• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori semiotika dalam seni rupa

1.6.2 Landasan teori

1.6.2.2 Teori semiotika dalam seni rupa

Semiotika adalah ―ilmu‖ yang digunakan dalam mengkaji tanda yang ada

dalam kehidupan manusia. Baik digunakan dalam kehidupan berbudaya maupun sosial bermasyarakat. Tanda-tanda yang dikaji kemudian diberi makna atau ditangkap maksudnya yang kemudian disepakati bersama oleh pemakainya.

Plato (428-348 SM) adalah perintis awal semiotika yang memeriksa asal muasal bahasa dalam Catylus. Juga Aristoteles yang mencermati kata benda

dalam bukunya Poetics dan On Interpretation. Kata “Semiotika‖ berasal dari bahasa Yunani yaitu semme, sama seperti Isemeitikos yang berarti penafsir tanda (Cobley dan Jansz, 2002: 4).

―Semiotika atau semiosis‖ dimunculkan pada abad ke-19, digunakan kaitannya dengan karya Charles Sander Peirce dan Charles Morris yang disampaikan dengan bahasa Inggris, yaitu Amerika yang menjadi disiplin psikologi sosial, juga merupakan doktrin formal tentang tanda-tanda. Sedangkan

―semiologi‖ digunakan kaitannya tentang tradisi Saussuran di Eropa. Para ahli

menganggap keduanya sama saja dan kurang lebih dapat sama menggantikan, karena sama-sama mengacu kepada ilmu tentang tanda (Sobur, 2003: 12-13).

Sesuai dengan ulasan Marianto bahwa: istilah semiotika pertama kali dikemukakan oleh Charles Sander Peirce. Peirce mengatakan bahwa tanda-tanda berkait dengan objek-objek dengan cara menyusun objek-objek atau kausal menghubungkannya dengan objek-objek (2006: 136).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan teori semiotika modern yang dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce yang merupakan dari penyempurnaan model semiotika pragmatis. Seperti yang disebutkan oleh Hoed (2008: 18) tentang cara kerja teori semiotika modern Peirce, yaitu: Semiosis

mengikuti tiga tahap, yakni: ―representamen‖ (sesuatu)  ―objek‖ (sesuatu di dalam kognisi manusia)  ―interpretan‖ (proses penafsiran). Proses semiosis sebenarnya tidak terbatas, interpretan dapat berubah menjadi represantemen baru yang kemudian berproses mengikuti semiosis, secara tak terbatas. Dalam proses

ini, represantemen berada di dalam kognisi, sedangkan kadar penafsiran semakin lama semakin tinggi.

Berikut adalah bagan atau peta segitiga (tiga sisi tanda), dalam versi Peirce.

Bagan 1.1

Tiga sisi tanda dalam versi Peirce, dikaitkan dengan kepertamaan, kekeduaan dan ketigaan (Paul dan Jansz, 2002: 28)

Keterangan bagan di atas, adalah: Dimana: R = Representamen O = Objek I = Interpretan (P) = Kepertamaan (D) = Kekeduaan (T) = Keketigaan

Representamen/tanda adalah yang pertama; Objek adalah yang kedua;

Dan interpretasi adalah yang ketiga (Cobley dan Jansz, 2002: 28)

Peirce mengaitkan lahirnya tanda sebagai sebagai latar belakang terjadinya keberadaan, yang dibaginya atas tiga klasifikasi, yaitu: firstness, secondnes dan thirdnes. Wilayah ―kepertamaan (firstness)‖ agak sulit dimengerti karena lebih sering dipahami dalam bahasa ―perasaan‖, tidak memiliki relasi, dan hanyalah

merupakan sebuah ―kemungkinan‖, contohnya seperti musik, rasa yang samar -samar atau warna. Kekeduaan (secondness)‖ adalah sensasi yang muncul seketika

saat pintu yang hendak kita tutup (fakta nyata), misalnya, ternyata macet karena ada yang mengganjal. Sebuah relasi muncul, dan dunia menampakkan dirinya kumpulan benda dalam hubungannya dengan benda-benda yang lain. Namun,

menurut Peirce, wujud yang paling masalah adalah ―keketigaan (thirdnes)‖ karena

merupakan wilayah hukum atau aturan umum, yaitu unsur mental dari fakta tersebut. Ketigaan-lah yang menghubungkan yang pertama dan kedua (Coubley dan Jansz, 2002: 27-28).

Kemudian, Peirce mengelompokkan tanda-tanda itu berdasarkan keberadaannya, menjadi tiga macam, yaitu: (a) Qualisign, yaitutanda yang terjadi berdasarkan sifatnya (seperti warna merah yang dipakai sebagai tanda untuk sosialisme, cinta, bahaya, larangan, marah, dan sebagainya). (b) Signsign: tanda yang terjadi berdasarkan bentuk atau rupanya dalam kenyataan. (c) Legisign: tanda yang terjadi atas sesuatu yang berlaku umum, merupakan konvensi atau kode. Sedangkan ditinjau dari relasinya, Peirce membedakan tanda menjadi 3

(tiga) jenis, yaitu: (a) ―Ikon‖: suatu tanda yang terjadi berdasarkan adanya

persamaan potensial dengan sesuatu yang ditandakannya (seperti peta dengan wilayah geografisnya, foto dengan objeknya, lukisan dengan gagasannya). (b)

Indeks‖: suatu tanda tergantung dari adanya suatu denotasi, atau mempunyai

kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya (seperti: ada asap pasti ada api). (c)

―Simbol‖: suatu tanda yang ditentukan oleh suatu aturan yang berlaku umum,

kesepakatan bersama atau konvensi (seperti: gerakan tubuh atau anggukan kepala sebagai tanda setuju), (Sachari, 2002: 65).

