• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIBIOTIKA PADA TERAPI PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK BERDASARKAN INA-CBGS DI RSUP H.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIBIOTIKA PADA TERAPI PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK BERDASARKAN INA-CBGS DI RSUP H."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIBIOTIKA PADA TERAPI PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK BERDASARKAN INA-CBGS

DI RSUP H. ADAM MALIK SKRIPSI

OLEH:

YUANISANDY TELAUMBANUA NIM 151501231

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

ANALISISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIBIOTIKA PADA TERAPI PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

BERDASARKAN INA-CBGS DI RSUP H. ADAM MALIK

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:

YUANISANDY TELAUMBANUA NIM 151501231

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIBIOTIKA PADA TERAPI PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIK BERDASARKAN INA-CBGS DI RSUP H. ADAM MALIK

OLEH:

YUANISANDY TELAUMBANUA NIM 151501231

Dipertahankan di Hadapan Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara pada Tanggal: 27 November 2019

Disetujui oleh: Panitia Penguji:

Pembimbing,

Prof. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Apt., Ph.D. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

NIP 195503121983032001 NIP 195301011983031004

Prof. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Apt., Ph.D.

Ketua Program Studi Sarjana Farmasi, NIP 195503121983032001

Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt. Hari Ronaldo Tanjung, M.Sc., Apt.

NIP 197712262008122002 NIP 197803142005011002

Medan, 27 November 2019 Disahkan oleh:

Dekan,

Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt.

NIP 195707231986012001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karuniaNya sehingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Analisis Efektivitas Biaya Antibiotika pada Terapi Pasien Rawat Inap Penyakit Paru Obstruktif Kronik Berdasarkan INA-CBGs di RSUP H. Adam Malik”.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Salah satu terapi pada pasien PPOK adalah terapi antibiotika. Model terapi antibiotika yang diberikan kepada pasien PPOK sangat bervariasi sehingga biaya dan outcome terapi antar pasien juga sangat bervariasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan model terapi antibiotika yang paling cost-effective pada pasien PPOK dengan kategori keparahan ringan dan sedang.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan. Ibu Prof. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Apt., Ph.D., yang telah sepenuh hati membimbing selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, M.Sc., Apt., dan bapak Hari Ronaldo Tanjung, M.Sc., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan evaluasi dan masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Bapak Prof. Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasihat selama masa pendidikan.

Bapak dan ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik selama masa perkuliahan.

(5)
(6)
(7)

ANALISISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIBIOTIKA PADA TERAPI PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

BERDASARKAN INA-CBGS DI RSUP H. ADAM MALIK

ABSTRAK

Latar Belakang: Pengobatan pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sangat beragam, salah satunya adalah antibiotika. Model terapi antibiotika antar pasien PPOK yang sangat bervariasi menyebabkan perbedaan biaya dan efektivitas antar pasien.

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas biaya penggunaan antibiotika pada pasien PPOK periode Januari 2018-Desember 2018 di RSUP H. Adam Malik Medan berdasarkan paket INA-CBGs.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitikal kohort. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dengan mengakses data dari rekam medis pasien PPOK ringan (J-4-17-I) dan PPOK sedang (J-4-17-II) (n=82) periode Januari 2018-Desember 2018. Karakteristik pasien dan model terapi antibiotika dianalisis secara deskriptif. Biaya langsung dan efektivitas antibiotika dianalisis dengan metode Cost Effectiveness Analysis (CEA) dengan menghitung nilai Cost- Effectiveness Ratio (CER) dan Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) antibiotika yang digunakan pasien sehingga diperoleh antibiotika yang paling cost-effective untuk pasien PPOK ringan dan sedang.

Hasil: Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian adalah 82 orang. Penelitian ini hanya terbatas menggunakan data pasien PPOK ringan dan sedang mengingat keterbatasan data pasien PPOK dengan kategori berat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa PPOK lebih banyak terjadi pada laki-laki (78,05%). Usia rata-rata pasien adalah 63,56 ±12,58 tahun. Berdasarkan analisis efektivitas biaya, model terapi yang paling cost effective pada pasien PPOK ringan adalah azitromisin dengan nilai CER Rp 10.330. Pada pasien PPOK kategori sedang, model terapi antibiotika yang paling cost-effective adalah azitromisin dengan nilai CER Rp 6.080 per pasien.

Kesimpulan: Model terapi antibiotika yang paling cost-effective adalah azitromisin, baik pada pasien PPOK ringan maupun pasien PPOK sedang, sehingga azitromisin dapat dipertimbangkan dalam terapi PPOK di RSUP H.

Adam Malik Medan.

Kata Kunci: analisis efektivitas biaya, antibiotika, PPOK, INA-CBGs

(8)

COST EFFECTIVENESS ANALYSIS OF ANTIBIOTICS IN THE TREATMENT OF INPATIENTS WITH CHRONIC OBTSRUCTIVE

PULMONARY DISEASE BASED

ON INA-CBGS IN ADAM MALIK HOSPITAL

ABSTRACT

Background: The treatments for chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patients are greatly varied, one of the treatments was antibiotic. The varied antibiotic therapy models cause differences in price and effectiveness among COPD patients.

Objective: This study aimed to analyze the cost-effectiveness of antibiotics use in COPD patients admitted to H. Adam Malik Hospital Medan based on the INA- CBGs package period Januari 2018-December 2018.

Method: This study used cohort analytical method. Data were collected restropectively by accessing data from the medical records of COPD patients with mild and moderate severity (n = 82) period January 2018-December 2018.

The characteristics of patients and antibiotic therapy models were descriptively analyzed. The direct cost and effectiveness of the antibiotics were analyzed by cost effectiveness analysis (CEA) method by calculating the Cost-Effectiveness Ratio (CER) and Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) of antibiotics provided to the patients so that the most cost-effective antibiotics are obtained for COPD patients with mild and moderate severity.

Result: The number of samples used in the study were 82 people. This study only used mild and moderate COPD patients data because of limited severe COPD patients data. The result of this study showed that COPD was more common in men (78.05%). The average age of patients was 63.56 ± 12.58 years. Based on cost effectiveness analysis, the most cost-effective therapy model for COPD patients with mild severity was azithromycin with CER value of Rp 10,330 per patient. In the COPD patients with moderate severity, the most cost-effective antibiotic therapy model was azithromycin with a CER value of Rp 6,080 per patient. Conclusion: The most cost-effective antibiotic therapy model for mild and moderate COPD patients was azithromycin so that azithromycin can be considered in COPD treatment at H. Adam Malik Hospital Medan.

Keywords: cost effectiveness analysis, antibiotic, COPD, INA-CBGs

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik ... 7

2.1.1 Defenisi ... 7

2.1.2 Etiologi ... 8

2.1.3 Patologi ...10

2.1.4 Patogenesis ...10

2.1.5 Patofisiologi ...13

2.1.6 Diagnosis ...14

2.1.7 Terapi ...18

2.1.7.1 Terapi nonfarmakologi ...18

2.1.7.2 Farmakoterapi ...19

2.2 Antibiotik ...22

2.3 Sel Darah Putih ...27

2.4 Farmakoekonomi ...27

2.4.1 Defenisi ...27

2.4.2 Tujuan...28

2.4.3 Perspektif penilaian ...28

2.4.4 Hasil pengobatan...29

2.4.5 Metode kajian farmakoekonomi ...30

2.4.6 Biaya kesehatan ...31

2.5 Indonesian Case Based Groups………... ...33

2.5.1 Struktur kode INA-CBGs ...34

BAB III METODE PENELITIAN ...36

3.1 Jenis Penelitian ...36

3.2 Populasi dan Sampel ...36

3.2.1 Populasi ...36

3.2.2 Sampel ...36

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ...37

(10)

