mengantarkan pada pemahaman yang benar tetang gender. Kajian-kajian yang sering digunakan untuk memahami persoalan gender adalah kajian-kajian dalam ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi. Dari berbagai kajian-kajian social inilah muncul berbagai teori sosial yang kemudian dijadikan sebagai teori-teori gender atau sering juga disebut teori-teori feminisme. Sebenarnya masih banyak lagi kajian yang bisa digunakan untuk mendekati persoalan gender di samping kajian-kajian sosial, misalnya kajian antropologis dan kajian psikologis, kajian ekonomis, meskipun tidak sedominan kajian-kajian sosial.

Tulisan singkat ini mencoba memaparkan beberapa teori gender yang dibangun berdasarkan teori-teori yang berkembang dalam sosiologi dan psikologi. Tulisan ini diharapkan memberi penjelasan awal tentang berbagai teori gender yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan analisis gender terhadap berbagai persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Teori-teori ini juga diharapkan dapat mendasari para pengkaji dan para pengambil kebijakan dalam persoalan gender untuk memecahkan persoalan ketimpangan gender yang masih terus muncul di tengah-tengah kehidupan kita di Indonesia. Sebelum dibahas teori-teori gender, ada baiknya dibahas dulu pengertian gender.

Epistemologi Gender

Episteme berasal dari bahasa Yunani yang dapat diartikan menjadi knowledge, pengetahuan. Maka, epistemologi gender adalah ilmu yang mempelajari gender. Sebelum membahas gender, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan seks. Seks dapat diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang secara biologis memiliki ciri-ciri tersendiri. Secara kodrati, keduanya memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Perbedaan inilah yang berpengaruh dan berkaitan dengan faktor sosial, geografis dan kebudayaan suatu masyarakat, sehingga melahirkan konsep gender. Dalam bahasa Inggris, kata “gender” yaitu pengelompokkan kata benda atau kata

(3)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 3

ganti yang menyatakan sifat laki-laki dan perempuan. Kata “gender” diartikan kelompok laki-laki, perempuan atau perbedaan jenis kelamin. Namun, di Indonesia kata “gender” termasuk kosa kata dibidang ilmu sosial, maka gender merupakan istilah. Gender (genus) adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun kebudayaan, tergantung pada waktu (tren) dan tempatnya. Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita mendefinisikan gender sebagai konsep hubungan sosial yang membedakan arti pada kepentingan dan pemusatan fungsi-fungsi dan peran antara pria dan wanita.

Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata „gender‟ berasal dari bahasa Inggris yang berarti „jenis kelamin‟ (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Kata „gender‟ bisa diartikan sebagai „perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku (Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561).

Secara terminologis, „gender‟ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, „gender‟ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine Showalter (ed.), 1989: 3). Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34). Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women‟s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4).

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan

(4)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 4

dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.

Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.

Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.

(5)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 5

Dalam upaya mengubah perilaku seseorang terhadap pemahaman gender, ada beberapa istilah yang perlu diketahui:

a. Buta Gender (gender blind), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang tidak memahami tentang pengertian/konsep gender karena ada perbedaan kepentingan laki-laki dan perempuan.

b. Sadar Gender (gender awareness), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang sudah menyadari kesamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki.

c. Peka/Sensitif Gender (gender sensitive), yaitu kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan menilai hasil pembangunan dan aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender (disesuaikan kepentingan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan).

d. Mawas Gender (gender perspective), yaitu kemampuan seseorang memandang suatu keadaan berdasarkan perspektif gender.

e. Peduli/Responsif Gender (gender concern/responcive), yaitu kebijakan/program/kegiatan atau kondisi yang sudah dilakukan dengan memperhitungkan kepentingan kedua jenis kelamin.

(6)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 6

Teori gender yang berpengaruh dalam perbincangan persoalan gender : Teori

Psikoanalisa atau identifikasi (Sigmund Freud) (Teori ini mengungkapkan bahwa

perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas). Teori Strukturalis-Fungsionalism (Hilary M. Lip, Linda L. Lindsey, R. Dahrendolf) (Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh didalam suatu masyarakat, mendefinisikan fungsi setiap unsur dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat). Teori Konflik (Karl Mark, Friedrich Engels) (Mengemukakan bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga). Teori Feminisme.1). Feminis Liberal (Margaret Fuller, Harriet Martineau, Angelina Grimke, Susan Anthony). (Mengakui organ reproduksi merupakan konsekwensi, teori ini menekankan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi). 2). Feminis Marxis-Sosialis (Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg). (Berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan issue bahwa ketimpangan adalah faktor budaya alam). 3). Feminis Radikal (Menggugat semua yang berbau patriarki, bahkan yang ekstrem berpendapat tidak membutuhkan laki-laki, dalam kepuasan seksual juga dapat diperoleh dari sesama perempuan, mentolerir praktek lesbian). Teori Sosio-Biologis (Pierre Van Den Berghe, Lionel Tiger dan Robin Fox) (Gabungan faktor biologis dan sosial menyebabkan laki-laki lebih unggul dari pada perempuan. Fungsi reproduksi dianggap penghambat untuk mengimbangi kekuatan dan peran laki-laki).

Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”.

Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.

(7)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 7

Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman arti pria dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita. (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998: xxvi)

Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki dan perempuan akan istilah gender itu sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender tersebut.

Bertolak dari fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender. Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting karena kesamaan pengertian (mutual understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang tindih antara masalah perempuan yang muncul karena perbedaan akibat seks dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke dalam konteks Indonesia.

Selama lebih dari sepuluh tahun istilah gender meramaikan berbagai diskusi tentang masalah-masalah perempuan, selama itu pulalah istilah tersebut telah mendatangkan ketidakjelasan-ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan apa kaitan konsep tersebut dengan usaha emansipasi wanita yang diperjuangkan kaum perempuan tidak hanya di Indonesia yang dipelopori ibu Kartini tetapi juga di pelbagai penjuru dunia lainnya.

Kekaburan makna atas istilah gender ini telah mengakibatkan perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu.

(8)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 8

Konsep gender pertama kali harus dibedakan dari konsep seks atau jenis kelamin secara biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.

Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.

Berbeda dengan seks atau jenis kelamin yang diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan sehingga menjadi kodrat manusia, istilah gender yang diserap dari bahasa Inggris dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya dalam Bahasa Indonesia, ---kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah mengubah gender menjadi jender--- merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3 September 1995)

Oleh karena gender merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian upaya untuk mendefinisikan konsep gender tetap dilakukan dan salah satu definisi gender telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarahwan, sebagai “a constitutive element of social relationships based on perceived differences between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.” (1986:1067)

Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih

(9)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 9

cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena itu dibentuk oleh manusia.

Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari waktu ke waktu, di suatu daerah dan daerah yang lainnya. Oleh karena itulah, identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum laki-laki.

Disinilah kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, dimana orang sering memahami konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”, sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi bukanlah bukanlah kodrat.

GENDER DAN SOSIALISASI

Kuatnya citra gender sebagai kodrat, yang melekat pada benak masyarakat,

bukanlah merupakan akibat dari suatu proses sesaat melainkan telah melalui suatu proses dialektika, konstruksi sosial, yang dibentuk, diperkuat, disosialisasikan secara evolusional dalam jangka waktu yang lama, baik melalui ajaran-ajaran agama, negara, keluarga maupun budaya masyarakat, sehingga perlahan-lahan citra tersebut mempengaruhi masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara biologis dan psikologis.

Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang “diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi manusia masyarakat dan “beradab”.

(10)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 10

Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial. Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang. (Soelaeman, 1998:109)

Kedirian sebagai suatu produk sosialisasi, merupakan kesadarn terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya. Adapun asal mula timbulnya kedirian antara lain karena:

a) Dalam proses sosialisasi seseorang mendapat bayangan dirinya, yaitu setelah memperhatikan cara orang lain memandang dan memperlakukan dirinya. Misalnya, apakah dirinya dianggap baik, buruk, pintar, cantik dan sebagainya.

b) Dalam proses sosialisasi juga membentuk kedirian yang ideal. Orang yang bersangkutan mengetahui dengan pasti apa-apa yang harus dia lakukan agar memperoleh penghargaan dari orang lain.

Proses sosisalisasi sebenarnya berawal dari dalam keluarga. Gambaran diri seseorang merupakan pantulan perhatian yang diberikan keluarga kepada dirinya. Persepsinya tentang diri, tentang dunia dan masyarakat sekelilingnya secara langsung dipengaruhi oleh tindakan dan keyakinan keluarganya. Sehingga nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang individu dan berbagai peran yang diharapkan dilakukan olehnya, smeua berawal dari dalam lingkungan sendiri.

Proses sosialisasi ini tidak berhenti sampai pada keluarga saja, tapi masih ada lembaga lain. Cohan (1983) mengatakan bahwa lembaga-lembaga sosialisasi yang terpenting ialah keluarga, sekolah, kelompok sebaya dan media massa.

Sosialisasi pada dasarnya menunjuk pada semua faktor dan proses yang membuat setiap manusia menjadi selaras dalam hidupnya di tengah-tengah orang lain. Sehingga meskipun proses sosialisasi yang dijalani setiap orang tidak selalu sama, namun secara umum sasaran sosialisasi itu sendiri hampir sama di berbagai tempat dan budaya, yaitu antara lain:

a) Individu harus diberi ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di masyarakat.

b) Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuannya.

c) Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat.

(11)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 11

d) Bertingkah laku selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan masyarakat umumnya.

Sosialisasi Peran Gender

Pranata sosial yang kita masuki sebagai individu, sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai membentuk keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana orang “normal” berperilaku sesuai dengan gendernya.(Mosse, 1996:63)

Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki misalnya haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi‟ seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk “menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya.

Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai cara, dari mulai pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan, perlakuan dan sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan memapankan proses pembentukan seseorang “menjadi” seorang laki-laki atau seorang perempuan sesuai dengan ketentuan sosial budaya setempat.

Pembedaan identitas berdasarkan gender tersebut telah ada jauh sebelum seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya dia dilahirkan ke dunia ini, dia sudah langsung masuk ke dalam satu lingkungan yang menyambutnya dengan serangkaian tuntutan peran gender. Sehingga seseorang terpaksa menerima identitas gender yang sudah disiapkan untuknya dan menerimanya sebagai sesuatu hal yang benar, yang alami dan yang baik. Akibatnya jika terjadi penyimpangan terhadap peran gender yang sudah menjadi bagian dari landasan kultural masyarakat dimana dia hidup, maka masyarakat

(12)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 12

pun lantas menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif bahkan mungkin sebagai penentang terhadap budaya yang selama ini sudah mapan. Dan sampai sejauh ini yang sering menjadi korban adalah kaum perempuan.

Sebagai contoh dalam adat budaya Jawa di Indonesia, seorang budayawan terkemuka, Umar Kayam, mengungkapkan bahwa sebutan wanita sebagai kanca wingking (teman di belakang) merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung. Sosok budaya inilah yang berkembang di bawah ilham “halus – kasar” yang secara tegar menjelajahi semua sistem masyarakat Jawa. Sistem kekuasaan feodal aristokratik, demikian Kayam, telah menetapkan wanita untuk memiliki peran atau role menjadi “penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung” di dalam rumah.(Kompas, 23 Oktober 1995)

Penjajahan kultural yang demikian panjang dan membuat perempuan lebih banyak menjadi korban itu terus dilestarikan. Tidak jarang, alasan-alasan kultural memberikan legitimasi sangat ampuh. Ia dicekokkan melalui pelbagai pranata sosial dan adat istiadat yang mendarahdaging dalam jantung kesadaran anggotanya. Rasionalisasi kultural inilah yang pada gilirannya membuat perempuan secara psikologis mengidap sesuatu yang oleh Collete Dowling disebut Cinderella Complex, suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga kaum wanita merasa tidak berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara penuh. (Ibrahim dan Suranto, 1998:xxvi)

Sosialisasi yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu merupakan sebuah proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. (Noor, 1997:102) telah juga dilakukan tidak hanya melalui lembaga keluarga dan lembaga adat, melainkan juga oleh lembaga negara dan lembaga pendidikan.

Pemapanan citra bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai seorang ibu dengan segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan sebagai “urusan perempuan”, seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan anak, memasak, berdandan dan sebagainya. Sementara citra laki-laki, disosialisasikan secara lebih positif, dimana dikatakan bahwa laki-laki karena kelebihan yang dimilikinya maka lebih sesuai jika dibebani dengan “urusan-urusan laki-laki” pula dan lebih sering berhubungan dengan sektor publik, seperti mencari nafkah, dengan profesi yang lebih bervariasi daripada perempuan. Kesemua itu disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah Dasar

(13)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 13

melalui buku-buku pelajaran di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang menyatakan bahwa tugas utama seoarang perempuan adalah sebagai “pendamping” suami, dan itulah yang diyakini secara salah oleh sebagian orang sebagai “kodrat wanita.”

GENDER DAN STRATIFIKASI

Pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan mendatangkan masalah jika pembedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Meski ketidakadilan itu lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan, sehingga bermunculanlah gerakan-gerakan perjuangan gender.

Ketidakadilan gender tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum perempuan mengalami apa yang disebut dengan marginalisasi dan subordinasi.

Bila ditinjau dari asal katanya, istilah stratifikasi berasal dari kata stratus yang artinya lapisan (berlapis-lapis). Sehingga dengan istilah stratifikasi diperoleh gambaran bahwa dalam tiap kelompok masyarakat selalu terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai yang berkedudukan rendah, berlapis-lapis dari atas ke bawah.

Pelapisan sosial dalam masyarakat tersebut terjadi karena adanya “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat tersebut. Misalnya, berupa pemilikian uang atau benda-benda ekonomis lainnya seperti mobil, rumah, benda-benda elektronik dan lain sebagainya. Pemilikan kekuasaan, ilmu pengetahuan, agama atau keturunan keluarga. Untuk selanjutnya masyarakat dinilai dan ditempatkan pada lapisan-lapisan tertentu berdasarkan tingkat kemampuannya dalam memiliki “sesuatu” yang dihargai tersebut.

Proses terjadinya pelapisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya atau sengaja disusun untuk mencapai satu tujuan bersama, misalnya pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal.

Disamping itu, pelapisan dalam masyarakat juga bisa bersifat tertutup, dimana didalamnya tidak memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lain, baik gerak pindahnya ke atas maupun ke bawah. Misalnya, penempatan seseorang dalam lapisan tertentu yang diperoleh berdasarkan kelahiran. Contoh paling banyak terdapat pada masyarakat dengan sistem kasta, masyarakat feodal dan masyarakat rasial.