Berdasarkan ungkapan Sachari di atas, dan berdasarkan pengelompokkan tanda-tanda oleh Peirce, dapat diperjelas dengan tabel pembangkit tanda, yang peneliti tambahkan dengan pengertian/penjelasan pada tabel, sebagai berikut:

Tabel. 1.1

Tabel Pembangkit Tanda Peirce. (Coubley dan Jansz, 2002: 31-34).

Kualitas Kepertamaaan Fakta Nyata Kekeduaan Hukum/Aturan Keketigaan Representemen Kepertamaan Qualisign (Repesentamen yang terbentuk oleh kualitas, misalnya warna hijau).

Sinsign

(Representamen yang terbentuk dari realitas fisis yang nyata, misalnya rambu lalu lintas).

Legisign

Representamen yang terbuat dari hukum atau aturan, misalnya suara peluit wasit dalam pertandingan sepak bola). Objek Kekeduaan Icon (Tanda terhubung dengan objektertentu karena keserupaan, misalnya foto). Index (Tanda terhubung dengan objek tertentu semata-mata karena kesepakatan, misalnya kata, bendera). Symbol (Tanda terhubung dengan objek tertentu karena hubungan sebab akibat, misalnya asap sebagai tanda adany api).

Interpretan Keketigaan

Rheme

(Tanda tampak bagi interpretan sebagai sebuah kemungkinan, misalnya konsep).

Dicent

(Tanda tampak bagi interpretant sebagai sebuah fakta, misalnya sebagai pernyataan deskriptif). Argument

(Tanda tampak bagi interpretant sebagai sebuah nalar, misalnya preposisi).

Teori analisis semiosis, untuk selanjutnya dapat dikembangkan menjadi

―teori rekonstruksi‖ dalam strategi bahasa rupa ―penanda‖. Tanda-tanda itu

mencerminkan ―Gaya Tradisional‖, ―Modernisme‖ maupun ―Posmodernisme‖ dengan fungsi ―unsur peranan‖ bahasa rupa yang diterapkan pada suatu jenis

produk tertentu (Sachari, 2003: 72). Pendekatan semiotika merupakan salah satu cara untuk mengetahui dan mengontrol karya-karya yang dibuat, karena karya seni merupakan suatu tanda yang dapat dibaca oleh penonton atau penerima tanda (Bahari, 2008: 112).

Tanda-tanda sesuai dengan keberadaannya dalam karya seni rupa dapat kita lihat dalam penyusunan komposisi. Sesuai dengan pendapat Bahari (2008: 112-113), sebagai berikut.

Komposisi merupakan salah satu aspek pertama yang dilihat penonton, yang dapat mengkomunikasikan visi seniman. Sebagai sebuah tanda, komposisi yang merupakan penyusunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur seni rupa (garis, bidang, warna, tekstur) yang disusun dalam satu kesatuan (unity), akan memberikan kesan yang berbeda-beda, seperti stabil atau dinamis. Garis merupakan tanda, secara

qualisign: garis yang mendatar memperlihatkan ketenangan, kedamaian

bahkan kematian. Garis vertikal secara qualisign memperlihatkan kekokohan, kestabilan, kekuatan ataupun kemegahan. Gerakan diagonal menggambarkan tidak dalam keadaan seimbang, hingga menunjukkan gerakan, hidup dan dinamis. Garis yang bengkok atau melengkung mengesankan sesuatu yang indah, lemas, lincah, dan meliuk.

Selain semiotika yang dipaparkan oleh Peirce, peneliti juga tidak bisa mengabaikan teori semiologi Roland Barthes yang pemikirannya bergaris lurus dengan Saussure, karena: salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Seperti yang dijelaskan dalam Sobur (2003: 68-69), ―konotasi‖ yang merupakan sifat asli tanda adalah

sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang disebut Barthes dengan

mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari ―denotatif‖ atau sistem pemaknaan

pertama.

Selanjutnya, bagaimana tanda itu bekerja, telah dipetakan oleh Barthes, sebagai berikut:

Bagan 1.2

Peta yang diciptakan oleh Barthes tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley dan Jansz, 2002: 51).

Pada bagan 1.2, tanda denotatif (no. 3) terdiri dari penanda (no. 1) dan petanda (no.2), namun pada saat bersamaan tanda denotatif (no.3) adalah penanda konotatif (no. 4). Penanda konotatif (no.4) haruslah berkaitan dengan sebuah petanda konotatif (no. 5). Keduanya kemudian mengkonstruksi tanda konotatif (no. 6).

Dokumen terkait