• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. Teori-teori yang Mendukung

1) Pengertian Sikap Ilmiah

Sikap ilmiah adalah perilaku tertentu yang diambil dan dikembangkan oleh ilmuwan untuk memperoleh hasil yang diharapkan (Iskandar dalam Hendracipta, 2016: 111). Surajiyo (dalam Harso dkk, 2014) juga mengemukakan bahwa sikap ilmiah merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan yang objektif. Sikap ilmiah yang dimiliki oleh seseorang dapat dibentuk melalui metode ilmiah tertentu (Sodiq, 2014: 31).

Sikap ilmiah mengandung dua makna, yaitu attitude toward science dan attitude of science. Attitude toward science yang

mengarah pada sikap terhadap IPA seperti senang atau tidak senang, menarik atau tidak menarik, bosan dan sebagainya. Sedangkan attitude of science yang mengarah pada sikap yang melekat dalam diri siswa setelah mempelajari IPA seperti rasa ingin tahu, sikap berpikir kritis, dan lain sebagainya (Harlen dalam Harso, 2014).

Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dikembangkan dalam pembelajaran IPA. Di mana sikap tersebut sesuai dengan sikap yang harus dimiliki oleh seorang ilmuan dalam melakukan penelitian dan memaparkan hasil penelitiannya (Susanto, 2013: 167). Selain itu Dasna (dalam Harso dkk, 2014) mengatakan bahwa sikap ilmiah juga sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena dapat membantu seseorang dalam melakukan pertimbangan yang rasional pada saat mengambil suatu keputusan.

Berdasarkan penjelasan sikap ilmiah di atas, peneliti berpendapat bahwa sikap ilmiah adalah suatu perilaku yang harus dimiliki oleh seseorang untuk mencapai pengetahuan yang diharapkan. Dimensi sikap ilmiah yang menjadi fokus pada penelitian ini yaitu rasa ingin tahu dan sikap berpikir kritis.

2) Dimensi Sikap Ilmiah

Gega (dalam Bundu, 2006: 139) mengemukakan bahwa dimensi sikap ilmiah terdiri dari; rasa ingin tahu, sikap penemuan, sikap berpikir kritis, dan sikap teguh pendirian. Selain itu Sulistyorini (dalam Susanto. 2013: 169) juga mengatakan bahwa dimensi sikap ilmiah dalam pembelajaran IPA terdiri dari; rasa ingin tahu, ingin mendapat yang baru, berpikir bebas, tidak putus asa, tidak berprasangka, mawas diri, bertanggung jawab, kerjasama, dan kedisiplinan diri. Pengelompokan dimensi sikap ilmiah dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1 Pengelompokkan Dimensi Sikap Ilmiah Gega

(dalam Bundu 2006: 139)

Sulistyorini

(dalam Susanto. 2013: 169) Rasa ingin tahu Rasa ingin tahu

Sikap penemuan Ingin mendapat yang baru Sikap berpikir kritis Berpikir bebas

Sikap teguh pendirian Tidak putus asa Tidak berprasangka Mawas diri

Bertanggung jawab Kerjasama

Kedisiplinan diri

Pada penelitian ini menggunakan dua dimensi sikap ilmiah yakni rasa ingin tahu dan sikap berpikir kritis, sesuai dengan latar belakang penelitian. Selain itu dua dimensi sikap tersebut sangat penting dalam proses pembelajaran. Rasa ingin tahu akan mendorong siswa untuk ingin belajar, sedangkan sikap berpikir kritis diperlukan untuk memperoleh pemahaman terhadap materi.

b. Rasa Ingin Tahu

1) Pengertian Rasa Ingin Tahu

Rasa ingin tahu adalah sikap atau tindakan yang selalu berusaha untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar (Daryanto dan Darmiatun, 2013: 71).

Mustari (2014: 85) mengemukakan bahwa kuriositas atau rasa ingin tahu adalah emosi yang dihubungkan dengan sikap atau perilaku mencari atau menggali informasi secara alamiah seperti eksplorasi, investigasi, dan belajar. Fauzan (dalam Hidayati, 2016: 47) juga mengemukakan bahwa rasa ingin tahu merupakan sikap di mana

seseorang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Seseorang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan memiliki kecerdasan intelektual yang baik, karena mereka akan mencari tahu sehingga memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih mendalam.

