• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERAPI INHALASI

Dalam dokumen PANDUAN SINGKAT KESEHATAN ANAK (Halaman 50-67)

Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin, serta mencegah serangan berikutnya, ataupun bila timbul serangan kembali, serangannya tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diberi obat bronkodilator pada saat serangan, dan obat anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk menurunkan inflamasi yang timbul. Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai macam cara, yaitu parenteral (melalui infus), per oral (tablet diminum), atau per inhalasi. Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya.

Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.

Jenis Terapi Inhalasi

Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai.

Berikut beberapa alat terapi inhalasi: Metered Dose Inhaler (MDI)

1. MDI tanpa Spacer 2. MDI dengan Spacer

Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga

kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak.

Dry Powder Inhaler (DPI)

Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.

Nebulizer

Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup.

Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang

bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tdak banyak terbuang.

Sumber

Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia 2004 Referensi mengenai Asma pada anak lainnya bisa Anda dapatkan di:

K o n s t i p a s i 1/15/2007

Apakah Konstipasi Itu?

Konstipasi adalah kondisi di mana feses memiliki konsistensi keras dan sulit dikeluarkan.1 Masalah ini umum ditemui pada anak-anak. Buang air besar mungkin disertai rasa sakit dan menjadi lebih jarang dari biasa. Pada anak normal, konsistensi feses dan frekuensi BAB dapat berbeda-beda.1,2 Bayi yang disusui ASI mungkin mengalami BAB setiap selesai disusui atau hanya sekali dalam 7-10 hari. Bayi yang disusui formula dan anak yang lebih besar mungkin mengalami BAB setiap 2-3 hari.

Dengan demikian frekuensi BAB yang lebih jarang atau konsistensi feses yang sedikit lebih padat dari biasa tidak selalu harus ditangani sebagai konstipasi. Penanganan konstipasi hanya diperlukan jika pola BAB atau konsistensi feses menyebabkan masalah pada anak. Umumnya dengan nutrisi yang baik, perbaikan kebiasaan BAB, dan penggunaan obat yang sesuai jika diperlukan, masalah ini dapat ditangani.

Gejala dan Tanda

Konstipasi dapat menyebabkan gejala berikut:1,2,3 Sakit perut, BAB mungkin disertai rasa sakit Turun atau hilangnya napsu makan

Rewel

Mual atau muntah Turunnya berat badan

Noda feses di celana dalam anak yang menandakan banyaknya feses yang tertahan di rektum (bagian usus besar terdekat dengan anus). Jika anak mengalami konstipasi yang cukup berat, ia dapat kehilangan kemampuan merasakan kebutuhan ke toilet untuk BAB sehingga menyebabkan anak BAB di celananya. Hal ini disebut encopresis atau fecal incontinence.

Mengedan untuk mengeluarkan feses yang keras dapat menyebabkan robekan kecil pada lapisan mukosa anus (anal fissure) dan perdarahan

Konstipasi meningkatkan risiko infeksi saluran kemih Konstipasi dapat disebabkan oleh:1,2,3

Kecenderungan alami gerakan usus yang lebih lambat, misalnya pada anak dengan riwayat feses yang lebih padat dari normal pada minggu-minggu awal setelah lahir. Nutrisi yang buruk, misalnya yang tinggi lemak hewani dan gula (pencuci mulut,

makanan-makanan manis), serta rendah serat (sayuran, buah-buahan, whole grains). Beberapa obat dapat menyebabkan konstipasi, misalnya antasid, fenobarbital (obat

kejang), obat pereda nyeri, dan obat batuk yang mengandung kodein.

Kebiasaan BAB yang tidak baik, misalnya tidak tersedianya cukup waktu untuk BAB dengan tuntas.

Kurangnya asupan cairan. Kurangnya aktivitas fisik.

