• Tidak ada hasil yang ditemukan

Narasi Simbolik Karya Seni Rupa Tiga Seniman Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Narasi Simbolik Karya Seni Rupa Tiga Seniman Medan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Narasi sebagai ranah disiplin ilmu bidang sastra menjadi mungkin dan

menarik untuk disandingkan dan masuk dalam ranah kajian seni rupa. Narasi yang

merupakan sebuah cerita bersifat abstraksi formalistik dalam karya sastra, masuk

ke dalam ranah seni rupa melebur dan terintegrasi yang direfleksikan melalui

tanda-tanda atau simbol-simbol hasil imajinasi yang diciptakan oleh seniman ke

dalam karya seni, sehingga bisa diapresiasi oleh penikmat seni, dan dikritisi oleh

kritikus seni. Tak jarang kemudian seniman kembali memaparkan relasi

kode-kode/simbol-simbol yang dimunculkan dalam karyanya hingga menjadi sebuah

narasi verbalistik.

Simbol merupakan kesepakan atau konvensi. Setiap kebudayaan

cenderung dibuat atau dimengerti oleh para warganya berdasarkan konsep-konsep

yang mempunyai arti tetap dalam jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan

simbol-simbol, seseorang biasanya selalu melakukannya berdasarkan

aturan-aturan untuk membentuk, mengkombinasi bermacam-macam simbol, dan

menginterpretasikan simbol-simbol yang dihadapi. Seperti yang disebutkan oleh

Cobley dan Jansz (2002: 33): ―simbol adalah tanda terhubung dengan objek tertentu semata-mata karena kesepakatan, misalnya kata bendera‖.

Secara historis, jejak narasi yang melekat dengan karya seni rupa di

(2)

wayang beber. Sunan Kalijaga memunculkan ―wayang kulit‖ sebagai wujud

integrasi dalam seni pertunjukan yang di dalamnya ada unsur narasi historik dan

narasi simbolik. Dalam seni lukis dapat kita lihat pada ―seni lukis tradisional Bali gaya Kamasan‖ yang kemudian berkembang memunculkan gaya baru ―seni lukis gaya Batuan‖ yang mendapat pengaruh gaya melukis aliran Barat (seni rupa

modern), yang kemudian kita kenal sebagai ―gaya tradisional Ubud‖ dan ―gaya

tradisional Pengosekan‖ sampai munculnya gaya-gaya baru dalam seni lukis

dengan berusaha keluar dari tradisi, berusaha mencari kebaruan dalam berkarya

seni.

Karya seni rupa yang mengandung karya narasi simbolik selalu menjadi

amat menarik bagi pencintanya, baik bagi kalangan awam maupun profesional

karena terdapat cerita dan pemaknaan di dalamnya. Simbol-simbol yang

digambarkan menjadi misteri serta menarik untuk dikaji dan diteliti guna

diperoleh kesimpulan terhadap makna yang terkandung pada karya dan gagasan

apa yang ada pada si senimannya.

Raden Saleh sebagai pelopor seni rupa modern Indonesia adalah pelukis

realis yang pertama sekali mendapatkan pengaruh Barat dan Eropa dalam karya

seni lukisnya. Tema mengkritik kondisi Indonesia pada masa itu memiliki narasi

simbolik yang kuat pada karyanya, seperti lukisannya yang terkenal berjudul

―Banjir di Jawa‖, ―Pertarungan Antara Banteng dan Singa‖ dan ―Penangkapan Diponegoro‖. Dalam lukisannya, ―Banteng‖ ditafsirkan sebagai simbol bangsa Nusantara dan ‗singa‘ ditafsirkan sebagai simbol dari bangsa Belanda. Latar

(3)

dimulai karena dari diskriminasi yang dialaminya, menyebabkan perceraiannya

dengan istrinya (seorang janda Jerman), yang dalam perjalanannya kemudian

menghantarkannya ke dalam jeruji penjara. Raden Saleh disebut-sebut sebagai

pelukis pertama di Indonesia yang Nasionalis.

Banyak seniman besar di Indonesia yang namanya melambung sampai ke

mancanegara dengan memunculkan gagasan narasi simbolik pada karya seni rupa

kontemporer. Sebut saja; Heri Dono, Krisna Murti, Tisna Sanjaya, Agus Suwage,

S. Teddy, Nyoman Nuarta, Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma dan masih

banyak lagi yang selain menjadi kebanggaan Indonesia khususnya dalam bidang

seni rupa murni, dan menjadi inspirasi bagi seniman-seniman muda untuk

berkompetisi dalam skala Nasional dan International.

Di Medan, banyak ditemukan seniman seni murni yang gagasan

kreatifnya memiliki narasi simbolik dalam karya seninya. Sebut saja karya Endra

Kong, perupa muda yang mengangkat sebuah kritik sosial terhadap kondisi

Indonesia dengan menarasikan dan memunculkan simbol singkong atau tela

dalam lukisannya yang berjudul ―Telo Budur‖, hingga berlanjut pada tema yang sama berjudul ―Haji Ubi‖.

Ada lagi Rasinta Tarigan yang selalu menonjolkan figur dan ikon tradisi

budaya Karo serta segitiga-segitiga sebagai simbol spiritual kebudayaan Karo

dalam lukisannya, yang bagi masyarakat awam terkesan seperti lukisan abstraksi

geometris (kubistis) yang dipadu dengan objek dan figur-figur yang

dilukiskannya. Ternyata, setelah dilakukan apresiasi dan wawancara singkat,

(4)

melekat dalam dirinya, yaitu kreativitas seni sebagai responsi budaya (art for

culture device).

Di Medan, terdapat seniman realis terkenal yaitu M. Yatim Mustafa,

bersuku Jawa. Dia sangat produktif sebagai pelukis realis, naturalis serta still life.

Dalam setiap lukisannya, tidak hanya menonjolkan teknik tinggi dengan

menonjolkan kreativitas seni sebagai responsi artistik (art for art sake), namun

juga untuk memenuhi hasratnya dalam art for art. Yatim terkadang menghadirkan

narasi-narasi simbolik dalam lukisannya dan menggambarkan kehidupan sosial

yang sebenarnya terjadi pada kehidupan seseorang dalam karya realisnya

sekaligus sebagai kritik sosial.

Seniman lain, dari akademisi sekaligus dosen di jurusan seni rupa Unimed

adalah Mangatas Pasaribu yang selalu mengangkat tema Batak Toba dengan

mengangkat ikon karakter warna hitam, merah dan putih dalam karya seninya,

baik itu seni lukis di kanvas ataupun pada performance art dan dalam karya seni

instalasinya. Dalam karyanya, warna hitam, merah, dan putih dikonotasikan

sebagai simbol warna orang Batak Toba. Selain berkarya dengan gaya surealis

yang berada dalam estetika modern, Mangatas juga kerap tampil dengan gaya seni

rupa kontemporer pada karya Performance art dan seni instalasinya.

Ada juga seniman yang berkarya berpola narasi simbolik yang memiliki

kecenderungan bergaya abstraksi dengan penyusunan estetika elementer

kesenirupaan modern art dalam karyanya, yaitu Syahruddin Harahap seorang

dosen seni rupa Unimed, dan masih banyak lagi seniman-seniman Medan yang

(5)

kecenderungan menuangkan gagasannya dengan berkreativitas seni sebagai

responsi budaya (art for culture device) dan responsi seni (art for art) juga

mempunyai konsep berpola narasi simbolik, sebut saja diantaranya Cecep

Priyono, Budi Siagian, Alwan Sanrio, Jonson Pasaribu, Soehandono Hadi, dan

masih banyak lagi.

Dari kecenderungan seniman-seniman (perupa) Medan yang menuangkan

ide/gagasannya dengan berkreativitas seni sebagai responsi budaya (art for

culture device) berpola narasi simbolik ini perlu teliti dan dikaji, karena di Medan,

beberapa buku yang membahas tentang seniman-seniman Medan sudah ada,

namun yang mengkaji seni rupa dari aspek narasi simbolik dengan metode

semiotika dan hermeneutika belum ada.

Subjek penelitian dalam tesis ini bersifat penciptaan dan pengkajian seni

rupa dalam ruang lingkup seni murni, yang mana penciptaan dalam arti kajian

tentang penciptaan seni tetapi konteksnya riset dengan menempatkan tiga seniman

Medan dan karyanya sebagai subjek kajian dalam kategori: ―seniman yang

memiliki kecenderungan tema narasi simbolik dalam karyanya yang memiliki

keberagaman ideologi kebudayaan Sumatera Utara‖. Dengan harapan, karya

seniman yang dikaji representatif disatu sisi dan di sisi lain, pembahasannya

menjadi lebih mendalam.

Dalam penelitian ini, dipilih seniman-seniman yang memiliki eksistensi

dalam berkarya seni rupa berpola narasi simbolik, memiliki profesionalitas dan

produktivitas dalam berkarya, dan karya-karya mereka diakui oleh masyarakat

(6)

setempat. Tentunya banyak pihak-pihak yang dimintai argumentnya mengapa

seniman dan karya tertentu yang dipilih, sementara yang lain tidak.