Rasa ingin tahu merupakan kemampuan bawaan yang terdapat dalam diri makhluk hidup yang terjadi pada manusia sejak bayi sampai tua. Hidayati (2016: 91) berpendapat bahwa rasa ingin tahu merupakan sikap yang sangat penting untuk dikembangkan oleh siswa. Rasa ingin tahu menjadi bekal siswa supaya dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan adanya rasa ingin tahu membuat siswa terpacu untuk menumbuhkan sikap ingin belajar, sehingga mereka mampu mengeksplorasi apa yang ada dilingkungannya untuk dipelajari lebih detail. Rasa ingin tahu dapat diintegrasikan pada materi yang berhubungan dengan IPA.

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti berpendapat bahwa rasa ingin tahu adalah sikap yang ada pada diri seseorang untuk menggali atau mengetahui lebih dalam mengenai suatu informasi secara alamiah sehingga memperoleh ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu menjadi sikap penting yang harus dimiliki oleh siswa karena dapat menumbuhkan sikap ingin belajar sehingga akan berdampak baik terhadap hasil belajar siswa itu sendiri.

2) Indikator Rasa Ingin Tahu

Daryanto dan Darmiatun (2013: 147) mengemukakan 4 indikator rasa ingin tahu pada siswa kelas IV – VI, diantaranya:

a) Bertanya atau membaca sumber di luar buku teks tentang materi yang berkaitan dengan pembelajaran.

b) Membaca atau mendiskusikan gejala alam yang baru terjadi.

c) Bertanya mengenai peristiwa alam, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan teknologi yang baru didengar.

d) Bertanya tentang sesuatu yang berkaitan dengan materi pembelajaran tetapi di luar dari yang sedang dibahas di dalam kelas.

Bundu (2006: 141) juga mengemukakan 4 indikator rasa ingin tahu, yaitu: a) antusias mencari jawaban, b) perhatian pada obyek yang diamati, c) antusias pada proses IPA, dan d) menanyakan setiap langkah kegiatan.

Berdasarkan indikator yang dipaparkan oleh kedua ahli di atas, peneliti memilih 4 indikator rasa ingin tahu yang akan digunakan dalam penelitian. Keempat indikator tersebut terdiri dari: a) antusias mengajukan pertanyaan, b) antusias mencari jawaban, c) perhatian pada objek yang diamati, dan d) antusias pada proses IPA. Peneliti memilih keempat indikator tersebut karena sudah merangkum dari semua indikator yang dipaparkan oleh kedua ahli.

c. Sikap Berpikir Kritis

1) Pengertian Sikap Berpikir Kritis

Berpikir kritis merupakan suatu sikap untuk mau berpikir lebih mendalam tentang masalah-masalah atau hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang (Glaser dalam Prihanti, 2015: 126).

Susanto (2013: 121) juga mengemukakan bahwa sikap berpikir kritis merupakan suatu kegiatan melalui cara berpikir tentang suatu ide/gagasan yang berkaitan dengan konsep yang diberikan atau permasalahan yang dipaparkan. Sikap berpikir kritis berhubungan dengan asumsi bahwa berpikir merupakan suatu potensi yang terdapat di dalam diri manusia yang perlu dikembangkan untuk kemampuan yang lebih optimal. Selain itu Gunawa (dalam Suprijono, 2016: 30) juga menyatakan bahwa sikap berpikir kritis adalah kemampuan berpikir tingkat kompleks dan menggunakan proses analisis dan evaluasi. Sikap berpikir kritis (critical thinking) sama dengan pengambilan keputusan, perencanaan strategis, proses ilmiah, dan pemecahan masalah (Rahmat dalam Suprijono, 2016: 30).

Sikap berpikir kritis sangat diperlukan dalam kegiatan belajar sehari-hari untuk memperoleh pemahaman terhadap sesuatu, melakukan evaluasi, serta menyelesaikan suatu masalah. Suprijono (2016: 39) berpendapat bahwa sikap berpikir kritis siswa perlu dikembangkan untuk keberhasilan dalam pedidikan dan kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dalam bidang pendidikan, sikap berpikir

kritis dapat membantu siswa dalam memahami materi yang dipelajari dengan melakukan evaluasi secara kritis argumen yang terdapat pada buku teks, teman diskusi, dan tidak menutup kemungkinan terhadap argumen yang disampaikan oleh guru dalam pembelajaran.

