lnfeksi Latent
lnfeksi litik
14
3.2.2 Epstein Barr Virus dalam Saliva
Substantial yang dapat digunakan untuk deteksi dan skrining infeksi EBV plasma dan salis’a sec ara beriahap telah ditetapkan sebagai bahan yang terdapat biomarker yang kuat untu k kanker nasoiaring. Kadar HB V DNA yang ada didalam sir kulasi dari pas ien kanker nasofaring berasal dari eel tumor sebagai DNS teriragmentas i yang dilepas kan kedalam sirkulasi. Banyak penelitian yang telah mengkonf irmasi peran DN A fiBV untu k Lander nasot aring. (Zheng r/ of., 2t) 1 9)
15
EBV masuk kedalam saliva kemudian melakukan tahap penetrasi inisiasi kedalam sel epitel, eel B dan menyebar luas. Prev’alensi kBV bisa mencapai 9t)*/r pada saliv’a. Virus dapat menembus dan berkembang bias di dalam eel epitel, dan terekspres ikan ke dalam saliv’a. S‹aliva merupakan specimen yang digunakan untuk diagnos is penyakit dikarenakan dapat diambil dengan mu dah dan non-in›’asif sehingga sangat efektif apabila EBV didiagnosis melalui saliv’a. (Bagan rr ml., 2016a; Chu rr of., 2019)
3.2.3 Metode Deteksi EBV melalui Saliv’a
Diagnosis dini dan monitoring dari EBV pada pasien kanker kepala dan leher sangat diperlukan. Diagnosis dini bertujuan untu k mendapatkan prognosis g baik karena EB V mempunyai dainpak buru k bagi kelangsungan hidu p pasien dengan kanker kepala dan leher. Sel kanker juga sangat sensiiif terhadap radiasi, peraw'atan dengan radioterapi dapat berdampak dalam jangka w’aktu fi tahun untu k tingkat kelangs ungan hidu p keseluru han. Penyakil s tadiu m 1 dan dalam penyakit stadium lanjut (stadium Ill dan IV ), hasil pengobatan memiliki angka kesembu han rendah pada pasien yang terlibat infeksi HB V sehingga monitoring harus terns dilakukan. (Adham ‹ / n/., 2t)13)
Metode deteksi EBV melalui saliva menggunakan teknik Real-time PCR yo1 j me r‹z se ‹he in rev‹ tiun ). Real-time PCR digunakan untuk rnendeteksi dan mengukur kadar EBV didalam saliva karena waktunya yang cepat dan metode yang dapat direprodu ksi untuk mengukur DNA. (Pow rr ‹il., 20 I I ) Teknik PC R sangat baik untu k amplifi kasi DNA dengan cepat dan akurat. PCR dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu meinisahkan DNA dengan salix’a, ditambahkan buffer dan filtrat kemudian di el usi. Setelah itu dilakukan transkripsi dan dilakukan interpretasi. (Gibson, Heid and Williams, 2011)
16
16
P*m‹s nhan kedua untei D*.A densan
h leaeean DN.4 dan zo slihzt hasi1 rent-tim • d en zan
Gambar 3. Tahapan Real-Time PCR ‹Pnlymero.Se Chuin Reoctinn ).
