KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Tipologi Linguistik dan Relasi Gramatikal
digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan secara lebih rinci seperti di bawah ini.
2.3.1 Teori Tipologi Linguistik dan Relasi Gramatikal
Istilah tipologi secara teknis telah dikenali dalam linguistik yang merujuk ke pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan atas ciri khas kata-kata dan tata kalimatnya. Artawa (1995:60;1998:127) berpendapat bahwa tujuan linguistik tipologi adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan sifat-perilaku (properti) struktural bahasa tersebut. Tujuan pokoknya adalah untuk menjawab pertanyaan, Seperti apa bahasa X itu?
Song (2011:2) dalam bukunya yang berjudul Linguistic Typology menjelaskan bahwa sejarah tipologi linguistik modern tidak bisa mengabaikan para pelopor terdahulu yang telah membagi linguistik tipologi menjadi empat periode, yaitu (i) antara (1840-1893) merupakan era Georg von der Gabelentz dalam bukunya yang berjudul (Christening Typologie) yang mengantarkan linguistik tipologi dari 1901 sampai dengan 1950-an; (ii) pada 1960-an dan 1970-an merupak1970-an era tipologi linguistik revitalisasi y1970-ang dikemb1970-angk1970-an oleh Joseph Greenberg (misalnya: Greenberg 1963b; Greenberg et al.1978); (iii) Pada 1980-an sampai dengan 1990-an merupakan era peremajaan tipologi linguistik yang dilakukan oleh para linguist (seperti Comrie 1981, Mallinson dan Blake 1981, Dryer 1989,1992, Nicholas 1992); dan (iv) (Haspelmath, Dryer, Gil, dan Comrie 2005 lihat juga Bickel 2007, Croft 2007b Nicholas 2007, dan Song 2007 adalah generasi keempat yang mengembangkan tipologi linguistik sampai saat ini).
23
Selain apa yang telah diuraikan oleh Song di atas, Sudaryanto (1983:23) menjelaskan bahwa Sapir, Greenberg, dan Lehmann merupakan tiga tokoh dalam tipologi bahasa yang cenderung mendasarkan tipologinya pada struktur, khususnya struktur gramatikal. Baik Sapir, Greenberg, maupun Lehmann memandang urutan unsur lingual yang merupakan proses gramatikal berkadar
“tugas” yang penuh sebagai dasar yang sangat berfaedah dalam studi tipologi. Ketritunggalan nama sapir-Greenberg-Lehmann yang disarankan menunjukkan bahwa tipologi yang dilakukan mereka saling berkaitan; yang pertama mendasari yang kedua, yang kedua mendasari yang ketiga.
Mallinson dan Blake (1981:3) menjelaskan bahwa bahasa dapat dikelompokkan ke dalam batasan-batasan ciri khas strukturalnya. Namun, mereka juga berpendapat bahwa tipologi yang terkenal adalah tipologi yang berusaha menetapkan pengelompokan luas berdasarkan sejumlah fitur yang saling berhubungan. Greenberg (1963) (dalam Mallinson dan Blake, 1981:3) telah menunjukkan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut urutan dasar subjek, objek, dan verba SOV-OV-VO.
Pendapat Mallinson dan Blake (1981:3) juga didukung oleh Comrie (1983:30-32) bahwa kajian kesemestaan bahasa dan kajian tipologi seakan-akan bertentangan dengan kajian kesemestaan bahasa yang berusaha menemukan (1) perilaku dan sifat-sifat yang umum bagi semua bahasa manusia; (2) mencari kemiripan yang ada dalam lintas bahasa; dan (3) berusaha menetapkan batas-batas variasi dalam bahasa manusia. Penelitian tipologi berusaha (1) mengelompokkan bahasa-bahasa, yaitu menetapkan bahasa-bahasa ke kelompok/tipe yang berbeda;
24
(2) mengkaji perbedaan antara bahasa-bahasa; dan (3) mempelajari variasi-variasi bahasa manusia. Untuk menetapkan tipologi bahasa, perlu ditetapkan parameter tertentu untuk mengelompokkan bahasa di dunia.
Blake (1981:20-21) berpendapat bahwa berdasarkan tipologi morfologis, bahasa-bahasa di dunia dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) bahasa isolasi (bahasa yang tidak mempunyai proses morfologi; adanya hubungan satu lawan satu antara kata dan morfem, misalnya bahasa China, Vietnam, dan sebagainya); (2) bahasa aglutinasi (bahasa yang mempunyai proses morfologis; kata dapat terdiri atas lebih dari morfem, dan batas-batas antara morfem-morfem dapat dengan mudah dipisahkan/ditentukan, misalnya bahasa Hongaria, Indonesia, dan sebagainya); (3) bahasa fungsional atau infleksi bahasa yang morfemnya diwujudkan dengan afiks-afiks, tetapi umumnya tidak mudah dan tidak jelas untuk memisahkan atau menentukan morfem atau afiks-afiks yang mewujudkan kata atau morfern tersebut, misalnya bahasa Arab, Latin, dan sebagainya); (4) bahasa polisintetik atau inkorporasi bahasa yang mempunyai kemungkinan mengambil sejumlah morfem leksikal dan menggabungnya bersama ke dalam kata tunggal, misalnya bahasa Greenlandic Eskimo, Inggris, dan sebagainya.
