• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI SOSIOLOGIS AJARAN IBADAH DALAM AMALIAH SHOLAWAT WAHIDIYAH SYEKH KH. ABDOEL MADJID MA'ROEF.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLIKASI SOSIOLOGIS AJARAN IBADAH DALAM AMALIAH SHOLAWAT WAHIDIYAH SYEKH KH. ABDOEL MADJID MA'ROEF."

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

M. Amin Khoirul Anam

NIM E51212050

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

M. Amin Khoirul Anam, 2016, “Implikasi Sosiologis Ajaran Ibadah dalam Amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh KH. Abdoel Madjid Ma’roef”.

Pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu (1). Bagaimana ajaran ibadah dalam amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh KH. Abdoel Madjid Ma’roef. (2). Bagaimana implikasi sosiologis keagamaan bagi masyarakat setempat khususnya para pengikut beliau.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian Deskripsi Kualitatif untuk menjelaskan dan mengetahui ajaran-ajaran ibadah yang dibimbingkan oleh Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef yang dirangkai di dalam Sholawat Wahidiyah dan mengetahui Implikasi Sosiologis terhadap masyarakat setempat khususnya para pengikut beliau.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memahami ajaran-ajaran ibadah dalam amaliah Sholawat Wahidiyah yang telah disusun oleh Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef dan juga Implikasi Sosiologisnya terhadap masyarakat. Penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan khazanah keilmuan terutama di bidang pemikiran Islam. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam mendalami ilmu-ilmu dalam bidang ‘ubudiyah dan ajaran Wahidiyah yang dibimbingkan oleh Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef (Pengarang Sholawat Wahidiyah) yang berfaidah menjernihkan hati dari kotoran-kotoran batin dan juga berfaedah untuk kesadaran kepada Allah swt dan Rasulullah saw.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Data yang didapatkan berasal dari observasi, wawancara dan dokumentasi. Dari penelitian tersebut ada temuan-temuan di antaranya adalah bahwa ajaran ibadah dalam Amaliyah Sholawat Wahidiyah yang dibimbingkan oleh Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef tersebut bercorak tasawuf yang universal dan praktis yang terkenal dengan sebutan Ajaran Wahidiyah yang berisi ajaran Lillāh Billāh, Lirrasūl Birrasūl, Lilghauts Bilghauts, Yu`tī Kulla Dhī aqqin aqqah, Taqdīm al-Ahamm fa al-Aham thumma al-Anfa’ fa al-Anfa’ yang berfungsi sebagai penerapan tugas manusia hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah swt, sehingga apapun yang dilakukan oleh masyarakat selalu dicatat sebagai nilai Ibadah kepada Allah swt, selain itu implikasi dari ajaran-ajaran tersebut memberikan ketenangan batin, perbaikan mental, akhlak masyarakat dan meningkatkan kecerdasan dalam berpikir.

(7)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Penegasan Judul ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

G. Telaah Pustaka ... 11

H. Metode Penelitian ... 13

(8)

BAB II. LANDASAN TEORI ... 19

A. TEORI SOSIOLOGIS ... 19

1. Teori-teori Perubahan Sosial. ... 19

a. Fungsionalisme ... 20

b. Konflik ... 23

c. Interaksionisme Simbolis ... 24

2. Pengertian Implikasi Sosiologis ... 25

3. Kontribusi Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam ... 26

B. TEORI-TEORI SUFISME ... 30

1. Pengertian Tasawuf ... 30

2. Fungsionalisme dalam Kajian Tasawuf ... 32

3. Ajaran-ajaran dalam Ilmu Tasawuf ... 36

BAB III. PENYAJIAN DATA ... 44

A.Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef ... 44

1. Sketsa Biografi ... 44

2. Latar Belakang Pendidikan ... 45

3. Mengarang Sholawat Wahidiyah ... 48

B.Ajaran-ajaran Ibadah dalam Amaliah Sholawat Wahidiyah ... 52

1. Ajaran Lillāh ... 54

2. Ajaran Billāh ... 59

3. Ajaran Lirrasūl ... 61

(9)

5. Ajaran Lilghauts ... 64

6. Ajaran Bilghauts ... 68

7. Yu`tī Kulla Dhī aqqin aqqah ... 69

8. Taqdīm al-Ahamm fa al-Ahamm thumma al-Anfa’ fa al-Anfa’ ... 72

BAB IV. ANALISIS DATA ... 73

A. Corak Ajaran KH. Abdoel Madjid Ma’roef ... 73

B. Implikasi Ajaran Ibadah dalam Amaliah Sholawat Wahidiyah ... 77

1. Perbaikan Mental Masyarakat ... 79

2. Perbaikan Akhlak Masyarakat ... 82

3. Meningkatkan Kecerdasan dalam Berpikir ... 84

C. Ajaran Ibadah dalam Amaliah Sholawat Wahidiyah KH. Abdoel Madjid Ma’roef dalam Perspektif Fungsionalisme ... 86

BAB V. PENUTUP ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi

Muhammad saw dan diutus untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia

(seluruh alam semesta). Islam sebagai agama yang paling sempurna, karena

ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan dan tujuan diciptakannya manusia

untuk mengenal Allah sebagai Tuhannya, dan berbakti kepada-Nya. Inilah rahasia

utama tujuan diciptakannya manusia, sebagai makhluk yang berakal, berpikir dan

berkemauan di alam semesta ini.1

Agama Islam mempunyai tiga pondasi pokok yaitu Iman (akidah), Islam

(syari’at), dan Ihsan (akhlak). Iman, dalam konteks ini sering disebut dengan

teologi, ilmu kalam, akidah, atau tauhid. Adapun Islam, sering dihubungkan

dengan syari’at. Syari’at dalam Islam terbagi atas dua kaidah besar yaitu kaidah

ibadah dan kaidah muammalah. Ihsan terkadang diistilahkan dengan akhlak.

Sedangkan Iman itu sendiri merupakan pilar utama dalam agama Islam. Iman

merupakan ilmu yang bersifat global. Sedangkan ilmu-ilmu yang lain itu bersifat

parsial, sehingga ilmu-ilmu yang lain yang bersifat parsial itu harus dilandasi

dengan ilmu tauhid yang bersifat global. 2

Adapun hakikat tauhid dalam Islam itu sebenarnya adalah penyerahan

diri yang bulat kepada kehendak Allah, baik menyangkut ibadah serta muamalah

1

Yusuf al-Qardlawi, Ibadah Dalam Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1998), 4.

2

(11)

(hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan seperti pergaulan, perdata, dan

sebagainya), dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan

kehendak Allah swt. Di samping mempelajari ilmu kalam, aqidah dan syari’at, seseorang juga harus mempelajari ilmu-ilmu lainya agar segala hal yang

dilakukan selalu dicatat oleh Allah sebagai amal yang baik.3

Menurut Abu A’la al-Maududi dalam bukunya “Political Theory of

Islam” bahwa Islam bukanlah hanya sekedar kepercayaan/keimanan, tetapi juga Way of Life. Islam menghendaki adanya kepatuhan secara mutlak kepada Tuhan tidak hanya di dalam kepercayaan, tetapi juga di dalam moral, kebudayaan,

politik, aktivitas-aktivitas sosial baik bersifat individual maupun intelektual.4 Jadi,

dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang menjadi

alat bagi pengatur segala kegiatan dan kehidupan manusia di dunia ini.

Secara bahasa, Islam juga dapat diartikan “damai”, artinya dengan

menyerahkan diri (beribadah) kepada Allah, maka kedamaian akan tercipta di

muka bumi ini.5 Ibadah adalah cinta dan ketundukan yang sempurna, dan makna

cinta yaitu mencakup sikap merendahkan diri kepada Allah secara maksimal,

karena sesungguhnya akhir tingkatan cinta itu adalah pengabdian. “Pada saat

hamba mencintai Allah, namun ia tidak tunduk kepada-Nya, maka ia belum bisa

dikatakan menjadi hamba-Nya. Begitu pula pada saat hamba tunduk kepada-Nya

tanpa ada rasa cinta, maka ia pun juga belum bisa dikatakan menjadi hamba-Nya.

Sampai ia bisa menjadi orang yang mencintai dan tunduk kepada-Nya.”