(14)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 14

Sementara pada masyarakat dengan sistem pelapisan terbuka, setiap orang mempunyai kesempatan untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi tetapi juga dimungkinkan untuk jatuh ke lapisan yang lebih rendah.

Stratifikasi Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender

Jika kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak mau kita harus melihat kembali pada proses sosialisasi yang telah mengawali pemapanan pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender.

Selama ini telah disosialisasikan, ditanamkan sedemikian rupa, ke dalam benak, ke dalam pribadi-pribadi seseorang, laki-laki dan perempaun, bahwa karena “kodrat”-nya seorang laki-laki berhak dan sudah seharusnya untuk mendapat kebebasan, mendapat kesempatan yang lebih luas daripada perempuan. Tuntutan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat telah mengharuskan seorang laki-laki untuk lebih pintar, lebih kaya, lebih berkuasa daripada seorang perempuan. Akibatnya segala perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada masing-masing dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tersebut pun disesuaikan dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kepada laki-laki diberikan prioritas dan kesempatan lebih luas untuk sekolah dan menuntut ilmu lebih tinggi daripada kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan. Kepada kaum laki-laki pula dibuka pintu selebar-lebarnya untuk bekerja di berbagai sektor publik dalam dunia pekerjaan yang dianggap maskulin, sementara perempuan lebih diarahkan untuk masuk ke sektor domestik dengan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini memang dianggap sebagai “urusan” perempuan.

Bertolak dari kondisi tersebut maka akses perempuan terhadap “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat, yang menjadi sumber kelahiran pelapisan dalam masyarakat pun menjadi sangat rendah. Sehingga kaum perempuan dengan segala keterbatasan yang sudah ditentukan oleh masyarakat untuknya terpaksa menempati lapisan yang lebih rendah di masyarakat daripada kaum laki-laki.

Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk:

a) Marginalisasi

Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas

(15)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 15

anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki.

Demikian juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya juga melahirkan perbedaan jumlah pendapatan antara laki-laki dan perempuan.

Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidaklah dianggap “bekerja” karena pekerjaan yang dilakukannya, seberapapun banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik) maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada kaum laki-laki.

Mengenai marginalisasi perempuan ini, Ivan Illich mengungkapkan sebuah fakta sebagai berikut:

Selama bertahun-tahun ini, diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang berupah, yang terkena pajak, dan yang dilaporkan atau dipantau secara resmi, kedalamannya tidak berubah namun volumenya makin bertambah. Kini 51 % perempuan di Amerika Serikat bekerja di luar rumah, sementara tahun 1880 hanya tercatat 5%. Jika pada tahun 1880 dalam keseluruhan tenaga kerja di Amerika hanya 15% yang perempuan sekarang mencapai 42%. Kini separuh dari semua perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri dari suatu pekerjaan luar rumah, sementara seabad silam hanya 5% yang memiliki pendapatan sendiri. Sekarang hukum membuka kesempatan pendidikan serta karier bagi perempuan, sedangkan pada tahun 1880 banyak yang tertutup baginya. Sekarang rata-rata perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk bekerja sementara tahun 1880 angka rata-rata yang tercatat hanya 5 tahun. Ini semua kelihatan seperti langkah-langkah penting ke arah kesetaraan ekonomis, tapi tunggu sampai Anda terapkan alat ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan perempuan yang bekerja penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding pendapatan laki-laki, yakni 3:5 ----59%, dengan kenaikan atau penurunan 3% --- persis persentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan, ketersediaan perlindungan hukum, retorika revolusioner --- politis, teknologis, atau seksual ---tak mengubah apa-apa sehubungan dengan rendahnya pendapatan perempuan dibanding laki-laki. (1998:16)

(16)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 16

b. Subordinasi

Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.

Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan.

Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi dalam berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan pembuatan pornografi.

Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76)

Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. (Budiman, 1985: 6) Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki – yang – tidak lengakap.

Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender nyata sekali telah mendatangkan ketidakadilan gender bagi perempuan yang termanifestasi dalam berbagai wujud dan bentuknya. Karena diskriminasi gender perempuan diharuskan untuk patuh pada “kodrat” –nya yang telah ditentukan oleh masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus menerima stereotype yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa perempuan itu irrasional, lemah, emosional

(17)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 17

dan sebagainya sehingga kedudukannya pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap penting bahkan tidak dianggap sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki.

Bertolak dari kondisi demikianlah maka jika dulu Karl Marx memperjuangkan kesamaan kelas, kini kaum feminis menggemakan perjuangannya, untuk memperoleh kesetaraan gender. Untuk memperoleh kedudukan dan hak yang sama dengan laki-laki.

Teori-teori Gender

Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang dianggap penting dan cukup populer.

1. Teori Struktural-Fungsional

Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur5 unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56).

Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan ada yang menjadi

(18)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 18

anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Ratna Megawangi, 1999:

Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer). Sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam urusan reproduksi, seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi peran gender sangat ditentukan oleh sex (jenis kelamin).

