• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.3 Teori – teori dalam Pengembangan Wilayah

Teori tempat pusat atau central place theory pertama kali dikembangkan oleh Walter Christaller pada tahun1993. Christaller (1933) dalam Djojodipuro

(1992: 134), mendefisikan Pusat Pelayanan atau lebih dikenal dengan central place merupakan kota-kota yang menyajikan barang dan jasa bagi masyarakat di wilayah sekelilingnya dengan membentuk suatu hirarki berdasarkan jarak dan

ambang batas penduduk. Pembagian hirarki pelayanan tersebut, mengakibatkan

suatu kota (dengan hirarki pelayanan paling tinggi) secara alami memiliki potensi

daya tarik yang besar dan berpengaruh besar bagi daerah-daerah yang

kekuatannya lebih kecil, dimana kota tersebut mempunyai kemampuan menarik

potensi, sumber daya dari daerah lain dan kota di bawahnya.

Walter Christaller pada tahun 1933 melakukan studi di Jerman Selatan

mengenai hirarki pusat pelayanan kegiatan jasa pada tujuh tingkat hirarki pusat

pelayanan, mulai dari desa kecil di pinggir jalan hingga kota. Setiap pusat

pelayanan tertentu, seperti jasa kesehatan, jasa pemenuhan kebutuhan (toko, pasar

berkala, dan pasar harian), serta jasa pemerintahan. Hasil studinya ini merupakan

sumbangan sekaligus juga kemajuan yang berarti bagi teori lokasi secara umum,

dan secara khusus adalah bagi teori penyediaan pusat pelayanan penduduk

tersebut diartikan sebagai pusat kota (maupun sub pusat kota), yang merupakan

suatu titik / tempat / daerah pada suatu kota yang memiliki peran sebagai pusat

dari segala kegiatan kota antara lain politik, sosial, budaya, ekonomi dan

teknologi (Yunus, 1999 : 9). Dalam teori ini ada 4 (empat) asumsi yang

mendasari, yaitu :

 Wilayah tersebut merupakan wilayah yang datar, dan juga memiliki sumberdaya alam yang merata.

 Pergerakan dimungkinkan dapat dilakukan ke segala arah.

 Penduduk tersebar secara merata diseluruh wilayah, dan semuanya memiliki daya beli yang sama.

 Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimasi jarak atau biaya.

Berdasarkan asumsi dan fenomena tersebut diatas, Christaller menjelaskan

juga bahwa suatu tempat pusat memiliki 3 (tiga) karakteristik khusus. Ketiganya

dikatakan sejalan karena ketiga karakteristik tersebut merupakan faktor – faktor

utama yang mempengaruhi terbentuknya pola geometris wilayah pelayanan suatu

1. Memiliki ambang penduduk (threshold population)

Ambang penduduk adalah jumlah penduduk minimum untuk dapat

mendukung suatu penawaran akan jasa. Dalam hal ini, jasa yang ditawarkan

adalah jasa pelayanan yang diberikan oleh fasilitas-fasilitas yang ada ditempat

pusat tersebut. Bila jumlah penduduk yang dilayani berada dibawah ambang,

maka pelayanan tersebut akan menjadi kurang baik dan kurang efektif.

2. Memiliki jangkauan pasar / wilayah cakupan layanan (markete range)

Jangkauan pasar suatu aktifitas jasa adalah jarak yang seseorang bersedia

untuk menempuhnya untuk mendapatkan jasa yang bersangkutan. Lebih jauh dari

jarak ini, orang yang bersangkutan akan mencari tempat lain yang lebih dekat

untuk memenuhi kebutuhan akan jasa yang sama. Jangkauan pasar setiap kegiatan

pelayanan jasa akan saling berbeda-beda, tergantung pada arti pentingnya suatu

tempat pusat / pelayanan jasa tersebut.

3. Memiliki struktur hirarki pelayanan

Struktur hirarki pelayanan adalah tingkat pelayanan kegiatan jasa dari

mulai tingkatan yang paling tinggi seperti pada tingkatan kota, sampai pada

tingkatan yang paling rendah seperti pada tingkatan desa.

b. Teori Daerah / Wilayah Inti

Friedmann (1964) menganalisis aspek-aspek tata ruang, lokasi serta

persoalan-persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam

ruang lingkup yang lebih general.

Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, metropolis

statis sisanya merupakan subsistem-subsistem yang kemajuan pembangunannya

ditentukan oleh lembaga-lembaga daerah inti dalam arti bahwa daerah-daerah

pinggiran berada dalam suatu hubungan ketergantungan yang substansial. Daerah

inti dan wilayah pinggiran bersama-sama membentuk sistem spasial yang

lengkap.

Pada umumnya daerah-daerah inti melaksanakan fungsi pelayanan

terhadap daerah-daerah sekitarnya. Beberapa daerah inti memperlihatkan fungsi

yang khusus, misalnya sebagai pusat perdagangan atau pusat industri, ibukota

pemerintah dan sebagainya.

Hubungan dengan peranan daerah inti dalam pembangunan spasial,

friedmann mengemukakan 5 (lima) buah preposisi utama, yaitu sebagai berikut

(N.M Hansen: 1972,96 – 99 dalam Adisasmita: 119) :

1. Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah

disekitarnya melalui sistem suplay, pasar dan daerah administrasi.

2. Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi ke

daerah-daerah disekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya.

3. Sampai pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung

mempunyai pengaruh positif dalam proses pembangunan sistem spasial, akan

tetapi mungkin pula mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran

pembangunan wilayah inti kepada daerah-daerah disekitarnya tidak berhasil

ditingkatkan, sehingga keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah

4. Dalam sistem spasial, hirarki daerah-daerah inti ditetapkan berdasarkan pada

kedudukan fungsionalnya masing-masing meliputi karakteristik-

karakteristiknya secara terperinci dan prestasinya.

5. Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan keseluruh daerah sistem spasial

dengan cara mengembangkan pertukaran informasi.

Teori ini memiliki kelemahan yaitu :

1. Teori ini tidak membahas masalah pemilihan lokasi optimum industri dan

tidak pula menentukan jenis investasi apa yang sebaiknya ditetapkan di pusat-

pusat urban, oleh karena itu mereka di klasifikasikan sebagai tanpa tata ruang.

2. Dominannya pusat-pusat urban dapat menimbulkan dampak negatif yaitu

munculnya susunan-susunan ketergantungan dualistik menimbulkan akibat-

akibat yang mendalam bagi pembangunan Nasional.

c. Model Gravitasi Sebagai Faktor Penting Penentu Lokasi

Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk

melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi.

Model ini sering di gunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan

besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Dalam perencanaan wilayah,

model ini sering dijadikan alat untuk melihat apakah lokasi berbagai fasilitas

kepentingan umum telah berada pada tempat yang benar. Selain itu, apabila kita

ingin membangun suatu fasilitas yang baru maka model ini dapat digunakan untuk

menentukan lokasi yang optimal. Artinya, fasilitas itu akan digunakan sesuai

dengan kapasitasnya. Model gravitasi berfungsi ganda, yaitu sebagai teori lokasi

Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order)

kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-

sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap

keberadaan berbagai macam usaha / kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial

(Tarigan, 2006:77).

Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang menentukan apakah

suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas.

Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi

ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006:73). Menurut Tarigan, tingkat

aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan

berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta

kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.

Dalam analisis kota yang telah ada atau rencana kota, dikenal standar

lokasi (standard for location requirement) atau standar jarak (Jayadinata,

Tabel 2.1

Standar Jarak Dalam Kota

No Prasarana Jarak dari tempat tinggal (berjalan

k ki)

1 Pusat tempat kerjaPusat kota (dengan pasar, dan sebagainya)Pasar lokal

20 sampai 30 menit30 sampai 45 Menit ¾ km atau 10 menit

2 Sekolah Dasar ¾ km atau 10 menit

3 Sekolah Menengah Pertama 1 ½ km atau 20 menit 4 Sekolah Lanjutan Atas 20 atau 30 menit 5 Tempat bermain anak-anak dan ¾ km atau 20 menit 6 Tempat olah raga dan pusat lalita 1 ½ km atau 20 menit 7 Taman untuk umum atau cagar

(seperti kebun binatang, dan sebagainya

30 sampai 60 menit

Sumber: Chapin dalam Jayadinata (1999:161)

d. Teori Penempatan Lokasi Pusat Pelayanan

Penempatan lokasi suatu pusat pelayanan pada prinsipnya harus

mempertimbangkan aspek keruangan dengan cermat Hal tersebut berlaku bagi

semua hirarki struktur pusat pelayanan, mulai dari tingkat pusat kota, sub pusat

kota atau pusat bagian wilayah kota, tingkat perdesaan sampai kepada pusat

lingkungan, penempatan lokasi yang tepat akan dapat mewujudkan sistem

pelayanan wilayah yang baik dan efisien. Secara umum, pusat pelayanan tersebut

harus ditempatkan pada lokasi yang sentral. Terdapat beberapa teori yang

berkaitan dengan lokasi pusat pelayanan, yaitu:

1. Pendapat Christaller (1933) Dalam Teori Tempat Pusat

Konsumen (penduduk pengguna fasilitas) akan berusaha mencari pusat

pelayanan yang terdekat. Hal ini berarti bahwa pusat pelayanan tersebut harus

pelayanan akan saling terhubung oleh suatu jaringan heksagonal. Dalam konteks

dunia modern saat ini, pendapat Christaller ini dapat diartikan bahwa lokasi pusat

pelayanan harus sedekat mungkin dengan daerah kosentrasi permukiman

penduduk. Sementara itu, jaringan heksagonal dapat diartikan sebagai jaringan

pergerakan yang menghubungkan antara bagian wilayah yang satu dengan yang

lainnya. Jadi, pusat pelayanan harus berlokasi di simpul-simpul pertemuan

jaringan pergerakan yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pusat pelayanan

tersebut dapat dengan mudah dicapai penduduk.

2. Kaidah most accesible, Rushton (1979)

Lokasi yang paling optimum untuk sebuah pusat pelayanan adalah lokasi

yang paling mudah diakses/dicapai oleh penduduk. Terdapat beberapa kriteria

yang dapat mendefiisikan kaidah most accecible ini, seperti kriteria minimasi jarak total, kriteria minimasi jarak rata-rata, kriteria minimasi jarak terjauh,

kriteria pembebanan merata, kriteria batas ambang, serta kriteria batas kapasitas.

Dokumen terkait