3

Ibid., 15-16.

4

Syahminan Zaini, Perjanjian Ketuhanan (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), 62.

5

(12)

3

Dalam kehidupan sehari-hari, dapat disaksikan dalam layar televisi, para

pejabat pemerintah yang korupsi, guru memperkosa muridnya, dan masih banyak

lagi kejadian yang memprihatinkan. Padahal sebenarnya akal pikiran dapat

membedakan perkara yang baik dan perkara yang buruk, akan tetapi dalam

prakteknya justru sebaliknya. Padahal orang yang telah mempunyai ilmu tetapi

tidak mau mengamalkannya, dia akan dikecam oleh Allah swt, begitu juga

seseorang yang tekun dalam beribadah namun masih membanggakan ibadahnya

dan lupa bahwa semua itu semata-mata dari Allah maka orang tersebut tidak

menjadi semakin dekat kepada Allah tetapi malah justru lebih jauh dari Allah swt.

Jika seseorang itu beribadah hanya dalam lahiriahnya saja namun dalam

segi batiniahnya ia masih jauh dari Allah swt, maka ibadahnya itu belum bisa

dikatakan sebagai amal ibadah yang sebenarnya sebab syarat dan prinsip dalam

menjalankan ibadah adalah harus disertai niat dalam pelaksanaannya. Allah tidak

akan menerima amalan kecuali yang diniatkan hanya karena-Nya semata.6 Jika

tidak disertai dengan niat yang ikhlas dalam beribadah maka apapun bentuk

perbuatannya, perbuatan taat sekalipun, amal perbuatan tersebut tidak dicatat

sebagai ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah:

َرَـف َا

ُهاَوَ ُهَهَلِا َذَخَتا ِنَم َتْيَء

Artinya:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya”.7

6

Bram, Faishal dkk, Menjadi Generasi Robbani, 31.

7

(13)

Orang yang mempunyai banyak ilmu pengetahuan, baik berupa ilmu

pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, namun ia bertambah

sombong, riya’ dan ‘ujub (selalu membangga-banggakan diri), takabbur ia dapat dikatakan sebagai orang yang lupa atas karunia Allah, dan hal itu merupakan dosa

besarnya hati,8 sebab sesungguhnya segala perkara yang ada di dunia hanyalah

milik Allah swt dan orang yang berilmu itu perlu adanya hidayah Allah. Dalam

hubungan antara ilmu dan hidayah, Rasulullah saw telah bersabda:

ِنَم

اًدْعُـب َاِإ ِها َنِم ْدَدْزَـي ْمَل ىًدُ ْدَدْزَـي ْمَلَو اًمْلِع َداَدْزا

Artinya:

“Barang siapa bertambah ilmunya dan tidak bertambah hidayahnya,

maka tidak menjadi bertambah (dekatnya) melainkan semakin jauh dari Allah".

(H.R. Abu Mansur dan Dailami dari Jabir RA).9

Bertambahnya ilmu apabila tidak disertai dengan hidayah Allah swt, maka ilmu-ilmu tersebut tidak akan mampu menanamkan benih-benih yang

menumbuhkan kejernihan hati, ketentraman batin dan kesehatan mental bahkan

ilmu tersebut dapat menyuburkan benih-benih imperialis nafsu dalam hati manusia. Sehingga kemudian timbul rasa bangga, rasa dirinya berilmu,

berkemampuan, berkuasa, dan merasa lebih baik dari pada orang lain. Akibatnya

akan timbul sifat-sifat ke-aku-an, egoisme atau ananiyah. Ilmu yang seharusnya menjadi alat penyaring kemurnian dan ketulusan hati yang bersih, dalam

8

Sholeh Darat, Syarh al-Hikam, terj. Miftahul Ulum (Depok: Sahifa, 2016), 143.

9

(14)

5

prakteknya justru disalahgunakan menjadi polusi jiwa (pengotoran jiwa) yang

lebih keruh tetapi lebih halus sehingga yang bersangkutan tidak merasa.10

Kerusakan mental masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini telah diambang

pintu kehancuran, dilanda arusnya nafsu hingga manusia tenggelam dalam lautan

kegelapan akibat dari kebodohannya tentang keimanan (kesadaran) kepada Allah

swt dan Rasul-Nya. Kehidupan manusia sudah tidak lagi menerapkan nilai-nilai

ajaran agama, sehingga melahirkan manusia-manusia akuisme (merasa paling

benar) dan menyebabkan timbulnya sifat-sifat yang tidak bermoral.

Sifat-sifat akuisme akan selalu menguasai diri manusia, bahkan setiap

orang pada dasarnya mempunyai kecenderungan yang besar untuk menuju kearah

pemuasan dirinya, yang berkembang sejak kecil hingga dewasa. Akuisme tidak

bisa hilang atau dihilangkan. Akan tetapi, sifat-sifat keakuan dapat dikendalikan

dan ditundukkan melalui perjuangan dan peperangan internal dalam diri manusia

sendiri.11

Berbagai problematika di atas adalah fenomena yang sedang terjadi

dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam kegiatan-kegiatan sosial. Betapa

banyak umat Islam yang tekun dalam beribadah, tetapi jarang aktif dalam kegiatan

sosial kemasyarakatan, tidak sehat dalam berpolitik bahkan sering menyalahkan

orang lain dan mengakui kebenarannya sendiri dan masih banyak

kegiatan-kegiatan muamalah yang tidak didasari dengan nilai-nilai ibadah. Hal ini

dikarenakan masih ada orang yang beribadah namun masih mengandalkan dan

10

Mohammad Ruhan Sanusi, Kuliyah Wahidiyah (Jombang: DPP-PSW, 2006), 9.

11 Musa Asy’arie,

(15)

membangga-banggakan ibadahnya, dan lupa bahwasanya semua adalah

semata-mata karena Allah swt.

Di tengah kehidupan manusia yang telah kehilangan pegangan hidupnya

itu, muncul seorang tokoh yang sangat perhatian akan kelangsungan keselamatan

kehidupan masyarakat di dunia dan akhirat. Beliau adalah Syekh KH. Abdoel

Madjid Ma’roef, seorang ulama’ sekaligus pengasuh pondok pesantren Kedunglo,

Bandar Lor, Kediri. Ia terkenal bersahaja dan tawaḍu’.

Keprihatinan beliau terhadap kondisi kehidupan manusia yang semakin

jauh dari Allah swt dibuktikan dengan riyaḍah yang begitu luar biasa beliau lakukan. Segala jenis dan macam doa beliau amalkan untuk memperbaiki atau

membangun mental (akhlak) manusia yang hampir berada di jurang kehancuran.

Dengan kesungguhan Syekh KH. Abdoel Madjid Ma’roef dalam bermunajat kepada Allah swt, sekitar awal bulan Juli 1959 beliau menerima suatu “alamat gaib” dengan istilah beliau disebut Yaquḍatan (sadar dan terjaga), bukan dalam

keadaan mimpi.12

Maksud dari “alamat gaib”13

tersebut adalah supaya ikut berjuang

memperbaiki mental masyarakat lewat jalur batiniah. Setelah menerima alamat

gaib tersebut beliau sangat prihatin, kemudian beliau mencurahkan atau

memusatkan kekuatan batiniah, bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam bertaqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah swt, memohon kesejahteraan bagi

12

Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Sholawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS, 2008), 93.

13

Alamat Gaib merupakan istilah/sebutan dari bahasa beliau Syekh. KH. Abdoel Madjid

Ma’roef sendiri untuk menjaga sopan santun beliau terhadap para ulama’. Dalam istilah

(16)

7

umat masyarakat, terutama dalam perbaikan akhlak, kesadaran kepada Allah swt

dan Rasul-Nya.14

Beliau memberikan sumbangan yang menakjubkan bagi kesejahteraan

umat/masyarakat yaitu suatu metode/cara menerapkan nilai-nilai ibadah di dalam

kehidupan sekaligus untuk membersihkan hati dan kesadaran kepada Allah swt

dan Rasul-Nya. Beliau menyusun Sholawat Wahidiyah yang dirangkai dengan

Ajaran Wahidiyah, yang tidak dimiliki oleh kelompok jama’ah Sholawat lainnya.