Salah satu cara untuk mengembangkan atau memperkuat sikap berpikir kritis siswa, yaitu melalui proses pembelajaran di sekolah.

Selain itu sikap berpikir kritis juga bisa dikembangkan dengan memberikan pengalam bermakna. Siswa yang memiliki sikap berpikir kritis tidak dengan mudah menerima atau menolak suatu materi pembelajaran yang diberikan oleh guru. Hal ini menyebabkan siswa akan mencermati, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, sehingga proses pembelajaran yang dilakukan lebih bermakna.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti berpendapat bahwa sikap berpikir kritis adalah sikap berpikir lebih mendalam tentang ide/gagasan atau permasalahan yang diajukan dalam jangkauan pengalaman seseorang melalui analisis dan evaluasi. Sikap berpikir kritis sangat penting dikembangkan dalam bidang pendidikan, karena akan membantu siswa dalam memahami materi pembelajaran.

2) Karakteristik Sikap Berpikir Kritis

Karakteristik seseorang yang memiliki sikap berpikir kritis terlihat pada saat menyikapi masalah, informasi atau argumen.

Karakteristik sikap berpikir kritis menurut Prihanti (2015: 129), antara lain; a) menggunakan bukti ilmiah dengan baik, b) mengelola pikiran

dan menyampaikannya secara konsisten dan jelas, c) membedakan sesuatu secara logis, d) menagguhkan keputusan jika terdapat bukti yang kurang mendukung, e) mengerti perbedaan antara memberi alasan dan mencari alasan, f) mampu belajar secara mandiri dan tidak mudah putus asa dalam mengerjakan sesuatu, g) dapat menyampaikan struktur informasi dengan formal, h) dapat memberikan argumen secara lisan jika terjadi ketidaksesuaian, i) membiasakan meragukan pendapat sendiri dan berusaha memahaminya, j) menyadari bahwa kemampuan memahami sesuatu terbatas, dan k) mengakui jika pendapat yang diutarakan keliru.

Berdasarkan penjabaran terkait karakteristik sikap berpikir kritis di atas, peneliti berpendapat bahwa siswa yang memilki sikap kritis memiliki karakteristik diantaranya: selalu menggunakan bukti ilmiah dalam memutuskan sesuatu; mampu mengelola pikiran dan menyampaikannya dengan jelas; mampu membedakan sesuatu secara logis; mampu belajar secara mandiri dalam mengerjakan sesuatu; dan dapat memberikan argumen.

3) Manfaat Sikap Berpikir Kritis

Wahidin (dalam Ahmatika, 2017: 399) mengemukakan manfaat yang diperoleh dari pembelajaran yang menekankan pada sikap berpikir kritis, yaitu:

a) Belajar lebih ekonomis, dalam artian proses pembelajaran yang berlangsung akan bertahan lama dalam pikiran siswa.

b) Menambah semangat dan atusias dalam mengikuti pembelajaran, baik pada guru maupun pada siswa.

c) Siswa diharapkan dapat memiliki sikap ilmiah.

d) Siswa memiliki kemapuan untuk memecahkan masalah baik pada saat proses pembelajaran di kelas maupun dalam menghadapi permasalahan nyata yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti berpendapat bahwa sangat penting untuk menumbuhkan sikap berpikir kritis dalam diri siswa. Siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah, pembelajaran yang berlangsung juga akan bertahan lama dalam pikiran siswa, guru dan siswa lebih mudah dalam melaksanakan proses pembelajaran, dan dapat mengembangkan salah satu dimensi sikap ilmiah. Manfaat dari sikap berpikir kritis tersebut juga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.

4) Indikator Sikap Berpikir Kritis

Ennis (dalam Prihanti, 2015: 135) mengemukakan 12 indikator sikap berpikir kritis yang terangkum ke dalam 5 kelompok kemampuan berpikir, antara lain:

a) Memberikan penjelasan sederhana, meliputi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan bertanya dan menjawab terkait sesuatu atau permasalahan.

b) Membangun keterampilan dasar, meliputi: mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengobservasi dan mempertimbangkan laporan observasi.

c) Menyimpulkan, meliputi: mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat dan menentukan hasil pertimbangan.

d) Memberikan penjelasan lanjut, meliputi: mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi dan mengidentifikasi asumsi.

e) Mengatur strategi dan taktik, meliputi: menentukan suatu tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.