Menurut para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian peran secara seksual adalah suatu yang wajar (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik. Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula.

Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby teori ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey menilai teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender di tengah-tengah masyarakat (Nasaruddin Umar, 1999: 53).

Meskipun teori ini banyak memeroleh kritikan dan kecaman, teori ini masih tetap bertahan terutama karena didukung oleh masyarakat industri yang cenderung tetap memertahankan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek produktivitas. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak lebih dari sekedar alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung diabaikan. Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat diterima secara wajar. Yang juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena masyarakat

(19)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 19

kapitalis, menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman (Nasaruddin Umar, 1999: 60), cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih rendah dan dalam posisi marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral.

2. Teori Sosial-Konflik

Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, menurutnya, akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar individu pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76). Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan laki-lakiperempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins.

Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik, pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa system sosial secara sistematis menghasilkan konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang takterhindarkan dalam semua sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 81).

Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan control laki-laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan

(20)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 20

adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan (Nasaruddin Umar, 1999: 62).

Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91).

Teori sosial-konflik ini juga mendapat kritik dari sejumlah pakar, terutama karena teori ini terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang selanjutnya melahirkan konflik. Dahrendorf dan R. Collins, yang tidak sepenuhnya setuju dengan Marx dan Engels, menganggap konflik tidak hanya terjadi karena perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan anak, suami dan isteri, senior dan yunior, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya (Nasaruddin Umar, 1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh para feminis modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru mengenai feminisme, seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal.

3. Teori Feminisme Liberal

Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228).

Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua

(21)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 21

peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.

4. Teori Feminisme Marxis-Sosialis

Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan „kelas‟ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi, 1999: 225). Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak terlalu menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya.

Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif.

Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain yang memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sector domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).

5. Teori Feminisme Radikal

Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu

(22)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 22

keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna Megawangi, 1999: 226).

Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.

6. Teori Ekofeminisme

Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminism modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189).

Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya, yang terlihat adalah kompetisi, self-centered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh nyata dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna Megawangi, 1999: 183).

7. Teori Psikoanalisa

Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal

(23)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 23

ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999: 46).

Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak dapat dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi social berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan (Nasaruddin Umar, 1999: 41).

Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagai objek irihati.

Pendapat Freud ini mendapat protes keras dari kaum feminis, terutama karena Freud mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan tanpa rasa malu. Teori psikoanalisa Freud sudah banyak yang didramatisasi kalangan feminis. Freud sendiri menganggap kalau pendapatnya masih tentatif dan masih terbuka untuk dikritik. Freud tidak sama sekali menyudutkan kaum perempuan. Teorinya lebih banyak didasarkan pada hasil penelitiannya secara ilmiah. Untuk itu teori Freud ini justeru dapat dijadikan pijakan dalam mengembangkan gerakan feminisme dalam rangka mencapai keadilan gender. Karena itu, penyempurnaan terhadap teori ini sangat diperlukan agar dapat ditarik kesimpulan yang benar.

(24)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 24

Defenisi Konsep

Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau

persamaan (equality) dan keadilan (justice) hak dengan pria. Jadi gerakan feminisme adalah sebuah gerakan pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam masyarakat. Adapun gerakan feminisme ini lebih memusatkan perhatian kepada ”masalah perempuan” yang mengasumsikan bahwa munculnya permasalahan ketidakmampuan kaum perempuan untuk bersaing dengan laki-laki tetapi pada dasarnya perempuan adalah makluk rasional yang memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Adapun konsep persamaan (equality) dan keadilan (justice) adalah:

Persamaan (Equality). Persamaan adalah suatu konsep yang menunjukkan

bahwa semua manusia ”sama” dimata hukum. Persamaan juga menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang ”sama” untuk mendapatkan perlakuan yang adil terutama persamaan hak bagi perempuan harus ditegakkan di dalam suatu negara. Persamaan dan perbedaan keduanya istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri, persamaan dan perbedaan telah menggambarkan perbedaan dan perspektif yang bersaing dalam teori feminis.

Jika seseorang memperluas kerangka analisa ideologi dan geografis dengan perspektif kronologis, maka seseorang dapat melukiskan jalur teori feminis sehubungan dengan persamaan dan perbedaan sebagaimana dimulai dengan persamaan (equality), peralihan pada perbedaan, kemudian pergerakan terhadap resolusi dikotomi. Beberapa komentator telah memilih melambangkan tahapan feminisme ini sebagai feminisme gelombang-gelombang.