Beliau juga membawa ajaran-ajaran ibadah yang bercorak tasawuf yang universal,

dan praktis, ajaran tersebut dinamakan ajaran Wahidiyah yang berisi Lillāh Billāh,

Lirrasūl Birrasūl, Lilghauth Bilghauth, Yu`tī Kulla Dhī aqqin aqqah, Taqdīm

al-Ahamm fa al-Aham thumma al-Anfa’ fa al-Anfa’.15

Ajaran Wahidiyah adalah bimbingan praktis lahiriah dan batiniah

berdasarkan al-Qur’an dan Hadits di dalam melaksanakan tuntunan Rasulullah saw yang meliputi bidang Iman, Islam dan Ihsan yang menurut para ulama disebut

dengan akidah, syari’at dan akhlak. Sedangkan menurut para ahli tasawuf disebut dengan syari’at, hakikat dan ma’rifat. Maka ajaran Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef merupakan ajaran yang berdasarkan al-Quran, al-Hadis serta ijma’ para ulama’ terdahulu.16

Oleh karena itu, penulis ingin membahas tentang ajaran Ibadah dalam

amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh KH. Abdoel Madjid Ma’roef dan implikasi

sosiologisnya terhadap masyarakat setempat khususnya para pengikut beliau.

14

Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Sholawat Wahidiyah, 93.

15

Mohammad Ruhan Sanusi, Kuliyah Wahidiyah, 109.

16

(17)

Sehingga apapun yang dilakukan oleh manusia selama hidup di dunia adalah

semata-mata sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt. Baik dalam kehidupan

bermasyarakat maupun dalam amalan-amalan spiritual.

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Dalam kalangan umat Islam, masyarakat menganggap bahwa ibadah itu

hanyalah sekedar menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap kewajiban,

seperti sholat, puasa, zakat dan naik haji. Padahal tidak demikian, bahwa manusia

itu diciptakan hanyalah untuk beribadah semata-mata kepada-Nya, sehingga

apapun yang dilakukan selama hidup di dunia adalah bentuk ibadah kepada-Nya

semata. Seperti firman Allah:

ِنْوُدُبْعَـيِل َاِإ َسْنِْإا َو َنِجْلا ُتْقَلَخ اَمَو

Artinya:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada Ku”.17

Umat Islam seharusnya tidak hanya tekun dalam beribadah saja, tetapi

juga harus benar dalam beribadah maupun bermuamalah. Dengan kata lain, umat

Islam itu di samping memiliki kesalehan ritual, juga harus memiliki kesalehan

sosial. Umat Islam harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai ibadah dan

ketauhidannya kepada Allah swt dalam kegiatan sehari-harinya, baik dalam

kegiatan politik, sosial, maupun ekonomi.

17

(18)

9

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah di atas,

maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ajaran ibadah dalam amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh KH.

Abdoel Madjid Ma’roef ?

2. Bagaimana implikasi sosiologis ajaran ibadah dalam amaliah Sholawat

Wahidiyah Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef bagi masyarakat setempat

khususnya para pengikut beliau ?

D.Penegasan Judul

Agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami judul skripsi ini maka

perlu diberikan penegasan judul. Penegasan judul “Implikasi Sosiologis Ajaran Ibadah dalam Amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh KH. Abdoel Madjid Ma’roef”

adalah sebagai berikut:

Maksud dari Implikasi yaitu dampak yang dirasakan ketika melakukan

sesuatu (keterlibatan)18 atau bisa dikatakan hasil dari sebuah paradigma yang

terdapat dalam suatu bidang, ilmu, atau pemikiran yang selanjutnya menimbulkan

“dampak terhadap masyarakat”, sedangkan pengertian sosiologis adalah sebuah

tinjauan atau paradigma dari sudut pandang ilmu-ilmu sosiologi19.

Definisi “Ajaran” yaitu segala sesuatu yg diajarkan; nasihat; petuah atau

petunjuk20. Sedangkan definisi dari Ibadah yaitu merendahkan diri serta tunduk

18

Peter, KamusBahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: English Press, 1991), 562.

19

Plus A. Partanto Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: ARKOLA, 2001),725.

20

(19)

kepada Allah swt dengan disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling

tinggi.21

Amaliah yaitu praktek22 atau segala apa yang berhubungan dengan tata

cara amal (pengamalan) seperti shalat, dzikir, membaca sholawat dan lain

sebagainya. Sedangkan pengertian Sholawat Wahidiyah adalah rangkaian

doa-doa, sholawat nabi seperti yang tertuluis dalam lembaran sholawat yang dikarang

oleh Syekh KH. Abdoel Madjid Ma’roef.23

E.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini mempunyai

tujuan sebagai berikut:

1. Untuk memahami dan mengetahui ajaran ibadah dalam amaliah Sholawat

Wahidiyah Syekh KH. Abdoel Madjid Ma’roef

2. Untuk mengetahui implikasi sosiologis ajaran ibadah dalam amaliah Sholawat

Wahidiyah Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef bagi masyarakat setempat,

khususnya para pengikut beliau.

F. Manfaat Penelitian

Hasil dari studi penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal-hal

sebagai berikut:

1. Kegunaan teoretis, meliputi dua hal:

21

Bram, Faishal dkk, Menjadi Generasi Robbani (Surabaya: ITS Press, 2011),29.

22

Plus A. Partanto Kamus Ilmiah Populer, 31.

23

(20)

11

a. Dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan tentang kajian yang

serupa.

b. Dapat digunakan sebagai dasar penyusun untuk penelitian lanjutan yang

mempunyai relevansi dengan skripsi ini.

2. Kegunaan praktis, yaitu sebagai acuan bagi para akademisi untuk memahami

Ajaran Ibadah dalam Amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh. KH. Abdoel

Madjid Ma’roef sekaligus Implikasinya dan untuk memahami cara beribadah

agar posisi hati dapat kembali sadar kepada ketuhanan yang maha Esa.

G.Telaah Pustaka

Berdasarkan dari telaah yang telah dilakukan, penelitian yang

berhubungan tentang Implikasi Sosiologis Ajaran Ibadah dalam Amaliah

Sholawat Wahidiyah Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef cukup banyak di antaranya adalah Skripsi karya Pardianto dengan judul “Dakwah Jamaah

Wahidiyah (Studi tentang Proses Dakwah Jamaah Wahidiyah di Desa Dawu, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur)”. Penelitian ini menjelaskan

bahwa aktifitas dakwah yang dilakukan oleh jama’ah Wahidiyah adalah dengan Mau’iḍah al- asanah dan wirid. Pendekatan yang digunakan adalah melalui

tasawuf (sufisme). Kemudian untuk strateginya yaitu melalui bacaan sholawat

Wahidiyah.

Skripsi karya Fathul Mu’in dengan judul “Bentuk Kepemimpinan KH.

(21)

Kediri”. Penelitian ini menjelaskan tentang pemikiran putra beliau Syekh KH.

Abdoel Madjid Ma’roef yang bernama KH. Abdul Latif Madjid, dan menjelaskan

tentang tipe-tipe kepemimpinannya.

Skripsi karya Masyhudi dengan judul “Sholawat Wahidiyah di Jombang;

Ihwal Tangis dalam Mujahadah yang dilakukan oleh Pengamal Wahidiyah”. Penelitian ini membahas tentang tangis ketika bermujahadah. Di sini juga

dijelaskan tentang manfaat dan kerugian menangis dipandang dari perspektif ilmu

psikologis.

Skripsi karya Sholikhah dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organizational Commitment (Studi pada Pengamal Sholawat Wahidiyah “Jama’ah Wahidiyah Miladiyah” Kota Kediri)”. Skripsi ini

menjelaskan bahawa faktor-faktor yang mempengaruhi Organizational Commitment pengamal sholawat Wahidiyah di Kediri yaitu faktor motivasi, iklim, kepribadian dan hubungan antara manusia.

Skripsi karya Ahmad Sururi dengan judul “Meditasi Buddhis dan Dzikir

Islami (Studi Komparatif atas Vipassana Bhavana dan Mujahadah Wahidiyah)”.

Penelitian ini menjelaskan perbedaan tentang konsep/cara kegiatan spiritual yang

dilakukan masyarakat budha dan islam yaitu antara Vipassana Bhavana dengan

Mujahadah Wahidiyah.

