• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : ILMU QIRA>’A>T DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA 22

B. Sejarah Perkembangan Qira>’a>t

3. Terbentuknya Qira>’a>t Sab’ah

40

dikarenakan di dalam kitab karyanya memuat dua puluh lima qira>’a>t, termasuk di dalamnya adalah Qira>’a>t Sab’ah.35

Setelah itu kegiatan penulisan ilmu Qira>’a>t semakin meningkat dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad. Di antara yang paling masyhur adalah Ah}mad ibn Jubair Ant}a>ki> (w. 258 H), Abu> Bakar Da>ju>ni> (w. 324 H) dengan kitabnya al-Thama>niyah, dan Ibn Jari>r al-T{abari> (w. 324 H) dengan kitabnya al-Qira>’a>t, Ibn Muja>hid (w. 324 H/935 M) dengan kitabnya Kita>b al-Sab’ah fi al-Qira>’a>t, dan Abu> ‘Amr al-Da>ni> (w. 444 H/1052 M) dengan kitabnya al-Taisi>r fi> Qira>’a>t al-Sab’.36

Masa kodifikasi ilmu Qira>’a>t dianggap telah mencapai titik finalnya dengan munculnya Ima>m al-Sha>t}ibi> (w. 591 H) yang telah menulis sebuah kitab yang bernama “H{irz al-Ama>ni> wa Wajh al-Taha>ni>” yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Naz}am al-Sha>t}ibiyyah. Kitab ini berisi syair-syair dengan jumlah 1173 bait, yang merupakan hasil inspirasi dari pendahulunya, yaitu al-Da>ni> dengan kitabnya al-Taisi>r yang berbentuk nathar atau prosa kemudian diringkas menjadi untaian bait yang sangat indah dan menggugah. Jumlah kitab yang mensharah}inya lebih dari lima puluh kitab. Naz}am al-Sha>t}ibiyyah ini merupakan hasil karya terbesar al-Sha>t}ibi> dalam bidang ilmu Qira>’a>t. Hingga sekarang Naz}am ini menjadi rujukan utama bagi umat Islam di dunia yang ingin mendalami ilmu Qira>’a>t.37

3. Terbentuknya Qira>’a>t Sab’ah

Banyaknya qira>‘a>t yang tersebar di berbagai negeri Islam menyebabkan munculnya rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan awam. Seiring

35 Ibid., 99-103.

36 Al-Ru>mi>, Dira>sa>t fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 348.

41

berjalannya waktu, variasi qira>‘a>t tersebut semakin berkembang dan bahkan tidak terkontrol. Fenomena munculnya variasi bacaan yang semakin beragam ini muncul setelah kekhalifahan ‘Uthma>n hingga memasuki awal-awal abad keempat Hijriyah. Puncaknya terjadi pada tahun 322 H/933 M ketika pemerintahan ‘Abbasiyyah. Pemerintah merasa prihatin dengan banyaknya versi bacaan al-Qur’an yang beredar ketika itu. Meskipun al-Mas}a>h}if al-‘Uthma>niyyah itu sudah menjadi mushaf standar yang sudah disepakati ketika itu, akan tetapi masih banyak ditemui pembacaan-pembacaan al-Qur’an yang tidak sesuai dengannya, bahkan bisa dikatakan bertentangan. Sebagai contoh, seorang ahli al-Qur’an kenamaan bernama Ibn Shannabu>dh yang meriwayatkan dan mengajarkan qira>’a>t berdasarkan dua mushaf terdahulu (Mushaf Ubay ibn Ka‘b dan Ibn Mas’u>d) walaupun bertentangan dengan Mus}h}af al-Ima>m. Selain itu, ada Ibn Miqsa>m al-‘At}t}a>r yang menganggap sahnya bacaan sebagai qira>‘a>t al-Qur’an hanya karena sesuai dengan rasm huruf dan tulisan al-Mas}a>h}if al-‘Uthma>niyyah saja, tanpa mempedulikan sanad dan riwayat bacaan tersebut.38

Kemudian melalui dua orang menterinya, Ibn ‘Isa dan Ibn Muqlah, pemerintah memberikan mandat kepada Ibn Muja>hid (w. 324 H/935 M) untuk melakukan penertiban terhadap bacaan al-Qur’an yang semakin tidak terkendali itu.39 Selanjutnya, dengan segala kemampuan dan keahliannya dalam ilmu Qira>’a>t, Ibn Muja>hid membandingkan semua bacaan yang berjumlah puluhan itu, kemudian menyeleksinya dan pada akhirnya menghasilkan tujuh varian bacaan (qira>’a>t

38 S}abari> al-Ashwah, I‘ja>z al-Qira>’a>t al-Qur’a>niyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th.), 63-64.

39 Abd. Moqsith Ghazali, dkk. Metodologi Studi Al-Qur’an (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), 17-18.

42

sab’ah) dari para qurra>’ ternama dari berbagai penjuru kota, yakni dari kota Madinah terpilih Na>fi’ (w. 169 H/785 M), dari Mekkah terpilih Ibn Kathi>r (w. 120 H/737 M), dari Bas}rah terpilih Abu> ‘Amr (w. 150 H/767 M), dari Sha>m terpilih Ibn ‘A>mir (w. 118 H/736 M), dan dari Ku>fah terpilih tiga orang, yaitu ‘A>s}im (w. 127 H/744 M), H{amzah (w. 156 H/772 M), dan ‘Ali> al-Kisa>’i> (w. 189 H/804 M).40