Berdasarkan diskusi penulis dengan beberapa pakar seni rupa di Medan,

akhirnya seniman-seniman yang diteliti adalah: Rasinta Tarigan, Mangatas

Pasaribu, dan M. Yatim Mustafa, mewakili karakteristik keberagaman idiologi

Sumatera Utara, yaitu etnisitas kesukuan yang melekat dalam diri mereka. Rasinta

dengan simbol-simbol ideologi budaya Karo, Mangatas dengan simbol-simbol

budaya Batak-nya, dan Yatim seorang suku Jawa dengan ideologinya. Ketiganya,

sama-sama memberikan peranan penting dalam perkembangan seni rupa di

Medan.

Beragamnya budaya native yang ada di Sumatera Utara, khususnya

seniman-seniman seni rupa yang memiliki latar belakang budaya beragam, di

antaranya seperti seniman yang berlatar belakang budaya etnik Melayu yang juga

memiliki peranan penting dalam pertumbuhan kota Medan, tetapi tidak masuk

dalam seniman yang diteliti. Hal tersebut sebelumnya, sudah melalui tahap

pencarian jejak seniman-seniman seni rupa Medan dan karyanya, sekaligus

melalui pertimbangan yang cukup panjang. Tetapi yang utama adalah: seniman

yang berlatar belakang etnik Melayu yang memiliki eksistensi dalam berkarya

seni rupa, sangatlah sedikit, khususnya seni lukis dengan gagasan berpola narasi

simbolik, apalagi yang bertemakan budaya etnik tertentu (art for culture device).

Malah ditemukan, seniman-seniman yang eksis berkarya dengan gagasan narasi

simbolik dan aktif berpameran adalah seniman-seniman yang berlatar belakang

(7)

karya-karya yang berpola narasi simbolik dengan tampilan visual beraliran realis dan

naturalis banyak dilakoni oleh seniman-seniman kelahiran Jawa Deli, seperti M.

Yatim Mustafa, Cecep Prihadi, Bambang Triyogo, Didi Prihadi, Bambang

Soekarno, Suhendra Hamid, Marwan, Pujio, Achy Askwana, Herdy, Endy

Pribadi, Endra Kong, Soenoto HS, almarhum Panji Sutrisno, dan masih banyak

lagi. Untuk yang berpola narasi simbolik khaligrafi adalah Soehandono Hadi, dan

untuk lukisan abstrak adalah Anang Sutoto. Tentunya, masih banyak lagi

seniman-seniman yang belum terdata oleh peneliti.

Mengapa karya seni murni dengan gagasan berpola narasi simbolik dalam

bentuk narasi budaya (art for culture devise) menarik untuk dikaji dan dianalisis

makna yang terkandung di dalamnya? Cocok dengan ungkapan Cobley dan Jansz

(2002: 136-137) yang menyatakan: Kebudayaan adalah sebuah totalitas informasi

yang tidak bersifat turun temurun, yang diperoleh, dipertahankan dan

ditransmisikan di antara berbagai kelompok sosial manusia. Karena kebudayaan

dibangun di atas bahasa alami. Lotman dalam Cobley dan Jansz menyarankan

bahwa salah satu cara untuk mengklasifikasikan budaya adalah berdasarkan

konseptualisasinya tentang tanda. Kim, Yang dan Hwang (2010: 18), menyatakan

dalam buku yang dieditori oleh mereka, yang berjudul ―Indegenous and Culture

Psycology: Memahami orang dalam Konteksnya‖, menyatakan: ―Bagi seseorang

yang lahir dan dibesarkan dalam budaya tertentu, budayanya terasa sangat

alamiah‖.

Hal tersebut, menjadikan daya tarik oleh peneliti untuk meneliti karya seni

(8)

oleh pelukisnya. Sekaligus untuk mencari keterkaitan pola gagasan dari si

senimannya dengan latar belakang budayanya yang memiliki nilai-nilai hingga

membangun konsep pemikiran simbolis dalam bahasa rupa yang dapat dapat

diungkapkan dengan bahasa verbal.

Metode yang digunakan dalam menganalisis karya, adalah menggunakan

metode studi kualitatif bersifat faktual dengan mendeskripsikan konsep, gagasan

dan proses penciptaan karya tiga seniman Medan yang diteliti. Kemudian aspek

narasi simbolik dari karya-karya, diteliti dan dikaji dengan metode semiotik dan

hermeneutik agar diperoleh penafsiran yang holistik.

Narasi simbolik dalam penelitian ini dimaksudkan seperti mencari cerita

dalam karya seni rupa. Karena narasi simbolik yang dipancarkan dalam karya seni

terkait dengan berbagai persoalan di luar ranah seni. Peneliti juga menggunakan

disiplin ilmu lain untuk melengkapi penafsiran antara lain; sejarah, budaya,

sosiologi, antropologi seni dan psikologi sesuai dengan konteks penelitian,

terutama yang berkaitan tentang konsep, gagasan dalam karya sekaligus

kehidupan si seniman yang diteliti. Karena kepribadian yang meliputi kondisi

psikologis, latar belakang kebudayaan dan spiritualitas seniman yang diteliti perlu

untuk diketahui, maka tulisan ini juga menggunakan teori etnografi1 agar bisa

1

(9)

tarik garis keterkaitannnya tentang tema narasi simbolik yang direfleksikan dalam

karyanya dan ideologi2 senimannya. Dalam penulisan penelitian ini bukan saja

hanya bersifat analisis dalam penciptaan dan pengkajian seni semata, tetapi juga

sekaligus sebagai wacana kritik bagi yang diteliti.

1.2 Rumusan Masalah

Bagian terpenting dalam sebuah karya tulis adalah rumusan masalah, yaitu

berupa pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa yang menjadi masalah dalam

penelitian, sehingga hasil dari penelitian diharapkan mampu menjawab dari

pertanyaan yang dirumuskan. Dengan melihat latar belakang masalah yang

diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penulisan tesis ini dinyatakan sebagai

berikut:

(1). Bagaimanakah struktur estetika elementer kesenirupaan yang

terepresentasikan pada karya tiga perupa Medan yang diteliti?

(2). Makna dan narasi apa sajakah yang diperoleh dari menganalisis

simbol-simbol yang terepresentasi pada karya seni rupa yang diteliti?

(3). Bagaimanakah keterkaitan seniman dengan gagasan pola narasi simbolik

pada karya seni rupa yang dihasilkannya?

2

(10)

1.3 Tujuan Penelitian

Sebuah penelitian diharapkan mempunyai tujuan, baik secara umum

maupun khusus. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1). Untuk mendeskripsikan bagaimana estetika elementer kesenirupaan yang

terepresentasikan pada karya tiga seniman Medan yang diteliti.

(2). Untuk menemukan makna dan narasi yang terkandung dengan

menganalisis simbol-simbol pada karya yang diteliti.

(3). Untuk menganalisis keterkaitan seniman dengan gagasan pola narasi

simbolik pada karya seni rupa yang dihasilkannya.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam bidang penciptaan dan pengkajian seni, penelitian ini diharapkan

akan memberikan manfaat yang baik secara langsung kepada siapa saja

(masyarakat) yang tertarik kepada dunia seni rupa khususnya seni murni.

Mengingat banyaknya ragam pola yang ditemukan dalam gagasan penciptaan

karya seni rupa, terkhusus dalam pola karya narasi simbolik.

Penelitian ini juga didedikasikan sebagai sumbangsih kepada akademisi

dan diharapkan bisa menjadi bahan referensi yang bermanfaat bagi para

mahasiswa seni rupa, juga menjadi sumber inspirasi bagi mahasiswa untuk

memulai penulisan dan sebagai bahan masukan untuk tim pengajar, guru dan

(11)

Penilitian ini bermanfaat bagi seniman yang diteliti sebagai wacana kritik

yang membangun dalam berkarya, juga kepada seniman-seniman lainnya agar

bisa menginspirasi dalam menuangkan gagasan ke dalam sebuah karya seni rupa.

Sekaligus menambah wawasan dan sebagai bahan referensi sesuai dalam

penciptaan dan pengkajian seni rupa berpola narasi simbolik.

Secara khusus dapat menambah wawasan peneliti dalam melihat karya

seni rupa yang berpola/berunsur narasi simbolik, dan menjadi masukan bagi

peneliti dalam metodologi penulisan karya ilmiah bertajuk penciptaan dan

pengkajian seni, juga sebagai masukan untuk lanjutan penelitian berikutnya sesuai

dengan konteks penulisan yang dibutuhkan.

1.5 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dibutuhkan untuk memperoleh rujukan yang mendukung

dalam penulisan tesis ini. Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu: ―Narasi Simbolik Karya Seni Rupa Tiga Seniman Medan‖, maka buku-buku rujukan yang

dibutuhkan adalah buku-buku yang berkaitan dengan narasi simbolik, teori

etnografi yang menuntun dalam meneliti tiga seniman Medan, teori estetika

sebagai wacana apresiasi dan kritik seni, teori semiotika dan hermeneutika sebagai

metode membaca tanda dan simbol-simbol serta yang berkaitan dengan ideologi

dan nilai-nilai.