Dari beberapa karya tulis yang telah disebutkan di atas, penulis

menyimpulkan bahwa sampai saat ini penelitian tentang Implikasi Sosiologis

Ajaran Ibadah dalam Amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh. KH. Abdoel Madjid

(22)

13

H.Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor

mendefinisikan penelitian kualitatif24 sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif bermaksud juga

untuk memahami fenomena-fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian misalnya tentang perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain

sebagainya.25

Penelitian ini berusaha menguak dan membahas tentang ajaran-ajaran

ibadah dalam amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh. KH. Abdoel Madjid

Ma’roef dan implikasi sosiologis terhadap masyarakat setempat khususnya

para pengikut beliau. Sehingga apapun yang dilakukan selama hidup di dunia

adalah sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt. Baik dalam kehidupan

bermasyarakat maupun spiritual.

2. Sumber Data

Dalam sebuah penelitian, data merupakan hal yang paling utama dan

sangat penting, sebab penelitian tidak akan berarti apa-apa apabila tidak ada

data. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan

sekunder.

24

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 4.

25

(23)

a. Sumber data primer

Sumber data primer dalam penelitian ini yaitu berasal dari hasil

wawancara dengan narasumber seperti para kerabat, keluarga dan

orang-orang yang dekat dan mengenal sejarah beliau Syekh KH. Abdoel Madjid

Ma’roef, dan para pengurus penyiar sholawat wahidiyah, serta

masyarakat setempat, khususnya para pengamal dan pengikut beliau.

Narasumber tersebut yaitu:

1. KH. Abdul Hamid Madjid (Putra Syekh KH. Abdoel Madjid

Ma’roef)

2. KH. Mohammad. Ruhan Sanusi (Ketua Umum DPP PSW)

3. KH. Masruh Ihsan Machin

4. Ust. Mahfud Busyro (Anggota MTC PSW Kab. Sidoarjo)

5. Ust. Bukhori (Pengamal Sholawat Wahidiyah Kab. Sidoarjo)

6. Iswatun Khoiroh (Pengamal Sholawat Wahidiyah Kab. Gresik)

7. Shofiatul Chasanah (Mahasiswi STAI Jombang)

8. Achmad Tsubutul Ulum (Pengamal Sholawat Wahidiyah Kab.

Jombang)

9. Mas Umar (Pengamal Sholawat Wahidiyah Kab. Mojokerto)

10. Siti Zubaidah (Pengamal Sholawat Wahidiyah Kab. Bojonegoro)

11. Yunita Dwi Kurnia (Masyarakat Kediri)

12. Khubbi al-Afghani dan beberapa informan yang lain.26

26

(24)

15

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah berbagai dokumen,

literatur/buku-buku yang berkaitan dan sebagai pendukung dalam

penelitian ini, di antaranya yaitu:

1. Buku “Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah” karya

Sokhi Huda.

2. Buku “Kuliyah Wahidiyah” karya Mohammad Ruhan Sanusi.

3. Buku “Materi Kegiatan ASWAR; Asrama Wahidiyah Romadlon 1436

H”. Dikeluarkan oleh DPP-PSW.

4. Buku “Ringkasan Sejarah Sholawat Wahidiyah, Ajaran Wahidiyah

dan Penyiar Sholawat Wahidiyah”. Karya Mohammad Ruhan Sanusi

5. Buku “Tuntunan Mujahadah dan Acara-acara Wahidiyah” dikeluarkan DPP-PSW.

6. Buku “Aku Pengganti Muallif Sholawat Wahidiyah” Karya Muhammad Djazuly Yusuf.

7. Buku “Pedoman Pokok-pokok Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah” dikeluarkan oleh DPP PSW.

8. Buku “Sejarah dari Awal Perjuangan Wahidiyah” karya Qomari

Mukhtar.

9. Buku “Ringkasan Sejarah Sholawat Wahidiyah, Ajaran Wahidiyah, dan Penyiar Sholawat Wahidiyah” dan didukung dengan

(25)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk

memperoleh data yang diperlukan27. Secara umum metode pengumpulan data

dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu metode pengamatan langsung,

metode dengan pertanyaan, dan metode khusus. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan beberapa metode, diantaranya:

a. Observasi;

Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara

sistematis terhadap gejala atau fenomena yang diselidiki yaitu

mengadakan pengamatan dan pencatatan terhadap apa yang dijadikan

obyek penelitian28. Dalam hal ini penulis terlibat secara langsung dengan

objek, mengikuti kegiatan dan aktivitas bersama dengan masyarakat di

lokasi penelitian tersebut. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam

melakukan pengamatan29 adalah isi pengamatan, mencatat pengamatan,

ketetapan pengamatan, dan hubungan antara pengamat dan yang diamati.

Dalam melakukan pengamatan perlu dicatat data-data yang dibutuhkan.

b. Wawancara;

Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara

pewawancara dengan responden atau narasumber30. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan metode wawancara semi terstruktur, dengan

27

Moh. Nazir, Metode Penelitian (Darussalam: Penerbit Ghalia Indonesia, 2009), 174.

28

Hadi Sutrisno, Metode Research, cet IX (Yogyakarta: Jajasan Penerbitan FIP-IKIP, 1968), 146.

29

Moh. Nazir, Metode Penelitian (Darussalam: Ghalia Indonesia, 2009), 177.

30

(26)

17

panduan pertanyaan (interview guide maupun protokol penelitian), dan wawancara terbuka (tanpa panduan). Dengan metode wawancara ini

penulis berharap bisa menggali data lebih mendalam, tepat, dan akurat.

c. Dokumentasi;

Teknik dokumentasi merupakan Proses pembuktian yang didasarkan atas

jenis sumber apapun, baik yang bersifat tulisan, gambar atau sesuatu

yang tercetak yang dapat digunakan sebagai bukti (keterangan)31. Hal

inilah yang diambil oleh peneliti sebagai teknik pengumpulan data.

4. Analisis Data

Setelah data yang diperoleh di lapangan dirasa sudah cukup, langkah

selanjutnya yakni analisis data. Secara garis besar, analisis data meliputi

langkah-langkah32 sebagai berikut:

1) Persiapan; dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah mengecek

kelengkapan data, memilih, menyortir data sedemikian rupa sehingga

data-data yang dibutuhkan dan yang tidak, sudah tertata dengan rapi dan

tinggal melakukan pengolahan lanjutan.

2) Penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian; dalam tahapan ini

yang dilakukan adalah menyusun dan menuliskan data-data yang sudah

tersusun rapi sesuai dengan pendekatan yang dilakukan oleh peneliti.

31

Irwan Soehartono, Metodologi Penelitian Sosial (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 65.

32

(27)

I. Sistematika Penulisan

Hasil dari penelitian ini selanjutnya akan diuraikan ke dalam bentuk

sistematika pembahasan agar pembaca lebih mudah dalam memahami karya

ilmiah ini. Adapun sistematika pembahasan dalam skripsi ini dijabarkan pada

paragraf berikutnya.

Tulisan ini akan diawali dengan Bab I yaitu pendahuluan. Bab ini

mengutarakan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,

penegasan judul, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Selanjutnya, pada Bab II yaitu landasan teori. Bab ini mengutarakan

tentang teori-teori perubahan sosial, pengetian implikasi sosiologis. Selain itu juga

mengutarakan tentang teori-teori sufisme, pengertian tasawuf dan juga

ajaran-ajaran dalam tasawuf.

Kemudian Bab III yaitu penyajian data. Pada bab ini akan mengutarakan

tentang sketsa biografi Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef, menjelaskan ajaran

-ajaran ibadah dalam amaliah Sholawat Wahidiyah yang disusunolehnya.

Selanjutnya Bab IV yaitu analisis data. Bab ini membahas tentang corak

ajaran Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef, implikasi ajaran ibadah dalam amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh. KH. Abdoel Madjid Ma’roef terhadap

masyarakat khususnya para pengikut beliau (pengamal Sholawat Wahidiyah) dan

memadukan teori fungsionalisme dengan data-data hasil penelitian di lapangan.

