• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Sikap

2. Teori Sikap

Pendekatan ini dikemukakan oleh Hovland dkk (1953) yang berasumsi bahwa sikap dipelajari sama halnya dengan kebiasaan lain (Sears et al., 1985). Setiap individu dalam hidupnya akan mempelajari suatu hal, mendapatkan informasi atau fakta-fakta. Secara tidak langsung individu juga mempelajari perasaan-perasaan dan nilai-nilai terhadap hal-hal tersebut. Teori ini memandang bahwa manusia merupakan makhluk yang pasif dimana sikap ditentukan oleh pembelajaran dari stimulus yang dihadapi.

Afeksi dan kognisi dipelajari melalui tiga cara, yaitu: asosiasi, peneguhan kembali, dan imitasi. Pembelajaran melalui asosiasi ini terbentuk apabila muncul stimulus pada saat dan tempat yang sama. Misalnya, saat akan membeli makanan, seorang teman mengatakan nama makanan itu dengan nada jijik, hal itu akan menimbulkan antara perasaan negatif dengan makanan tersebut. Peneguhan kembali merupakan penguatan positif atau negatif terhadap suatu objek. Misalnya, seorang mahasiswa kuliah di psikologi, kemudian ada temannya yang mengatakan psikologi itu ada jurusan yang bagus. Penguatan tersebut akan membuat

mahasiswa itu semakin mantap memilih jurusan itu. Imitasi berarti menirukan orang lain yang dianggap kuat dan penting .

b. Teori Insentif

Teori ini memandang pembentukan sikap terjadi karena ada proses menimbang baik buruknya suatu hal dan kemudian dicari mana yang terbaik.

Ada dua versi teori insentif:

i) Teori Respon Kognitif (Cognitive Response Theory)

Teori ini mengasumsikan bahwa individu memberi respon terhadap suatu komunikasi dengan beberapa pemikiran positif atau negatif dimana hal ini menentukan apakah sikap individu itu akan berubah atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa teori ini memandang individu sebagai pemroses aktif pada pesan yang diterima.

ii) Teori Nilai Ekspektansi (Expectancy-value Theory)

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa individu akan cenderung mengarah pada posisi yang akan membawa individu pada kemungkinan hasil yang terbaik untuk dirinya. Individu akan memaksimalkan nilai berbagai hasil atau akibat dari suatu hal.

c. Teori Konsistensi Kognitif

Teori Konsistensi kognitif ini berasumsi bahwa individu mempunyai ketidakkonsistenan kognisi yang membuat individu berusaha untuk mencari keyakinan atau nilai yang dapat membentuk konsistensi

kognisi. Motif utama dari teori ini adalah setiap individu akan terus berusaha mempertahankan dan memperbaiki konsistensi kognisinya.

Ada empat versi dari pendekatan ini: i) Teori Keseimbangan (Balance Theory)

Heider (1958) mengatakan bahwa teori ini meliputi tekanan konsistensi diantara akibat-akibat dalam sistem kognitif yang sederhana (Sears et al., 1985). Sistem ini terdiri dari dua objek (salah satunya orang lain), hubungan objek, dan pandangan keduanya terhadap objek.

Sistem dikatakan seimbang apabila individu sependapat dengan orang yang disukai dan tidak sependapat dengan orang yang tidak disukai. Demikian juga sebaliknya. Ketidakseimbangan dapat menimbulkan tekanan perubahan sikap pada individu sehingga individu cenderung untuk berubah ke susunan yang seimbang. Apabila tidak tercapai keseimbangan maka akan terjadi ketegangan pada diri individu.

ii) Teori Konsistensi Kognitif-Afektif

Teori ini dikemukakan oleh Rosenberg yang mengasumsikan bahwa afeksi sangat mempengaruhi pendirian dan keyakinan seseorang. Perasaan inidividu ini akan memperoleh kognisi yang diperlukannya sehingga akan diperoleh kognisi yang konsisten dengan pilihan afektifnya karena setiap individu akan cenderung mempunyai

kebutuhan untuk mencapai dan memelihara konsistensi (Azwar, 2005).

Rosenberg juga menekankan bahwa perubahan sikap dapat terjadi apabila terjadi tekanan-tekanan yang kuat pada afeksi individu. iii) Teori Ketidaksesuaian/Disonansi Kognitif (Cognitive

Dissonance)

Disonansi kognitif diartikan sebagai kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang terjadi akibat adanya konflik antara dua kognisi (Azwar, 2005). Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Festinger (1957). Wujud utamanya adalah ketidaksesuaian kognitif. Ketidaksesuaian ini dapat menyebabkan ketidakkonsistenan sikap dan perilaku individu yang bersumber pada dua masalah pokok yaitu: akibat pengambilan keputusan dan akibat perilaku yang bertentangan dengan sikap.