3.3.1 Lokasi penelitian ...37

3.3.2 Waktu penelitian ...37

3.4 Rancangan Penelitian ...37

3.4.1 Pengumpulan data ...37

3.4.2 Pengolahan data ...38

3.4.3 Analisis data ...38

3.5 Defenisi Operasional ...39

3.6 Langkah Penelitian ...40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...41

4.1 Karakteristik Pasien ...41

4.1.1 Karakteristik berdasarkan jenis kelamin ...41

4.1.2 Karakteristik berdasarkan usia...42

4.1.3 Karakteristik berdasarkan diagnosis ...43

4.1.4 Model terapi antibiotika ...43

4.2 Cost Effectiveness Analysis ...44

4.2.1 Biaya langsung medis ...44

4.2.2 Penilaian efektivitas terapi ...47

4.2.3 Perhitungan cost effectiveness ratio ...49

4.2.4 Perhitungan incremental cost effectiveness ratio ...50

4.3 Analisis Sensitivitas ...53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...56

5.1 Kesimpulan ...56

5.2 Saran...56

DAFTAR PUSTAKA ...57

LAMPIRAN ...59

(11)

DAFTAR TABEL

2.1 Inteprestasi hasil spirometri...16

4.1 Kakteristik pasien berdasarkan usia ...42

4.2 Karakteristik pasien berdasarkan diagnosis ...43

4.3 Model terapi antibiotika yang diberikan kepada pasien PPOK kategori ringan ...43

4.4 Model terapi antibitiotika yang diberikan kepada pasien PPOK kategori sedang ...44

4.5 Distribusi biaya antibiotika pada pasien PPOK kategori ringan ...46

4.6 Distribusi biaya antibiotika pada pasien PPOK kategori sedang ...47

4.7 Efektivitas terapi antibiotika yang diberikan kepada pasien PPOK ...48

4.8 Analisis CER pada pasien PPOK kategori ringan ...49

4.9 Analisis CER pada pasien PPOK kategori sedang ...50

4.10Analisis ICER pada pasien PPOK kategori ringan ...52

4.11Analisis ICER pada pasien PPOK kategori sedang ...53

4.12Analisis sensitivitas pada pasien PPOK kategori ringan ...54

4.13Analisis sensitivitas pada pasien PPOK kategori sedang...55

(12)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Skema kerangka pikir penelitian ... 6

2.1 Patogenesis PPOK ...11

2.2 Spirometer ...15

2.3 Struktur kode INA-CBGs ...34

4.1 Persentase pasien PPOK berdasarkan jenis kelamin ...41

4.2 Diagram efektivitas biaya...50

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data demografi pasien PPOK RSUP H. Adam Malik Medan dengan

kode INA-CBGs J-4-17-I ...59 2 Data demografi pasien PPOK RSUP H. Adam Malik Medan dengan

kode INA-CBGs J-4-17-II...62 3 Gambar surat izin judul penelitian dari dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara ... 64 4 Gambar surat keterangan Ethical Clearance dari Ketua Komisi

Etik Fakultas Keperawatan USU ... 65 5 Gambar surat izin melakukan penelitian di RSUP H. Adam

Malik Medan ... 66

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit paru obstruktif kronik atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) merupakan penyakit yang ditandai dengan terjadinya hambatan aliran udara secara progresif yang tidak sepenuhnya reversibel serta berhubungan dengan respon inflamasi paru-paru yang abnormal terhadap partikel atau gas yang berbahaya seperti asap rokok (Dipiro, 2017). Proses inflamasi tersebut menyebar tidak hanya pada saluran napas tapi juga meluas hingga ke pembuluh darah dan parenkim paru-paru.

Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2019, PPOK saat ini merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia, dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian nomor 3 pada tahun 2020. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2012 sehingga menyumbang 6% dari semua kematian secara global pada tahun itu.

Berdasarkan data Global Health Observatory (GHO) oleh World Health Organization (WHO) tahun 2018, PPOK menduduki peringkat ke-3 dari 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di dunia pada tahun 2016. Disebutkan bahwa PPOK menyumbangkan 3 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2016.

Pada tahun 2015, 3,2 juta orang di dunia meninggal akibat PPOK, angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 11,6% dibandingkan pada tahun 1990.

Prevalensi PPOK pada tahun 2015 meningkat sebesar 44,2% dari tahun 1990, di mana pada tahun 2015 terdapat 174,5 juta orang menderita PPOK di seluruh dunia (Soriano, 2017).

(15)

Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi PPOK di Indonesia adalah 3,7% per mil, tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (10%) dan terendah di provinsi Lampung (1,4%), sementara di Sumatera Utara sebesar 3,6% (Kemenkes RI, 2013).

Penyebab utama terjadinya PPOK adalah paparan terhadap asap rokok.

Merokok merupakan faktor resiko paling umum dan diperkirakan 85% hingga 90% kasus PPOK disebabkan karena merokok. Resiko PPOK pada perokok lebih tinggi 12 hingga 13 kali dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Faktor resiko lainnya adalah genetik, paparan lingkungan (termasuk debu dan bahan kimia), serta polusi udara (Dipiro, 2017).

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2018, prevalensi merokok usia 15-18 tahun di Indonesia adalah 9,1%. Dengan meningkatnya prevalensi merokok di negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia, serta penuaan populasi di negara-negara berpenghasilan tinggi, prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat selama 30 tahun ke depan dan pada tahun 2030 mungkin akan ada lebih dari 4,5 juta kematian setiap tahun akibat PPOK (GOLD, 2019).

PPOK merupakan penyakit dengan beban biaya cukup besar. American Thoracic Society Foundation dalam GOLD (2019) melaporkan bahwa di Uni Eropa, total biaya langsung penyakit pernapasan diperkirakan sekitar 6% dari total anggaran kesehatan, dan PPOK menyumbang 56% (38,6 miliar Euro) dari total biaya penyakit pernapasan.

Di Indonesia, pemerintah menyediakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk membantu masyarakat dalam meringankan biaya pengobatan. Untuk menjalankan program tersebut, pemerintah mendirikan Badan

(16)

Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2014 hingga saat ini. Dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan adalah dengan INA-CBGs sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 (Permenkes, 2014).

Terapi PPOK ada berbagai macam sehingga terapi yang diterima antar pasien cenderung beragam, salah satunya antibiotika. Umumnya pasien PPOK mengalami infeksi sehingga diperlukan terapi antibiotika untuk penanganannya.

Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Lebih dari seperempat anggaran rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotika. Di negara maju, 13-37% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotika baik secara tunggal maupun kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30-80% penderita yang dirawat di rumah sakit mendapat antibiotika (Mahmuda, 2016).

Pemilihan antibiotika harus dilakukan secara tepat sehingga pasien dapat memperoleh efek terapi maksimum dengan biaya yang lebih terjangkau, serta dapat mengurangi anggaran belanja antibiotika rumah sakit dan pemerintah. Oleh karena itu diperlukan analisis efektivitas biaya sebagai referensi bagi pasien, penyedia layanan kesehatan serta pemerintah dalam mengambil keputusan terkait penggunaan antibiotika pada pasien PPOK.

Bloom (1995) dan Bootman dkk., (2005) seperti yang dipaparkan oleh Tjandrawinata (2016) menyatakan bahwa farmakoekonomi didefenisikan sebagai

(17)

deskripsi dan analisa biaya terapi pengobatan terhadap sistem perawatan kesehatan dan masyarakat. Farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur, dan membandingkan biaya dan manfaat dari produk dan jasa farmasi. Tujuan farmakoekonomi adalah untuk memperbaiki kesehatan individu dan publik, serta memperbaiki proses pengambilan keputusan dalam memilih nilai relatif di antara terapi-terapi alternatif.