Berikutnya Bab V yaitu penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.TEORI SOSIOLOGIS

1. Teori-Teori Perubahan Sosial

Sebelum masuk pada pembahasan tentang teori-teori perubahan sosial,

terlebih dahulu harus mengetahui definisi dari perubahan sosial sendiri.

Perubahan sosial (Social Change) merupakan perubahan dalam segi struktur sosial dan hubungan sosial. Sedangkan Farley mendefinisikan perubahan sosial

sebagai perubahan pola perilaku, hubungan sosial dan struktur sosial pada

waktu tertentu. Perubahan ini dalam segi distribusi meliputi perubahan

kelompok usia, tingkat pendidikan rata-rata, kecerdasan, perubahan kadar rasa

kekeluargaan dan lain sebagainya. Berbeda dengan kemajuan yang lebih

cenderung pada penilaian progresif, perubahan sosial bisa mengarah pada

kemunduran dan kemajuan sekaligus.1

Perubahan sosial merupakan fenomena sosial yang wajar. Berjalan terus

menerus seiring dengan kebutuhan, tuntutan dan ketidak puasan masyarakat,

untuk itulah teori sosial dibuat untuk maksud-maksud yang sama, yakni untuk

menerangkan dan memahami pengalaman pada basis dari pengalaman

pengalaman lain dan ide-ide umum mengenal dunia.2

1

Paul B. Horton dkk, Sosiologi Edisi Keenam. Terj. Aminuddin Ram (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1984), 208.

2

(29)

Dalam displin ilmu sosiologi terutama di bidang keislaman terdapat

berbagai logika teoritis (pendekatan) yang dikembangkan sebagai perspektif

utama sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat

fenomena keagamaan di masyarakat. Di antara pendekatan teori itu yaitu:

a) Pendekatan teori fungsionalisme.

b) Pendekatan teori konflik.

c) Pendekatan interaksionisme-simbolis3

.

Masing-masing perspektif itu memiliki karakteristik sendiri-sendiri

bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu

fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan.

Pembahasan berikut ini akan memaparkan bagaimana ketiga perspektif tersebut

dalam melihat fenomena keagamaan di masyarakat.

a. Fungsionalisme

Pendekatan fungsional ini terkenal pada akhir 1930-an, dan

mengandung pandangan makroskopis terhadap masyarakat. Walaupun

pendekatan ini bersumber pada sosiolog-sosiolog Eropa seperti Max

Webber, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto, dan beberapa antropolog sosial

Inggris, namun yang pertama mengemukakan rumusan sistematis mengenai

teori ini adalah Talcot Parsons, dari Harvard. Teori fungsionalisme disebut

juga teori Fungsionalisme Struktural. Teori ini kemudian dikembangkan

3

(30)

21

oleh para mahasiswa Parson, dan para murid mahasiswa tersebut, terutama

di Amerika. Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar yaitu :

1. Masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam

fungsi-fungsi mereka masing-masing, saling bergantung, sehingga

perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu sub-struktur dengan

sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi

dalam struktur-struktur lainnya pula. Karena itu, tugas analisis

sosiologis adalah menyelidiki mengapa yang satu mempengaruhi yang

lain, dan sampai sejauh mana.

2. Setiap struktur berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas atau

substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem sosial.

Contoh-contoh sub-struktur ini dalam masyarakat adalah keluarga, agama,

pendidikan, dan pranata-pranata mapan lainnya.

Dalam agama Islam, Islam hadir sebagai agama yang berfungsi dan

bertujuan membenarkan akidah masyarakat yang buta akan kehidupan

spiritual yang sesuai dengan kultur masyarakat sekitar.

Dalam perspektif teori sosiologi, sebuah penelitian yang melibatkan

kehidupan beragama (pengalaman keagamaan) dapat didekati dengan teori

fungsional.4 Seperti yang pernyataan Durkheim, bahwa ia tertarik kepada

unsur-unsur solidaritas dalam masyarakat. Durkheim mencari prinsip yang

mempertalikan anggota di masyarakat. Ia menyatakan bahwa agama harus

mempunyai fungsi, agama bukan illusi, tetapi merupakan fakta sosial yang

4O’dea Thomas F,

(31)

dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial, bagi Durkheim

agama memainkan peranan yang fungsional, karena agama adalah pondasi

tatanan sosial. Dalam karyanya yang berjudul Elementary Forms of the Religious Life, Emile Durkheim menunjukan bukti-bukti antropologis guna memperkuat argumennya, bahwa pengalaman religius menjadi pondasi

tatanan sosial.5

Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional

memandang terhadap masyarakat, sebagai suatu lembaga sosial yang berada

dalam keseimbangan yang menjalankan kegiatan kemanusiaan berdasarkan

norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran

serta manusia itu sendiri. Dalam fungsionalisme struktural, istilah struktural

dan fungsional tidak selalu harus dihubungkan walaupun keduanya biasanya

dihubungkan. Subyek dapat mempelajari struktur masyarakat tanpa

memperhatikan fungsinya terhadap struktur lain. Begitu juga, subyek dapat

meneliti fungsi berbagai proses sosial yang mungkin tidak mempunyai

struktur.6

Pembahasan tentang fungsionalisme struktural, menurut Parsons ada

empat fungsi penting untuk semua sistem yaitu Adaptation (adaptasi), yakni menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya. Goal Attainment (pencapaian tujuan), Integration (Integrasi) yaitu sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagaian-bagaian yang menjadi komponennya.

5

Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2012), 12.

6

(32)

23

Latency (pemeliharaan pola) yaitu sistem memelihara dan memperbaiki baik motivasi individual maupun pola-pola kultural.7

Untuk penjelasan secara rinci mengenai teori Fungsionalisme Struktural

adalah mengacu kepada dua konsep kunci.8 Struktur menunjuk pada suatu

sistem dengan pola-pola yang relatif abadi. Sistem juga bisa diartikan

sebagai sebuah ideologi yang mempunyai fungsi untuk mengatur tingkah

laku masyarakat. Sistem ini memberi nilai kepada tingkah laku dan berbagai

segi kehidupan.9

Sedangkan fungsi diartikan sebagai “konsekwensi-konsekwensi dari

setiap kegiatan sosial yang tertuju pada adaptasi atau penyesuaian suatu

struktur tertentu dari bagian-bagian komponennya”. Teori Fungsionalisme Struktural ini merupakan teori yang banyak dirujuk untuk menerangkan

fenomena yang terjadi di masyarakat sebagai sebuah sistem sosial yang

komplek, termasuk di dalamnya sistem kepercayaan atau spiritual dalam

sebuah agama.

b. Konflik

Teori konflik sebagaian berkembang sebagai reaksi terhadap

Fungsionalisme Struktural. Teori konflik ini berasal dari berbagai sumber

lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel. Pada

tahun sekitar 1950-1960-an, teori konflik menyediakan alternatif terhadap

7

Ibid., 121.

8

Margaret Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2000), 28-29.

9

(33)

Fungsionalisme Struktural, tetapi dalam tahun terakhir telah digantikan oleh

berbagai macam teori neo-Marxian. Salah satu kontribusi utama teori

konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih

memanfaatkan pemikiram Marx10

.

Namun para pengikut sosiologi Marx menggunakan pedoman-pedoman

sosiologis dan ideologisnya Marx secara eksplisit, sedangkan prasangka

ideologis hanya secara implisit terdapat dalam tulisan-tulisan para penganut

pendekatan fungsional karena teori konflik tidak dapat dipisahkan dari akar

struktural fungsionalnya.11

c. Interaksionisme Simbolik

Pendekatan Interaksionalisme Simbolik merupakan sebuah perspektif

mikro dalam sosiologi yang sangat spekulatif pada tahapan analisisnya.

Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit prasangka ideologis, walaupun

meminjam banyak dari lingkungan barat tempat dibinanya pendekatan ini.

Sumbangan dari teori Interaksionalisme Simbolik ini menyatakan bahwa

manusia memiliki kemampuan untuk berpikir. Kemampuan berpikir

memungkinkan manusia bertindak dengan pemikiran ketimbang hanya

berperilaku dengan tanpa pemikiran. Manusia pasti sering kali membangun

dan membimbing tentang yang mereka lakukan dari pada melepaskan begitu

saja.12

10

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, 153.

11

Ibid.