Orang lain melihat pergerakan dari persamaan ke perbedaan sebagai internal terhadap feminisme gelombang kedua. Misalnya, Nancy Fraser menganggap bahwa perubahan terjadi dalam pergerakan wanita Amerika Serikat pada akhir era 1970an. Karena setiap cerita kronologis ini menggangap sesuatu dari perasaan dalam perdebatan feminis, maka masing-masing lebih skematis dan menanamkan dirinya 1. Gelombang pertama, yang di tandai oleh komitmen terhadap persamaan (equality). 2. Gelombang kedua, oleh komitmen terhadap perbedaan. 3. Gelombang ketiga, komitmen terhadap keragaman. dalam kerangka normatif tertentu. Memungkinkan juga untuk mengkarakterisasikan sifat dinamis dari perdebatan persamaan dan perbedaan. Memetakan perdebatan persamaan dan perbedaan dari perspektif usaha-usaha saat ini untuk bergerak

(25)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 25

”melebihi” persamaan dan perbedaan. Pelaksanaan yang berlebihan inilah yang secara lebih jelas mengkarakteristikan momen saat ini terhadap teorisasi gender. Status perspektif keragaman ketiga adalah kompleks tidak dimaksudkan untuk meliputi semua upaya yang dilakukan untuk mlebihi alat untuk mensistensikan perspektif persamaan dan perbedaan. Lebih dipahami sebagai negosiasi kompleks dari pola dasar yang ada dari pada artikulasi dari pola dasar yang baru.

Orang-orang yang mendekati teori gender dan politik dari perspektif persamaan sangat meyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan secara politik atau tidak berhubungan, kenyataan bahwa pria dan wanita pada umumnya berbeda. Alasan yang tidak cukup untuk memperlakukan mereka secara berbeda dalam lingkungan politik. Proyek pemerintahan apapun yang benar-benar melaksanakan prinsip-prinsip persamaan liberal harus melebihi anggapan sexist tentang perbedaan Gender yang telah meneliti perbedaan tehadap wanita, untuk memberikan kepada wanita hak-hak yang sama dengan pria dan untuk memungkinkan wanita berpartisipasi seperti halnya pria dalam lingkungan publik. Perbedaan gender dipasang sebagai sebuah manifestasi seksisme, sebagai penciptaan yang digunakan untuk menasionalisasikan persamaan antara pria dan wanita. Anggapan yang luas bahwa wanita tidak rasional sepenuhnya digunakan secara berulang kali sebagai ”justifikasi” untuk melanjutkan pengeluaran mereka dari kewarganegaraan penuh.

Gagasan bahwa wanita tidak dapat memiliki kemampuan rasional, abstrak, yang menguniversalisasikan bentuk pemikiran yang dibutuhkan untuk terlibat dalam arena penelitian dan politik publik perlu ditemui dengan penegasan kesamaan wanita dengan pria. Sebagaimana yang dijelaskan Fraser, dari perspektif persamaan, maka perbedaan gender terlihat tidak memungkinkan untuk lepas dari seksisme. Tugas-tugas politik selanjutnya akan lebih jelas, tujuan feminisme adalah untuk melepaskan belenggu ”perbedaan” dan membentuk persamaan yang membawa pria dan wanita dibawah sebuah ukuran umum. Dari perspektif persamaan tersebut.

Keadilan (Justice) Mengenai keadilan (justice) dalam literatur gender, dalam teori

politik disamakan dengan ”etika keadilan”. Pertama, etika keadilan adalah perspektif yang lebih tepat dan memungkinkan. Menurut pandangan tidak dari manapun dan oleh karena itu pada dasarnya netral sehubungan dengan masalah gender. Kedua, etika keadilan adalah sebuah produk dari jiwa pria dan secara intrinsik bergender. Ketiga, etika keadilan adalah sebuah bentuk pemikiran moral yang terbatas secara khusus dan spesifik secara historis yang memainkan peranan signifikan dalam proses pengenderaan identitas sosial.

(26)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 26

Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Dari perspektif pertama para ahli teori tidak mengecam etika keadilan itu sendiri. Mereka menganggap bahwa tingkatan aplikasinya harus diperluas hingga meliputi bentuk-bentuk hubungan sosial dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa ini adalah bentuk pemikiran moral dan bentuk yang khusus bagi pria. Ada bentuk lain yang diambil dari dalam pendekatan kedua adalah pemikiran moral yang disebut etika kepedulian yang harus juga dikenal, Bahkan dikatakan bahwa wanita lebih memungkinkan mengadopsi etika kepedulian ini dibandingkan pria, bahwa hak istimewa yang diberikan pada etika keadilan adalah untuk suara moral yang berbeda dari para wanita. Dengan kata lain ini adalah strategi universal.

Berbeda dengan konsepsi yang dibedakan gender kedua tentang pemikiran moral, para ahli teori gender yang mendekati perdebatan ini dari perspektif ketiga adalah penting dari pergerakan ke bentuk-bentuk pemikiran moral yang terbagi dan untuk menyelenggarakan antitesisnya dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa etika keadilan adalah bukan salah satu dari dua bentuk pemikiran moral yang memungkinkan tentang bentuk universal tunggal dari pemikiran moral. Oleh karena itu, model keadilan dari pemikiran moral tidak hanya berbeda dengan model kepedulian ini. Dengan mengetahui bahwa model kepedulian hanya ada dalam hubungan sebagai pengingat model keadilan, maka adopsi setiap model bekerja untuk mengabadikan dualisme hirarki dari perdebatan moral yang dihasilkan oleh etika keadilan yang merupakan strategi pergantian.