Pada penelitian ini dilakukan analisis cost effectiveness terhadap terapi antibiotika yang diberikan kepada pasien PPOK INA-CBGs.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan permesalahan penelitian ini adalah :

a. model terapi antibiotika mana yang paling cost effective pada pasien PPOK rawat inap di RSUP H. Adam Malik?

b. model terapi antibiotika mana yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pada pengobatan PPOK untuk masing-masing kode INA-CBGs?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas, hipotesis penelitian ini adalah : a. model terapi antibiotika yang paling cost effective pada pasien PPOK rawat inap

di RSUP H. Adam Malik adalah seftriakson.

b. model terapi antibiotika yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pada pengobatan PPOK untuk masing-masing kode INA-CBGs adalah seftriakson.

(18)

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

a. mengetahui model terapi antibiotika yang paling cost effective pada pasien PPOK rawat inap di RSUP H. Adam Malik.

b. mengetahui model terapi antibiotika yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pada pengobatan PPOK untuk masing-masing kode INA-CBGs.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat sebagai berikut : a. bagi rumah sakit

Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada pengobatan PPOK, serta dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menyusun formularium rumah sakit.

b. bagi asuransi penyedia jaminan kesehatan

Memberikan gambaran mengenai terapi antibiotika yang paling cost effective pada pasien PPOK peserta asuransi kesehatan.

c. bagi program studi

Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang analisis farmakoekonomi terutama analisis efektivitas biaya.

d. bagi peneliti

Dapat memberikan pemahaman mengenai analisis biaya melalui penerapan penelitian di rumah sakit.

(19)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang efektivitas biaya terapi antibiotika pada pasien PPOK rawat inap RSUP H. Adam Malik berdasarkan paket INA-CBGs.

Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medis pasien penderita PPOK yang menjalani rawat inap pada periode Januari 2018-Desember 2018.

Selain dari rekam medis, data juga diperoleh dari bagian instalasi farmasi dan SIRS untuk mengetahui biaya yang dikeluarkan.

Sudut pandang pada penelitian ini adalah sudut pandang dari asuransi pemberi jaminan kesehatan sebagai penanggung biaya pengobatan. Biaya pelayanan kesehatan yang diteliti pada penelitian ini adalah biaya langsung medis berupa biaya penggunaan antibiotika. Adapun kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian

Variabel bebas adalah yang mempengaruhi variabel terikat. Pada penelitian ini, variabel bebas adalah model terapi antibiotika yang diberikan pada pasien PPOK. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variable bebas. Pada penelitian ini, variabel terikat adalah jumlah pasien dengan WBC normal pada hari ke-3 dan biaya langsung medis, yaitu biaya penggunaan antibiotika.

Variabel Bebas Variabel Terikat

Jumlah pasien dengan WBC normal (4-11 x 109 sel/L) pada hari ke-3.

Biaya langsung medis, yaitu biaya antibiotik yang digunakan oleh pasien PPOK rawat inap Model terapi

antibiotik yang digunakan oleh pasien PPOK rawat inap

CER

ICER Parameter

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik 2.1.1 Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit paru yang ditandai dengan terjadinya hambatan aliran udara yang bersifat progresif namun tidak sepenuhnya reversibel, dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya seperti asap rokok (PDPI, 2011).

Penyakit paru obstruktif kronik adalah suatu penyakit yang umum, dapat dicegah dan dapat ditangani. Pasien PPOK mengalami gangguan pernapasan yang persisten dan hambatan aliran udara akibat abnormalitas saluran udara dan/atau alveolar. Hambatan aliran udara tersebut disebabkan oleh gabungan dari dua kondisi, yaitu gangguan saluran udara kecil (contohnya bronkiolitis obstruktif) dan kerusakan parenkim (emfisema). Kondisi ini berbeda-beda antarindividu.

Perubahan ini tidak selalu muncul bersamaan tapi berkembang dengan laju yang berbeda-beda dari waktu ke waktu (GOLD, 2019).

Inflamasi kronik menyebabkan perubahan struktural, penyempitan saluran udara kecil dan kerusakan parenkim paru-paru yang menyebabkan hilangnya ikatan alveolar pada saluran udara kecil serta berkurangnya elastisitas paru-paru.

Perubahan ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan saluran udara untuk tetap terbuka selama ekspirasi. Keterbatasan aliran udara biasanya diukur dengan spirometri karena merupakan tes fungsi paru yang paling banyak digunakan dan dapat digunakan secara berulang (GOLD, 2019).

(21)

2.1.2 Etiologi

Sebagian besar kasus PPOK disebabkan oleh kebiasaan merokok.

Diperkirakan 85% hingga 90% kasus PPOK disebabkan karena merokok. Selain karena kebiasaan merokok, PPOK juga dapat disebabkan oleh interaksi dari beberapa faktor resiko lainnya yang dibedakan menjadi faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan (Dipiro, 2017).

Menurut GOLD (2019), beberapa faktor resiko terjadinya PPOK antara lain:

a. Faktor genetik

Defisiensi alpha-1 antitrypsin (AAT) yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya PPOK. Defisiensi AAT hanya terjadi pada sebagian kecil populasi dunia. AAT merupakan inhibitor utama serin protease. AAT merupakan suatu protein plasma yang disintesis di hepatosit. Fungsi utama AAT adalah untuk melindungi sel, khususnya di paru-paru, dari kerusakan akibat pelepasan elastase oleh neutrophil.

b. Usia dan jenis kelamin

Usia sering dikaitkan dengan resiko terjadinya PPOK. Resiko PPOK semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Banyak penelitian terdahulu yang melaporkan bahwa prevalensi dan mortalitas PPOK lebih besar pada pria dibandingkan wanita, namun data terbaru dari negara-negara berkembang menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sekarang hampir sama antara pria dan wanita yang mungkin terjadi akibat perubahan pola merokok.

(22)

c. Perkembangan paru-paru

Proses yang terjadi selama proses kehamilan, kelahiran, serta paparan selama masa kanak-kanak dan remaja mempengaruhi pertumbuhan paru- paru. Berkurangnya fungsi paru-paru maksimal (diukur dengar spirometer) dapat meningkatkan resiko PPOK.

d. Paparan terhadap partikel

Merokok merupakan faktor resiko PPOK yang paling umum di seluruh dunia. Perokok memiliki prevalensi terkena gangguan pernapasan, abnormalitas fungsi paru, laju penurunan FEV1, serta tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bukan perokok. Paparan pasif terhadap asap rokok juga dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan PPOK. PPOK juga dapat terjadi akibat paparan okupasional (paparan di tempat kerja), misalnya paparan terhadap debu, zat kimia dan asap serta polusi lingkungan.

e. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi yang lebih rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko PPOK, tetapi komponen kemiskinan yang berkontribusi tidak jelas. Ada bukti kuat bahwa risiko menderita PPOK berbanding terbalik dengan status sosial ekonomi. Namun, tidak jelas, apakah pola ini mencerminkan paparan polutan udara dalam dan luar ruangan, kepadatan penduduk, gizi buruk, infeksi, atau faktor lain yang terkait dengan rendahnya status sosial ekonomi.

f. Asma dan hipersensitivitas saluran pernapasan

Asma dapat menjadi faktor penyebab terjadinya PPOK. Asma berhubungan dengan berkurangnya nilai FEV1. Semntara hipersentivitas saluran napas dapat mempercepat penurunan fungsi paru-paru.

(23)

g. Bronkitis kronik

Bronkitis kronis berhubungan dengan hipersekresi mukus dan penurunan FEV1. Bronkitis kronik dapat meningkatkan laju terjadinya eksaserbasi.

h. Infeksi

Riwayat infeksi saluran pernafasan yang parah pada masa kanak-kanak dikaitkan dengan penurunan fungsi paru-paru serta peningkatan gangguan pernapasan pada usia dewasa.