12

(34)

25

Pendekatan Interaksionisme Simbolis lebih sering disebut pendekatan

Interaksionis. Pandangan ini menyebabkan teoritisi Interaksionisme

Simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus interaksi sosial.

Teoritisi Interaksionalisme Simbolik mempunyai pandangan mengenai

proses sosialisasi yang berbeda dari pandangan mengenai proses yang

berbeda dari pandangan sebagaian besar sosiolog lain. Menurut mereka,

sosiolog konvensional mungkin melihat sosialisasi sebagai proses

mempelajari sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan

masyarakat.13

2. Pengertian Implikasi Sosiologis

Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa latin yang terdiri

dari kata “socius” yang berarti teman, dan “logos” yang berarti berkata atau

berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat14. Ungkapan ini

dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai

ilmu pengetahuan tentang masyarakat.

Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur

sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial15,

sedangkan pengertian sosiologis adalah sebuah tinjauan atau paradigma dari

13

Ibid., 290.

14

Abdul Syani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat (Lampung:Pustaka Jaya, 1995), 2.

15

(35)

sudut pandang ilmu-ilmu sosiologi16. Adapun objek sosiologi adalah

masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang

timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah

meningkatkan daya kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan

lingkungan hidupnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan Implikasi yaitu dampak yang

dirasakan ketika melakukan sesuatu (keterlibatan)17 atau bisa dikatakan hasil

dari sebuahparadigma yang terdapat dalam suatu bidang, ilmu, atau pemikiran

yang selanjutnya akan menimbulkan sebuah “dampak terhadap masyarakat”.

Untuk menghasilkan suatu teori tentulah melalui pendekatan-pendekatan,

demikian halnya dengan teori-teori sosiologi.

3. Kontribusi Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam

Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya

karena fokus perhatiannya pada interaksi antara bidang-bidang agama dan

masyarakat. Pra-anggapan dasar perspektif sosiologis adalah concern-nyapada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dalam keagamaan dan

kebudayaan.18

Pendekatan sosiologi dalam studi Islam, kegunaannya sebagai

metodologi untuk memahami corak dan stratifikasi dalam suatu kelompok

masyarakat, yaitu dalam dunia ilmu pengetahuan, makna dari istilah

16

Plus A Partanto, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: ARKOLA, 2001), 725.

17

Peter, KamusBahasa Indonesia Kontemporer, 562.

18

(36)

27

pendekatan sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang memperlakukan

sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Selain itu, makna

metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk

memperlakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat

dan memperlakukan sesuatu permasalahan atau teknik-teknik penelitian yang

sesuai dengan pendekatan tersebut.19

Kegunaan yang berkelanjutan ini adalah untuk dapat mengarahkan dan

menambah keyakinan-keyakinan keislaman yang dimiliki oleh kelompok

masyarakat tersebut tanpa menimbulkan gejolak dan tantangan antara sesama

kelompok masyarakat. Seterusnya melalui pendekatan sosiologi ini dalam studi

Islam, diharapkan pemeluk agama Islam lebih toleran terhadap aspek-aspek

perbedaan kegiatan-kegiatan spiritual yang diajarankan dalam agama Islam itu

sendiri.

Melalui pendekatan sosiologi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,

terlihat dengan jelas hubungan agama Islam dengan berbagai masalah sosial

dalam kehidupan kelompok masyarakat sehingga Islam terlihat sangat

fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan sosial. Pendekatan sosiologi

seperti itu diperlukan adanya, sebab banyak hal yang dibicarakan agama hanya

bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan sosiologi. Misalnya; fungsi

dzikir ataupun ilmu-ilmu tasawuf yang sebagaian kaum sufi memandang ilmu

tersebut sebagai “pengalaman” batin dan jiwa seseorang20. Dalam hal ini yang

19

Ibid., 290.

20

(37)

kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diselesaikan dengan

pendekatan sosiologi.

Dari sisi lain terdapat pula signifikasi pendekatan Islam dalam sosiologi,

salah satunya adalah dapat memahami fenomena sosial yang berkenaan dengan

ibadah dan muamalah. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini,

selanjutnya mendorong agamawan memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat

memahami bidang-bidang dalam agama, seperti tasawuf, dzikir, muammalah,

dan lain sebagainya.

Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif. Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah

Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan yaitu:21

1. Al-Qur’an atau kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Sedangkan menurut

Ayatullah Khoemeini dalam bukunya al- ukumah al-Islamiyah yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan antara

ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah

satu berbanding seratus, artinya untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat

muamalah (masalah sosial).

2. Bahwa ditekankannya masalah muamalah atau sosial dalam Islam ialah

adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan

urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau

21 Lihat: Aji Raksa, “

(38)

29

ditangguhkan (bukan ditinggalkan) melainkan juga harus tetap dikerjakan

sebagaimana mestinya.

3. Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih

besar dari ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang

dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat

yang dikerjakan sendirian

4. Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak

sempurna atau batal, karena telah melanggar pantangan tertentu, maka

kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah

sosial. Bila puasa tidak mampu untuk dilakukan misalnya, maka jalan

keluarnya dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi

orang miskin.

5. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa suatu amal kebaikan dalam bidang

kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.22

Demikian sebaliknya sosiologi memiliki kontribusi dalam bidang

kemasyarakatan terutama bagi orang yang berbuat amal baik akan

mendapatkan status sosial yang lebih tinggi di tengah-tengah masyarakat,

secara langsung hal ini sangat berhubungan erat dengan teori-teori dan

juga ilmu-ilmu sosiologi.

Berdasarkan pemahaman kelima alasan di atas, maka melalui pendekatan

sosiologis, ajaran-ajaran ibadah dalam agama Islam akan dapat dipahami

dengan mudah, karena Islam itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.

22

(39)

B.TEORI-TEORI SUFISME

1. Pengertian Tasawuf

Istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi maupun Khulafaur

Rasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi saw diberi panggilan sahabat, panggilan ini adalah yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat, orang-orang muslim yang

tidak berjumpa dengan beliau disebut Tabi’in, dan seterusnya disebut Tabi’it

tabi’in. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III H.

Oleh Abu Hasyim al-Sufy (w 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang

namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim

al-Sufy ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal, dan dalam

konsep mahabbah, akan tetapi dia adalah yang pertama kali diberi nama al-Sufi.23

Secara etimologis, terdapat sejumlah kata atau istilah yang

dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution,

misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-Suffah (Ahl al-al-Suffah), (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah), Saf (barisan), Sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat) dan Suf (kain wol). Kata Ahl al-Suffah, misalnya menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa raganya, harta benda, dan lain sebagainya hanya untuk

Allah. Kata saf juga menggambarkan orang yang selalu berada dibarisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan. Demikian juga

23

(40)

31

kata Sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat, dan kata Suf (kain wol) menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia, dan kata Sophos (bahasa Yunani) menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada

kebenaran.24

Barang siapa yang belum bersungguh-sungguh dalam kefakiran, maka

berarti belum bersungguh-sungguh dalam bertasawuf.25 Menurut Sahal

al-Tustury, para ulama’ tasawuf adalah seorang sufi ialah orang yang hatinya

bersih dari kotoran-kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan

manusia, dan memandang sama antara emas dan kerikil. Sedangkan tasawuf

menurut Abu Muhammad al-Jariri, tasawuf adalah ilmu yang merasuk ke

dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina dan tasawuf

menurut syekh Husain an-Nuri adalah kemerdekaan, kemurahan dan tidak

terbebani diri, serta bersifat dermawan.26

Dari segi linguistik (kebahasaan) ini dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup

sederhana, rela berkorban, untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.

Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli

tergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama

ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan

tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia

24

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 179.

25

Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, 12-13.

26

(41)

makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.

Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka

tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara

menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya

kepada Allah swt.

Selanjutnya jika dari sudut pandang yang digunakan manusia sebagai

makhluk yang berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya

memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran Agama dalam

rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, dan jika sudut pandang yang

digunakan manusia sebagai makhluk yang bertuhan maka tasawuf dapat

didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan

jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan

manusia dengan Tuhan.

