• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasien PPOK harus memperoleh pengetahuan tentang penyakit mereka, rencana terapi, dan strategi untuk memperlambat progress penyakit serta mencegah komplikasi. Pasien juga perlu diberikan nasihat dan konseling mengenai penghentian merokok (Dipiro, 2017).

Davidson dan Currow (2010), seperti yang dipaparkan Lilyana (2017), memberikan manajemen pada kasus PPOK dengan dispnea berulang melalui intervensi nonfarmakologi berupa : melakukan strategi untuk meminimalkan kecemasan; dukungan secara umum dengan cara meningkatkan status nutrisi;

memberikan posisi ventilasi dengan posisi duduk atau condong ke depan; teknik konservasi energy dengan meminimalkan aktivitas harian; teknik relaksasi dengan cara guided imagery dan progressive muscle relaxation; breathing training

dengan cara pursed lips breathing dan diaphragmatic breathing; teknik konseling seperti terapi mindfullnes; pemberian udara dingin mengalir dengan mempergunakan kipas angina; non-invasif ventilasi; akupuntur atau akupresur;

masase yang bermanfaat bagi relaksasi dan postur pasien.

2.1.7.2 Farmakoterapi

Tujuan utama farmakoterapi pada pasien PPOK adalah untuk mengontrol gejala yang dialami pasien dan mengurangi komplikasi, meliputi frekuensi dan keparahan eksaserbasi, serta meningkatkan status kesehatan pasien dan meningkatkan toleransi olahraga Terapi farmakologi yang dapat diberikan pada pasien PPOK, yaitu:

a. Bronkodilator

Bronkodilator yang tersedia untuk pengobatan PPOK meliputi agonis β2, antikolinergik, dan metilxantin. Secara umum, bronkodilator dapat menyebabkan relaksasi otot polos pada saluran pernapasan sehingga mengurangi keterbatasan aliran udara. Terapi inisial untuk pasien PPOK yang mengalami gejala secara intermiten adalah short-acting bronchodilator (Dipiro, 2017).

i. Agonis β2

Prinsip kerja agonis β2 adalah dengan merelaksasi otot polos pada saluran pernapasan dengan merangsang reseptor β2 adrenergik, yang meningkatkan AMP siklik dan menghasilkan efek antagonisme fungsional terhadap efek bronkokonstriksi. Agonis β2 terbagi dua, yaitu short-acting β2 agonists (SABA) dan long-acting β2 agonists

(LABA). Efek SABA bekerja selama 4-6 jam, sedangkan LABA 12 jam atau lebih (Gold, 2018).

ii. Antimuskarinik

Antimuskarinik menghambat efek bronkokonstriksi asetilkolin pada reseptor muskarinik M3 di otot polos saluran pernapasan (GOLD, 2018). Long-acting antimuscarinic (LAMA) seperti tiotropium lebih selektif dibandingkan dengan short-acting antimuscarinic (SAMA), yaitu ipratropium dan oxitropium (Dipiro, 2017).

iii. Metilxantin

Metilxantin, misalnya teofilin dan aminofilin, dapat menghasilkan efek bronkodilasi melalui beberapa mekanisme, yaitu: (i) menghambat phosphodiesterase sehingga meningkatkan kadar cAMP, (ii) menghambat influx Ca2+ ke dalam otot halus, (iii) mengantagonis prostaglandin, (iv) stimulasi katekolamin endogen, (v) mengantagonis reseptor adenosin, dan (vi) menghambat pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit (Dipiro, 2017).

b. Antiinflamasi

GOLD 2018 memaparkan obat-obat dengan potensi antiinflamasi, yaitu:

i. Kortikosteroid Inhalasi

Pada pasien PPOK, terjadi peradangan saluran pernapasan, sehingga kortikosteroid dapat digunakan dalam pengobatan PPOK karena memberikan efek antiinflamasi. Mekanisme antiinflamasi kortikosteroid meliputi : (i) mengurangi permeabilitas kapiler untuk

mengurangi lendir, (ii) menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit (iii) menghambat prostaglandin (Dipiro, 2017).

ii. Glukokortikoid Oral

Glukokortikoid sistemik digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut pada pasien rawat inap, atau selama kunjungan gawat darurat, dan telah terbukti mengurangi tingkat kegagalan terapi, tingkat kekambuhan dan meningkatkan fungsi paru-paru serta mengurangi sesak napas (Gold, 2018).

iii. Inhibitor Fosfodiesterase (PDE4I)

Fosfodiesterase 4 merupakan fosfodiesterase utama yang ditemukan di sel otot polos saluran pernapasan dan sel radang, serta bertanggungjawab dalam menurunkan kadar cAMP. Penghambatan PDE4 mengakibatkan relaksasi sel otot polos dan mengurangi aktivitas sel radang dan mediator inflamasi seperti TNF-α dan IL-8.