Tahapan Real-Time PCR terdiri dari 4 tahap yaitu tahap denaturasi, tahap unne‹ilinp, tahan ekstensi dan amplifikasi DNA dengan perangkat lunak. (Pow rr of., 201 1 ; Mo, Wan and Zhang, 201 6)
3d Efek Radioterapi terhadap Kadar EBV Saliva pada Pasien Kanker Kepala dan Leher
3.3.1 Efek Radioterapi terhadap Salim
Radioterapi dapat memberikan efek pada rongga mulut, efek tersebut berupa efek akut yang mengenai jaringan lunak pada rongga rnulut seperti inukositis, xerostornia, infeksi sekunder, dan efek kronis yang mengenai jaringan keras
17
17
Radioterapi kanker kepala dan leher
contohnya karies. Komplikasi yang terjadi ini dapat bersifat sementara atau menetap. (Muqmiroh rr ml., 2018)
Radioterapi area kepala dan leher juga berakibat pada gangguan fungsi kelenjar saliva mayor dan minor sehingga sekresi saliva berkurang. Banyak penelitian menunjukkan bahw’a laju aliran saliv’a secara keseluruhan pada pasien kanker nasofaring mengalami penurunan sec ara dras tis setelah melakukan peraw’atan radiolerapi. IPow’les r/ n/., 2t) 14: Muqmiroh ‹ / ml., 2t) 18) Pada penelitian terdahulu mendapatkan has il bahw’a fit)^/c subjek penelitian yang diberikan peraw’alan radiolerapi lMltT mengeluhkan xerostomia yi’odr l dan setelah dosis total melebihi 3t) gray 2ñ^/o subjek penelitian mengeluhLan xerosiomia yi nJ‹' 2. Hal ini menunjukkan bahw’a dosis radioterapi berpengaruh pada tingkat keparahan dari xerostomia yang dideriia oleh pasien dikarenakan peraw’atan radioterapi lMllT. (Sher ‹ / n/., 2t) l l )
18
lnflamasi dan fibrosis pada jaringan parenkiin (biasanya terjadi diatas dosis lebih dari 10 gra ')
a. V iskositas lebih lengket b. pH menjadi turun c. Sekresi 1gA berkurang
—+
Gambar 4. Dampak Radioterapi terhadap Saliv’a. (Powles rr ml., 2014; Muqmiroh ct ‹il., 2018)
Efek deterministik (terjadi karena melewati ambang batas radiografi)
Atrofi dan fibrosis kelenjar saliva (bia anya terjadi pada dosis diatas 40 Kerusakan
permanen
Sel parenkim bersifat
radiosensitif
19
19
Dampak dari radioterapi yaitu efek stokastik dan efek determistik. Efek deterministik berdainpak pada pada penurunan laju saliva karena dosis tertentu dari radioterapi yang dapat menyebabkan degenerasi jaringan parenkim karena jaringan parenkim mempunyai sifat radiosensitif. Degenerasi pada jaringan parenkiin berdampak pada kerusakan kelenjar saliv’a sehingga laju saliva mengalami penurunan / xerostomia. Xerostomia masih bisa disembuhkan tetapi apabila kelenjar saliva mengalami atropi dan fibrosis akan inenyebabkan kerusakan permanen pada kelenjar saliva. Atropi dan fibrosis kelenjar saliva biasanya terjadi pada dosis diatas 40 gray (Powles rt ml., 2014; M uqiniroh rr ml., 2018)
3.3.2 Radioterapi terhadap Kadar EB V Saliv’a
Penurunan laju aliran salis’a yang diakibaikan oleh radioierapi berdampak pada penurunan ‹›i’n/ ‹ /‹ ni’nii‹ ‹ pada rongga mulut sehingga menyebabkan kadar kBV pada saliva mengalami peningkalan. Paparan radioterapi pada perawatan pasien kanker kepala dan leher juga melibatkan kelenjar lympe sehingga menyebabkan gangguan fungsi kelenjar lympe dan menyebabkan penurunan sistem pertahanan tubuh unt melawan virus sehingga berdampak pada peningkatan kadar EBV. (Pow ct ml., 2011)
Penelitian yang dilakukan oleh (Halili er ml., 2012) tentang pengaru h radioterapi terhadap antibody pada tubuh karena infeksi EBV atau disebut EB V-Antibodi pada pasien kanker kepala dan leher dengan menggunakan [lunrrs‹ ent miv ros‹ ‹›y v menunjukkan hasil adan ya penurunan kadar EBV- Antibcdi saat melakukan radioterapi atau 3-6 bulan setelah melakukan radioterapi. Penurunan ini terjadi dikarenakan keberhasilan radioterapi dalam membunuh sel kanker sehingga menyebabkan sel kanker yang biasa digunakan untu k host sebagai infeksi EBV juga mengalami kematian sehingga kadar antibrxli EBV mengalami penurunan.