2. Fungsionalisme dalam Kajian Tasawuf

Dalam realitas pengamalan kenyakinan keberagamaan, setidaknya

dikenal beberapa istilah yang dapat disejajarkan dengan makna kata tasawuf,

seperti spritualitas, mistisisme, eksoterisme27. Tasawuf sendiri sebenarnya

adalah istilah khas dalam agama Islam, untuk menggambarkan praktek

peribadatan ataupun spiritual yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok

orang yang mengikuti cara dan tradisi tertentu dalam menjalankan ajaran

Islam. Para peneliti Barat bisanya menggunakan istilah mistisisme, spiritualitas

27

(42)

33

dan eksoterisme untuk menggambarkan sebuah pengamalan ajaran tasawuf

yang dilakukan oleh pelakunya.

Tasawuf atau mistisisme merupakan kosa kata yang sangat popular,

paling tidak di kalangan para peneliti sosiologi agama. Namun sebagaimana

istilah yang lain dalam khazanah ilmu, istilah tasawuf atau mistisisme juga

mengandung pengertian yang beragam, atau mungkin lebih tepatnya memiliki

berbagai perspektif yang berbeda antara seorang ahli dengan ahli lainnya dalam

memberikan definisi atau pengertian tentang tasawuf atau mistisisme.

Perbedaan dalam memberikan definisi atau pengetian mengenai istilah tasawuf

atau mistisisme, menyebabkan pengertiannya menjadi kabur, bahkan tidak

jarang pengertian yang diberikan oleh seorang ahli bertentangan dengan ahli

yang lain28.

Walaupun praktek mistisisme berlaku dalam setiap keyakinan beragama,

namun tentu pada setiap kenyakinan keagamaan itu memiliki nuansa yang

berbeda antara satu dengan lainnya. Namun jika ditinjau dari tujuannya adalah

tidak lain dari pencariaan makna hidup guna mencapai kesempurnaan.

Dalam perspektif khazanah Islam, sepanjang sejarah umat manusia, ada

sebuah peristiwa yang sangat monumental mengenai pengalaman keagamaan.

Pengalaman keagamaan yang diperoleh merupakan pengalaman keagamaan

yang paling tinggi yang pernah dialami, yakni peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi

Muhammad saw. Sehingga peristiwa ini menjadi inspirasi yang selalu

dirindukan hampir semua orang, bahkan apapun agamanya. Hampir semua

28 Abu Wafa’ al

-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilā al-Taṣawwuf al-Islam, Terj.Ahmad

(43)

gejala-gejala dan fenomena-fenomena kesufian (maqomat dan ahwal) bisa dirujukkan pada peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut.

Dari sisi pandang psikologi para sufi, sesungguhnya pengalaman

keagamaan yang telah dialami oleh diri manusia sebenarnya merupakan

pengungkapan kembali perjanjian primordial manusia dengan Tuhannya.

Menurut al-Qur’an, sebelum roh ditiupkan ke dalam jasmani, ia sudah diajak oleh Allah dengan mengadakan suatu perjanjian dengan cara berdialog.29 Allah

bertanya kepada roh manusia: “Alastu birobbikum” (bukankah Aku ini

Tuhanmu?..), kemudian roh manusia menjawab “balā shahidnā” (benar, kami bersaksi). Dialog ini menimbulkan suatu pengakuan dari manusia terhadap

Allah, bahwa manusia akan bertuhan kepada Allah saja. Oleh karenanya

pengalaman keagamaan sebenarnya merupakan pengungkapan kembali dari

fitrah keregamaan, atau malahan pengalaman keagamaan itu merupakan fitrah

manusia.30

Burhani dalam bukunya mencoba membandingkan firman Allah ini

dengan penemuan God-spot (titik Tuhan) oleh Micheal Persinger. God-spot merupakan benda yang built-in (terpasang tetap) pada otak dan given pada kodrat insan. Ia berada di antara neural connections (hubungan antar syaraf) yang terletak di temporal lobes pada manusia. Perangkat inilah yang diindikasikan mampu mengenai berbagai fantasi mistis.31

29

Syahminan Zaini, Perjanjian Ketuhanan (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), 4.

30

Ibid.

31

(44)

35

Ketika kegersangan spiritual semakin meluas sebagaimana terdapat pada

masyarakat modern, maka pengalaman keagamaan semakin didambakan orang

untuk mendapatkan manisnya spiritualitas (The Taste of Spirituality). Dalam rangka memperoleh rasa manisnya spritualitas, namun juga sekaligus sebagai

tahapan yang ditempuh guna untuk mencapai kesempurnaan hidup itulah

kemudian orang banyak yang mencari dan menempuh jalan sufi (tasawuf)

sebagai refleksi keberagamaan.

Kebanyakan orang melaksanakan keberagamaan yang lazim, tapi mereka

tidak pernah mencapai ketenangan jiwa, karena pengalaman keberagamaan

yang diperoleh secara biasa bahkan cenderung profan yang tidak mencapai

substansi dari pengelaman kebergamaannya. Dengan demikian bisa dipahami

banyak praktek (ritual) dari kaum pengikut ajaran tasawuf yang banyak

bertentangan dengan logika umum, seperti hidup sederhana, menghindari

kemeriahan duniawi, itu tidak lain karena mereka ini mencapai kesempurnaan

dalam hidup yang tidak dapat diperoleh dengan cara beragama seperti biasa.

Walaupun sikap seperti itu bagi kebanyakan orang tidak disukai, tapi bagi

logika orang-orang yang haus pengalaman rohani, sikap-sikap tersebut bukan

peristiwa yang aneh. Sebab The Taste of Spirituality bukanlah diskursus pemikiran, itu merupakan diskursus rasa dan pengalaman, yang erat kaitannya

dengan makna hidup. Viktor frankl seorang neurologis dan psikiater, penemu

Logotherapy dan Existential Analysis mengemukakan bahwa motivasi utama dari kehidupan manusia adalah pencarian makna hidup.32

32

(45)

3. Ajaran-ajaran dalam Ilmu Tasawuf

Secara umum para ahli tasawuf membagi tasawuf menjadi tiga macam

yaitu tasawuf akhlaqi, tasawuf‘amali dan tasawuf falsafi. Ketiga jenis tasawuf tersebut pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin

mendekatkan diri kepada Allah swt dengan cara membersihkan diri dari

berbagai macam perbuatan yang tercela dan menghiasinya dengan perbuatan

yang terpuji. Namun ketiga jenis tasawuf tersebut mempunyai beberapa

perbedaan dalam penerapan (pendekatan) yang digunakan.33

Pendekatan-pendekatan dari masing-masing jenis tasawuf, sekaligus

merupakan spesifikasi dan ajaran inti masing-masing jenis tasawuf tersebut.

Para tasawuf yang bercorak akhlaqi, pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan moral atau biasa disebut pencerdasan emosi. Untuk tasawuf yang

bercorak falsafi, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan “rasio” memberdayakan akal pikiran yang biasa disebut pencerdasan inteligen.

Sedangkan tasawuf yang bercorak ‘amali, pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan amaliah, memperbanyak aktifitas yang bersifat rohani yang biasa

disebut pencerdasan spiritual.

Ketiga bentuk corak tasawuf itu merupakan perwujudan untuk

meng-Esakan Tuhan secara mutlak, dan itu berarti manusia harus menyadari bahwa

meng-Esakan dan memahami Tuhan tidak bisa dijangkau atau didekati hanya

dengan rasio atau akal semata, tetapi memahami Tuhan harus dibantu dengan

33

(46)

37

pendekatan moral atau emosi dan spiritual yang keduanya itu bertempat dalam

hati sebagai tempatnya iman bersemayam.34

Berikut adalah ajaran inti tasawuf yang dikemukakan menurut

pembagian tasawuf itu sendiri, yakni:

1) Tasawuf akhlaqi

Tasawuf Akhlaqi ialah ajaran tasawuf yang berhubungan dengan pendidikan mental dan pembinaan serta pengembangan moral agar

seseorang berbudi luhur atau berakhlak mulia. Dari pengertian tersebut,

maka menurut pandangan orang-orang sufi yang menganut aliran tasawuf

akhlaqi sebagai berikut:

a) Bahwa satu-satunya cara untuk bisa mengantarkan seseorang agar bisa

dekat dengan Allah swt, hanyalah dengan jalan “mensucikan jiwa”.

b) Bahwa untuk mencapai kesucian jiwa tersebut diperlukan “latihan mental” yaitu al-Riyaḍah yang ketat. Riyaḍah tersebut wujudnya adalah “mengontrol” sikap dan tingkah laku secara ketat agar terbentuk pribadi

yang berakhlak mulia.

c) Bahwa latihan mental tersebut bertujuan untuk mengontrol dan

mengendalikan nafsu, seperti pada godaan-godaan yang sifatnya

duniawi.

d) Bahwa pengendalian nafsu itu diperlukan, sebab nafsu dianggap

sebagai penghalang atau tabir antara manusia dengan Tuhan.