2.1.3 Patologi

Perubahan patologis yang menunjukkan terjadinya PPOK dapat dilihat pada saluran napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vaskular paru.

Perubahan patologis akibat inflamasi kronis terjadi karena peningkatan sel inflamasi kronis di berbagai bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat terjadinya cedera dan perbaikan yang berulang-ulang.

Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun sudah berhenti merokok (PDPI, 2011).

2.1.4 Patogenesis

Inflamasi pada saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme terjadinya amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik. Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK (PDPI, 2011).

(24)

PPOK ditandai oleh perubahan respon inflamasi kronis yang menyebabkan perubahan destruktif dan peningkatan hambatan saluran napas. Proses inflamasi tersebut menyebar tidak hanya pada saluran napas tapi juga meluas hingga ke pembuluh darah dan parenkim paru-paru. Inflamasi pada PPOK sering merujuk pada neutrofilik, tetapi makrofag dan limfosit CD8+ juga memainkan peran penting. Sel radang melepas berbagai macam mediator kimia. Aksi sel dan mediator tersebut berlebihan sehingga menyebabkan perubahan destruktif yang meluas. Rangsangan yang dapat mengaktivasi sel dan mediator inflamasi adalah partikel dan gas berbahaya yang terhirup (Dipiro, 2017).

Proses lainnya yang memiliki peran penting adalah stres oksidatif dan ketidakseimbangan antara sistem pertahanan agresif dan protektif pada paru-paru (protease dan antiprotease). Berbagai proses tersebut mungkin diakibatkan oleh peradangan yang sedang berlangsung atau terjadi sebagai akibat dari tekanan dan paparan lingkungan seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Patogenesis PPOK (Dipiro, 2017).

a. Stres oksidatif

Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penting pada PPOK. Biomarker stress oksidatif (misalnya hydrogen peroksida, 8-isoprostan) meningkat dalam

(25)

dahak, kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK (GOLD, 2019).

Peningkatan stres oksidatif diakibatkan karena terganggunya interaksi antara oksidan dan antioksidan pada saluran napas. Peningkatan marker oksidan (misalnya hidrogen peroksida dan nitrogen monoksida) terlihat pada cairan lapisan epitel. Oksidan yang meningkat dihasilkan oleh reaksi dengan asap rokok dan merusak berbagai protein dan lipid, mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Oksidan juga meningkatkan peradangan secara langsung dan memperburuk ketidakseimbangan protease-antiprotease dengan menghambat aktivitas antiprotease (Dipiro, 2017).

b. Ketidakseimbangan protease-antiprotease

Ada bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease dan antiprotease pada pasien PPOK, yaitu protease yang memecah komponen jaringan ikat dan antiproteases yang melindunginya. Pada pasien PPOK telah diamati terjadinya peningkatan kadar beberapa enzim protease yang dihasilkan dari sel-sel radang dan sel-sel epitel (GOLD, 2019).

c. Sel-sel radang

PPOK ditandai dengan peningkatan jumlah makrofag di saluran napas periferal, parenkim paru dan pembuluh darah paru, bersamaan dengan peningkatan neutrofil aktif dan peningkatan limfosit (GOLD, 2019).

d. Mediator radang

Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti meningkat pada pasien PPOK menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik),

(26)

menguatkan proses inflamasi (sitokin pro inflamasi), dan mendorong perubahan struktural (faktor pertumbuhan) (GOLD, 2019).

2.1.5 Patofisiologi

Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala. Misalnya, inflamasi dan penyempitan saluran napas periferal menyebabkan penurunan FEV1. Kerusakan parenkim akibat emfisema juga berkontribusi terhadap terjadinya keterbatasan aliran udara dan menyebabkan berkurangnya transfer gas (GOLD, 2019).

a. Keterbatasan aliran udara dan gas trapping

Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1 merupakan gejala yang khas pada PPOK. Obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap selama ekspirasi dan mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi dan umumnya dikaitkan dengan terjadinya hiperinflasi dinamis selama olahraga sehingga memperburuk dispnea dan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk berolahraga (GOLD, 2019).

b. Abnormalitas pertukaran gas

Abnormalitas pertukaran gas, yang memburuk selama proses terjadinya PPOK, menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia (GOLD, 2019).

c. Hipersekresi lendir

Hipersekresi lendir, yang mengakibatkan batuk produktif kronis, adalah gambaran dari bronkitis kronis dan tidak selalu berhubungan dengan keterbatasan aliran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala

(27)

hipersekresi lendir. Hipersekresi lendir terjadi karena peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa akibat iritasi saluran napas kronis oleh asap rokok dan agen berbahaya lainnya (GOLD, 2019).

d. Hipertensi paru

Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intimal dan kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia (GOLD, 2019).

e. Eksaserbasi

Eksaserbasi sering terjadi pada pasien PPOK. Eksaserbasi dipicu oleh infeksi saluran pernapasan oleh bakteri atau virus, polutan lingkungan, atau faktor-faktor lainnya. Selama eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi dan gas trapping, dengan berkurangnya laju ekspirasi yang dapat meningkatkan resiko terjadinya dispnea (GOLD, 2019).

2.1.6 Diagnosis

Untuk mendiagnosa PPOK, harus dilakukan penilaian terhadap pasien, yaitu:

i. Gejala

Gejala yang dialami oleh pasien PPOK meliputi batuk, produksi dahak, dan dispnea. Pasien dapat mengalami batuk selama beberapa tahun sebelum mengalami dispnea dan sering diabaikan hingga gejala dispnea menjadi signifikan. Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang berusia 40 tahun atau lebih yang mengalami dispnea persisten atau progresif disertai batuk kronik berdahak serta menunjukkan penurunan aktivitas yang tidak biasa atau

(28)

abnormal khususnya pada mereka yang pernah terpapar asap rokok lingkungan (Dipiro, 2017).

ii. Riwayat paparan terhadap faktor resiko

PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki riwayat terpapar faktor resiko meliputi asap rokok dan paparan yang diperoleh di tempat kerja atau disebut juga paparan okupasional. Selain itu, faktor resiko lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah faktor genetik, yaitu defesiensi AAT (alpha-1 antitrypsin) (Dipiro, 2017).

iii. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang berada pada tahap PPOK ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi lebih parah, pasien dapat mengalami sianosis membran mukosa, barrel chest akibat pengembangan paru-paru yang berlebihan, peningkatan laju respirasi istirahat, nafas dangkal, bibir onyong selama ekspirasi, dan penggunaan otot respirasi pelengkap (Sukandar, 2008).

iv. Tes diagnostik

Penegakkan diagnosis PPOK dapat dilakukan dengan menggunakan spirometer. Spirometer dapat dilihat pada Gambar 2.2.