Pada penelitian yang dilakukan (Adham rr ml., 2013) juga terjadi penurunan kadar EBV pada darah dan EBV -antibodi setelah 2 bulan pasca radioterapi
20
20
Alkohol dan tembakau
lnfeksi litik
Ekspresi produ k gen yang diu batt dan kehilangan i e pul‹ii‹›i v pm
pada pasien kanker nasofaring. Penelitian ini dilakukan pada pasien dengan stadiu in, dosis dan kondisi lain yang berbeda-beda. Hasil dari penelitian ini kadar EBV mengalami penurunan diduga dikarenakan adanya pengaruh stadiu in, dosis dan kondisi lain pasien seperti merokok, alhokol, dan harus dilakukan penelitian lebih lanjut. Hal paling penting untu k dilakukan penelitian lebih lanjut adalah hubungan EBV yang di kaitkan dengan pin kanker kepala dan leher yang mengonsu insi tembakau dan alhokol. (Pow et ml., 2011; Halili rr of., 2012; Powles ct al., 2014; Yang rr ‹il., 2018)
Mutasi genoin pada sel somatic dan terjadi infeksi laten Efek mutasi tinggi menyebabkan kegagalan DNA rryoir saat infeksi
21
21
Gambar S. Hubungan Konsumsi Alkohol dan Tembakau dengan EBV sebagai Faktor Resiko Kanker Kepala dan Leher (Pezzuto, Caponigro and Lina, 20 IS;
Dunmire, Verghese and Balfour, 2018)
Alkohol dan tembakau mempunyai toksisitas dan efek mutagenic yang tinggi.
Efek inutasi yang tinggi Efek mutasi tinggi menyebabkan kegagalan DNA repair saat infeksi litik pada EBV . Kegagalan DNA repair berdampak pada mutasi genoin pada sel somatic dan terjadi infeksi laten. lnfeksi laten EBV mendorong akti›’asi prr›‹vth promoiinp one opened, alterasi dari gen yang mengatur apoptosis, inaktis’asi dari kanker su pressor gen yang inenyebabkan ekspresi produk gen yang diubah dan kehilangan repulut‹›i v km yrr›du‹ r dan mengarah pada keganasan (tumorigenesis) (Pezzuto, Caponigro and Lina, 2015: Dunmire, Verghese and Balfour, 201 S)
Kadar EBV pada saliva, antibodi pasien yang terinfeksi EBV , EBV pada darah, grow th-fun tar.s pada pasien yang terinfeksi EBV dan EBV pada plasma darah bervariasi karena beberapa faktor sum dosis radioterapi, laina radioterapi, rokok, alhokol, keparahan kanker dan lain lain sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Kadar EBV pada saliva, EBV pada darah, atau growth factors pada pasien yang terinfeksi EB V tidak bisa dibandingkan sq sama lain dikarena sumber specimen dan mekanisme yang berbeda. (Pow rr ‹il., 2011;
Halili et ml., 2012; Adham ct il., 2013; Polz-Dacewicz rt ml., 201 6; Yang rt ml., 2018)
Tumorigenesis
22
pada darah Peningkatan kadar EBV pada saliva
Gambar 6. Pengaruh R oterapi terhadap Kadar EBV pada Pasien Kanker Kepala dan Leher. (Pow rr o/., 2011; Halili rr ‹il., 2012; Adham rr ul., 2013a;
Surjadi and Aintha, 2013; Polz-Dacewicz rt ml., 2016)
Radioterapi berpengaru h berpengaru h pada peningkatan dan penurunan kadar EB V pada pasien kanker kepala dan leher. Peningkatan terjadi karena penurunan laju saliva yang berpengaru h pada penurunan r» of ‹ leurun‹ e dan sistem imun sehingga mengakibatkan kenaikan kadar EB V pada salis’a.