Adanya kondisi anus yang menyebabkan nyeri, misalnya robekan pada lapisan mukosa anus (anal fissure). Hal ini seperti lingkaran setan karena mengedan untuk mengeluarkan feses yang keras dapat menyebabkan terjadinya fissure, dan nyeri yang disebabkan fissure menyebabkan anak menahan kebutuhan BAB yang memperparah konstipasi.

Toilet training yang dipaksakan. Toilet training pada anak yang belum siap secara emosional dapat mengakibatkan anak memberontak dengan menahan keinginan BAB. Jika anak belum siap untuk menjalani toilet training, tunggu beberapa bulan sebelum memulainya kembali.

Kadang konstipasi dapat terjadi karena penganiayaan seksual (sexual abuse). Konstipasi dapat merupakan akibat dari beberapa penyakit seperti tidak adanya saraf normal di sebagian usus (Hirschprung disease), kelainan saraf tulang belakang, kurangnya hormon tiroid, keterbelakangan mental, atau beberapa kelainan metabolik. Namun sebab-sebab ini relatif jarang dan umumnya disertai gejala lain.

Penanganan

Pada bayi di bawah usia satu tahun, kemungkinan masalah organik yang mungkin menyebabkan konstipasi harus diteliti dengan lebih cermat, terutama apabila konstipasi disertai gejala lain seperti:

Keluarnya feses pertama lebih dari 48 jam setelah lahir, kaliber feses yang kecil, gagal tumbuh, demam, diare yang diserai darah, muntah kehijauan, atau terabanya benjolan di perut

Perut yang kembung

Lemahnya otot atau refleks kaki, adanya lesung atau rambut di punggung bagian bawah

Selalu tampak lelah, tidak tahan cuaca dingin, denyut nadi yang lambat Banyak BAK, banyak minum

Diare, pneumonia berulang

Anus yang tidak tampak normal baik bentuk maupun posisinya

Lebih dari 95% konstipasi pada anak di atas satu tahun adalah konstipasi fungsional (tidak ada kelainan organik yang mendasarinya).5 Umumnya masalah ini dapat ditangani dengan cara sebagai berikut:2

Kebiasaan BAB yang baik

Anak yang mengalami konstipasi harus dilatih untuk membangun kebiasaan BAB yang baik.2 Salah satu caranya adalah dengan membiasakan duduk di toilet secara teratur sekitar lima menit setelah sarapan, bahkan jika anak tidak merasa ingin BAB. Anak harus duduk selama lima menit, bahkan jika anak telah menyelesaikan BAB sebelum lima menit tersebut habis.

Anak juga harus belajar untuk tidak menahan keinginan BAB. Kadang anak mengalami kekhawatiran jika harus menggunakan toilet di sekolah. Jika orang tua mencurigai adanya masalah tersebut, orang tua hendaknya membicarakan masalah tersebut dengan anak maupun pihak sekolah.

Makanan tinggi serat

Serat membuat BAB lebih lunak karena menahan lebih banyak air dan lebih mudah untuk dikeluarkan. Memperbanyak jumlah serat dalam makanan anak dapat

mencegah konstipasi. Beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan serat anak adalah: Berikan minimal 2 sajian buah setiap hari. Buah yang dimakan beserta kulitnya,

misalnya plum, aprikot, dan peach, memiliki banyak kandungan serat. Berikan minimal 3 sajian sayuran setiap hari.

Berikan sereal yang tinggi serat sepert bran, wheat, whole grain, dan oatmeal. Hindari sereal seperti corn flakes.

Berikan roti gandum (wheat) sebagai ganti roti putih.

Banyak minum dapat mencegah konstipasi. Biasakan anak untuk minum setiap kali makan, sekali di antara waktu makan, dan sebelum tidur. Namun perlu diperhatikan bahwa terlalu banyak susu sapi atau produk susu lainnya (keju, yogurt) justru dapat mengakibatkan konstipasi pada sebagian anak.