(29)

Uji spirometri menunjukkan penilaian yang komprehesif terhadap volume dan kapasitas paru-paru (Dipiro, 2017). Hasil spirometri normal menunjukkan nilai Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) >80% dan nilai Forced Vital Capacity (FVC) >80% (NHANES, 2008). Pada pasien PPOK nilai FEV1:FVC kurang dari 70% yang mengindikasi terjadinya obstruksi saluran napas (Dipiro, 2017). Spirometer bekerja dengan cara mengukur aliran udara yang masuk dan keluar dari paru-paru. Untuk melakukan tes spirometri, pasien akan diminta duduk kemudian pasien harus menghembuskan napas ke dalam spirometer. Spirometer akan mengukur jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan oleh pasien serta kecepatan pernapasan pasien. Interprestasi hasil spirometri dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Interprestasi hasil spirometri

Interprestasi FVC FEV1 FEV1/ FVC %

Spirometri normal Normal Normal Normal

Obstruksi saluran napas Rendah atau

Normal Rendah Rendah

Restriksi paru Rendah Rendah Normal

Obstruksi + restriksi Rendah Rendah Rendah

Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (2005) mengklasifikasikan PPOK menjadi 3 kelompok berdasarkan derajat keparahannya, yaitu sebagai berikut:

i. PPOK ringan Gejala klinis:

- dengan atau tanpa batuk

- dengan atau tanpa produksi sputum

- sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1

(30)

Sprirometri:

- VEP1 ≥ 80% prediksi (normal spirometri) atau - VEP1/KVP < 70%

ii. PPOK sedang Gejala klinis:

- dengan atau tanpa batuk

- dengan atau tanpa produksi sputum

- sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas) Spirometri:

- VEP1/KVP < 70% atau - 50% <VEP1 < 80% prediksi iii. PPOK berat

Gejala klinis:

- sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik - eksaserbasi lebih sering terjadi

- disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kana Spirometri:

- VEP1/KVP < 70%

- VEP1 < 30% prediksi atau

- VEP1 > 30% dengan gagal napas kronik

Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah, dengan kriteria:

- hipoksemia dengan normokapnia, atau - hipoksemia dengan hiperkapnia

(31)

2.1.7 Terapi

Terapi pada pasien PPOK beragam dan mencakup terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Tujuan terapi PPOK adalah untuk mencegah progress penyakit, menyembuhkan gejala, meningkatkan toleransi olahraga, meningkatkan status kesehatan secara menyeluruh, mencegah dan menangani eksaserbasi, mencegah dan menangai komplikasi, dan menurunkan angka kecatatan dan kematian (Dipiro, 2017).

Ukuran yang tepat untuk menilai efektivitas manajemen PPOK meliputi penghentian merokok yang berkelanjutan, gejala membaik, penurunan nilai FEV1

berkurang, berkurangnya jumlah eksaserbasi, peningkatan keadaan fisik dan psikologis, dan menurunnya mortalitas, hospitalisasi serta hari kerja yang hilang akibat penyakit (Dipiro, 2017).

2.1.7.1 Terapi nonfarmakologi

Pasien PPOK harus memperoleh pengetahuan tentang penyakit mereka, rencana terapi, dan strategi untuk memperlambat progress penyakit serta mencegah komplikasi. Pasien juga perlu diberikan nasihat dan konseling mengenai penghentian merokok (Dipiro, 2017).

Davidson dan Currow (2010), seperti yang dipaparkan Lilyana (2017), memberikan manajemen pada kasus PPOK dengan dispnea berulang melalui intervensi nonfarmakologi berupa : melakukan strategi untuk meminimalkan kecemasan; dukungan secara umum dengan cara meningkatkan status nutrisi;

memberikan posisi ventilasi dengan posisi duduk atau condong ke depan; teknik konservasi energy dengan meminimalkan aktivitas harian; teknik relaksasi dengan cara guided imagery dan progressive muscle relaxation; breathing training

(32)

dengan cara pursed lips breathing dan diaphragmatic breathing; teknik konseling seperti terapi mindfullnes; pemberian udara dingin mengalir dengan mempergunakan kipas angina; non-invasif ventilasi; akupuntur atau akupresur;

masase yang bermanfaat bagi relaksasi dan postur pasien.

2.1.7.2 Farmakoterapi

Tujuan utama farmakoterapi pada pasien PPOK adalah untuk mengontrol gejala yang dialami pasien dan mengurangi komplikasi, meliputi frekuensi dan keparahan eksaserbasi, serta meningkatkan status kesehatan pasien dan meningkatkan toleransi olahraga Terapi farmakologi yang dapat diberikan pada pasien PPOK, yaitu:

a. Bronkodilator

Bronkodilator yang tersedia untuk pengobatan PPOK meliputi agonis β2, antikolinergik, dan metilxantin. Secara umum, bronkodilator dapat menyebabkan relaksasi otot polos pada saluran pernapasan sehingga mengurangi keterbatasan aliran udara. Terapi inisial untuk pasien PPOK yang mengalami gejala secara intermiten adalah short-acting bronchodilator (Dipiro, 2017).

i. Agonis β2

Prinsip kerja agonis β2 adalah dengan merelaksasi otot polos pada saluran pernapasan dengan merangsang reseptor β2 adrenergik, yang meningkatkan AMP siklik dan menghasilkan efek antagonisme fungsional terhadap efek bronkokonstriksi. Agonis β2 terbagi dua, yaitu short-acting β2 agonists (SABA) dan long-acting β2 agonists

(33)

(LABA). Efek SABA bekerja selama 4-6 jam, sedangkan LABA 12 jam atau lebih (Gold, 2018).

ii. Antimuskarinik

Antimuskarinik menghambat efek bronkokonstriksi asetilkolin pada reseptor muskarinik M3 di otot polos saluran pernapasan (GOLD, 2018). Long-acting antimuscarinic (LAMA) seperti tiotropium lebih selektif dibandingkan dengan short-acting antimuscarinic (SAMA), yaitu ipratropium dan oxitropium (Dipiro, 2017).

iii. Metilxantin

Metilxantin, misalnya teofilin dan aminofilin, dapat menghasilkan efek bronkodilasi melalui beberapa mekanisme, yaitu: (i) menghambat phosphodiesterase sehingga meningkatkan kadar cAMP, (ii) menghambat influx Ca2+ ke dalam otot halus, (iii) mengantagonis prostaglandin, (iv) stimulasi katekolamin endogen, (v) mengantagonis reseptor adenosin, dan (vi) menghambat pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit (Dipiro, 2017).

b. Antiinflamasi

GOLD 2018 memaparkan obat-obat dengan potensi antiinflamasi, yaitu:

i. Kortikosteroid Inhalasi

Pada pasien PPOK, terjadi peradangan saluran pernapasan, sehingga kortikosteroid dapat digunakan dalam pengobatan PPOK karena memberikan efek antiinflamasi. Mekanisme antiinflamasi kortikosteroid meliputi : (i) mengurangi permeabilitas kapiler untuk

(34)

mengurangi lendir, (ii) menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit (iii) menghambat prostaglandin (Dipiro, 2017).

ii. Glukokortikoid Oral

Glukokortikoid sistemik digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut pada pasien rawat inap, atau selama kunjungan gawat darurat, dan telah terbukti mengurangi tingkat kegagalan terapi, tingkat kekambuhan dan meningkatkan fungsi paru-paru serta mengurangi sesak napas (Gold, 2018).

iii. Inhibitor Fosfodiesterase (PDE4I)

Fosfodiesterase 4 merupakan fosfodiesterase utama yang ditemukan di sel otot polos saluran pernapasan dan sel radang, serta bertanggungjawab dalam menurunkan kadar cAMP. Penghambatan PDE4 mengakibatkan relaksasi sel otot polos dan mengurangi aktivitas sel radang dan mediator inflamasi seperti TNF-α dan IL-8.

Obat dari golongan ini adalah Roflumilast, diperkenalkan tahun 2011 untuk menurunkan resiko eksaserbasi pada pasien dengan PPOK berat (Dipiro, 2017).

iv. Mukolitik/Antioksidan

Pada pasien PPOK yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi, pengobatan teratur dengan mukolitik seperti carbocysteine dan N- acetylcysteine dapat mengurangi eksaserbasi dan sedikit meningkatkan status kesehatan.

c. Antibiotik

Penyebab utama PPOK eksaserbasi akut adalah infeksi virus atau bakteri.