Penurunan EBV yang dideteksi didalam darah terjadi karena kematian sel Penurunan laju
saliva Kanker Kepala dan
Leher
Kernatian eel kanker
Dainpak Radioterapi Efek camping Radioterapi
23
23
akibat radioterapi sehingga sel yang terinfeksi EBV juga mengalami apoptosis.
(Pow rt ml., 20 I I ; Halili rr n/., 2012; Adhain rr n/., 20 I 3a; Surjadi and Amtha, 2013: Polz-Dacewicz ct ml., 2016)
3 A Manfaat Deteksi EBV Saliva pada Pasien Kanker Kepala dan Leher dengan Radioterapi
3.4.1 Dampak EBV terhadap Kanker Kepala dan Leher
Dampak EBV terhadap kanker kepala dan leher adalah sebagai faktor resiko terjadinya sel kanker dan faktor predisposisi yang memperparah dari perkembangan eel kanker dan sudah terbu kti dibanyak penelian. (Bay er ‹il., terlibat dalam int4amasi, keLebalan dan pertahanan terhadap infelsi 1-BV dan melaw’an kBV sehingga berperan penting dalam onk nes is . (Polz-Dacew’ic z
‹ / n/., 2t) 1 6) Tingginya sitokin terutama lL- l t) pada pasien kanker kepala dan leher dengan infeks i kBV telah dibukiikan melalui penelitian yang dilakukan oleh (Polz-Dacew’ic z ‹ / n/., 2t) 16).
Pada penelitian terdahulu dengan sampel 269 pasien membuktikan infeksi EB V juga dapat terjadi pada metastasis di kelenjar getah bening yang melibatkan kanker kepala dan leher. Berikut adalah tabel presentasi keterlibatan infeksi EBV pada metastasis di kelenjar getah bening yang melibatkan kanker kepala dan leher. (Luo rr ml., 2019)
24
24
No Jenis kanker °/e Pasien yang terlibat infeksi EBV pada rnetastatis CLNs
Tabel 1. Tabel presentasi keterlibatan infeksi EBV pada metastasis di kelenjar getah bening yang melibatkan kanker kepala dan leher. (Luo rr ml., 2019)
PCR telah dilakukan melalui banyak penelitian, genom EBV dapat ditemukan di hampir setiap kanker nasofaring dengan sensiti›’itas dan spesifisitas tinggi, meskipun peran EBV dalam metastasis di kelenjar getah bening pasien dengan kanker nasofaring masih belum jelas. (Khademi rr of., 2010)
3.4.2 Manfaat Deteksi EBV pada Kanker Kepala dan Leher dengan Radioterapi Deteksi EB V pada kanker kepala dan leher dapat digunakan untuk menentu kan prognosis dari penyembu han kanker kepala dan leher. Sel kanker dengan metastasis luas mempunyai prognosis buru k, dikarenakan sel kanker bersifat radiosensitif. Sifat radiosensitif inenyebabkan banyaknya sel normal dan sel kanker yang hancur serta potensi kenaikan kadar EBV pada darah karena sistem imun yang menurun apabila sel normal tidak dapat memperbaiki diri.