Dalam penulisan penelitian yang bertajuk ―narasi simbolik‖ sebelumnya

sudah pernah ditulis oleh Acep Iwan Saidi dalam penelitian disertasinya yang

(12)

menfokuskan pada karya seni rupa kontemporer di Indonesia terhadap sembilan

perupa Indonesia.

Dalam penelitian etnografi peneliti merujuk kepada buku yang ditulis oleh

Kenneth M. George (2012) yang berjudul ―Melukis Islam, Amal dan Etika Seni

Islam di Indonesia, yang menyajikan potret etnografis seniman Muslim

pascakolonial, pelukis Indonesia terkemuka: Abdul Djalil Pirous. Buku lainnya

adalah karya Patrick Suraci, Ph. D., (2015) yang berjudul ―Menyingkap Kisah

Kepribadian Majemuk dan Kisah di Balik Lukisan-lukisan Shirley Mason‖.

Untuk pemilihan seniman yang diteliti, tulisan R. Triyanto, Nelson

Tarigan, dan Dermawan Sembiring (2015) yang berjudul ―Seni Lukis Medan Potensi dan Perkembangannya‖ dan buku Agus Priyatno (2012) yang berjudul ―Memahami Seni Rupa‖, dirasakan cukup membantu karena berupa pemetaan

seniman-seniman seni rupa Medan yang berisi deskripsi karya seniman dan kritik

yang membangun. Selain itu, dari katalog-katalog atau buku yang diedarkan

ketika pameran seni rupa berlangsung, juga sangat diperlukan untuk sejarah seni

rupa Medan sekaligus pemetaan seniman Medan guna melihat eksistensi dan

gagasan seniman pada karya-karyanya yang dipamerkannya dari waktu ke waktu.

Buku kumpulan tulisan tentang Prof. Rasinta Tarigan. Drg., Sp. KG (K)

(2011), berjudul ―Gigi dan Lukisan‖ sangat membantu dalam melihat pendapat penulis-penulis dalam buku tentangnya, sekaligus melihat perjalanan dan sebagian

karyanya yang didokumentasikan dalam buku tersebut.

Ada beberapa buku pendukung dalam wacana apresiasi dan kritik seni

(13)

metode-metode dalam penulisan karya ilmiah kritik seni, diantaranya: buku

Nooryan Bahari (2008) yang berjudul ―Kritik Seni; Wacana Apresiasi dan Kreasi‖, Kemudian buku Darsono Sony Kartika (2004) yang berjudul ―Seni Rupa Modern‖ dan ―Pengantar Estetika‖, buku A.A.M. Djelantik (2004) yang berjudul ―Estetika; Sebuah Pengantar‖, dan buku M. Dwi Marianto (2006) yang berjudul ―Quantum Seni‖.

Untuk melihat metode semiotika dan hermeneutika buku-buku yang

membantu adalah buku Benny H. Hoed (2008) ―Semiotik dan Sosial Budaya‖, buku Agus Sachari (2003) yang berjudul ―Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa; Desain, Arsitektur, Seni Rupa dan Kriya‖, buku Alex Sobur (2003)

berjudul ―Semiotika Komunikasi‖, buku Paul Cobley dan Litza Jansz yang

dieditori oleh Richard Appignanesi (2002) berjudul ―Mengenal Semiotika; For

Beginnes‖. Buku-buku tersebut di atas sangat membantu peneliti dalam

menentukan teori yang tepat dalam metodelogi penelitian ini.

Pada pembahasan yang lebih spesifik dalam kajian nilai-nilai dan ideologi

dalam karya seni, buku karangan Dominic Strinati (2016) berjudul ―Popular

Culture; Pengantar Menuju Teori Budaya Populer‖, cukup membantu membuka

cakrawala peneliti untuk arah penelitian kedepannya. Kemudian buku karangan

Jannes Alexander Uhi (2016) yang berjudul ―Filsafat Kebudayaan‖ tentang kaitan

(14)

1.6 Konsep dan Landasan Teori 1.6.1 Konsep

Konsep sangat dibutuhkan untuk dapat membantu melengkapi data-data

dan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan keperluan penulisan karya

ilmiah (tesis). Konsep dalam penulisan ini adalah: narasi, simbol, narasi simbolik,

seni rupa, seniman seni rupa.

1.6.1.1 Narasi

Pengertian narasi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 774)

disebutkan sebagai: (1) pengisahan suatu cerita atau kejadian, (2) cerita atau

deskripsi suatu kejadian atau peristiwa, (3) berupa kisahan, (4) tema suatu karya

seni yang penyajiannya disusun berdasarkan urutan waktu. Sedangkan pengertian

naratif adalah: (1) bersifat narasi, bersifat menguraikan dengan menjelaskan dan

sebagainya, (2) prosa yang subjeknya merupakan suatu rangkaian kejadian.

Narasi yang secara akademik masuk dalam bidang kesusastraan dijelaskan

oleh Saidi (2008: 22) meliputi unsur seni rupa yang dibagi kedalam dua kategori,

yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, cerita terdiri atas beberapa

aspek yakni peristiwa, tokoh dan penokohan, setting (lattar), dan alur (plot).

Hakikatnya, dalam sebuah cerita adalah suatu peristiwa dan tokoh selalu menjadi

pusat. Kemudian narasi secara ekstrinsik, merupakan cerita terbangun atas aspek

tematik, dimana tema adalah gagasan dasar pengarang yang ingin disampaikan

dalam cerita. Di dalam aspek tematik terkandung pesan, amanat, kritik, dan

(15)

Nafiah (1981: 66-67) menjelaskan tentang narasi, bahwa:

Karangan narasi adalah yang menceritakan satu atau beberapa kejadian dan bagaimana berlangsungnya peristiwa-peristiwa tersebut, yang biasanya disusun menurut urutan waktu (kronologis). Isi karangan narasi boleh bersifat faktual dan khayali. Outobiografi (biografi) seorang tokoh terkenal termasuk dalam karangan narasi bersifat faktual, sedangkan novel, cerpen, hikayat, drama, dongeng, dan lain-lain merupakan karangan narasi yang bersifat fiksi (khayali).

Menurut peneliti, narasi merupakan suatu karangan yang disampaikan

dalam bentuk bahasa, dimaksudkan untuk disampaikan kepada orang lain dalam

bentuk cerita (kisah, dongeng, legenda, mitos) baik yang diutarakan secara

langsung (lisan/verbal) maupun tak langsung (non verbal/tulisan/simbol-simbol).

Pada narasi, mengandung maksud atau makna pesan kebajikan, penanaman pola

berprilaku dalam bermasyarakat yang berbudaya, baik bersifat deskripsi (lukisan), eksposisi (paparan), atau persuasi (argumentasi).

1.6.1.2 Simbol

Pengertian secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani,

―symballein” yang berarti melemparkan bersama suatu benda atau perbuatan yang

dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko & Rahmanto, 1998: 133). Ada juga yang

menyebutkan ―symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan

sesuatu hal kepada orang lain (Herusatoto, 2000: 10). Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2007: 1066) dinyatakan bahwa: simbol berarti ―lambang‖, simbolisme yang berarti ―perihal‖ memakai simbol (lambang) untuk mengekspresikan ide-ide.

Menurut Sachari (2002: 126) bahwa setiap atau objek pada hakekatnya

(16)

manusia dalam berbuat sesuatu merupakan usaha untuk membentuk makna. Hal

ini juga diungkapkan oleh Syaifuddin (2006: 291) bahwa simbol dinyatakan

sebagi objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi

makna oleh manusia.

Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap

sebagai pengkhasan sesuatu yang mengandung kualitas analisis logis melalui

asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta. Dalam wilayah semiotika, simbol

menurut Charles Sander Peirce (peletak dasar disiplin semiotika modern),

mengidentifikasi sebagai salah satu dari tiga tipe tanda: (1) Tanda ―ikonik‖ yang

mencerminkan objek dalam hal tertentu. Misalnya foto diri merupakan ikon

seseorang yang menyampaikan gagasan dan makna dari orang tersebut. (2) Tanda

―indeks‖ yang secara fisik terkait dengan objeknya. Misalnya selembar bendera

dipasang setengah tiang, berarti ada petinggi negara yang meninggal. (3)

―Simbol‖ seperti halnya bahasa, antara benda dan objeknya merupakan tanda yang

ditentukan oleh sebuah aturan yang berlaku umum berdasarkan perjanjian dan

konvensional.

Teori Peirce yang diulas Sachari (2002: 65) menyatakan bahwa simbol

merupakan suatu tanda yang ditentukan oleh suatu aturan yang berlaku umum,

kesepakatan bersama atau konvensi, seperti: gerakan tubuh atau anggukan kepala

sebagai tanda setuju. Bahari (2008: 104) mengungkapkan bahwa:

(17)

dirinya dengan dan dunia alamiahnya. Seperti pendapat yang menyatakan bahwa manusia berfikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis, yang membedakan manusia dengan hewan.

