• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4.1 Teori Struktural Fungsional

Teori struktural-fungsional dapat ditelusuri pada pemikiran August Comte, yang menyatakan bahwa kehidupan manusia dapat dipelajari dengan menggunakan teknik-teknik yang diterapkan di dalam ilmu alam “Titik berat argumennya terletak pada asumsi bahwa terdapat suatu tatanan alamiah yang dengannya kehidupan manusia dapat dipahami. Pendekatan struktural fungsional ini adalah pendekatan teori sosiologi yang diaplikasikan dalam institusi keluarga. Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat di dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mengakui adanya keragaman di dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman pada fungsi sesuai dengan posisi seseorang pada struktur sebuah sistem. Metode fungsionalisme bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dimasyarakat. Metode ini berprinsip bahwa unsur- unsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi; masing-masing mempunyai fungsi tersendiri terhadap masyarakat.

Menurut Comte, wanita “secara konstitusional” bersifat inferior terhadap laki- laki. Oleh sebab itu, Comte percaya bahwa wanita menjadi subordinat laki-laki begitu mereka menikah. Wanita tidak punya hak untuk bercerai, sebab mereka adalah semata-mata budak laki-laki manja. Comte menegaskan bahwa untuk menyusun tatanan masyarakat yang baik dan maju bagi Perancis, diperlukan otoritas patriarkat dan kediktatoran politik. Positivisme Comte adalah sebuah filsafat mengenai stabilitas yang berlandaskan pada keabadian tentang “kebenaran” unit keluarga.

Herbert Spencer memperjelas analogi antara sosiologi dan biologi dengan dua macam analogi. Yang pertama adalah proses evolusi dari bentuk yang sederhana kepada bentuk yang komplek. Individu-individu di masyarakat, institusi-institusi sosial dan masyarakat itu sendiri berkembang dari yang sederhana kepada yang kompleks. Dalam kaitan ini wanita dianalisis dalam hubungan dengan “kedudukan” mereka di masyarakat: yakni fungsi mereka dalam keluarga. Keberadaan mereka di dalam keluarga serta peran sosial sebagai istri turut membantu mengikat keluarga sebagai sebuah unit, sedangkan laki-laki membuka hubungan ke luar. Dalam tulisan awalnya, Spencer memperjuangkan hak-hak laissezfaire bagi individu wanita, serta menyatakan bahwa sifat-sifat alamiah wanita tidak tetap, menurutnya, wanita memiliki hak untuk bersaing secara bebas dengan laki-laki. Begitupun ia menyarankan wanita untuk tidak bersaing dengan laki-laki. Analogi kedua adalah membandingkan organisme masyarakat dengan organisme individu, yakni kedua organisme tersebut tumbuh menjadi besar yang menjadikan keduanya lebih kompleks dan terjadi perbedan. Proses perbedaan yang lebih lanjut dalam struktur organisasi dibarengi dengan proses perbedaan dalam fungsi.

Sosiolog lainnya adalah Emile Durkheim yang menegaskan bahwa individu merupakan ekspresi dari kolektivitas tempat individu tersebut berada. Tanggung jawab setiap individu diberikan oleh masyarakat itu sendiri, namun kesadaran kolektivitas akan tetap melekat dalam setiap individu. Durkheim menerapkan teori tentang pembagian kerja dalam masyarakat. Sifat-sifat alamiah wanita yang inhern menciptakan suatu pembagian kerja, hierarki, dan otoritas laki-laki dan struktur moralitas. Sifat-sifat alamiah tersebut menempatkan perempuan dibawah kontrol logis kaum laki-laki dalam keluarga patriarkhat dan struktur sosial. Durkheim membincangkan perempuan dalam dua konteks tempat yakni dalam konteks positif perkawinan dan keluarga dimana wanita memainkan peran tradisional yang fungsional terhadap keluarga; dan dalam konteks negatif bunuh diri, perceraian dan seksualitas. Dalam keluarga, laki-laki memegang otoritas sebab keluarga membutuhkan seorang pemimpin, karenanya wanita tidak mempunyai wewenang terhadap laki-laki.

Pengaruh fungsionalisme dapat ditemui dalam pemikiran Feminisme Liberal. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung nilai-nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada yang sama dianggap mendiskriminasikan kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal ini bertumpu pada pandangan bahwa kebebasan persamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk didalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki- laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu membedakan kesempatan antara laki-laki dan perempuan.

Asumsinya, karena perempuan adalah makhluk rasional. Oleh sebab itu ketika mempersoalkan keterbelakangan kaum perempuan, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri. Dengan kata lain bila sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan maka jika kaum perempuan tidak mampu bersaing dan kalah, yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan sendiri. Seperti halnya filsafat eksistensialisme, feminisme liberal memberikan landasan teoritis akan persamaan wanita dalam potensi rasionalitasnya dengan pria.

Untuk itu perempuan harus dipersiapkan agar mampu bersaing dengan bebas melalui program-program yang dapat meningkatkan taraf hidup kelurga serta kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan perempuan supaya mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki. Salah satu pengaruh feminisme liberal ini terefleksi dalam program global yang disebut Women in Development. Menurut mereka keterbelakangan kaum perempuan adalah akibat dari sikap irrasional yang berpangkal pada nilai-nilai tradisional dan kepasifan mereka dalam pembangunan. Oleh karena itu melibatkan kaum perempuan dalam industrialisasi dan program pembangunan dianggap sebagai cara untuk meningkatkan kaum perempuan. Menurut feminisme liberal, dasar hukum yang kuat diperlukan untuk menjamin persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Karenanya mereka memfokuskan perjuangan pada perubahan undang-undang yang dianggap mempertahankan sistem patriarkhat dalam keluarga.

(

Dalam tradisi feminisme liberal penyebab penindasan wanita diketahui karena kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individu maupun kelompok.

Cara pemecahan untuk mengubahnya yaitu menambah kesempatan-kesempatan bagi perempuan terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini muncul selama revolusi Prancis. Perubahan-perubahan sosial besar-besaran tersebut menyediakan argumen politik maupun moral untuk gagsan- gagasan mengenai “kemajuan, kontrak, sifat dasar dan alasan” yang memutuskan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional. Asumsinya apabila perempuan diberi jalan yang sama untuk bersaing, mereka akan berhasil.

Dokumen terkait