Obat dari golongan ini adalah Roflumilast, diperkenalkan tahun 2011 untuk menurunkan resiko eksaserbasi pada pasien dengan PPOK berat (Dipiro, 2017).

iv. Mukolitik/Antioksidan

Pada pasien PPOK yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi, pengobatan teratur dengan mukolitik seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat mengurangi eksaserbasi dan sedikit meningkatkan status kesehatan.

c. Antibiotik

Penyebab utama PPOK eksaserbasi akut adalah infeksi virus atau bakteri.

Antibiotik harus diberikan kepada pasien PPOK eksaserbasi yang memiliki tiga gejala kardinal: peningkatan dispnea, volume dahak, dan purulensi dahak;

memiliki dua gejala kardinal, jika peningkatan purulensi dahak adalah salah satu dari dua gejala; atau membutuhkan ventilasi mekanis (invasif atau non-invasif) (GOLD, 2018).

d. Terapi Farmakologi Lainnya

Terapi farmakologi lainnya yang dapat digunakan untuk menangani pasien PPOK, yaitu: (i) terapi pengganti antitripsin α1, (ii) antitusif, dan (iii) vasodilator (GOLD, 2018).

2.2 Antibiotik

Munaf (1994) seperti yang dipaparkan oleh Utami (2011), menjelaskan bahwa antibiotika merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain.

Dari sudut kemampuannya mematikan kuman, antimikroba dapat dibagi menjadi 2 kelompok sebagai berikut : (i) bakteriostatik, yaitu menghambat pertumbuhan kuman, dan (ii) bakterisidal, yaitu bersifat mematikan kuman (Gunawan, 2016).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik diklasifikasikan menjadi:

a. Obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri i. Antibiotik Beta-Laktam

Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai

struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme Gram -positif dan negatif. Antibiotik betalaktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri.

ii. Basitrasin

Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria, H. influenzae, dan Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini.

Basitrasin tersedia dalam bentuk salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin jarang menyebabkan hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin dan/atau polimiksin.

Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik.

iii. Vankomisin

Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama aktif terhadap bakteri Gram-positif. Vankomisin hanya diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil Gram-negatif dan mikobakteria resisten terhadap vankomisin.

Vankomisin diberikan secara intravena, dengan waktu paruh sekitar 6 jam.

Efek sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas, demam, flushing dan hipotensi (pada infus cepat), serta gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi.

b. Obat yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein

Obat antibiotik yang termasuk golongan ini adalah aminoglikosid, tetrasiklin, kloramfenikol, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.

i. Aminoglikosid

Spektrum aktivitas: Obat golongan ini dapat menghambat bakteri aerob Gram negatif. Obat ini mempunyai indeks terapi yang sempit, dengan toksisitas yang cukup tinggi pada ginjal dan pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut.

Efek samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade neuromuskular (lebih jarang).

ii. Tetrasiklin

Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan tetrasiklin adalah tetrasiklin, doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan klortetrasiklin. Antibiotik golongan ini mempunyai spectrum yang luas serta memiliki kemampuan untuk menghambat berbagai bakteri Gram-positif, Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob, serta mikroorganisme lain seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria.

iii. Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan Mikoplasma. Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom 50S. Efek samping: supresi sumsum tulang, grey baby

syndrome, neuritis optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam.

iv. Makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)

Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonela. Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat H. influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H. pylori.

v. Klindamisin

Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan sebagian besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif aerob seperti Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia. Efek samping:

diare dan enterokolitis pseudomembranosa.

vi. Mupirosin

Mupirosin merupakan obat topikal yang menghambat bakteri Grampositif dan beberapa Gram-negatif. Tersedia dalam bentuk krim atau salep 2%

untuk penggunaan di kulit (lesi kulit traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh S. aureus atau S. pyogenes) dan salep 2% untuk intranasal.

Efek samping: iritasi kulit dan mukosa serta sensitisasi.

vii. Spektinomisin

Obat ini diberikan secara intramuskular. Dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk infeksi gonokokus bila obat lini pertama tidak dapat

digunakan. Obat ini tidak efektif untuk infeksi Gonore faring. Efek samping: nyeri lokal, urtikaria, demam, pusing, mual, dan insomnia.

c. Obat antimetabolit yang menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat adalah sulfonamid dan trimetoprim. Sulfonamid bersifat bakteriostatik.

Trimetoprim dalam kombinasi dengan sulfametoksazol, mampu menghambat sebagian besar patogen saluran kemih, kecuali P. aeruginosa dan Neisseria sp.

d. Obat yang mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat i. Kuinolon

a. Asam nalidiksat Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae.

b. Fluorokuinolon

Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin, ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain. Fluorokuinolon bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Gonokokus, Shigella, E. coli, Salmonella, Haemophilus, Moraxella catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P. aeruginosa.

ii. Nitrofuran

Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon. Absorpsi melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya makanan.

Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk E. coli, Staphylococcus sp, Klebsiella sp, Enterococcus sp, Neisseria sp, Salmonella sp, Shigella sp, dan Proteus sp (Permenkes RI, 2011).

Dokumen terkait