Kuntjara (2006: 16) menyebutkan dalam bukunya tentang simbol-simbol

dan bahasa, yakni:

Setiap masyarakat mempunyai dan menggunakan simbol-simbol tertentu yang dipakai sebagai tanda. Simbol-simbol tersebut bisa berupa suatu yang konkrit seperti benda atau gambar, atau suatu ide yang abstrak. Makna sebuah simbol tidak bisa serta merta diketahui, tetapi dibutuhkan suatu penafsiran. Salah satu simbol yang paling kuat dalam kehidupan manusia adalah bahasa. Baik secara lisan maupun tertulis, bahasa menjadi alat manusia untuk memahami dunia ini. Memahami makna suatu bahasa pun membutuhkan interpretasi.

Menurut peneliti, identifikasi simbol sebagai sesuatu yang non fiksi (dunia

substansial) diciptakan memiliki nilai fungsional. Simbol merupakan suatu tanda

yang ditentukan oleh sebuah aturan berlaku umum dan dipahami bersama atau

bersifat teka-teki (maksud yang tersembunyi) untuk dimengerti atau dipecahkan

maksud yang terkandung di dalamnya.

1.6.1.3 Narasi simbolik

Di atas sudah dijelaskan apa yang dimaksud dengan narasi dan simbol

secara terpisah. Menurut Saidi (2008 :32): ―Penerapannya pada karya rupa sebagai objek kajian, narasi simbolik diartikan sebagai cerita tersembunyi di balik karya

rupa yang diungkapkan melalui berbagai simbol atau secara simbol (simbolik).‖

Kuntjara (2006: 17) juga menjelaskan kaitannya simbol dan bahasa, sebaagai

berikut:

(18)

aktif. Manusia menafsirkan makna dari suatu kata atau ungkapan kejadian, dan meresponnya tergantung pada makna yang ditafsirkan.

Berbeda dengan narasi pada karya sastra yang tampil dalam bentuk bahasa

atau teks yang terstruktur (verbal), narasi simbolik merupakan sebuah narasi yang

dapat dipahami melalui relasi simbol-simbol visual (non verbal) yang ditampilkan

dengan cara menganalisisnya atau mengonstruksi makna dari simbol-simbol yang

ditampilkan. Dalam karya seni rupa misalnya, ditemukan banyak lukisan,

relief-relief pada candi-candi ataupun patung-patung yang memunculkan figur-figur

mitologi, seperti putri duyung (mermaid), dewa-dewa dalam kepercayaan Yunani,

Hindu dan sebagainya, bahkan dalam karya-karya seni rupa pada etnik-etnik

budaya yang ada di Indonesia.

Pemaparan figur-figur mitologi sebagai simbol memunculkan ranah narasi

yaitu mitos3 yang perlu dikaji dan dijelaskan. Di luar dari konteks figur-figur

mitologi, paparan gambar-gambar sebagai wujud simbolik dan representasi teknik

yang digunakan dalam karya, mampu membuat orang lain yang melihat berupaya

memahami maknanya, dan cerita apa yang ada dibalik karya tersebut, dan siapa

yang membuatnya. Apakah karya tersebut mengandung narasi mitos, legenda,

kritik sosial dan keagamaan, atau hanya menarasikan keindahan alam. Sebagai

contoh, seperti lukisan Ratu Pantai Selatan yang dilukiskan oleh Basuki Abdullah

dan seniman-seniman lainnya. Bagi rakyat Indonesia khususnya pulau Jawa yang

sudah mengenal sosok wanita yang selalu disimbolkan berbaju hijau pupus

3

(19)

tersebut, mampu menimbulkan rasa mistis oleh para penikmat karya seni atau

apresiator. Namun, bagi orang yang belum melihat dan mengerti sosok legendaris

tersebut, hanya bisa melihat sosok tersebut dari sisi kecantikan, kemolekan dan

unsur tradisi yang melekat pada baju yang dikenakan.

Dalam kajian semiologi, Barthes menjabarkan pemahamannya akan

hubungan antara mitos, penanda, dan petanda dengan cara menarik perbedaan

antara denotasi dan konotasi. Tugas Semiologi melampaui denotasi-denotasi

tersebut untuk mendapatkan berbagai konotasi tanda, melakukannya berarti akan

mengungkap bagaimana mitos bekerja melalui tanda-tanda tertentu. Dengan cara

seperti ini, lokasi mitos yang dikonstruksikan, dibuat dan bersifat historis dapat

ditemukan. Maka, konotasi-konotasi mitos dapat diidentifikasi. Mitos berfungsi

sebagai ideologi juga memiliki fungsi mentransformasikan sejarah menjadi alam.

Fungsi mitos sebagai ideologi dapat dilihat dari bagaimana mitos itu dapat

dikonstruksikan dan mempertahankan maknanya sebagai kekuatan sistematis,

yang menjadi makna-makna yang berakar pada berbagai situasi historis maupun

kepentingan golongan, pergeseran, sebagaimana yang dikatakan Barthes dari

semiologi menuju ideologi (Strinati, 2016: 142-143).

Barthes juga menyebutkan tentang unsur struktur yang utama dalam narasi

tradisional adalah ―kode teka-teki‖ (kode hermeneutik) yang berkisar pada

harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran. Didalam narasi, ada suatu

kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya

(20)

Jadi, narasi simbolik dimaksudkan seperti berusaha menemukan cerita di

dalam karya seni rupa (visual art). Selain narasi dan ciri kebudayaan (cultural

trait) yang disimbolkan dalam sebuah karya seni rupa, maka dapat ditemukan dan

dikenali daerah kebudayaan-nya (culture area) narasi itu berasal.

1.6.1.4 Seni rupa

Seni pada hakekatnya adalah curahan rasa dan ekspresi manusia yang

bersifat artistik. Menyunting tulisan S. Sudjojono di dalam buku Siregar dan

Supriyanto yang mengumpulkan tulisan-tulisan dalam bentuk artikel pada era

awal seni rupa modern di Indonesia, bahwa secara eksplisit ungkapan yang

dinyatakannya oleh Sudjojono adalah seni sebagai ―jiwa ketok‖ atau jiwa yang nampak, dipahami sebagai ekspresi (Siregar dan Supriyanto, 2006: 18). Seni rupa

(visual arts) didefinisikan sebagai karya seni yang dirasakan oleh penglihatan

(arts that are perceived by sight) (Priyatno, 2012: 11). Seni rupa adalah suatu

wujud hasil karya manusia yang diterima dengan indra penglihatan, dan secara

garis besar dibagi menjadi seni rupa murni dan seni rupa terapan (Bahari, 2008:

51). Seni rupa merupakan sebuah bentuk kesenian yang menggunakan medium

seni rupa sebagai medium ungkapnya (Kartika, 2004: 8). Seni rupa Indonesia

dapat kita bagi dalam empat jenisnya yang pokok, yaitu: Seni lukis, seni patung,

seni arsitektur/bangunan, seni kerajinan/kriya (Soedarso SP, 1978: 61).

Seni rupa menurut fungsinya oleh Soedarso SP (1978: 61) dibagi dua,

yaitu: (1) Untuk membantu kepercayaan animistis dengan ekspresi seni yang

(21)

dan agung. (2) Untuk mengembangkan imajinasi yang filosofis simbolis. Menurut

jiwa dan fungsinya seni rupa yang lain, Soedarso SP juga membaginya dalam dua

golongan, yaitu: Bersifat murni (fine art) dan bersifat terapan (applied art).

Kehadiran performance art memang belum banyak dikenal luas oleh

masyarakat Indonesia. Tetapi keberadaannya diterima sebagai bentuk kebebasan

berkreasi dan medium komunikasi yang memiliki genre tersendiri dari seni

lainnya. Kehadirannya sering sekali menampilkan gagasan-gagasan yang

simbolik. Tak jarang, dalam performance art sering sekali merangkul seni musik

dan seni tari sebagai medium komunikasi sekaligus untuk mendukung estetikanya.

Listyowati (2006: 12) menyebutkan tentang performance art sebagai berikut:

Performance art adalah conceptual art atau idea art. Penggagasnya adalah Sol LeWitt yang terkenal dengan minimal art-nya, yang kemudian menjadi gerakan pertengahan tahun 1960-an, meskipun Duchamp di tahun 1910-an dan 1920-an terlebih dahulu telah memulainya dengan karya-karya instannya yang diambil dari benda-benda ready mades, yang hadir sebagai karya baru yang sangat konseptual (art object), sekaligus awal mula kelahiran seni instalasi.

Dharsono Sony Kartika dalam bukunya yang berjudul ―Seni Rupa Modern‖ (2004: 122-124), membagi seni konseptual (conceptual art) meliputi:

(a) performance art, (b) seni proses (proses art), (c) seni bumi (Earth atau Land

art) dan (d) happening art.