Dalam proses pemilihan ketujuh imam tersebut, Ibn Muja>hid menggunakan syarat dan kriteria yang sangat ketat. Ibn Muja>hid menyebut kriteria tersebut dalam kitabnya al-Sab‘ah, yaitu harus ahli dalam bidang qira>’a>t, mengetahui qira>‘a>t yang masyhur dan sha>dh, mengetahui tentang periwayatan, dan mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Dalam kitabnya al-Sab’ah dituturkan:

يِناَعَمَو ِتاَغُّللاِب ُفِراَعْلا ِتاَءاَرِقْلاَو ِباَرْعِْلْا ِهوُجُوِب ُمِلاَعْلا ُبِرْعُمْلا ِنآْرُقْلا ِةَلَمَح ْنِمَف

ُماَمِْلْا َكِلَذَف ِراَث ْلِْل ُدِقَتْنُمْلا ِتاَءاَرِقْلا ِبْيَعِب ُريِصَبْلا ِتاَمِلَكْلا

ُظاَّفُح ِهْيَلِإ ُعَزْفَ ي يِذَّلا

َنيِمِلْسُمْلا ِراَصْمَأ ْنِم ٍرْصِم ِّلُك يِف ِنآْرُقْلا

.

41

“Di antara para ahli al-Qur’an ada yang mengetahui tentang seluk beluk i‘ra>b, qir>a’a>t, bahasa dan arti dari masing-masing kalimat, mengetahui secara cermat tentang qira>‘a>t yang sha>dh, serta mampu memberikan penilaian kepada riwayat-riwayat bacaan. Inilah ima>m yang patut menjadi rujukan oleh para penghafal al-Qur’an di setiap negeri kaum muslimin.”

Menyikapi gagasan baru dan usaha Ibn Muja>hid sebagaimana yang telah tertuang dalam karyanya Kita>b al-Sab’ah, masyarakat ketika itu terbagi menjadi dua kelompok yaitu antara kelompok yang pro dalam arti setuju dan mendukung gagasan tersebut, dan kelompok yang kontra dalam arti tidak setuju terhadap gagasan tersebut. Mereka yang pro terhadap gagasan Ibn Muja>hid akan mengikuti

40 S}abari> al-Ashwah, I‘ja>z al-Qira>’a>t, 62.

41 Abu> Bakr Ah}mad ibn Mu>sa> ibn al-‘Abba>s ibn Muja>hid al-Tami>mi>, Kitab al-Sab‘ah fi al-Qira>’a>t, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1400 H), 45.

43

jejaknya dengan cara menghimpun bacaan Ima>m Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan penjelasan atau h}ujjah terhadap setiap fenomena qira>’a>t yang diriwayatkan dari tujuh ima>m tersebut. Sedangkan mereka yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa Qira>’a>t Sab’ah adalah sab’atu ah}ruf sebagaimana yang dimaksud oleh hadis Nabi. Menyikapi hal tersebut, Abu> ‘Abba>s ibn ‘Amma>r berpendapat alangkah seyogyanya qira’a>t yang dikumpulkan oleh Ibn Muja>hid itu tidak berjumlah tujuh saja, bisa kurang dari tujuh atau mungkin lebih dari tujuh. Adapun di antara ulama lain yang kontra dengan gagasan Ibn Muja>hid adalah Abu> ‘Ali> al-Fa>risi>, Ibn Kha>lawaih, Ibn Zanjalah, dan Makki> ibn Abi> T{a>lib al-Qaishi>.42

Istilah Qira>’a>t Sab‘ah menjadi semakin masyhur dengan munculnya Abu> ‘Amr al-Da>ni> (w. 444 H/1052 M) dengan kitabnya yang berjudul al-Taisi>r fi Qira>‘a>t al-Sab‘. Hal yang paling menonjol dari kitab ini adalah penyederhanaan perawi dari setiap Ima>m Tujuh dengan hanya mengambil dua perawi saja, padahal jumlah perawi setiap imam mencapai puluhan, bahkan ratusan. Tujuan Abu> ‘Amr memilih hanya dua perawi saja dari setiap ima>m, sebagaimana dituturkan dalam

muqaddimah kitabnya adalah agar supaya lebih mudah dan ringan dalam menelaah,

menghapal, dan mempelajarinya.43

Ketujuh ima>m qira>‘a>t dan dua perawi yang dipilih oleh al-Da>ni> adalah (1) Na>fi‘ dengan perawinya Qa>lu>n (w. 220 H/835 M) dan Warsh (w. 197 H/812 M), (2) Ibn Kathi>r dengan perawinya al-Bazzi> (w. 250 H/864 M) dan Qunbul (w. 291

42 T.M. Hasby As-Siddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 138.

43 Abu> ‘Amr ‘Uthma>n ibn Sa‘id al-Da>ni>, al-Taisi>r fi> Qira>’a>t al-Sab’ (Beirut: Da>r Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), 15.