Laksatif

Laksatif mungkin dibutuhkan untuk menangani konstipasi. Jika laksatif tidak bekerja atau harus diberikan berulang kali, anak harus dievaluasi oleh dokter. Beberapa laksatif yang dapat diberikan adalah:

Jus prune: Jus prune adalah laksatif ringan yang efektif pada sebagian anak. Jus ini mungkin akan terasa lebih enak jika dicampur dengan jus buah lain.

Psyllium husk (salah satu merknya adalah metamucil). Laksatif ini bekerja dengan melunakkan feses sehingga lebih mudah dikeluarkan.

Senokot (senna). Laksatif ini bekerja dengan menstimulasi usus untuk mengosongkan isinya. Laksatif ini berbentuk butiran yang dapat dicampur dengan makanan seperti es krim.

Durolax (bisacodyl). Bentuk laksatif ini adalah tablet dan bekerja dengan cara yang sama seperti senokot.

Coloxyl (docusate). Laksatif ini berupa tablet atau tetes, bekerja dengan melunakkan feses.

Agarol (parafin cair dan fenoftalein). Laksatif ini berbentuk cairan, bekerja dengan melunakkan dan melicinkan feses, serta menstimulasi usus untuk mengosongkan isinya.

Parachoc (parafin cair dengan rasa coklat-vanila). Laksatif ini berbentuk cairan dan bekerja dengan cara yang sama seperti agarol.

Laksatif lain yang digunakan misalnya lactulose, sorbitol, barley malt extract, magnesium hydroxyde, atau magnesium citrate. 4Namun bayi di bawah usia satu tahun memiliki risiko lebih besar untuk mengalami keracunan magnesium.

Perlu diingat bahwa penggunaan laksatif jangka panjang dapat berbahaya bagi anak. Karena itu, laksatif hanya boleh digunakan dengan pengawasan dokter dan sesuai dosis yang diberikan.3

Supositoria

Jika setelah 2-3 hari penggunaan laksatif konstipasi anak tidak membaik, supositoria seperti glycerin atau durolax suppositories dapat digunakan.1,2 Supositoria harus dilapisi dengan pelicin yang larut dalam air seperti KY jelly sebelum dimasukkan ke rektum (bagian usus besar terdekat dengan anus). Jangan gunakan vaselin karena vaselin tidak larut dalam air. BAB biasanya akan terjadi 30 menit setelah pemberian supositoria.

Enema

Enema tidak boleh diberikan pada anak kecuali jika dokter memerintahkannya.2 Irigasi usus

Hal ini hanya diperlukan pada sebagian kecil anak yang mengalami konstipasi yang sangat berat.2 Hal ini dilakukan di RS dengan memberikan cairan bernama Golytely baik dengan cara diminum atau melalui selang lambung.

tahun dan di atas satu tahun yang diambil dari http://www.aafp.org/afp/20060201/469.html

Sumber

Clinical Practice Guideline. Constipation Guideline. Available from http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=5180

Kids Health Info for Parents. Constipation. Available from http://www.rch.org.au/kidsinfo/factsheets.cfm?doc_id=3718

Children and Constipation: Ways to Cope and When to Worry. Available from http://www.mayoclinic.com/health/constipation/HQ00416

Baker SS, et al. Constipation in Infants and Children: Evaluation and Treatment. Available from J Pediatr Gastroenterol Nutr.Volume 29(5).November 1999.612-626

Biggs WS, Dery WH. Evaluation and Treatment of Constipation in Infants and Children. Available from http://www.aafp.org/afp/20060201/469.html

J a u n d i c e / K u n i n g 1/15/2007

Apakah jaundice itu?

Jaundice adalah warna kekuningan yang didapatkan pada kulit dan lapisan mukosa (seperti bagian putih mata) sebagian bayi baru lahir.1 Dalam bahasa Indonesia hal ini lebih sering disebut sebagai „bayi kuning‟ saja. Istilah lain yang kadang digunakan adalah ikterik. Hal ini dapat terjadi pada bayi dengan warna kulit apapun.2

Bagaimana jaundice terjadi?