Conseptual art atau seni konseptual merupakan gerakan dalam seni rupa

yang menempatkan ide, gagasan/konsep menjadi yang terpenting dalam seni,

sedangkan bentuk materiil dan objek seninya hanyalah merupakan akibat dari

(22)

anti form (Wheller1992; dalam Kartika, 2004: 122). (a) Performance art4 sebagai

bagian dari seni konseptual (conseptual art) yang membebaskan dari serta

mencari alternatif baru yang merupakan transformasi narasi (teks tertulis) ke

dalam bentuk-bentuk teatrikal, personal maupun kolektif. (b) Seni Proses

merupakan seni jenis yang memanfaat material-material seperti: minyak, kayu,

karet, rumput, es, debu, daging, dan sebagainya, serta memanfaatkan kekuatan

alam, gravitasi, temperatur, atmosfir yang membuat karya berproses seperti

mengembang, menyusut, membusuk, dan sebagainya. Seni ini lebih menekankan

kepada substansi organisnya. (c) Seni bumi, adalah seni yang memanfaatkan

kekayaan alam, berupa bentuk amorf, bentuk abstraknya, kerucut, ketahanan

alam, geologi, cuaca, dan berbagai ilusi yang ditimbulkan untuk kepentingan

seninya. (d) Seni lingkungan, yang disebut juga dengan seni ansamble art,

merupakan karya seni yang memanfaatkan berbagai material bekas untuk

berkesenian, yang para artis punya misi tertentu terhadap lingkungan. (e)

Happening art mengacu pada action painting, yang mengutamakan spontanitas

dengan berbagai gerakan improvisasi seperti pada seni pertunjukan. Bedanya,

Happening art ditampilkan dalam ruang dan waktu yang sebenarnya (Kartika,

2004: 124)

Seni rupa menurut penulis merupakan sebuah karya seni yang di dalamnya

memiliki ide, konsep, gagasan yang tampak dari struktur estetika kesenirupaannya

yang berwujud titik, garis, bentuk, warna, dan pendukung lainnya seperti

komposisi, ritme balance dan seterusnya sehingga menghasilkan sebuah benda

4

(23)

seni sesuai dengan fungsinya, baik sebagai fungsi estetika maupun benda pakai

atau terapan (fungsional).

1.6.1.5 Seniman seni rupa

Sudjojono pernah menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul ―Kesenian, Seniman dan Masyarakat‖, yang dimuat kembali di dalam buku yang dieditori

oleh Siregar dan Suprayitno, yang menyatakan: ―Kalau seseorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain

dari buah jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian dalah jiwa ketok‖ (Siregar dan Supriyatno, 2006: 13). Sudjojono juga menyatakan dalam tulisan lainnya yang

berjudul ―Seni Lukis Indonesia Sekarang dan Akan Datang‖ bahwa: ―seorang

seniman mesti pula berani dalam segala-galanya, terutama berani memberikan

idenya kepada dunia, meskipun tidak mendapatkan tanggapan baik oleh publik

sekalipun‖ (Siregar dan Supriyatno, 2006: 1).

Dalam dunia seni rupa, seseorang yang disebut seniman memiliki posisi

yang tinggi, seperti ungkapan Dermawan T (2004: 5), yang menyatakan:

Seniman pada hakekatnya bekerja untuk menganyam kebenaran, meniti puncak-puncak kemanusiaan. Ia adalah orang merdeka yang semestinya melihat kebenaran dan kemanusiaan dengan spirit yang bebas.

Walaupun tentu saja, tak ada yang bisa menjamin ―sang kebebasan‖

mampu melindungi sinar terang karya-karya seni.

Banyak ditemukan tulisan autobiografi atau kumpulan autobiografi singkat

dari seniman-seniman seni rupa di dunia lengkap dengan hasil karyanya yang bisa

(24)

dalam berkarya. Dalam konteks menciptakan karya seni, Priyatno (2012: 2)

menyatakan sebagai berikut:

Kebebasan seniman dalam menciptakan karya seni tidak berarti bebas dalam mempublikasikan. Seniman meskipun memiliki kebebasan dalam mencipta karya seni, ia tetap hidup dalam bingkai moralitas dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakatnya. Seorang seniman bagaimanapun harus menghormati ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masyarakatnya.

―Seniman sebagai pencipta/penyusun bentuk karya seni, juga sekaligus

sebagai penghayat‖ (Kartika, 2004: 23). Menurut Plato, bahwa seniman sejati tidak membuat imitasi atas wujud yang sudah ada. Apa yang dilakukan seniman

sejati adalah mengenali pengetahuan sejatinya dari setiap pokok cipta karyanya

secara mendasar. Setelah pemahaman sejati ini utuh, barulah cakrawala nama rupa

yang beragam dan variasi terbuka (Wiryomartono, 2001: 10). Masih menurut

Plato, seniman sebagai manusia yang beradab (dalam kaitannya dengan polis =

konsep takaran proporsional) menghasilkan karya-karya dalam sistem yang

kualitasnya terukur (Wiryomartono, 2001: 7).

Seniman juga bisa menunjukkan sebuah tingkat peradaban dalam dunia

kesenian dengan teknik dan gagasan yang dituangkan dalam karya-karyanya,

terlepas dari ekspresi pribadinya, seniman secara historis mampu mengangkat

harkat dan martabat lingkungannya, seniman hidup mewakili dalam bingkai

moralitas dan nilai-nilai di dalam dirinya juga pada mewakili nilai-nilai

(25)

1.6.2 Landasan teori

Beberapa teori yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam

penelitian ini adalah teori-teori yang dipakai sebagai alat untuk mengkaji dan

mengukur tiap-tiap rumusan masalah seperti teori estetika dan keindahan, teori

etnografi, dan teori semiotika.

1.6.2.1 Teori estetika dan keindahan dalam seni rupa

Estetika (aesthesis; dari kata Yunani) adalah ilmu yang membahas tentang

keindahan. Estetika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadap keindahannya.

Persoalan estetika ini kemudian melahirkan berbagai pengertian yang

sangat bervariatif, dalam arti memiliki banyak perspektif pendekatan, sehingga

estetika bergantung pada situasi, kondisi dan posisi dimana ia berada (Susanto,

2002: 38). Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan (tentang

keindahan; jasmani, rohani, alam dan seni), diselidiki emosi manusia sebagai

reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan dan sebagainya

(Surajiyo, 2007:101).

Disadur dari buku Diksi Rupa, karya Susanto, (2002: 38), bahwa Estetik

itu adalah: (1) Indah; mengenai keindahan; tentang apresiasi keindahan; (2)

Mempunyai penilaian terhadap keindahan. Jadi, Estetika adalah cabang filsafat

yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan

(26)

Menurut Djelantik dari bukunya yang berjudul ―Estetika Sebuah Pengantar‖ (2004:7), bahwa:

Ilmu Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut dengan keindahan. Misalnya: Apa itu indah? Apakah yang menumbuhkan rasa indah itu? Apa yang menyebabkan barang yang satu dirasakan indah dan yang lainnya tidak? Apa yang menyebabkan rasa indah yang dirasakan satu orang berlainan dengan yang dirasakan oleh orang lain? Apakah indah itu terletak pada barang atau benda yang indah itu sendiri ataukah hanya pada persepsi kita saja?

Ilmu estetika baru bisa berkembang lebih maju setelah terjadi

perkembangan pesat di Eropa pada sekitar abad ke-17 dan ke-18 dalam segala

bidang ilmu pengetahuan (science). Ilmu estetika baru bisa memperoleh manfaat

dari penggunaan hasil-hasil penyelidikan dan perkembangan ilmu yang ada

(Djelantik, 2004: 7). Estetika dikenal memiliki 2 pendekatan, yaitu: (1) Langsung

meneliti dalam objek atau benda-benda atau karya seni serta alam indah. (2)

Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami subjek, yang

kemudian melahirkan pengalaman estetik (Susanto, 2002: 38). Pengalaman estetis merupakan tanggapan seseorang terhadap benda yang bernilai estetis, yang

menjadi persoalan psikologi. Ciri-cirinya adalah sifat yang tidak mempunyai

tujuan apapun selain pengamatan terhadap benda estetis tersebut (Surajiyo, 2007

:107).

Dalam berkarya seni rupa kaitannya dengan teori keindahan, memiliki

struktur seni yang berpedoman kepada ―elementer kesenirupaan‖ (estetika

elementer) yang terdiri dari: ―Unsur-unsur seni rupa‖ serta ―azas/hukum

penyusunan seni rupa‖ yang berguna untuk menghasilkan sebuah karya seni, baik

(27)

murni, yang juga digunakan sebagai analisis formal dalam kajian kritik seni rupa

modern.

Lukisan sebagai karya seni berdasarkan strukturnya terdiri dari dua unsur,

yaitu unsur visual (rupa) dan unsur ide. Unsur visual berupa garis, warna, tekstur,

komposisi, dan unsur-unsur visual lainnya, yang di dalamnya dimasukkan

pertimbangan desain (Feldman dalam Evita, 2009: 28). Aspek ide adalah

unsur-unsur yang dideskripsikan meliputi unsur-unsur intelektual, emosi, simbol, religi, dan

unsur-unsur lainnya yang bersifat subjektif (Meyers dalam Evita, 2009: 28).

Penilaian berdasarkan struktur estetika/unsur-unsur estetika pada suatu karya seni

rupa, pertama sekali mencakup ―wujud‖ dari karya itu sendiri sebagai fakta benda

itu ada. Kedua memuat ―bobot/isi‖ dari wujud, yang dapat dianalisis meliputi

elementer kesenirupaannya beserta makna dan nilai-nilai yang diusungnya. Yang

ketiga adalah kualitas penampilan dan penyajiannya.

