• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. TEORI SOSIOLOGIS

1. Teori-teori Perubahan Sosial

Sebelum masuk pada pembahasan tentang teori-teori perubahan sosial,

terlebih dahulu harus mengetahui definisi dari perubahan sosial sendiri.

Perubahan sosial (Social Change) merupakan perubahan dalam segi struktur sosial dan hubungan sosial. Sedangkan Farley mendefinisikan perubahan sosial

sebagai perubahan pola perilaku, hubungan sosial dan struktur sosial pada

waktu tertentu. Perubahan ini dalam segi distribusi meliputi perubahan

kelompok usia, tingkat pendidikan rata-rata, kecerdasan, perubahan kadar rasa

kekeluargaan dan lain sebagainya. Berbeda dengan kemajuan yang lebih

cenderung pada penilaian progresif, perubahan sosial bisa mengarah pada

kemunduran dan kemajuan sekaligus.1

Perubahan sosial merupakan fenomena sosial yang wajar. Berjalan terus

menerus seiring dengan kebutuhan, tuntutan dan ketidak puasan masyarakat,

untuk itulah teori sosial dibuat untuk maksud-maksud yang sama, yakni untuk

menerangkan dan memahami pengalaman pada basis dari pengalaman

pengalaman lain dan ide-ide umum mengenal dunia.2

1

Paul B. Horton dkk, Sosiologi Edisi Keenam. Terj. Aminuddin Ram (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1984), 208.

2

Dalam displin ilmu sosiologi terutama di bidang keislaman terdapat

berbagai logika teoritis (pendekatan) yang dikembangkan sebagai perspektif

utama sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat

fenomena keagamaan di masyarakat. Di antara pendekatan teori itu yaitu:

a) Pendekatan teori fungsionalisme.

b) Pendekatan teori konflik.

c) Pendekatan interaksionisme-simbolis3

.

Masing-masing perspektif itu memiliki karakteristik sendiri-sendiri

bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu

fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan.

Pembahasan berikut ini akan memaparkan bagaimana ketiga perspektif tersebut

dalam melihat fenomena keagamaan di masyarakat.

a. Fungsionalisme

Pendekatan fungsional ini terkenal pada akhir 1930-an, dan

mengandung pandangan makroskopis terhadap masyarakat. Walaupun

pendekatan ini bersumber pada sosiolog-sosiolog Eropa seperti Max

Webber, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto, dan beberapa antropolog sosial

Inggris, namun yang pertama mengemukakan rumusan sistematis mengenai

teori ini adalah Talcot Parsons, dari Harvard. Teori fungsionalisme disebut

juga teori Fungsionalisme Struktural. Teori ini kemudian dikembangkan

3

Yunus Ilyas B.A, Ahmad Farid, Islamic Sosiology; An Introduction, terj. Hamid Basyaib (Bandung: Mizan, 1996), 20-24.

21

oleh para mahasiswa Parson, dan para murid mahasiswa tersebut, terutama

di Amerika. Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar yaitu :

1. Masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam

fungsi-fungsi mereka masing-masing, saling bergantung, sehingga

perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu sub-struktur dengan

sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi

dalam struktur-struktur lainnya pula. Karena itu, tugas analisis

sosiologis adalah menyelidiki mengapa yang satu mempengaruhi yang

lain, dan sampai sejauh mana.

2. Setiap struktur berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas atau

substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem sosial.

Contoh-contoh sub-struktur ini dalam masyarakat adalah keluarga, agama,

pendidikan, dan pranata-pranata mapan lainnya.

Dalam agama Islam, Islam hadir sebagai agama yang berfungsi dan

bertujuan membenarkan akidah masyarakat yang buta akan kehidupan

spiritual yang sesuai dengan kultur masyarakat sekitar.