Kuswana (2012: 198) juga mengemukakan 5 indikator sikap berpikir kritis, yaitu: menjelaskan, menilai dasar keputusan, menduga, membuat pengandaian dan mengintegrasikan kemampuan, dan menggunakan kemampuan berpikir kritis. Kelima indikator tersebut telah dirangkum, yaitu: a) mengidentifikasi fokus masalah, pertanyaan, dan kesimpulan, b) menganalisis argumen, c) bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi, d) menilai kredibilitas sumber, e) mengamati dan menilai laporan observasi, f) menyimpulkan dan menilai keputusan, g) mempertimbangkan alasan tanpa membiarkan ketidakpastian dan keraguan, h) menggabungkan kemampuan lain dan pendapat orang lain dalam membuat dan mempertahankan keputusan, i) menerapkan strategi yang tepat dalam diskusi dan presentasi.

Indikator sikap berpikir kritis dari kedua ahli tersebut dimuat pada tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2 Indikator Sikap Berpikir Kritis

No Ennis

(dalam Prihanti, 2015: 135)

Kuswana (2012: 198)

1. Memfokuskan pertanyaan Mengidentifikasi fokus masalah, pertanyaan, dan kesimpulan

2. Menganalisis argumen Menganalisis argumen 3. Bertanya dan menjawab

terkait sesuatu atau permasalahan

Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi

Mengamati dan menilai laporan observasi

6. Mendeduksi dan

mempertimbangkan hasil deduksi

Menyimpulkan dan menilai keputusan 9. Menentukan suatu tindakan Menerapkan strategi yang tepat

dalam diskusi dan presentasi

12. Mengidentifikasi asumsi

Berdasarkan indikator yang disampaikan oleh kedua ahli, peneliti berpendapat bahwa terdapat kesamaan dari indikator-indikator yang sudah dipaparkan di atas. Dari indikator-indikator tersebut, kemudian peneliti memilih 5 indikator sikap berpikir kritis yang akan

digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a) menjawab pertanyaan, b) menganalisis argumen, c) memecahkan masalah, d) menyimpulkan, dan e) mengevaluasi. Selain itu Peneliti mengambil lima indikator karena sesuai dengan karakteristik siswa dalam model PBL.

d. Hasil Belajar

1) Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari proses belajar (Susanto, 2013: 5). Senada dengan hal tersebut Rusman (2017: 129) juga mengatakan bahwa hasil belajar adalah pengalaman-pengalaman yang diperoleh siswa di mana mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jenkins dan Unwin (dalam Karwati, 2014: 214) juga berpendapat bahwa hasil belajar atau learning outcome merupakan pernyataan yang menunjukkan terkait

apa yang dapat dikerjakan siswa sebagai hasil kegiatan belajarnya.

Hasil belajar juga dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor, skor tersebut diperoleh dari hasil evaluasi atau penilaian terkait materi pembelajaran tertentu yang sudah dipelajari (Nawawi dalam Susanto, 2013: 5). Jihad dan Haris (2012: 15) juga mengatakan bahwa untuk melihat hasil belajar, harus dilakukan evaluasi atau penilaian sebagai tindak lanjut atau cara mengukur penguasaan siswa terhadap suatu materi.

Berdasarkan uraian dari para ahli di atas, peneliti berpendapat bahwa hasil belajar adalah ukuran/kriteria dari keberhasilan pada aspek kognitif (pengetahuan) yang diperoleh siswa setelah melakukan proses pembelajaran sebagai bukti yang akan menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hasil belajar pada penelitian ini diperoleh dari nilai soal evaluasi siklus I dan II.

2) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Munadi (dalam Rusman, 2017: 130-131) juga mengemukakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar, meliputi faktor internal dan eksternal, yaitu:

a) Faktor internal

 Fisiologis: secara umum pada saat kondisi fisiologis seperti kesehatan siswa dapat mempengaruhinya dalam menerima materi pelajaran.