Pada dasarnya individu cenderung bersifat konsisten dan menghindari ketidakkonsistenan antara sikap dan perilaku. Namun, individu dihadapkan pada kenyataan bahwa perilaku inidividu seringkali irasional (Azwar, 2005). Disonansi kognitif terjadi apabila terdapat dua unsur yang relevan tetapi tidak konsisten satu sama lain. Sedangkan disonansi terjadi apabila terdapat dua unsur yang tidak relevan dan tidak konsisten satu sama lain. Disonansi membuat individu tidak merasa nyaman secara psikologis dan individu akan

berusaha untuk mencapai konsonansi yang terjadi karena adanya dua unsur yang relevan.

iv) Teori Atribusi

Teori ini mengasumsikan bahwa individu bersikap berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari afeksi dan kognisi mereka sendiri secara sadar.

d. Teori Fungsional

Teori ini dikemukakan oleh Kanz yang mengatakan bahwa dalam memahami sikap menolak atau menerima perubahan harus dilihat motivasi yang melatarbelakanginya.

Sikap mempunyai fungsi psikologis yang berbeda antara individu satu dengan individu lain. Bagi individu, fungsi ini juga mempengaruhi bagaimana tingkat konsistensi dalam bersikap terhadap objek tertentu dan tingkat mengubah sikap.

Ada lima fungsi sikap: i) Fungsi Instrumental

Fungsi ini menekankan pada keinginan umum individu untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari hukuman.

ii) Fungsi Pengetahuan

Sikap dianggap memiliki fungsi pengetahuan karena sikap membantu individu dalam memahami apa yang ada disekelilingnya sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

iii) Fungsi Nilai Ekspresif

Sikap mampu mencerminkan nilai-nilai ataupun konsep yang ada pada diri individu. Sikap yang berasal dari konsep ini sulit dirubah dan cenderung konsisten pada diri individu.

iv) Fungsi Pertahanan Ego

Sikap yang cenderung melindungi individu dari kecemasan yang dihadapi dikatakan memiliki fungsi pertahanan ego. Seperti yang dijelaskan oleh Freud (dalam Hall, 1993) pada pertahanan egonya yang disebut proyeksi dimana individu mengubah kecemasan neurotik menjadi ketakutan objektif yaitu dengan cara menekan impuls yang tidak dapat diterima kemudian menunjukan sikap bermusuhan terhadap orang yang mempunyai impuls yang sama.

v) Fungsi Penyesuaian Sosial

Sikap dikatakan mempunyai fungsi penyesuaikan sosial karena sikap dapat membantu individu dalam beradaptasi terhadap lingkungannya. Sikap dapat berubah apabila norma sosial berubah. e. Teori Tiga Proses Perubahan

Kelman (dalam Azwar, 2005) mengemukakan bahwa ada proses yang sangat berguna dalam memahami fungsi pengaruh sosial terhadap perubahan sikap. Ada tiga proses sosial yang berperan dalam perubahan sikap individu, yaitu:

i) Kesediaan

Proses ini terjadi saat individu mau menerima pengaruh dari orang lain semata-mata agar mendapatkan reaksi positif dari orang lain tersebut. Perubahan ini tidak berdasarkan dari hati kecil individu sendiri sehingga lebih cenderung mengubah perilaku dan bukan sikap yang mendasari sehingga tidak dapat bertahan lama.

ii) Identifikasi

Proses ini terjadi karena individu menirukan pihak lain yang bertujuan untuk mendapat bentuk yang menyenangkan dari sebuah hubungan antara individu dengan pihak lainnya. Proses ini tidak sekedar meniru sikap orang lain tetapi juga ada pengambilan sikap yang diperkirakan akan mendatangkan reaksi positif atau persetujuan dari pihak lain.

iii) Internalisasi

Proses ini terjadi apabila individu menerima pengaruh dari orang lain dan bersedia bersikap sesuai dengan pengaruh tersebut dikarenakan adanya kesesuaian antara pengaruh tersebut dengan keyakinan dan sistem nilai yang ada dalam diri individu. Biasanya sikap ini akan cenderung dipertahankan dan tidak akan berubah apabila tidak ada perubahan dalam sistem nilai dari individu yang bersangkutan.

Dokumen terkait