Dalam perspektif teori sosiologi, sebuah penelitian yang melibatkan

kehidupan beragama (pengalaman keagamaan) dapat didekati dengan teori

fungsional.4 Seperti yang pernyataan Durkheim, bahwa ia tertarik kepada

unsur-unsur solidaritas dalam masyarakat. Durkheim mencari prinsip yang

mempertalikan anggota di masyarakat. Ia menyatakan bahwa agama harus

mempunyai fungsi, agama bukan illusi, tetapi merupakan fakta sosial yang

4O’dea Thomas F, Sosiologi Agama; Suatu Pengenalan Awal (Jakarta: Rajawali, 1990),

dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial, bagi Durkheim

agama memainkan peranan yang fungsional, karena agama adalah pondasi

tatanan sosial. Dalam karyanya yang berjudul Elementary Forms of the Religious Life, Emile Durkheim menunjukan bukti-bukti antropologis guna memperkuat argumennya, bahwa pengalaman religius menjadi pondasi

tatanan sosial.5

Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional

memandang terhadap masyarakat, sebagai suatu lembaga sosial yang berada

dalam keseimbangan yang menjalankan kegiatan kemanusiaan berdasarkan

norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran

serta manusia itu sendiri. Dalam fungsionalisme struktural, istilah struktural

dan fungsional tidak selalu harus dihubungkan walaupun keduanya biasanya

dihubungkan. Subyek dapat mempelajari struktur masyarakat tanpa

memperhatikan fungsinya terhadap struktur lain. Begitu juga, subyek dapat

meneliti fungsi berbagai proses sosial yang mungkin tidak mempunyai

struktur.6

Pembahasan tentang fungsionalisme struktural, menurut Parsons ada

empat fungsi penting untuk semua sistem yaitu Adaptation (adaptasi), yakni menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya. Goal Attainment (pencapaian tujuan), Integration (Integrasi) yaitu sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagaian-bagaian yang menjadi komponennya.

5

Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2012), 12.

6

George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prenada Media, 2007), 117.

23

Latency (pemeliharaan pola) yaitu sistem memelihara dan memperbaiki baik motivasi individual maupun pola-pola kultural.7

Untuk penjelasan secara rinci mengenai teori Fungsionalisme Struktural

adalah mengacu kepada dua konsep kunci.8 Struktur menunjuk pada suatu

sistem dengan pola-pola yang relatif abadi. Sistem juga bisa diartikan

sebagai sebuah ideologi yang mempunyai fungsi untuk mengatur tingkah

laku masyarakat. Sistem ini memberi nilai kepada tingkah laku dan berbagai

segi kehidupan.9

Sedangkan fungsi diartikan sebagai “konsekwensi-konsekwensi dari setiap kegiatan sosial yang tertuju pada adaptasi atau penyesuaian suatu

struktur tertentu dari bagian-bagian komponennya”. Teori Fungsionalisme Struktural ini merupakan teori yang banyak dirujuk untuk menerangkan

fenomena yang terjadi di masyarakat sebagai sebuah sistem sosial yang

komplek, termasuk di dalamnya sistem kepercayaan atau spiritual dalam

sebuah agama.

b. Konflik

Teori konflik sebagaian berkembang sebagai reaksi terhadap

Fungsionalisme Struktural. Teori konflik ini berasal dari berbagai sumber

lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel. Pada

tahun sekitar 1950-1960-an, teori konflik menyediakan alternatif terhadap

7

Ibid., 121.

8

Margaret Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2000), 28-29.

9

Muchammad Ismail, Pengantar Sosiologi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013), 181.

Fungsionalisme Struktural, tetapi dalam tahun terakhir telah digantikan oleh

berbagai macam teori neo-Marxian. Salah satu kontribusi utama teori

konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih

memanfaatkan pemikiram Marx10

.

Namun para pengikut sosiologi Marx menggunakan pedoman-pedoman

sosiologis dan ideologisnya Marx secara eksplisit, sedangkan prasangka

ideologis hanya secara implisit terdapat dalam tulisan-tulisan para penganut

pendekatan fungsional karena teori konflik tidak dapat dipisahkan dari akar

struktural fungsionalnya.11

c. Interaksionisme Simbolik

Pendekatan Interaksionalisme Simbolik merupakan sebuah perspektif

mikro dalam sosiologi yang sangat spekulatif pada tahapan analisisnya.

Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit prasangka ideologis, walaupun

meminjam banyak dari lingkungan barat tempat dibinanya pendekatan ini.

Sumbangan dari teori Interaksionalisme Simbolik ini menyatakan bahwa

manusia memiliki kemampuan untuk berpikir. Kemampuan berpikir

memungkinkan manusia bertindak dengan pemikiran ketimbang hanya

berperilaku dengan tanpa pemikiran. Manusia pasti sering kali membangun

dan membimbing tentang yang mereka lakukan dari pada melepaskan begitu

saja.12

10

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, 153.

11

Ibid.

12

Dokumen terkait