 Psikologis: setiap individu memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, hal ini juga mempengaruhi hasil belajar siswa.

Faktor psikologis meliputi; inteligensi (IQ), perhatian, minat-bakat, motivasi, kognitif, dan daya nalar siswa.

b) Faktor eksternal

 Lingkungan: meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial.

Belajar pada tengah hari di dalam ruangan dengan ventilasi udara yang kurang tentunya akan berbeda dengan suasana

belajar di pagi hari dengan udara yang masih segar dengan ruangan yang cukup mendukung untuk bernapas lega.

 Instrumental: faktor yang penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana dalam mencapai tujuan-tujuan belajar yang sudah direncanakan. Contohnya berupa kurikulum, sarana, dan guru.

Selain itu menurut teori Gestalt (dalam Susanto, 2013: 12), belajar merupakan proses perkembangan. Perkembangan itu sendiri dapat dipengaruhi oleh banyak hal dan berdampak pada hasil belajar siswa. Pengaruh tersebut bisa berasal baik dari dalam siswa sendiri (internal) maupun dari luar (eksternal). Pengaruh dari siswa itu sendiri, dalam arti kemampuan berpikir atau tingkah laku intelektual, motivasi, minat, dan kesiapan siswa baik jasmani maupun rohani.

Sedangkan lingkungan, yaitu sarana dan prasarana, kompetensi guru, kreativitas guru, sumber-sumber belajar, metode serta dukungan lingkungan, keluarga, dan lingkungan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal yang berasal dari siswa dan faktor eksternal yang berasa dari luar diri siswa. Faktor internal bisa disebabkan oleh kondisi jasmani dan rohani serta kemampuan intelektul siswa, sehingga membuat siswa tidak dapat menyerap materi secara

maksimal dan berdampak pada hasil belajar. Sedangkan ekternal bisa disebabkan oleh kondisi lingkungan, di mana kurangnya sarana prasarana yang harus digunakan, sumber belajar, kemampuan guru, dan bimbingan orang tua.

e. Pembelajaran IPA 1) Pengertian IPA

Ilmu pengetahuan alam (IPA) merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu natural science yang artinya ilmu tentang alam atau ilmu-ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam (Samatowa, 2010: 3). Sumanto (dalam Putra, 2013: 40) juga mengatakan bahwa IPA merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah.

Susanto (2013: 167) juga mengatakan bahwa IPA adalah usaha manusia dalam memahami alam semesta melalui pengamatan yang tepat pada sasaran, serta menggunakan prosedur, dan dijelaskan dengan penalaran sehingga mendapat suatu kesimpulan.

Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu memahami alam secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu, sehingga siswa lebih mendalami mengenai alam sekitar (Putra, 2013: 40). Selain itu Samatowa (2010: 4) juga mengatakan bahwa IPA dapat melatih siswa untuk berpikir kritis dan objektif.

Pengetahuan yang benar berdasarkan tolak ukur kebenaran ilmu, yaitu rasional dan objektif. Rasional artinya dapat diterima oleh akal sehat atau logis, sedangkan objektif artinya sesuai dengan objek dan kenyataan atau sesuai dengan pengalaman pengamat melalui panca indra.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti berpendapat bahwa IPA adalah kumpulan ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam secara sistematis yang memuat fakta (faktual), konsep, dan teori yang akurat dari pengamatan sehingga dapat diterima secara logis atau akal sehat. Pembelajaran IPA di sekolah juga harus dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa dan pemberian pengalaman secara langsung sehingga pembelajaran yang berlangsung akan lebih bermakna.

2) Hakikat Pembelajaran IPA

Hakikat pembelajaran IPA (dalam Susanto, 2013: 167) diklasifikasi menjadi 3 bagian, yaitu:

a) IPA sebagai produk, yaitu kumpulan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh ilmuan dan membentuk konsep yang telah dikaji sebagai kegiatan empiris (percobaan) dan kegiatan analitis. Bentuk IPA sebagai produk berupa fakta-fakta, prinsip, hukum, dan teori-teori IPA.