(35)

Antibiotik harus diberikan kepada pasien PPOK eksaserbasi yang memiliki tiga gejala kardinal: peningkatan dispnea, volume dahak, dan purulensi dahak;

memiliki dua gejala kardinal, jika peningkatan purulensi dahak adalah salah satu dari dua gejala; atau membutuhkan ventilasi mekanis (invasif atau non-invasif) (GOLD, 2018).

d. Terapi Farmakologi Lainnya

Terapi farmakologi lainnya yang dapat digunakan untuk menangani pasien PPOK, yaitu: (i) terapi pengganti antitripsin α1, (ii) antitusif, dan (iii) vasodilator (GOLD, 2018).

2.2 Antibiotik

Munaf (1994) seperti yang dipaparkan oleh Utami (2011), menjelaskan bahwa antibiotika merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain.

Dari sudut kemampuannya mematikan kuman, antimikroba dapat dibagi menjadi 2 kelompok sebagai berikut : (i) bakteriostatik, yaitu menghambat pertumbuhan kuman, dan (ii) bakterisidal, yaitu bersifat mematikan kuman (Gunawan, 2016).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik diklasifikasikan menjadi:

a. Obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri i. Antibiotik Beta-Laktam

Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai

(36)

struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme Gram -positif dan negatif. Antibiotik betalaktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri.

ii. Basitrasin

Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria, H. influenzae, dan Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini.

Basitrasin tersedia dalam bentuk salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin jarang menyebabkan hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin dan/atau polimiksin.

Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik.

iii. Vankomisin

Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama aktif terhadap bakteri Gram-positif. Vankomisin hanya diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil Gram-negatif dan mikobakteria resisten terhadap vankomisin.

Vankomisin diberikan secara intravena, dengan waktu paruh sekitar 6 jam.

Efek sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas, demam, flushing dan hipotensi (pada infus cepat), serta gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi.

(37)

b. Obat yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein

Obat antibiotik yang termasuk golongan ini adalah aminoglikosid, tetrasiklin, kloramfenikol, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.

i. Aminoglikosid

Spektrum aktivitas: Obat golongan ini dapat menghambat bakteri aerob Gram negatif. Obat ini mempunyai indeks terapi yang sempit, dengan toksisitas yang cukup tinggi pada ginjal dan pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut.

Efek samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade neuromuskular (lebih jarang).

ii. Tetrasiklin

Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan tetrasiklin adalah tetrasiklin, doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan klortetrasiklin. Antibiotik golongan ini mempunyai spectrum yang luas serta memiliki kemampuan untuk menghambat berbagai bakteri Gram-positif, Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob, serta mikroorganisme lain seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria.

iii. Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan Mikoplasma. Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom 50S. Efek samping: supresi sumsum tulang, grey baby

(38)

syndrome, neuritis optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam.

iv. Makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)

Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonela. Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat H. influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H. pylori.

v. Klindamisin

Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan sebagian besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif aerob seperti Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia. Efek samping:

diare dan enterokolitis pseudomembranosa.

vi. Mupirosin

Mupirosin merupakan obat topikal yang menghambat bakteri Grampositif dan beberapa Gram-negatif. Tersedia dalam bentuk krim atau salep 2%

untuk penggunaan di kulit (lesi kulit traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh S. aureus atau S. pyogenes) dan salep 2% untuk intranasal.

Efek samping: iritasi kulit dan mukosa serta sensitisasi.

vii. Spektinomisin

Obat ini diberikan secara intramuskular. Dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk infeksi gonokokus bila obat lini pertama tidak dapat

(39)

digunakan. Obat ini tidak efektif untuk infeksi Gonore faring. Efek samping: nyeri lokal, urtikaria, demam, pusing, mual, dan insomnia.

c. Obat antimetabolit yang menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat adalah sulfonamid dan trimetoprim. Sulfonamid bersifat bakteriostatik.

Trimetoprim dalam kombinasi dengan sulfametoksazol, mampu menghambat sebagian besar patogen saluran kemih, kecuali P. aeruginosa dan Neisseria sp.

d. Obat yang mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat i. Kuinolon

a. Asam nalidiksat Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae.

b. Fluorokuinolon

Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin, ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain. Fluorokuinolon bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Gonokokus, Shigella, E. coli, Salmonella, Haemophilus, Moraxella catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P. aeruginosa.

ii. Nitrofuran

Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon. Absorpsi melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya makanan.

Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk E. coli, Staphylococcus sp, Klebsiella sp, Enterococcus sp, Neisseria sp, Salmonella sp, Shigella sp, dan Proteus sp (Permenkes RI, 2011).

(40)

2.3 Sel Darah Putih

Pemahaman akan peran sel darah putih (white blood cells) dalam memerangi infeksi penting dalam diagnosis infeksi, pemilihan terapi obat, dan pemantauan perkembangan pasien. Peran utama dari sel darah putih adalah sebagai pertahanan tubuh terhadap organisme yang menyerang seperti bakteri, virus, dan jamur. Kisaran normal WBC adalah 4.500 hingga 11.000 sel / mm3 (4,5×109 - 11×109 / L). WBC biasanya meningkat sebagai respons terhadap infeksi (Dipiro, 2017).

Sel darah putih dibagi menjadi dua kelompok: granulosit, yang memiliki butiran sitoplasma yang menonjol, dan agranulosit yang tidak memiliki butiran.

Granulosit polimorfonuklear (PMN) terdiri dari neutrofil, basofil, dan eosinofil.

Dua kelas lainnya adalah monosit dan limfosit (Dipiro, 2017).

2.4 Farmakoekonomi 2.4.1 Definisi

Ilmu farmakoekonomi telah berkembang menjadi disiplin penting dalam subyek ekonomi kesehatan. Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisa biaya terapi pengobatan terhadap sistem perawatan kesehatan dan masyarakat. Riset farmakoekonomi berkaitan dengan identifikasi, pengukuran, dan perbandingan biaya dan manfaat produk dan jasa farmasi. Analisa farmakoekonomi tidak hanya terbatas pada pengukuran moneter atau klinis. Analisa ini juga bisa memanfaatkan sejumlah faktor yang membuka biaya alternatif-alternatif dari perspektif pasien. Faktor-faktor tersebut mencakup kehidupan (nyawa) yang berhasil diselamatkan, pencegahan penyakit, operasi yang berhasil dicegah, atau kualitas hidup (QOL, quality-of-life) yang berkaitan dengan kesehatan (Tjandrawinata, 2016).

(41)

2.4.2 Tujuan

Tujuan farmakoekonomi adalah untuk memperbaiki kesehatan individu dan publik, serta memperbaiki proses pengambilan keputusan dalam memilih nilai relatif diantara terapi-terapi alternatif. Jika digunakan secara tepat, data farmakoekonomi memungkinkan penggunanya mengambil keputusan yang lebih rasional dalam proses pemilihan terapi, pemilihan pengobatan, dan alokasi sumberdaya sistem. Dalam kaitannya dengan hal ini, penggunanya bisa dari berbagai kalangan: pengambil keputusan klinis dan administratif, termasuk dokter, apoteker, anggota komite formularium, dan administrator perusahaan asuransi (Tjandrawinata, 2016).

2.4.3 Perspektif penilaian

Penilaian biaya dan efektivitas dari suatu jasa atau produk farmasi sangat bergantung pada perspektif evaluasinya. Perspektif yang umum digunakan pada studi farmakoekonomi ada 4 yaitu, perspektif pasien, penyedia layanan kesehatan, pembayar (perusahan asuransi kesehatan), dan masyarakat (Dipiro, 2005).

a. Perspektif pasien

Biaya dari sudut pandang pasien pada dasarnya adalah apa yang dibayar oleh pasien untuk suatu produk atau jasa, yang mana biaya tersebut tidak ditanggung oleh asuransi. Biaya dari sudut pandang pasien adalah biaya langsung medis.

b. Penyedia layanan kesehatan

Penyedia layanan kesehatan, seperti rumah sakit, tertarik pada biaya yang mereka keluarkan untuk menyediakan suatu layanan kesehatan. Dari sudut

(42)

pandang penyedia layanan kesehatan, biaya yang dianalisis adalah biaya langsung dan biaya tidak langsung.

c. Perspektif pembayar (perusahaan asuransi)

Dari sudut pandang penyedia jaminan kesehatan (asuransi), biaya terkait dengan pelayanan kesehatan yang digunakan peserta asuransi selama pelayanan kesehatan yang digunakan peserta termasuk dalam tanggungan perusahaan bersangkutan. Biaya dari perspektif pembayar adalah biaya langsung medis.

d. Perspektif masyarakat

Biaya dari perspektif masyarakat meliputi biaya langsung, biaya tidak langsung, serta intangible cost.