(Peng rr o/., 201 6) Pada kasus kanker nasofaring dengan metastasis yang tidak luas mendapatkan hasil prognosis baik dan terjadi penurunan kadar EBV pada darah setelah dilakukan perawatan radioterapi. nyak penelitian yang menyebutkan bahwa kadar DNA EBV pada darah menunjukkan hasil yang tidak konsisten, hal ini terjadi karena kurangnya standarisasi pengainbilan
25 terinfeksi EBV yang mengalami kematian. Setelah perawatan radioterapi kadar EBV mengalami penurunan dikarenakan pengaruh pengeluaran EBV dari sirkulasinya akibat banyak sel yang mengalami kematian. Kadar EB V juga tidak mengalami perubahan jika perawatan radioterapi tidak berpengaruh pada kematian sel kanker. (Kim rr ml., 2017)
Pada studi yang telah dilakukan mendapatkan hasil kadar DN A EBV pada darah ditemu kan berkorelasi dengan stadium penyakit kanker dan prognosis kanker nasofaring. Didapatkan hasil pada kadar EB V yang tinggi akan memperburu k prognosis pada pasien kanker nasofaring. (Hou ct ml., 20 I I ) Pada penelitian yang dilakukan oleh (Kiprian ct ‹il., 2018) juga menyatakan adanya korelasi antara pasien kanker kepala dan leher dengan perawatan radioterapi yang positif EBV memiliki resiko kematian yang tinggi (P = .04).
llisiko kematian pada kelompok pas ien yang ierinfeks i kBV yang din kur pada plasma darah hampir 1 1 Kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelom}x›k itu negaiif untuk DN A kBV pada plasma darah, jumlah penderiia posit if dan negatii hasil untuk DNA GB V plas ma pada kelompok yang bertahan hidup (n
= 35) dan yang meninggal (n = 6).
Analisi DNA EBV bu kan hanya untu k menentu kan prognosis, analisis DNA EBV telah terbukti berinanfaat dalam dalam monitoring pasien karsinoma nasofaring (NPC). Sebuah penelitian sebelumn ya telah menunjukkan bahwa, setelah radioterapi, kadar DNA EB V dalam plasma pasien N PC akan menurun secara eksponensial. Penurunan DNA EBV plasma diprediksi terjadi karena penurunan sel kanker sehingga tingkat penurunannya terkait radiosensitivitas tumor. Hal ini berlaku hanya jika DNA EBV cepat dieliminasi dari sirkulasi.
[To rt ml., 2013)
26
26
Studi klinik menunjukkan prognosis pasien kanker kepala dan leher yang terinfeksi EBV dengan perawatan radioterapi selama kurang lebih 5 tahun mempunyai presentasi survival rate sekitar 80°/c tetapi sur›’i›’al rate dapat mengalami penurunan sekitar menjadi 20-40°/c apabila ada faktor karsinogenesis lain seperti tembakau dan bergantung pada stadium dan primary site dari kanker tersebut. (Anandharaj ct ‹il., 201 6)
3) Keterbatasan dalam litet ‹iturr re raw ini adalah minimnya penemuan literatur tentang diagnosis EBV dengan menggunakan salis’a. Penurunan kadar EBV pada darah, antibodi pasien yang terinfeksi EBV, dan prowth fut tar pada pasien dengan infeksi EB V dan kenaikan EBV didal am saliva tidak dapat dibandingkan karena sumber diagnosis yang berbeda dan kondisi pasien yang berbeda-beda. Kondisi pasien berkaitan dengan variasi stadiu in, dosis dan frekuensi radioterapi, serta kondisi pasien seperti merokok, alhokol, usia dan penyakit sisteinik.
27
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
Saliva merupakan salah satu bahan yang inengandung biomar ker yaitu DNA EB V sehingga potensi besar untuk diagnosis dan evaluasi penyakit. Penggunaan saliva dimasa span sangat inenjanjikan. Pada penelitian yang sudah dilakukan mendapatkan hasil pengaruh radioterapi pada pasien kanker kepala dan leher terhadap kadar EBV saliva mengalami kenaikan.
4.2 Rekomendasi
Belum banyak penelitian yang meneliti kadar EBV saliv’a sehingga perlu dilakukan elitian lebih lanjut. Hal paling penting untu k dilakukan penelitian adalah kadar EBV pada pasien kanker kepala dan leher yang melakukan radioterapi dikarenakan EBV merupakan faktor predisposisi dari kanker yang dapat mencegah sel kanker
28
28
29
radioterapi terhadap EBV saliva
ORIGINALITY REPORT