b) IPA sebagai proses, yaitu menggali dan memahami pengetahuan tentang alam. IPA membutuhkan proses dalam menemukan fakta dan teori sehingga seorang ilmuan dapat membuat gagasan/

kesimpulan. Proses dalam pembelajaran IPA disebut juga dengan keterampilan proses sains (science process skills), seperti mengamati, mengukur, mengklasifikasi, dan menyimpulkan.

c) IPA sebagai sikap, sikap yang harus dikembangkan dalam pembelajaran IPA ialah sikap ilmiah. Di mana sikap tersebut sesuai dengan sikap yang harus dimiliki oleh seorang ilmuan dalam melakukan penelitian dan memaparkan hasil penelitiannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, hakikat IPA terdiri dari produk, proses, dan sikap. Hakikat IPA tersebut saling terhubung satu sama lain. IPA sebagai produk berisikan fakta-fakta atau hasil penelitian yang diperoleh melalui proses. Dalam proses IPA tersebut seseorag harus dimiliki sikap seperti seorang ilmuan yakni sikap ilmiah sehingga dapat memaparkan hasil penelitian.

3) Tujuan Pembelajaran IPA SD

Tujuan pembelajaran IPA di sekolah dasar menurut Badan Nasional Standar Pendidika (dalam Susanto, 2013: 171), antara lain:

a) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.

b) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

c) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling memengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.

d) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan.

e) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan alam.

f) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

g) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran IPA di sekolah dasar adalah membimbing untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa terhadap alam/lingkungan sekitarnya sebagai ciptaan Tuhan.

f. Materi IPA Kelas V

Materi yang digunakan pada penelitian ini, yaitu sistem peredaran darah pada manusia. Materi tersebut dimuat dalam tema 4 (sehat itu penting) dan KD 3.4 (Memahami organ peredaran darah dan fungsinya pada hewan dan manusia serta cara memelihara kesehatan organ peredaran darah manusia). Berikut penjelasan terkait materi:

1) Sistem peredaran darah

Sistem peredaran darah berfungsi mengedarkan zat-zat yang dibutuhkan ke seluruh bagian tubuh manusia (Irene dan Khristiyono, 2016: 54).

2) Organ peredaran darah beserta bagian dan fungsinya

a) Jantung, berfungsi memompa darah dengan cara mengembang dan menguncup. Bagian-bagian jantung, terdiri dari: Serambi kiri, berfungsi mengalirkan darah kaya O2 dari paru-paru ke bilik kiri.

Bilik kiri, berfungsi memompa darah kaya O2 ke seluruh tubuh.

Serambi kanan, berfungsi mengalirkan darah kaya CO2 bilik kanan.

Bilik kanan, berfungsi memompa darah kaya CO2 ke paru-paru.

Katup, berfungsi menjaga aliran darah agar tetap searah.

b) Pembuluh darah, merupakan tempat mengalirnya darah ke seluruh tubuh (Tim kreatif, 2018: 19). Pembuluh darah manusia terbagi menjadi tiga, diantaranya: pembuluh arteri (nadi), mengalirkan darah keluar dari jantung. Pembuluh arteri terbesar disebut juga dengan aorta; pembuluh vena (balik) mengalirkan darah dari seluruh tubuh menuju jantung; Pembuluh kapiler merupakan pembuluh darah yang sangat kecil dan menghubungkan arteri terkecil dan vena terkecil.

c) Paru-paru, berfungsi sebagai tempat pertukaran darah yang kaya O2

dan darah yang kaya CO2.

d) Darah, merupakan salah satu komponen penting dalam tubuh (Irene dan Khristiyono, 2016: 54). komponen darah terdiri dari: plasma darah, berperan mengangkut zat-zat makanan dan sel darah, terdiri dari tiga. Sel darah merah (eritrosit) berperan mengangkut O2 dan CO2. Sel darah putih (leukosit) berperan membunuh kuman yang masuk ke dalam tubuh. keping darah (trombosit) berperan dalam proses pembekuan darah.

3) Alur peredaran darah Peredaran darah besar

Jantung (bilik kiri) → aorta → arteri → kapiler seluruh tubuh → vena

→ jantung (serambi kanan) Peredaran darah kecil

Jantung (bilik kanan) → arteri → paru-paru → vena → jantung (serambi kiri)

*buku siswa revisi 2017

*buku siswa revisi 2017

Dokumen terkait