• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

6. Teori Strukturalisme

Sangidu 2004 (Sariningsih, 2011:9) mengungkapkan bahwa teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut Teew 1988 (Sariningsih, 2011:9)

Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan mendalam mungkin berkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Stanton membagi struktur menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

a. Fakta-fakta cerita

Stanton 2007 (Sariningsih, 2011:9) mengemukakan bahwa karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita. Struktur faktual bukanlah hal terpisah dari sebuah cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang.

1) Alur

Menurut Stanton 2007 (Sariningsih, 2011:10) secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kiasan-kiasan pandangannya,

keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel perubahan dalam dirinya.

Stanton 2007 (Sariningsih, 2011: 10) mengemukakan bahwa alur merupakan tulang punggung cerita. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa- peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri; alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan. Terdapat dua elemen dasar yang membangun alur yaitu konflik dan klimaks. Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan tertentu. Konflik semacam inilah yang menjadi inti struktur cerita, pusat yang pada gilirannya akan tumbuh dan berkembang seiring dengan alur yang terus-menerus mengalir. Stanton 2007 (Sariningsih, 2011:11) mengemukakan bahwa klimaks adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan.

2) Karakter

Menurut Stanton 2007 (Sariningsih 2011:11) mengemukakan bahwa karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, kartakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut.

Karakter utama yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap kita terhadap karakter tersebut. Alasan seorang karakter untuk bertindak sebagaimana yang ia lakukan dinamakan motivasi. 3) Latar

Stanton 2007 (Sariningsih, 2011: 11) mengemukakan bahwa latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar juga dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita.

Stanton 2007 (Sariningsih, 2011:12) mengemukakan bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional

yang melingkupi sang karakter. Tone emosional ini disebut dengan istilah atmosfer. Atmosfer bisa jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter atau sebagai salah satu bagian dunia yang berada di luar diri sang karakter.

b. Tema

Stanton 2007 (Sariningsih, 2011:12) mengatakan bahwa tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Sama seperti makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema. Tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Tema hendaknya memenuhi beberapa kriteria: (1)selalu mempertimbangkan berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita, (2) tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi, (3) tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit), (4) diujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan.

c. Sarana-sarana sastra

Nurgiyantoro 2007 (Sariningsih, 2011:13) mengemukakan bahwa sarana kesastraan (literary devices) adalah teknik yang dipergunakan oleh

pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna.

1) Judul

Stanton 2007 (Sariningsih, 2011:13) judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu. Akan tetapi, bila judul tersebut mengacu pada satu detail yang tidak menonjol. Judul semacam ini acap menjadi petunjuk makna cerita bersangkutan.

2) Sudut Pandang

Stanton 2007 (Sariningsih, 2011:13) pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita, dinamakan sudut pandang. Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama, yaitu (1) orang pertama-utama, sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri, (2) orang pertama- sampingan, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan), (3) orang ketiga-terbatas, pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja.

3) Gaya dan Tone

Stanton 2007 (Sariningsih, 2011:14) mengemukakan bahwa dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.

Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. Di samping itu, gaya juga bisa terkait dengan maksud dan tujuan sebuah cerita. Seorang pengarang mungkin tidak memilih gaya yang sesuai bagi dirinya akan tetapi gaya tersebut justru pas dengan tema cerita. Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah tone. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan.

4) Simbolisme

Stanton 2007 (Sariningsih, 2011:14) Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Dua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema.

5) Ironi

Stanton 2007 (Sariningsih, 2011:15) secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Dalam dunia

fiksi, ada dua jenis ironi yang dikenal luas yaitu ’ironi dramatis’ dan

‟tone ironis. ”Ironi dramatis’ atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tone ironis atau ironi verbal digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan.

Dokumen terkait