Berikut penjelasan dari unsur-unsur di dalam seni rupa: (1) ―Titik‖ adalah unsur pertama dalam seni rupa yang merupakan awal dari unsur rupa lainnya yang

dikembangkan menjadi lebih kompleks. (2) ―Garis‖ adalah hasil dari beberapa

titik yang dihubungkan memanjang menjadi satu, sesuai dengan arah, sifat dan

ketebalannya. (3) ―Bidang‖ merupakan pertemuan dari berbagai garis yang

bertemu di ujung pangkalnya. Garis yang saling memotong garis lainnya juga

akan membentuk beberapa bidang. (4) ―Bentuk‖ dapat berarti bangun (shape), atau bentuk plastis (form). Bangun ialah bentuk benda seperti yang terlihat oleh

mata, seperti bulat, persegi, segitiga, ornamental, tak teratur dan lain sebagainya.

(28)

permukaan bahan yang dapat dirasakan dari suatu benda/bidang (terlihat halus dan

kasar). (6) ―Warna‖ merupakan suatu zat atau medium yang dalam seni rupa dapat

bersifat sebagai pembeda, ciri, tanda dan simbol atau merupakan ekspresi dari si

pembuat atau merupakan refleksi dari objek alam.

Azas/hukum penyusunan seni rupa adalah: (1) ―Kesatuan/keutuhan‖ (unity) menjadikan unsur-unsur seni rupa dari suatu karya seni menjadi suatu

kesatuan yang utuh dan selaras. Tiap-tiap bagian saling mengisi dan tidak ada

yang tampak menonjol. (2) ―Keseimbangan‖ (balance) terbagi dua, yaitu keseimbangan formal (simetris) dan keseimbangan non formal (asimetris). Semua

kesenian mempertimbangkan keseimbangan. (3) ―Irama‖ (ritme) merupakan

pengulangan secara teratur dari unsur-unsur pendukung karya seni yang

menimbulkan kesan berirama. (4) ―Keselarasan‖ (harmony), dimaksudkan antara bagian-bagian atau komponen yang disusun tampak selaras, tidak ada yang saling

bertentangan, semua cocok, serasi dan terpadu. (5) ―Proporsi‖ yaitu perbandingan

ukuran. Mengacu kepada hubungan antara suatu bagian desain/gambar yang

berhubungan dengan keseluruhannya. Contoh: Suatu ruangan yang kecil dan

sempit bila di isi dengan benda yang besar, tidak akan kelihatan baik, tidak

bersifat fungsional dan terkesan dipaksakan. (6) ―Aksentuasi(center of interest)

merupakan sebuah karya seni yang memiliki cara dengan sebagian yang di ―titik beratkan‖, bertujuan untuk menarik perhatian mata yang memandang agar karya

seni terlihat menarik.

Selain asas yang populer digunakan dalam penyusunan benda-benda

(29)

enam asas, yang dijelaskan oleh Surajiyo (2007: 105-106) juga oleh Bahari (2008:

95-98), sebagai berikut: Asas kesatuan utuh, asas tema, asas variasi menurut tema,

asas keseimbangan, dan asas tata jenjang, yang diharapkan menjadi unsur tentang

logika bentuk estetis. (1) ―Asas kesatuan utuh‖, maksudnya: bagi nilai karya itu,

setiap unsur dianggap perlu dan tidak memuat unsur-unsur yang tidak dianggap

perlu, tergantung pada hubungan timbal balik dari unsur-unsur tersebut, yakni

setiap unsur memerlukan, menanggapi, dan menuntut setiap unsur lainnya. (2) ― Asas tema‖ yang merupakan kunci bagi penghargaan dan pemahaman orang

terhadap karya seni itu, karena terdapat satu atau beberapa ide induk atau peranan

yang unggul berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna). (3)

―Asas variasi menurut tema‖, tujuannya ialah agar tidak menimbulkan kebosanan

pengungkapan, tema yang harus tetap sama itu perlu dilakukan berbagai variasi,

harus disempurnakan dan diperbagus dengan terus menerus

menguman-dangkannya. (4) ―Asas Keseimbangan‖ merupakan kesamaan dari unsur-unsur

yang berlawanan atau bertentangan, yang sebenarnya saling memerlukan karena

menciptakan kebulatan. Unsur yang saling berlawanan itu tidak memerlukan

sesuatu yang sama, melainkan yang utama adalah kesamaan dalam nilai, sehingga

terdapatlah keseimbangan secara estetis. (5) ―Asas perkembangan‖ dimaksudkan oleh Parker, bahwa kesatuan dari proses yang bagian awalnya menentukan bagian

selanjutnya hingga menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Misalnya, dalam

sebuah cerita hendaknya terdapat suatu hubungan sebab akibat atau rantai tali

temali yang perlu dengan ciri pokok berupa pertumbuhan (himpunan dari makna

(30)

rumit, kadang-kadang terdapat satu unsur yang memegang kedudukan penting

yang mendukung secara tegas tema yang bersangkutan dan mempunyai

kepentingan yang jauh lebih besar dari pada unsur-unsur lainnya.

Dijelaskan oleh The Liang Gie dalam Surajiyo (2007: 106) tentang teori

lain yang dikemukakan oleh Monroe Beardsley, bahwa ada tiga ciri yang

sifat-sifat ―membuat baik (indah)‖ dari benda-benda estetis pada umumnya, yaitu: (1)

―Kesatuan (unity)‖ yang berfokus kepada kesempurnaan bentuk. (2) ―Kerumitan (kompleksitas)‖ yang kaya akan isi dan unsur yang saling berlawanan serta

mengandung perbedaan-perbedaan yang halus. (3) ―Kesungguhan (intensity)‖ yang mengharapkan bahwa di dalam karya seni harus mempunyai kualitas yang

baik secara insentif dan sungguh-sungguh.

Jadi, setelah mengamati struktur estetika pada karya dengan mengamati

dan menganalisis elementer kesenirupaan yang terpancar dalam karya seni rupa,

kita dapat melihat aspek ideologi spisikoplastis seni rupa apa yang tersirat dalam

karya itu.

1.6.2.2 Teori semiotika dalam seni rupa

Semiotika adalah ―ilmu‖ yang digunakan dalam mengkaji tanda yang ada

dalam kehidupan manusia. Baik digunakan dalam kehidupan berbudaya maupun

sosial bermasyarakat. Tanda-tanda yang dikaji kemudian diberi makna atau

ditangkap maksudnya yang kemudian disepakati bersama oleh pemakainya.

Plato (428-348 SM) adalah perintis awal semiotika yang memeriksa asal

(31)

dalam bukunya Poetics dan On Interpretation. Kata “Semiotika‖ berasal dari

bahasa Yunani yaitu semme, sama seperti Isemeitikos yang berarti penafsir tanda

(Cobley dan Jansz, 2002: 4).

―Semiotika atau semiosis‖ dimunculkan pada abad ke-19, digunakan

kaitannya dengan karya Charles Sander Peirce dan Charles Morris yang

disampaikan dengan bahasa Inggris, yaitu Amerika yang menjadi disiplin

psikologi sosial, juga merupakan doktrin formal tentang tanda-tanda. Sedangkan

―semiologi‖ digunakan kaitannya tentang tradisi Saussuran di Eropa. Para ahli

menganggap keduanya sama saja dan kurang lebih dapat sama menggantikan,

karena sama-sama mengacu kepada ilmu tentang tanda (Sobur, 2003: 12-13).

Sesuai dengan ulasan Marianto bahwa: istilah semiotika pertama kali

dikemukakan oleh Charles Sander Peirce. Peirce mengatakan bahwa tanda-tanda

berkait dengan objek-objek dengan cara menyusun objek-objek atau kausal

menghubungkannya dengan objek-objek (2006: 136).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan teori semiotika

modern yang dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce yang merupakan dari

penyempurnaan model semiotika pragmatis. Seperti yang disebutkan oleh Hoed

(2008: 18) tentang cara kerja teori semiotika modern Peirce, yaitu: Semiosis

mengikuti tiga tahap, yakni: ―representamen‖ (sesuatu)  ―objek‖ (sesuatu di

dalam kognisi manusia)  ―interpretan‖ (proses penafsiran). Proses semiosis sebenarnya tidak terbatas, interpretan dapat berubah menjadi represantemen baru

(32)

ini, represantemen berada di dalam kognisi, sedangkan kadar penafsiran semakin

lama semakin tinggi.

Berikut adalah bagan atau peta segitiga (tiga sisi tanda), dalam versi

Peirce.