Untuk memahami sepenuhnya isu-isu dalam politik secara khusus sebagai lawan dari perdebatan dan relevansinya dengan politik secara khusus sebagai lawan dari perdebatan moral, terlebih dahulu harus mempertimbangkan etika keadilan dan etika kepedulian. Selanjutnya kita akan merenungkan dua isu tambahan yang telah menjadi pusat pada perdebatan keadilan dan kepedulian sifat hubungan antara dua etika dan dua gender. Ini menyebabkan pertimbangan dari beberapa strategi yang berbeda yang diadopsi untuk melebihi dikotomi keadilan dan kepedulian. Apa yang telah muncul dalam teori feminis akan dilambangkan sebagai perspektif ”etika keadilan” adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral.

Immanuel Kant, dengan jelas memperdebatkan kerangka historis, universal untuk mendasarkan klaim-klaim moral. Kant berusaha menjelaskan dan membentuk dasar objektif dari moralitas. Dia menolak semua usaha untuk mendasarkan moralitas pada pengalaman dan bekerja untuk membentuk eksistensi dari hukum moral dasar, universal, objektif untuk semua sifat rasional. Yang mengkarakteristikan imperialitas sebagai

(27)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 27

konsepsi pemikiran moral yang menganggap bahwa agar agen melepaskan egoisme, dan mencapai objektivisme, dia harus mengadopsi sudut pandang universal yang sama untuk semua agen rasional. Penekanan terhadap pelepasan dari konteks, sebagaimana dengan rasionalisme, dipandang sebagai alat yang mempertinggi kekhususan emosional yang menarik dan pencapaian sudut pandang universal.

Ketidakadilan Gender

Merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih. Ketidakadilan gender dapat bersifat :

Langsung (Perbedaan perlakuan secara terbuka, baik disebabkan perilaku atau sikap

norma/nilai maupun aturan yang berlaku). Tidak Langsung (Seperti peraturan sama, tetapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu). Sistemik (Ketidakadilan yang berakar dalam sejarah atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan).

Adapun bentuk diskriminasi gender :

 Marginaslisasi (peminggiran), biasa dalam bidang ekonomi.  Subordinasi (penomorduaan), menganggap perempuan lemah.  Stereotype (citra buruk), serangan fisik dan psyikis.

 Beban kerja berlebihan.

Asma Barlah, penulis buku Cara Quran Membebaskan Perempuan mengatakan inti dari ketidaksetaraan gender adalah pencampur-adukan antara biologis (jenis kelamin) dan makna sosialnya (gender). Begitu juga Marshall Sahlin berpendapat bahwa ketidakadilan gender merupakan subordinasi hal simbolik dibawah hal alamiah.

Al-Quran (Islam) dan Kesetaraan

Shahin Iravani dalam tulisannya menyebutkan Islam selalu mempunyai definisi sendiri tentang hak-hak perempuan, juga sebuah definisi yang jelas mengenai posisi perempuan. Meskipun memiliki perbedaan biologis tetapi mempunyai kedudukan yang sama secara etis-moral. Menurut Al-Quran, alasan kesetaraan dan keserupaan kedua jenis kelamin adalah bahwa keduanya diciptakan untuk hidup bersama dalam kerangka saling mencintai dan mengakui satu sama lain. Dalam Al-Quran laki-laki dan perempuan justru bersumber dari diri yang sama, pada saat yang bersamaan dan dengan cara yang sama, artinya keduanya adalah setara dan berasal dari sumber yang sama.

(28)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 28

Laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas agensi, pilihan dan individualitas moral yang sama, yaitu :

1. Al-Quran menetapkan standar perilaku yang sama bagi laki-laki maupun perempuan dan menetapkan standar penilaian yang sama bagi keduanya, artinya Al-Quran tidak mengaitkan agensi (wakil) moral dengan jenis kelamin tertentu.

2. Al-Quran menyebut laki-laki dan perempuan sebagai penuntun dan pelindung satu sama lain, dengan menyebutkan bahwa keduanya mampu mencapai individualitas moral dan memiliki fungsi penjagaan yang sama terhadap satu sama lain.

Prinsip-prinsip kesetaraan (dalam buku perempuan dalam pasungan) :

1. (Adam dan Hawa) sama-sama menjadi hamba dan khalifah dibumi, termaktub dalam Al-Quran surat Az-Zariyat (51) : 56, Al-Hujarat (49) : 13, An-Nahl(16) : 97, Al-An‟am (7) : 165, Al-Baqarah (2) : 30.

2. (Adam dan Hawa) sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis.

a. Keduanya diciptakan disurga dan memanfaatkan surga. (Al-Baqarah (2) : 35).

b. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Al-A‟raf (7) : 20).

c. Keduanya makan buah kuldi dan sama-sama menerima akibat jatuh dibumi (Al-A‟raf (7) : 22).

d. Keduanya mohon ampun dan sama-sama diampuni (Al-A‟raf (7) : 23). 3. Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial, berikrar

akan keberadaan Tuhan (Al-A‟raf (7) : 172).