Warna kekuningan terjadi karena penumpukan zat kimia yang disebut bilirubin.2 Sel darah merah manusia memiliki waktu hidup tertentu. Setelah waktu hidupnya selesai, sel darah merah akan diuraikan menjadi beberapa zat, salah satunya bilirubin.1 Bilirubin ini akan diproses lebih lanjut oleh hati untuk kemudian dibuang sebagai empedu. Pada janin, tugas tersebut dapat dilakukan oleh hati ibu.2 Setelah lahir, tugas tersebut harus dilakukan sendiri oleh hati bayi yang belum cukup siap untuk memproses begitu banyak bilirubin sehingga terjadilah penumpukan bilirubin.1

Apakah jaundice berbahaya?

Sebagian besar jaundice tidak berbahaya. Namun pada situasi tertentu di mana kadar bilirubin menjadi sangat tinggi, kerusakan otak dapat terjadi.2 Hal ini terjadi karena walaupun secara normal bilirubin tidak dapat melewati pembatas jaringan otak dan aliran darah, pada kadar yang sangat tinggi pembatas tersebut dapat ditembus sehingga bilirubin meracuni jaringan otak.3 Keadaan akut pada minggu-minggu awal pasca kelahiran di mana terjadi gangguan otak karena keracunan bilirubin ini disebut sebagai „acute bilirubin encephalopathy‟.4 Bila keadaan tersebut tidak diatasi, kerusakan otak dapat berlanjut menjadi kronik dan permanen menjadi suatu kondisi yang disebut „kernicterus‟. Inilah alasan mengapa bayi baru lahir harus diperiksa dengan teliti untuk menilai ada tidaknya jaundice dan ditangani secara tepat jika ditemukan adanya jaundice.2

Bilirubin juga dapat menjadi sangat tinggi pada infeksi yang berat, penyakit hemolisis autoimun (penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan tubuh sendiri), atau kekurangan enzim tertentu.

Bagaimana penilaian jaundice dilakukan?

Penilaian jaundice dilakukan pada bayi baru lahir berbarengan dengan pemantauan tanda-tanda vital (detak jantung, pernapasan, suhu) bayi, minimal setiap 8-12 jam.4 Salah satu tanda-tanda jaundice adalah tidak segera kembalinya warna kulit setelah penekanan dengan jari. Cara menilai jaundice membutuhkan cahaya yang cukup, misalnya dengan kadar terang siang hari atau dengan cahaya fluorescent.2 Jaundice umumnya mulai terlihat dari wajah, kemudian

dada, perut, lengan, dan kaki seiring dengan peningkatan kadar bilirubin. Bagian putih mata juga dapat tampak kuning. Jaundice lebih sulit dinilai pada bayi dengan warna kulit gelap. Karena itu penilaian jaundice tidak dapat hanya didasarkan pada pengamatan visual. Jika ditemukan tanda jaundice pada 24 jam pertama setelah lahir, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Demikian pula jika jaundice tampak terlalu berat untuk usia tertentu bayi atau ada keraguan mengenai beratnya jaundice dari pengamatan visual.

Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan melalui kulit (TcB: Transcutaneus Bilirubin) atau dengan darah (TSB: Total Serum Bilirubin).4 Kadar bilirubin yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi si bayi, seperti terilustrasikan pada nomogram 1.

Bagaimana membedakan berbagai jenis jaundice?

Jaundice fisiologis (normal) dapat terjadi pada 50% bayi baru lahir.5 Tipe jaundice ini umumnya diawali pada usia 2-3 hari, memuncak pada hari 4-5, dan menghilang dengan sendirinya pada usia 2 minggu.