2.4.4 Hasil pengobatan

Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu biaya (cost) dan hasil pengobatan (outcome). Kenyataannya, dalam kajian yang mengupas sisi ekonomi dari suatu obat/pengobatan ini, faktor biaya (cost) selalu dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat (benefit) dari pengobatan (pelayanan) yang diberikan (Kemenkes RI, 2013).

Efektivitas merujuk pada kemampuan suatu obat dalam memberikan peningkatan kesehatan (outcomes) kepada pasien dalam praktek klinik rutin (penggunaan sehari-hari di dunia nyata, bukan di bawah kondisi optimal penelitian). Dengan mengaitkan pada aspek ekonomi, yaitu biaya, kajian farmakoekonomi dapat memberikan besaran efektivitas-biaya (cost effectiveness) yang menunjukkan unit moneter (jumlah rupiah yang harus dibelanjakan) untuk setiap unit indikator kesehatan baik klinis maupun nonklinis (misalnya, dalam

(43)

mg/dL penurunan kadar LDL dan/atau kolesterol total dalam darah) yang terjadi karena penggunaan suatu obat. Semakin kecil unit moneter yang harus dibayar untuk mendapatkan unit indicator kesehatan (klinis maupun non-klinis) yang diinginkan, semakin tinggi nilai efektivitas-biaya suatu obat (Kemenkes RI, 2013).

Utilitas merujuk pada tambahan usia (dalam tahun) yang dapat dinikmati dalam keadaan sehat sempurna oleh pasien karena menggunakan suatu obat.

Jumlah tahun tambahan usia (dibanding kalau tidak diberi obat) dapat dihitung secara kuantitatif, yang jika dikalikan dengan kualitas hidup yang dapat dinikmati (katakanlah, setara dengan sekian bagian sehat sempurna) akan memberikan unit yang disebut Quality Adjusted Life Years-QALY atau ‘jumlah tahun yang disesuaikan’ (JTKD). Dikaitkan dengan aspek biaya, kajian farmakoekonomi ini akan memberikan unit utilitas-biaya (cost-utility) yang menunjukkan unit moneter yang harus dikeluarkan untuk setiap JTKD yang diperoleh. Semakin kecil jumlah rupiah yang harus dibayar untuk mendapatkan tambahan JTKD, semakin tinggi utilitas-biaya suatu obat (Kemenkes RI, 2013). Sementara itu, manfaat (benefit) merujuk pada nilai kepuasan yang diperoleh pasien dari penggunaan suatu obat.

Nilai kepuasan ini dinyatakan dalam besaran moneter setelah dilakukan konversi dengan menggunakan “nilai rupiah yang rela dibayarkan untuk mendapat kepuasan tersebut” (willingness to pay). Semakin tinggi willingness to pay relatif terhadap harga riil obat (cost), semakin layak obat tersebut dipilih (Kemenkes RI, 2013).

2.4.5 Metode kajian farmakoekonomi

Ada empat metode kajian farmakoekonomi, yaitu :

(44)

a. Cost-Minimization Analysis, yaitu menentukan alternatif dengan biaya paling murah saat membandingkan dua atau lebih alternatif pengobatan yang memiliki efektivitas yang sama (keamanan dan kemanjurannya) (Dipiro, 2005).

CMA dilakukan apabila dua intervensi telah terbukti menghasilkan efek yang sama, atau serupa. Jika dua terapi dianggap setara secara klinis, maka hanya biaya intervensi perlu dipertimbangkan (Newby dan Hill, 2003).

b. Cost Effectiveness Analysis adalah deskripsi dan analisis biaya serta hasil yang relevan dinyatakan dalam satuan alami. Cost effectiveness analysis membandingkan biaya dan efek (dampak) dari suatu intervensi kesehatan. Efek dari suatu intervensi medis diukur menggunakan outcome tunggal yang biasanya dalam unit alaminya(Phillips, 2009).

c. Cost Utility Analysis merupakan suatu metode untuk membandingkan biaya alternatif terapi dengan efektivitasnya yang dinyatakan sebagai QALYs.

Jumlah tahun tambahan usia (dibanding kalau tidak diberi obat) dapat dihitung secara kuantitatif, yang jika dikalikan dengan kualitas hidup yang dapat dinikmati (katakanlah, setara dengan sekian bagian sehat sempurna) akan memberikan unit yang disebut Quality Adjusted Life Years (QALYs) atau

‘jumlah tahun yang disesuaikan’ (JTKD) (Kemenkes RI, 2013).

d. Cost Benefit Analysis merupakan metode untuk menilai biaya dan manfaat intervensi dimana manfaat diukur dalam satuan moneter.

2.4.6 Biaya kesehatan

Umumnya, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Biaya langsung medis

(45)

Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh produk dan layanan kesehatan yang digunakan untuk mencegah, mendeteksi, dan / atau mengobati penyakit. Contoh dari biaya ini termasuk obat-obatan, persediaan dan peralatan kesehatan, uji laboratorium dan diagnostik, rawat inap, dan kunjungan dokter (Dipiro, 2005).

b. Biaya langsung non-medis

Biaya langsung nonmedis adalah biaya untuk layanan nonmedis yang merupakan akibat dari penyakit tetapi tidak melibatkan pembelian jasa medis.

Biaya ini digunakan untuk memperoleh layanan selain perawatan medis dan termasuk biaya transportasi pasien.

c. Biaya tidak langsung

Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien) (Bootman et al., 2005).

d. Biaya nirwujud (intangible cost)

Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya (Kemenkes, 2013).

e. Biaya peluang (opportunity cost)

Biaya peluang adalah biaya yang timbul akibat pengambilan suatu pilihan yang mengorbankan pilihan lainnya. Bila seorang pasien memutuskan untuk membeli obat A, dia akan terkena biaya peluang karena tak dapat

(46)

menggunakan uangnya untuk hal terbaik lainnya, termasuk pendidikan, hiburan, dan sebagainya (Bootman et al., 2005).

f. Incremental cost

Incremental cost merupakan biaya tambahan untuk setiap efek tambahan atau manfaat yang diperoleh dari penggunaan suatu layanan atau perawatan alternatif (Dipiro, 2005).

2.5 Indonesian Case Based Groups

Pola pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan telah diatur dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yaitu dengan INA- CBGs sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013. Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs) merupakan sistem pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. INA-CBGs menerapkan sistem casemix, yaitu pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya perawatan yang mirip/sama, pengelompokan dilakukan dengan menggunakan software grouper (Permenkes, 2014).

Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun 2006 dengan nama INA-DRG (Indonesia- Diagnosis Related Group). Implementasi pembayaran dengan INA-DRG dimulai pada 1 September 2008 pada 15 rumah sakit vertikal, dan pada 1 Januari 2009 diperluas pada seluruh rumah sakit yang

(47)

bekerja sama untuk program Jamkesmas. Sejak diimplementasikannya sistem casemix di Indonesia telah dihasilkan 3 kali perubahan besaran tarif, yaitu tarif INA-DRG Tahun 2008, tarif INA-CBG Tahun 2013 dan tarif INA-CBG Tahun 2014. Tarif INA-CBG mempunyai 1.077 kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup/kelompok rawat inap dan 288 kode grup/kelompok rawat jalan, menggunakan sistem koding dengan ICD-10 untuk diagnosis serta ICD-9-CM untuk prosedur/tindakan. Pengelompokan kode diagnosis dan prosedur dilakukan dengan menggunakan grouper UNU (UNU Grouper). UNU-Grouper adalah Grouper casemix yang dikembangkan oleh United Nations University (UNU) (Permenkes, 2014).