Para ahli tipologi berpendapat bahwa ada dua asumsi pokok linguistik tipologi, yakni (a) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan strukturnya; (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada. Bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, seperti bahasa akusatif, ergatif, dan aktif. Apabila perlakuan yang sama tersebut diperlihatkan secara morfologis, bahasa itu dikatakan sebagai bahasa ergatif secara morfologis. Secara sintaksis,
25
bahasa akusatif merupakan suatu sistem relasi gramatikal bahasa yang memperlihatkan bahwa S pada kalimat intransitif diperlakukan sama dengan A kalimat transitif, sementara P dalam kalimat transitif diperlakukan berbeda dengan S kalimat intransitif (lihat Comrie, 1981; Trask, 1993; Dixon, 1994, 2010; Artawa 1998, 2000; Arka, 2000).
Dixon (2010:116) juga menjelaskan bahwa terdapat dua struktur klausa utama secara lintas bahasa di dunia, yaitu klausa intransitif dengan satu argumen dan klausa transitif dengan dua argumen seperti yang dipaparkan dalam klasifikasi berikut ini.
TIPE KLAUSA PREDIKAT ARGUMEN INTI Intransitif Intransitif S (subjek intransitif)
Transitif Transitif A (subjek transitif) dan O (objek transitif) Selain itu, terdapat juga argumen periferal yang bersifat opsional dan secara umum dapat menjadi argumen dari kedua tipe klausa. Argumen periferal, yakni meliputi instrumen, benefesiari, serta penanda keterangan waktu dan tempat.
Satu-satunya argumen dalam klausa intransitif diidentifikasi berada pada fungsi S. Penetapan fungsi A dan O sebagai dua argumen inti dalam konstruksi klausa transitif memiliki dasar semantis. Argumen yang referennya cenderung relevan dikaitkan dengan proses terjadinya sebuah aktivitas diidentifikasikan sebagai A. Sebuah argumen A biasanya memiliki referen bersifat animate (bernyawa) sehingga argumen tersebut dapat memulai atau mengontrol aktivitas. Sementara itu, argumen yang cenderung menerima efek dari sebuah aktivitas
26
memiliki fungsi O. Lebih lanjut, Dixon (2010:118) menjelaskan bahwa hampir setiap bahasa memiliki beberapa mekanisme gramatikal struktur lahir untuk memarkahi argumen inti dan periferal sehingga kedua argumen tersebut dapat diidentifikasi dan wacana dapat dipahami oleh lawan tutur. Berdasarkan pendapat Dixon, fungsi argumen dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1) Melalui pemarkahan pada frasa nomina (FN) yang merealisasikan sebuah argumen dengan pilihan bentuk pemarkah berupa sistem infleksi pemarkah kasus atau dengan adposisi.
2) Dengan bentuk pronomina terikat yang merealisasikan sebuah argumen; bentuk ini dapat melekat pada predikat atau pada konstituen klausa yang lainnya.
3) Dengan urutan konstituen, seperti yang ditemukan dalam bahasa Inggris. Argumen dengan fungsi A dan O muncul dalam konstruksi klausa transitif, sedangkan argumen dengan fungsi S muncul dalam konstruksi klausa intransitif. Dixon (2010:119) menyatakan bahwa terdapat dua pola yang sering ditemukan, yaitu S dimarkahi seperti A dan S dimarkahi seperti O. Kemungkinan pola pemarkahan ini dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.
I
II =
III
=
Gambar 2.1 Pola Pemarkahan Argumen Inti (Dixon, 2010:119) A A nominatif A ergatif S nominatif S S absolutif O O akusatif O absolutif
27
Baris 1 menunjukkan bahwa A, S, dan O dimarkahi berbeda. Pola dengan sistem tripartite seperti ini jarang diaplikasikan dalam sebuah tata bahasa meskipun dapat menjadi bagian dari sistem pemarkahan campuran. Sistem yang paling umum ditemukan adalah ditunjukkan pada baris II, yaitu A dan S diperlakukan atau dimarkahi sama (kasus nominatif), sedangkan O dimarkahi berbeda (kasus akusatif). Sistem yang lebih jarang ditemukan, tetapi tetap dijumpai pada sekitar seperempat bahasa di dunia adalah pola pada baris III, yaitu S dan O diperlakukan atau memiliki pemarkah yang sama (kasus absolutif), sedangkan A dimarkahi berbeda (ergatif). Dalam hal ini, S digunakan sebagai patokan sehingga penentuan tipologi bahasa dapat dilakukan dengan pengetesan morfologis dan sintaksis, yaitu dengan meneliti apakah A atau O yang diperlakukan sama dengan S. Di samping itu, terdapat juga bahasa yang mencampur jenis nominatif-akusatif dan absolutif-ergatif dalam pemarkahan intraklausa dan digolongkan sebagai bahasa dengan sistem terpilah. Skema alternatif ini mengindikasikan bahwa S dimarkahi sama seperti A (dilambangkan dengan Sa) untuk beberapa tipe verba tertentu dalam konstruksi klausa intransitif dan dimarkahi seperti O untuk tipe verba yang lainnya.
IV. = =
Gambar 2.2 Pola Pemarkahan Terpilah Dixon (2010:120).
Sebuah verba intransitif umumnya dengan argumen S yang memiliki ciri visional dimarkahi seperti A (Sa), sementara argumen S yang referennya memiliki tingkat kontrol yang lemah terhadap sebuah aktivitas dimarkahi seperti O (So). Tipe bahasa seperti ini diberikan istilah bahasa berpermarkah split-S (S-terpilah).