Jaundice karena ketidakcocokan rhesus atau golongan darah ibu dan bayi umumnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir.5 Tipe jaundice ini memiliki risiko besar untuk mencapai kadar bilirubin yang sangat tinggi.

Ketidakcocokan rhesus ibu dan janin dapat terjadi jika ibu memiliki rhesus negatif sementara si janin memiliki rhesus positif. Di Indonesia, hal ini relatif jarang terjadi karena sebagian besar penduduk Indonesia memiliki rhesus positif. Di negara dengan proporsi rhesus negatif yang relatif besar, beberapa pemeriksaan dilakukan untuk mempersiapkan ibu dan bayi menghadapi kemungkinan ketidakcocokan rhesus. Setiap ibu hamil menjalani pemeriksaan golongan darah dan tipe rhesus.4 Jika pemeriksaan tersebut tidak dilakukan dalam kehamilan atau jika ibu memiliki rhesus negatif, maka saat kelahiran dilakukan pemeriksaan pada darah bayi untuk mengetahui golongan darah, rhesus, dan ada tidaknya antibodi yang dapat

menyerang sel darah merah bayi.

Apakah ASI berhubungan dengan jaundice?

Jaundice lebih sering terjadi pada bayi yang memperoleh ASI dibanding bayi yang

memperoleh susu formula. Ada dua macam jaundice yang dapat terjadi sehubungan dengan ASI:

Breastfeeding jaundice (5-10% bayi baru lahir)5: Hal ini terjadi pada minggu pertama setelah lahir pada bayi yang tidak memperoleh cukup ASI.6 Bilirubin akan

dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk empedu yang dialirkan ke usus. Selain itu, empedu dapat terurai menjadi bilirubin di usus besar untuk kemudian diserap kembali oleh tubuh. Jika bayi tidak memperoleh cukup ASI, gerakan usus tidak banyak terpacu sehingga tidak banyak bilirubin yang dapat dikeluarkan sebagai empedu. Dan bayi yang tidak memperoleh cukup ASI tidak mengalami buang air besar yang cukup sering sehingga bilirubin hasil penguraian empedu akan tertahan di usus besar dan diserap kembali oleh tubuh.7 Selain itu kolostrum yang banyak terkandung pada ASI di hari-hari awal setelah persalinan memicu gerakan usus dan BAB. Karena itu, jika Anda menyusui, Anda harus melakukannya minimal 8-12 kali per hari dalam beberapa hari pertama.4 Dan penting untuk diperhatikan bahwa tidak pernah ada alasan untuk memberikan air atau air gula pada bayi untuk mencegah kenaikan bilirubin.

Untuk menilai apakah bayi telah memperoleh asupan ASI yang cukup, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan:4

o Bayi yang memperoleh ASI tanpa suplemen apapun akan mengalami

berkurangnya berat badan maksimal (< 10% berat lahir) pada usia 3 hari. Jika berat badan bayi berkurang ≥ 10% berat lahir pada hari ketiga, kecukupan ASI harus dievaluasi.

o Bayi yang memperoleh cukup ASI akan BAK dengan membasahi seluruh popoknya 4-6 kali per hari dan BAB 3-4 kali pada usia 4 hari. Pada usia 3-4 hari, feses bayi harus telah berubah dari mekonium (warna gelap) menjadi kekuningan dengan tekstur lunak.

Breastmilk jaundice (1% bayi baru lahir): Hal ini terjadi dalam akhir minggu pertama atau awal minggu kedua setelah lahir.6 Sebagian kecil ibu memiliki suatu zat dalam ASI mereka yang dapat menghambat pengolahan bilirubin oleh hati.6,7 Keadaan ini tidak memerlukan penghentian pemberian ASI karena tipe jaundice ini ringan dan sama sekali tidak pernah menimbulkan kernicterus atau bahaya lainnya. Tipe jaundice ini hanya memiliki sedikit sekali kenaikan bilirubin dan akan menghilang seiring dengan makin matangnya fungsi hati bayi pada usia 3-10 minggu. Secara umum, jaundice karena sebab apapun tidak pernah merupakan alasan untuk menghentikan pemberian ASI.