2.5.1 Struktur kode INA-CBGs

Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan, dengan acuan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk tindakan/prosedur.

Pengelompokan menggunakan sistem teknologi informasi berupa Aplikasi INA- CBG. Setiap group dilambangkan dengan kode kombinasi alfabet dan numerik.

Contoh kode INA-CBGs dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur kode INA-CBGs Keterangan :

1. Digit ke-1 merupakan CMG (Casemix Main Groups) yang merupakan klasifikasi tahap pertama, dilabelkan dengan huruf A sampai Z sesuai dengan

(48)

yang tertera pada ICD 10 untuk setiap organ tubuh. Huruf J menunjukkan sistem pernapasan.

2. Digit ke-2 merupakan tipe kasus. Angka 4 menunjukkan tipe kasus rawat inap bukan prosedur.

3. Digit ke-3 merupakan spesifik CBG kasus yang dilambangkan dengan numeric mulai dari 01 sampai 99

4. Digit ke-4 berupa angka romawi merupakan severity level (Permenkes, 2014).

(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analytical cohort study. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan mengakses data rekam medis pasien penderita PPOK yang menjalani rawat inap di RSUP H. Adam Malik periode Januari 2018-Desember 2018.

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh rekam medis pasien PPOK rawat inap di RSUP H Adam Malik periode Januari 2018-Desember 2018.

3.2.2 Sampel

Sampel penelitian ini adalah rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Kriteria inklusi merupakan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu populasi target yang akan dijadikan subjek penelitian. Yang termasuk kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Pasien PPOK yang dirawat di instalasi rawat inap RSUP H. Adam Malik periode Januari 2018-Desember 2018.

b. Pasien PPOK dengan rekam medis yang lengkap dan memuat informasi dasar yang diperlukan dalam penelitian.

c. Pasien PPOK yang mendapatkan terapi antibiotika.

(50)

Adapun kriteria eksklusi merupakan kriteria anggota populasi yang tidak dapat dijadikan sampel penelitian. Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah:

a. Data pasien tidak lengkap, hilang atau tidak jelas terbaca.

b. Pasien meninggal sebelum hari ke 3

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik, Jl. Bunga Lau No.

17, Kemenangan Tani, Medan Tuntungan, Kota Medan.

3.3.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2019-Juni 2019.

3.4 Rancangan Penelitian 3.4.1 Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan menelusuri data rekam medis pasien PPOK yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik periode Januari 2018 – Desember 2018 dan dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) untuk memperoleh total biaya pengobatan pasien. Data yang diambil meliputi:

a. Data karakteristik pasien meliputi nomor rekam medis, nama pasien, jenis kelamin, umur, diagnosis berdasarkan kode INA-CBGs, jumlah sel darah putih dan lama rawat inap.

b. Data biaya terapi antibiotika yang digunakan pasien PPOK selama 3 hari, berdasarkan nama, jenis, dosis, frekuensi, lama pemberian dan cara pemberian.

(51)

3.4.2 Pengolahan data

Adapun tahapan pengolahan data dalam penelitian ini adalah:

a. Mengelompokkan status pasien PPOK berdasarkan kriteria inklusi.

b. Mengelompokkan data pasien PPOK rawat inap yang menerima terapi PPOK meliputi nomor rekam medis, nama pasien, jenis kelamin, usia, terapi PPOK yang diterima, paket INA-CBGs kode J-4-17-I (PPOK ringan), J-4-17-II (PPOK sedang) dan J-4-17-III (PPOK berat), serta jumlah pasien yang nilai WBC nya normal pada hari ketiga.

c. Mengidentifikasi dan menghitung unsur-unsur biaya antibiotika yang digunakan oleh pasien.

d. Menghitung outcome berupa jumlah pasien dengan nilai white blood cells normal pada hari ketiga.

e. Menghitung dan membandingkan nilai cost effectiveness ratio (CER) dan incremental cost effectiveness ratio (ICER) dari masing-masing model terapi antibiotika yang digunakan oleh pasien PPOK berdasarkan INA-CBGs.

f. Memilih model terapi antibiotika yang paling cost-effective untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan pada pengobatan PPOK di RSUP H Adam Malik.

3.4.3 Analisis data

Karakteristik serta model terapi antibiotika yang diterima pasien PPOK dianalisis secara deskriptif. Besarnya biaya antibiotika yang digunakan oleh pasien kemudian dihitung untuk memperoleh model terapi antibiotika yang paling cost-effective berdasarkan INA-CBGs.

(52)

Cost Effectiveness Analysis dihitung dengan menggunakan rumus CER berdasarkan jumlah biaya penggunaan antibiotika yang dikeluarkan terhadap efektivitasnya dengan rumus sebagai berikut:

Perbandingan antara satu model terapi antibiotika dengan model terapi antibiotika lainnya dianalisis menggunakan ICER dengan rumus sebagai berikut:

3.5 Defenisi Operasional

Penelitian ini hanya terbatas untuk pasien PPOK dengan kategori keparahan ringan dan sedang mengingat keterbatasan data pasien dengan kategori keparahan berat periode Januari 2018-Desember 2018. Adapun defenisi operasional pada penelitian ini meliputi:

a. Biaya langsung medis (direct medical cost) adalah biaya penggunaan antibiotika selama 3 hari.

b. Outcome adalah efektivitas yang dihasilkan dari penggunaan antibiotika yang ditandai dengan jumlah pasien dengan jumlah sel darah putih normal (10.000- 11.000 sel/L) yang dievaluasi pada hari ketiga (72 jam) setelah pasien diberikan antibiotika sesuai dengan ketentuan pada permenkes tahun 2011 tentang pedoman umum penggunaan antibiotika.

CER = Biaya Penggunaan Antibiotika Efektivitas Penggunaan Antibiotika

ICER = Biaya Obat A – Biaya Obat B Efektivitas Obat A – Efektivitas Obat B

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui dan menganalisis tentang apakahpesan-pesan yang disampaikan secara grafis secara parsial berpengaruh signifikan terhadap customer satisfaction pada Menumbing

tanggal debet, kredit tanggal, jumlah, status tanggal, jumlah, tipe, penggunaan data rekening data relasi data relasi 19 Rekening 20 Relasi data rekening data relasi

Pemeliharaan Rutin/ Berkala Sarana dan Prasarana Pasar Produksi Peternakan. Belanja Modal

1) Konsulti (siswa) memahami layanan bimbingan kelomok bersemangat untuk melakukan tindakan terhadap siswa yang berperilaku diskriminatif dalam bersosilisasi agar

Diagram Perhitungan Beban Sandar 1 Pendahuluan Identifikasi Jenis Kapal dan Kondisi Perairan Perhitungan Kecepatan Sandar dan Koefisien Beban Sandar Penentuan faktor keamanan

Pelanggan eksternal (External Customer) yaitu pelanggan yang berasal dari luar perusahaan, yang membeli barang atau jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan atau

Media buku besar dalam penerapan metode read aloud sebagai media visual mempermudah anak untuk memahami informasi yang anak dapatkan melalui indra pendengarannya, karena

Sesuai dengan peraturan Rektor UNNES nomor 22 tahun 2008, Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah kegiatan intra kurikuler yang wajib diikuti oleh mahasiswa