Bagan 1.1

Tiga sisi tanda dalam versi Peirce, dikaitkan dengan kepertamaan, kekeduaan dan ketigaan (Paul dan Jansz, 2002: 28)

Keterangan bagan di atas, adalah: Dimana: R = Representamen

O = Objek I = Interpretan (P) = Kepertamaan (D) = Kekeduaan (T) = Keketigaan

Representamen/tanda adalah yang pertama; Objek adalah yang kedua;

Dan interpretasi adalah yang ketiga (Cobley dan Jansz, 2002: 28)

Peirce mengaitkan lahirnya tanda sebagai sebagai latar belakang terjadinya

keberadaan, yang dibaginya atas tiga klasifikasi, yaitu: firstness, secondnes dan

thirdnes. Wilayah ―kepertamaan (firstness)‖ agak sulit dimengerti karena lebih sering dipahami dalam bahasa ―perasaan‖, tidak memiliki relasi, dan hanyalah

merupakan sebuah ―kemungkinan‖, contohnya seperti musik, rasa yang samar

(33)

saat pintu yang hendak kita tutup (fakta nyata), misalnya, ternyata macet karena

ada yang mengganjal. Sebuah relasi muncul, dan dunia menampakkan dirinya

kumpulan benda dalam hubungannya dengan benda-benda yang lain. Namun,

menurut Peirce, wujud yang paling masalah adalah ―keketigaan (thirdnes)‖ karena

merupakan wilayah hukum atau aturan umum, yaitu unsur mental dari fakta

tersebut. Ketigaan-lah yang menghubungkan yang pertama dan kedua (Coubley

dan Jansz, 2002: 27-28).

Kemudian, Peirce mengelompokkan tanda-tanda itu berdasarkan

keberadaannya, menjadi tiga macam, yaitu: (a) Qualisign, yaitutanda yang terjadi

berdasarkan sifatnya (seperti warna merah yang dipakai sebagai tanda untuk

sosialisme, cinta, bahaya, larangan, marah, dan sebagainya). (b) Signsign: tanda

yang terjadi berdasarkan bentuk atau rupanya dalam kenyataan. (c) Legisign:

tanda yang terjadi atas sesuatu yang berlaku umum, merupakan konvensi atau

kode. Sedangkan ditinjau dari relasinya, Peirce membedakan tanda menjadi 3

(tiga) jenis, yaitu: (a) ―Ikon‖: suatu tanda yang terjadi berdasarkan adanya

persamaan potensial dengan sesuatu yang ditandakannya (seperti peta dengan

wilayah geografisnya, foto dengan objeknya, lukisan dengan gagasannya). (b)

Indeks‖: suatu tanda tergantung dari adanya suatu denotasi, atau mempunyai

kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya (seperti: ada asap pasti ada api). (c)

―Simbol‖: suatu tanda yang ditentukan oleh suatu aturan yang berlaku umum,

kesepakatan bersama atau konvensi (seperti: gerakan tubuh atau anggukan

(34)

Berdasarkan ungkapan Sachari di atas, dan berdasarkan pengelompokkan

tanda-tanda oleh Peirce, dapat diperjelas dengan tabel pembangkit tanda, yang

peneliti tambahkan dengan pengertian/penjelasan pada tabel, sebagai berikut:

Tabel. 1.1

Teori analisis semiosis, untuk selanjutnya dapat dikembangkan menjadi

―teori rekonstruksi‖ dalam strategi bahasa rupa ―penanda‖. Tanda-tanda itu

(35)

mencerminkan ―Gaya Tradisional‖, ―Modernisme‖ maupun ―Posmodernisme‖ dengan fungsi ―unsur peranan‖ bahasa rupa yang diterapkan pada suatu jenis

produk tertentu (Sachari, 2003: 72). Pendekatan semiotika merupakan salah satu

cara untuk mengetahui dan mengontrol karya-karya yang dibuat, karena karya

seni merupakan suatu tanda yang dapat dibaca oleh penonton atau penerima tanda

(Bahari, 2008: 112).

Tanda-tanda sesuai dengan keberadaannya dalam karya seni rupa dapat

kita lihat dalam penyusunan komposisi. Sesuai dengan pendapat Bahari (2008:

112-113), sebagai berikut.

Komposisi merupakan salah satu aspek pertama yang dilihat penonton, yang dapat mengkomunikasikan visi seniman. Sebagai sebuah tanda, komposisi yang merupakan penyusunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur seni rupa (garis, bidang, warna, tekstur) yang disusun dalam satu kesatuan (unity), akan memberikan kesan yang berbeda-beda, seperti stabil atau dinamis. Garis merupakan tanda, secara

qualisign: garis yang mendatar memperlihatkan ketenangan, kedamaian

bahkan kematian. Garis vertikal secara qualisign memperlihatkan kekokohan, kestabilan, kekuatan ataupun kemegahan. Gerakan diagonal menggambarkan tidak dalam keadaan seimbang, hingga menunjukkan gerakan, hidup dan dinamis. Garis yang bengkok atau melengkung mengesankan sesuatu yang indah, lemas, lincah, dan meliuk.

Selain semiotika yang dipaparkan oleh Peirce, peneliti juga tidak bisa

mengabaikan teori semiologi Roland Barthes yang pemikirannya bergaris lurus

dengan Saussure, karena: salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam

studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Seperti yang dijelaskan

dalam Sobur (2003: 68-69), ―konotasi‖ yang merupakan sifat asli tanda adalah sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang disebut Barthes dengan

(36)

mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari ―denotatif‖ atau sistem pemaknaan pertama.

Selanjutnya, bagaimana tanda itu bekerja, telah dipetakan oleh Barthes,

sebagai berikut:

Bagan 1.2

Peta yang diciptakan oleh Barthes tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley dan Jansz, 2002: 51).

Pada bagan 1.2, tanda denotatif (no. 3) terdiri dari penanda (no. 1) dan

petanda (no.2), namun pada saat bersamaan tanda denotatif (no.3) adalah

penanda konotatif (no. 4). Penanda konotatif (no.4) haruslah berkaitan dengan

sebuah petanda konotatif (no. 5). Keduanya kemudian mengkonstruksi tanda

konotatif (no. 6).

1.7 Metode Penelitian

Metode, berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos, terdiri dari kata

meta yang berarti melalui atau setelah, dan hodos yang berarti jalan, cara atau

arah (Kebung, 2008: 57). Metode penelitian yang akan digunakan dalam

(37)

penelitian lapangan. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang sering digunakan

dalam penelitian kebudayaan, yang lebih mementingkan relevansi beserta konteks

penelitiannya.

Seperti yang diuraikan oleh Kuntjara (2006: 3), berkaitan dengan

penelitian kualitatif yang identik dengan penelitian kebudayaan. Karena sifat

kebudayaan yang sering dimaknai dengan nilai-nilai, adat istiadat, norma-norma,

ide-ide dan simbol-simbol yang berlaku dalam budaya masyarakat. Penelitian

kebudayaan diungkapkan secara sederhana oleh Shwedar dalam buku yang

dieditori oleh Kim, Yang dan Hwang (2010: 18), bahwa: ―Persis seperti kita

memakai mata kita untuk melihat dunia, kita menggunakan budaya kita untuk

memahami dunia kita. Oleh karena itu, kita berpikir melalui budaya kita, maka

sulit bagi kita untuk mengenali budaya kita.‖

1.7.1 Metode hermeneutika dalam pembacaan karya seni rupa

Hermeneutika sudah lama digunakan untuk mengkaji makna teks, yakni di

Eropa setidaknya sejak abad pertengahan. Semiotika lahir di Eropa, pada zaman

modern melalui karya Ferdinand de Saussure di tahun 1916, yang waktu itu

hermeneutika berkembang terus mencari makna teks, dan Hermeneutika melalui

penafsiran yang didukung oleh ―konteks sosio historis‖ dan semiotika didukung oleh pemaknaan tanda sebagai ―unsur budaya‖ (Hoed , 2008: 75). Cara kerja

hermeneutika adalah untuk menangkap deep structure yang terkandung dalam

data. Hubungannya dengan analisis data dalam penelitian, cara kerja hermeneutika

(38)

Serasa familiar dan sering disebut-sebutkan bahwa semiotika dan

hermeneutika merupakan cabang ilmu yang diibaratkan seperti bertetangga atau

seperti kakak adik. Karena, keduanya sama-sama bergerak dalam pemaknaan

bahasa dan kemudian mencari pemaknaan bahasa rupa.