34

(47)

e) Bahwa untuk membuka tabir tersebut agar manusia dapat dekat dengan

Allah swt. Maka para tokoh sufi membuat suatu sistematika pendekatan

takhalli (mengosongkan)dan tahalli (mengisi).35

2) Tasawuf ‘Amali

Tasawuf ‘amali yaitu ajaran-ajaran tasawuf yang mementingkan

pengalaman-pengalaman ibadah baik secara lahiriah maupun batiniah.

Tasawuf ‘amali dianggap oleh sebagian sufi sebagai bagian dan lanjutan

dari taswuf akhlaqi. Menurut sufi yang menganutnya bahwa untuk dekat dengan Allah swt. Maka seseorang harus menggunakan

pendekatan-pendekatan amaliah dalam bentuk memperbanyak aktifitas, amalan lahir dan

batin.36

Oleh karena itu menurut sufi, ajaran agama juga mengandung bentuk

aspek lahiriah dan batiniah, maka cara untuk memahami dan

mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir dan batin. Kedua aspek ini

dibagi menjadi empat bagian yaitu:

a) Syari’at yaitu undang-undang, aturan-aturan, hukum Tuhan , atau ketentuan tentang halal, haram, wajib dan sunnah hal ini menyangkut

aspek lahiriah (eksoterik).

Syari’at menurut sufi adalah amalan-amalan lahir yang wajibkan dalam agama yang biasanya dikenal sebagai “rukun Islam” yang

sumbernya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Amalan tersebut bukan hanya

35

Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf (Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002), 47-48.

36

(48)

39

yang sifatnya wajib tetapi semua sunnah, yang diamalkan dengan penuh

keikhlasan sehingga ditetapkanlah cara-caranya waktunya dan

jumlahnya. Oleh karena itu, sufi yang meninggalkan syari’at dianggap

sesat, sebab tanpa mengamalkan hukum Tuhan secara baik, dan tuntas

lewat amalan ibadah berarti tidak tunduk pada aturan Allah.37

Syari’at merupakan hakikat itu sendiri, dan hakikat tidak lain adalah syari’at itu sendiri. Keduanya adalah satu, tidak akan bisa sempurna

apabila satu sisi tanpa sisi yang lain. Allah swt, telah menggabungkan

keduanya, oleh karena itu suatu hal yang mustahil jika seseorang mau

memisahkan sesuatu yang telah digabungkan oleh Allah swt.38

b) Tarekat yaitu jalan, cara, metode. Tarekat menurut sufi ialah perjalanan

menuju Allah, dan dalam perjalanan tersebut ditempuh melalui suatu

cara, atau melalui suatu jalan agar dengan Tuhan. Sebab meurut sufi

tanpa suatu cara atau metode khusus yang disebut tarekat akan sulit

sampai pada tujuan. Maka ditetapkanlah ketentuan yang sifatnya

batiniah, dengan melalui cara, metode setahap demi setahap yang dikenal

dengan istilah yang disebut maqom.39

Menurut para ulama’ sufi hidup ini penuh dengan rahasia-rahasia, dan rahasia itu tertutup oleh tabir, sebenarnya tabir itu adalah “hawa nafsu” yang terdapat pada diri sendiri. Tabir itu sebenarnya bisa

tersingkap (terbuka) asal menempuh suatu cara (tarekat) lihat al-Qur’an

37

Muhammd Zaki Ibrahim, Abjadiyyah al-Taṣawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi (Jakarta: Hikmah, 2002), 145.

38

Ibid., 146.

39

(49)

surah al-Jin ayat 16, yang artinya “dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam). Benar-benar kami akan

memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang banyak)”.

Berdasarkan gambaran di atas, maka maqamat itu merupakan satu sistem atau metode untuk mengenal dan merasakan adanya Tuhan atau

melihat Tuhan dengan mata hati.

c) Hakikat diartikan sebagai kebenaran. Hakikat biasa juga diartikan

puncak, atau sumber segala sesuatu. Hakikat menurut sufi merupakan

rahasia yang paling dalam dari segala amal, dan merupakan inti dari

syari’at. Hakikat diperoleh sebagai nikmat dan anugerah Tuhan berkat

latihan yang dilakukan sufi. Dengan sampainya sufi ke tingkat hakikat,

berarti telah terbukalah baginya rahasia yang ada dalam syari’at, maka sufi dapat memahami segala kebenaran.40

Hakikat tidak bisa terlepas dari syari’at, dan bertalian erat dengan tarekat dan juga terdapat dalam ma’rifat. Dalam pandangan kaum sufi,

makna hukum luar (syari’at) harus utuh dan sinkron dengan makna hukum dalam (hakikat), maka setiap manusia harus tunduk pada syari’at

sekaligus tunduk pada realitas sebelah dalam (tarekat dan hakikat), sebab

manusia sendiri berada diantara dua ruang yaitu ruang fisik dan ruang

rohani.41

40

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 55.

41

(50)

41

d) Ma’rifat yaitu pengetahuan dan pengenalan. Sedangkan menurut kaum sufi berarti penghetahuan mengenai Tuhan melalui qalbu atau hati

nurani. Dikatakan oleh para sufi, ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari

dekat, sehingga hati sanubari melihat Tuhan.42

Kesempurnaan ma’rifat adalah pandangan yang kosong, hilang,

lenyap, sehingga tiada lagi yang kelihatan bagi penglihatan. Maksudnya,

pandangan dan hati orang yang sudah ma’rifat itu tidak akan tertipu oleh

jauhar dunia, sudak tidak tenggelam dan terpikat oleh kemegahan dunia. Hatinya tidak terikat oleh materi dunia, tidak butuh popularitas.

Hidupnya semata-mata untuk mengabdikan diri kepada Allah swt.43

Melihat gambaran dari syari’at, tarekat, hakikat, dan ma’rifat, maka dapat dikatakan bahwa ma’rifat hanya bisa dicapai bila melalui syari’at

dan ditempuh berdasarkan tarekat lalu bisa memperolah hakikat. Apabila

syari

Referensi

Dokumen terkait

Praktik pembuangan tinja yang tidak aman dapat dilihat pada grafik diatas, bahwa masih ada rumah tangga yang membuang tinja ke sungai sebesar 4%, dikubur

PROMOSI KESEHATAN BERBASIS MEDSOS – PKBM 2020 | 11 Kerjasama Mahasiswa hanya mampu melakukan 1 poin dengan lengkap Mahasiswa hanya mampu melakukan 2 poin dengan

Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang serupa, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan pada pasien usia 25-60 tahun di Rumah Sakit Bhayangkara, Porong,

Patut kiranya menjadi catatan, bahwa timbulnya luka berat dalam konteks Pasal 351 Ayat (2) KUHP bukanlah merupakan tujuan dari pelaku. Tujuan yang dituju oleh

Saat proses belajar mengajar di kelas, guru lebih cenderung fokus pada keterampilan membaca (reading), keterampilan menulis (writing) dan keterampilan

Dosen dalam proses pembelajaran di STMIK AUB Surakarta terdapat kesulitan dalam menjalin komunikasi yang baik dengan mahasiswa dan sarana penyampaian tugas perkuliahan untuk

Selama tiga tahun terakhir perusahaan saya memiliki misi yang dipahami dan dilakukan oleh seluruh orang di dalam perusahaan.. Selama tiga tahun terakhir

Paham islam dan pentingnya pendidikan serta berkemajuan bagi gerakan Muhammadiyah maupun Aisyiyah menghasilkan jenis – jenis pembaharuan kegiatan yang telah dilakukan yaitu