4. Sama-sama berpotensi meraih prestasi, (Ali-Imran (3) : 195, An-Nissa (4) : 124, Al-An‟am (6) : 97, Al-Mukmin (40) : 40).

Gender

Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron&Byrne, 1979). Pada beberapa kepentingan, norma sosial mengacu pada norma tradisional dan perilaku yang sesuai

(29)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 29

dengan jenis kelaminnya diharapkan oleh masyarakat, dimana laki-laki lebih diharapkan lebih kuat, dominant, asertif, sementara perempuan seharusnya mempunyai sifat merawat, sensitif, dan ekspresif. Jika situasinya sesuai dan nyaman, maka akan sangat memuaskan untuk mengikuti dan bertingkah laku sesuai norma sosial tersebut, namun jika tidak sesuai, maka tingkah laku dapat disesuaikan dengan kondisi (Wood et al., 1997 dalam Baron&Byrne, 1979).

Androgynous

Kebanyakan dari kita melihat maskulinitas dan femininitas sebagai dua hal yang berada di dua ujung kutub dari satu kontinum (Storm, 1980 dalam Spencer&Jeffrey, 1993 ). Oleh karena itu kita berasumsi bahwa semakin maskulin seseorang, maka semakin kurang feminin ia dan begitu pula kebalikannya. Sehingga, seorang pria yang memiliki sifat stereotipikal feminin seperti pengasuhan, tenderness, dan emosional sering dilihat sebagai kurang maskulin dibanding pria lain. Perempuan yang bersaing dengan laki-laki dalam dunia bisnis diterima bukan hanya lebih maskulin tapi juga kurang feminin dibanding wanita lain.

Beberapa ilmuwan behavioral berargumen bahwa maskulinitas dan femininitas sebenarnya membandingkan dua dimensi kepribadian yang berdiri sendiri (Bem, 1975; Spence at al.,1975; Helmreich et al, 1979 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Orang yang memiliki maskulinitas tinggi, baik laki-laki maupun wanita dapat pula memiliki sifat feminin dan kebalikannya. Orang yang mempertunjukkan keasertifan dan keterampilan instrumental yang bersifat maskulin berjalan beriringan dengan pengasuhan dan kerjasama yang bersifat feminin yang cocok dengan maskulinitas dan femininitas peran gender. Mereka ini disebut telah menunjukkan psychological androgyny. Orang yang tinggi dalam assertiveness dan keterampilan instrumental hanya cocok dengan stereotipe maskulin. Orang yang tinggi dalam sifat seperti pengasuhan dan kerjasama cocok dengan stereotipe feminin. Orang yang rendah di pola stereotipe maskulin dan feminin dilihat sebagai “undifferentiated” merujuk pada stereotipe peran gender. Orang yang psychologically androgynous mampu untuk memanggil range yang lebih luas dari sifat maskulin dan feminin untuk menemukan tuntutan dari berbagai macam situasi dan untuk mengekspresikan hasrat dan bakat mereka.

Terdapat pula bukti bahwa sifat feminin, seperti pengasuhan dan sensitivitas, muncul untuk memprediksi keberhasilan dalam hubungan intim-dengan laki-laki sebaik

Referensi

Dokumen terkait

Indikator Kinerja Kegiatan 001 Jumlah Penyelesaian Administrasi Perkara (yang Sederhana, dan Tepat Waktu) Ditingkat Pertama dan Banding di Lingkungan Peradilan Agama (termasuk

menjelaskan bahwa perlakuan dengan kombinasi dosis pupuk 0, 7 kg kompos ampas sagu + 35 g NPK (E) menunjukkan rata-rata jumah daun terbaik yaitu sebanyak

Orkes Simfoni Jakarta mulanya berasal dari “Orkes Radio Djakarta” (ORD) dan “Orkes Studio Djakarta” (OSD), yang dibentuk pada tahun 1950-an di Jakarta. Kedua nama ini

%elain rumah sehat dan jamban, sarana sanitasi lain yag diperiksa di antaranya %/B, %/L dan tempat pengolahan sampah. Dari hasil pemeriksaan yang

Hasil penelitian ini menggambarkan kebenaran teori yang dikemukakan oleh Tim Penulis PLPG Pendidikan Agama Kristen (2008: 49) bahwa guru Pendidikan Agama Kristen harus

Dengan demikian hipotesis keempat yang menyatakan bahwa “Citra merek, Harga yang Dirasa, dan Promosi secara simultan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Niat Pembelian Sepatu

ANALISIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN BISNIS SEBLAK PARYZA DI KOTA BANDUNG Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

tujuan dan pandangan yang jelas dalam membidik masa depan mereka, memiliki prinsip dan kepercayaan yang tinggi dalam kehidupannya. keuntungan bagi umat adalah