Kapan bayi harus diperiksa setelah meninggalkan RS/RB?

Sebelum meninggalkan RS/RB, risiko bayi mengalami hiperbilirubinemia harus dinilai. Penilaian ini oleh American Academy of Pediatrics disarankan dengan melakukan pengukuran kadar bilirubin (TSB atau TcB), penilaian faktor risiko, atau keduanya. Yang merupakan faktor risiko adalah:4

Faktor risiko mayor:

TSB atau TcB di high-risk zone Jaundice dalam 24 jam pertama

Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus

Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk dapat berfungsi normal

Usia gestasi 35-36 minggu

Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung

Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang dibantu vakum

Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan

Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina Faktor risiko minor:

TSB atau TcB di high intermediate-risk zone Usia gestasi 37-38 minggu

Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB Riwayat jaundice pada saudara sekandung Bayi besar dari ibu yang diabetik

Usia ibu ≥ 25 tahun Bayi laki-laki

Jika tidak ditemukan satu pun faktor risiko, risiko jaundice pada bayi sangat rendah.

Pemeriksaan bayi pertama kali setelah meninggalkan RS/RB adalah pada usia 3-5 hari karena pada usia inilah umumnya bayi memiliki kadar bilirubin tertinggi.4 Secara detail, jadwal pemeriksaan bayi setelah meninggalkan RS/RB adalah sebagai berikut:

Jika bayi meninggalkan RS/RB < usia 24 jam à pemeriksaan pada usia 72 jam (3 hari) Jika bayi meninggalkan RS/RB pada usia antara 24 – 47,9 jam à pemeriksaan pada

usia 96 jam (4 hari)

Jika bayi meninggalkan RS/RB pada usia antara 48 – 72 jam à pemeriksaan pada usia 120 jam (5 hari)

Pemeriksaan yang dilakukan harus meliputi:4

Berat badan bayi dan perubahan dari berat lahir Kecukupan asupan ASI/susu formula

Pola BAK dan BAB Ada tidaknya jaundice

Jika ada keraguan mengenai penilaian derajat jaundice, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan.4 Jika ada satu atau lebih faktor risiko, pemeriksaan setelah meninggalkan RS/RB dapat dilakukan lebih awal.

Selain pemeriksaan kadar bilirubin, penyebab jaundice juga harus dicari.4 Misalnya dengan memeriksa kadar bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi, melakukan urinalisis dan kultur urin jika yang meningkat terutama adalah kadar bilirubin terkonjugasi, melakukan pengukuran kadar enzim tertentu jika ada riwayat serupa dalam keluarga atau bayi menunjukkan tanda-tanda spesifik.

Bagaimana jaundice ditangani?

Sebagian besar jaundice adalah keadaan fisiologis yang tidak membutuhkan penanganan khusus selain dilanjutkannya pemberian ASI yang cukup. Namun pada keadaan tertentu, jaundice memerlukan terapi khusus yaitu terapi cahaya atau exchange transfusion. Terapi cahaya

Perlu tidaknya terapi cahaya ditentukan dari kadar bilirubin, usia gestasi (kehamilan) saat bayi lahir, usia bayi saat jaundice dinilai, dan faktor risiko lain yang dimiliki bayi, seperti

digambarkan pada grafik 2.4

Beberapa faktor risiko yang penting adalah

Penyakit hemolisis autoimun (penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan tubuh sendiri)

Kekurangan enzim G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk berfungsi normal Kekurangan oksigen

Kondisi lemah/tidak responsif Tidak stabilnya suhu tubuh

Dalam dokumen PANDUAN SINGKAT KESEHATAN ANAK (Halaman 50-67)

Dokumen terkait