Bahasa dan sastra dalam tinjauan semiotik dan hermeneutika dapat kita

lihat dalam ungkapan Hoed (2008: 90), bahwa:

Pendekatan semiotika mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi memberikan kesempatan yang sentral kepada tanda. Kalaupun yang diteliti itu teks, teks itu dilihat sebagai tanda. Kalau tanda itu mengalami proses pemaknaan, manusia (dan lingkungan sosiokulturalnya) tidak secara khusus ditonjolkan dalam analisis semiotika. Pendekatan hermeneutika telah memperlihatkan bahwa kaitan makna teks dengan kebudayaan sangat erat dan dengan ini diperlihatkan secara terperinci dan eksplisit. Dalam pada itu, perangkat metodologi Ricouer telah menempatkan teks pada posisi sentral pula. Namun hermeneutika secara eksplisit memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi lingkungan teks itu, dan faktor diakronis (faktor-faktor sosiohistoriokultural) untuk mendukung proses penafsiran.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode hermeneutika Paul

Recoeur, sesuai dengan yang dikatakan oleh Saidi (2008: 36) bahwa: ―sebab

dasar interpretasi yang dikembangkan oleh Ricoeur adalah bahasa sebagai

wacana yang didalamnya juga tercakup narasi‖. Ricoeur didalam Hoed (2008:

97) menyatakan: interpretasi mengandung dua aspek, yakni perkembangan ke

arah self interpretation dan pergulatan melawan cultural distance, sehingga

teks bukan lagi diluar pembaca melainkan milik pembaca. Jadi, menurut Hoed,

konsep Ricouer tentang interpretasi merupakan konsep yang dinamis secara

spasitemporal dan historisosiokultural, yang keduanya diakui sebagai proses

(39)

Menurut peneliti, selain semiotika Charles Sanders Peirce dan semiologi

Roland Barthes yang bergaris lurus dengan strukturalisme Saussure memang

sangat relevan bila disandingkan dengan hermeneutika Paul Ricouer, karena

selain melihat tanda-tanda visual juga mengkaji teks-teks yang berkaitan dengan

narasi dan budaya. Diharapkan, dapat memberikan jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan peneliti terhadap karya yang di analisis.

Untuk bisa melihat lebih jelas terhadap metodologi yang digunakan

peneliti dalam menginterpretasi karya-karya yang akan diteliti, dapat dilihat pada

bagan berikut:

Bagan 1.3

Tangga metodologi menafsirkan karya (visualisasi dibuat oleh peneliti).

Pada bagan yang berupa ―visualisasi tangga menafsirkan karya‖ di atas,

adalah sebagai alur dalam menemukan makna yang terkandung dalam karya,

(40)

a). Pada permulaan adalah pengamatan karya seni sebagai objek yang diteliti,

pada posisi ini, karya seni yang bersifat faktual.

b). Melakukan pengamatan dengan menganalisis struktur estetika elementer

kesenirupaan yang terepresentasi pada setiap karya seni rupa yang diteliti,

yang akan dideskripsikan dalam bentuk tulisan.

c). Membaca tanda-tanda dan simbol-simbol yang terepresentasikan pada

karya-karya yang diteliti dengan menggunakan semiotika Peirce dan Semiologi

Barthes. Sifatnya, masih menganalisis dan memberikan ―tanda‖ dan ―penanda‖ awal untuk memasuki tahap selanjutnya.

d). Pada tahap ini, memasuki tahap penafsiran dengan metode hermeneutika

Ricouer. Yang membutuhkan aspek reverensial historisosiokultural pada

seniman-seniman yang diteliti. Kaitannya dengan simbol-simbol yang

terepresentasikan pada karya.

e). Tahap dimana makna dan narasi dapat diperoleh peneliti. Pada tahap ini,

peneliti juga membutuhkan makna yang dipaparkan oleh seniman yang

diteliti dan oleh para ahli. Maka akan diperoleh idiologi dan nilai-nilai di

dalam diri tiga seniman yang diteliti.

Jadi, setelah melalui tahapan tangga a-b-c-d-e, peneliti akhirnya bisa

menemukan jawaban terhadap rumusan masalah dalam penelitian tesis ini.

Peneliti dapat menemukan makna, nilai, dan pesan simbolik dari gagasan yang

(41)

1.7.2 Alur metodologi penelitian tesis

Guna mengetahui alur metodologi dalam penelitian tesis ini, peneliti

menggambarkannya dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Bagan 1.4

Alur Metodelogi Penelitian (dibuat oleh peneliti).

Seperti yang telah dijelaskan di atas oleh bagan 1.3, bahwa penelitian ini

merupakan penelitian lapangan berupa studi kualitatif, yaitu dengan

mengumpulkan data karya dari tiga seniman yang diteliti berkaitan dengan tema

narasi simbolik. Kemudian melakukan penelitian dengan kajian etnografi, berupa

biografi seniman yang akan diulas secara emik dan etik, yaitu penelitian yang

dilakukan secara langsung, seperti: wawancara untuk mengetahui latar belakang

seniman dan proses berkarya, dan secara tak langsung dari buku-buku,

(42)

Setelah diperoleh data dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi,

maka peneliti akan melakukan analisis data dengan melihat estetika elementer

kesenirupaan yang terkandung pada karya guna bisa mengelompokkan gaya dan

aliran pada karya yang diteliti, kemudian mendeskripsikan tanda atau simbol pada

karya pola narasi simbolik yang ditemukan pada karya seniman yang diteliti

dengan metode semiotika Peirce dan semiologi Barthes yang dikaitkan dengan

hasil penelitian etnografi si seniman, yang kemudian dilakukan penafsiran pada

karya dengan menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur, hingga akhirnya

akan diperoleh nilai-nilai dan ideologi dari seniman yang diteliti.

Pada tiap-tiap seniman yang diteliti, akan dipilih lima karya (sebagai

sampel) yang berstruktur narasi simbolik untuk dianalisis dan dikaji narasi-narasi

apa saja yang ditemukan. Alasan mengapa hanya lima karya yang dipilih sebagai

sampel dikarenakan jumlah karya para seniman yang cukup banyak dan tidak

mungkin bisa dibahas satu-persatu oleh peneliti. Tujuannnya adalah untuk

menemukan makna dari karya yang mewakili, yaitu berpola narasi simbolik.

Kuntjara (2006: 55) menjelaskan bahwa tujuan sampel dalam penelitian kualitatif

bukan mencari persamaan-persamaan yang ada sehingga bisa dibuat generalisasi,

tetapi lebih untuk memperinci dan memperdalam setiap aspek yang terkait pada

konteks permasalahan, juga untuk memperoleh informasi-informasi yang tak

(43)

1.8 Sistematika Penulisan

Secara garis besar, sistematika penulisan hasil penelitian ini diharapkan

mempunyai lima bagian atau lima bab, yaitu :

Pada Bab I, adalah pendahuluan yang di dalamnya berisikan latar

belakang, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

Pada Bab II, berisikan latar belakang budaya dan biografi tiga seniman

yang diteliti, yaitu budaya Karo, Batak dan Jawa Deli, kaitannya dengan bentuk

gagasan dasar atau aspek tematik yang tercermin dalam karya seni rupa yang

diteliti yang berpola narasi simbolik. Pada bab ini, kajian etnografi dari ketiga

seniman banyak berperan penting.

Pada Bab III, berisikan sejarah seni rupa di Medan dalam konteks

penciptaan karya seni rupa dan latar historis aspek naratif dalam seni rupa di

Medan. Pembahasannya meliputi aspek naratif seni rupa tradisi, modern dan

kontemporer di Medan.

Pada Bab IV berisi kajian narasi simbolik karya seni rupa tiga seniman

Medan. Kajiannya meliputi (1) struktur estetika elementer kesenirupaan yang

terepresentasikan dalam karya seni rupa tiga seniman yang diteliti, dan secara

khusus mendeskripsikannya dan membuat pola narasi simbolik pada karya dalam

bentuk bagan, kaitannya sesuai dengan konsep/gagasan seniman yang diteliti.

Kemudian menuliskan hasil dari penelitian. (2) Narasi-narasi apa saja yang

ditemukan atau diangkat dalam karya seni rupa yang diteliti, yang didalamnya

(44)

yang terepresentasi pada karya seni rupa yang diteliti dengan menggunakan

metode semiotika dan hermeneutika. Setelah itu, (3) menuliskan hasil penelitian

mengenai keterkaitan tiga seniman Medan dengan gagasan pola narasi simbolik

pada karya seni rupa yang diteliti. Diharapkan akan diperoleh nilai-nilai dan

ideologi dari ketiga seniman yang diteliti.

Pada Bab V,adalah penutup.Berupa kesimpulan dari hasil penulisan tesis

dan berisi kritik dan saran-saran baik secara keilmuan akademis peneliti maupun

dari segi kekaryaan seni murninya, yang juga memuat perbedaan dan kesamaan

dari kecenderungan berkarya, gaya, struktur estetika elementer kesenirupaannya,

makna serta narasi dan nilai-nilai (ideologi) yang terkandung di dalam karya tiga

Gambar

Tabel Pembangkit Tanda Peirce.

Referensi

Dokumen terkait

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI PANITIA UJI KOMPETENSI NASIONAL.. PROGRAM DIPLOMA

adalah "bun upas " (kabut), karena jika tanantan sudah terserang kabut tersebut, pucuk--pucuk daun tanaman akan "mlungker" kemudian tanaman mati. Dengan

Tidak dididik sejak kecil oleh ibu bapa Ibu bapa tidak mementingkan warisan bangsa Ibu bapa tidak menjadi teladan kepada anak-anak Berkaitan dengan budaya timur. Ibu bapa kini

Tujuan khusus dari pelakasanaan Praktik Pengalaman Lapanagn 2 bimbingan dan konseling adalah menyusun program-program dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling sesuai

[r]

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang

[r]

Aplikasi yang dirancang pada pene- litian ini bertujuan untuk melakukan simulasi pengaturan lampu lalu lintas yang tidak statis (dinamis), yaitu durasi lampu