BAB II KAJIAN PUSTAKA
E. Terjemah Al-Qur’an
Penerjemahan dapat dilakukan melalui tiga metode, metode tersebut akan dijelaskan sebagai berikut;
1) Penerjemahan tekstual
Adalah menerjemahkan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam kata dari bahasa penerjemah. Susunan-susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata diubah hingga akhir. Terjemahan seperti ini sangat sulit sekali, karena menemukan kata-kata yang sama, dengan kriteria-kriteria yang sama dalam dua bahasa asli adalah pekerjaan yang tidak mudah. Kebanyakan penerjemah, karena
alasan ini, mengalami banyak kesulitan. Selain itu, dalam banyak kasus, terjemahan-terjemahan seperti ini tidak bisa menjelaskan makna dengan sempurna. Hal ini disebabkan oleh ketidaksepadanan makna kata dalam bahasa asli dengan makna kata bahasa penerjemah.
2) Penerjemahan bebas
Dalam metode ini, penerjemah berusaha memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke wadah yang lain. Tujuannya adalah mencerminkan makna awal dengan sempurna. Maksud dari kalimat awal bisa diartikan tanpa harus mengurangi makna dengan sedapat mungkin menyesuaikan dengan makna dalam bahasa terjemah. Terjemahan ini disebut dengan terjemahan maknawi karena usahanya tercurah untuk mengalihbahasakan pengertian-pengertiannya secara sempurna bukan pada teksnya. Terjemahan seperti ini, selama tidak merusak makna tidak harus mengikuti susunan kata dalam teks aslinya.
3) Penerjemahan dengan metode penafsiran
Penerjemahan dengan metode tekstual sama sekali tidak bagus karena tidak mungkin digunakan dalam pembahasan panjang dan buku-buku ilmiah. Demikian juga dengan penerjemahan dengan metode penafsiran yang keluar dari batas, juga tidak dianggap sebagai terjemahan yang baik. Penerjemahan yang bagus adalah penerjemahan bebas. Sejak dahulu hingga kini
terjemahan-terjemahan al-Qur’an, jika tidak diterjemahkan secara tekstual, maka diterjemahkan dengan metode penafsiran.49
b. Hukum Penerjemahan al-Qur’an 1) Hukum Terjemah Harfiyah
Atas dasar pertimbangan di atas maka tidak seorang pun merasa ragu tentang haramnya menerjemahkan al-Qur’an dengan terjemah harfiyah. Sebab al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, merupakan mukjizat dengan lafaz dan maknanya, serta membacanya dipandang sebagai suatu ibadah.
Di samping itu, tidak seorang manusia pun berpendapat, kalimat-kalimat al-Qur’an itu jika diterjemahkan, dinamakan pula Kalamullah. Sebab Allah tidak berfirman kecuali dengan al-Qur’an yang kita baca dalam bahasa Arab, dan kemukjizatan pun tidak akan terjadi dengan terjemahan, karena kemukjizatan itu hanya khusus bagi Qur’an yang diturunkan dalam bahasa arab. Kemudian yang dipandang sebagai ibadah dengan membacanya ialah Qur’an berbahasa arab yang jelas, berikut lafaz-lafaz, huruf-huruf dan tertib kata-katanya. Dengan demikian, penerjemah Qur’an dengan terjemah harfiyah, betapapun penerjemah memahami betul bahasa, uslub-uslub dan susunan kalimatnya, dipandang telah menurunkan
Qur’an dari keadaannya sebagai Qur’an.
2) Hukum Terjemah Maknawiyah
49 Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Quran, (Al-Huda 2007), hal. 269-272
Menerjemahkan makna-makna sanawi Qur’an bukanlah hal mudah, sebab tidak terdapat satu bahasapun yang sesuai dengan bahasa Arab dalam dan ( petunjuk ) lafaz-lafaznya dan makna-makanya oleh ahli ilmu bayan dinamakan khawassut-tarkib, (karakteristik susunan). Hal demikian tidak mudah didakwahkan seseorang. Dan itulah yang dimaksudkan dengan zamakhsyari’.
Dalam pernyataan diatas. Segi-segi balaghah Qur’an dalam lafaz dan sususan baik nakhirah dan makhrifahnya taqdim dan ta’khirnya disebutkan dengan dihilangkan maupun hal-hal lain adalah yang menjadi keunggulan bahasa Qur’an, dan ini mempunyai pengaruh tersendiri terhadap jiwa.
Adapun makna-makna asli, dapat dipindahkan ke dalam bahasa lain. Kemudian ia menjelaskan, menerjemahkan Qur’an dengan cara pertama, yakni dengan memperhatikan makna asli adalah mungkin. Dari segi inilah dibenarkan menafsirkan Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya kepada kalangan awam dan mereka yang tidak mempunyai pemahaman kuat untuk mengetahui makna-maknanya. Cara demikian diperbolehkan berdasarkan konsensus ulama islam. Dan konsesus ini menjadi hujjah bagi dibernarkannya penerjemahan makna asli Qur’an.
Namun demikian, terjemahan makna-makna asli itu tidak terlepas dari kerusakan karena satu buah lafaz di dalam Qur’an terkadang mempunyai dua makna atau lebih yang diberikan oleh
ayat. Maka dalam keadaan demikian biasanya penerjemah hanya meletakkan satu lafaz yang hanya menunjukkan satu makna, karena ia tidak mendapatkan lafaz serupa dengan lafaz arab yang dapat memberikan lebih dari satu makna itu.
Terkadang Qur’an menggunakan sebuah lafaz dalam pengertian majaz (kiasan), maka dalam hal demikian penerjemah hanya mendatangkan satu lafaz yang sama dengan lafaz arab dimaksud dalam perngertiannya yang hakiki. Karena hal ini dan hal lain maka terjadilah banyak kesalahan dalam penerjemahan makna-makna Qur’an. sebagian ulama membatasi kebolehan penerjemahan seperti itu dengan kadar darurat dalam menyampaikan dakwah.
Yaitu yang berkenan dengan tauhid dan rukun-rukun ibadah, tidak lebih dari itu. Sedang bagi mereka yang ingin menambah pengetahuannya, diperintahkan untuk mempelajari bahasa Arab.50 c. Syarat-syarat orang yang menerjemahkan Al-Qur’an
1) Penerjemah al-Qur’an adalah seorang Muslim, maka penerjemah non-Muslim tidak dibenarkan menerjemahkan al-Qur’an, karena ia tidak beriman pada kebenaran al-Qur’an dan kebenaran Islam.
2) Penerjemahan al-Qur’an adalah orang yang (adil) dan tsiqah (bisa dipercaya). Orang yang fasiq tidak dibenarkan menerjemahkan Al-Qur’an.
50 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta, Literasi Antar Nusa, 1994) hlm.
444-446
3) Penerjemah adalah orang yang menguasai dan mahir dalam bahasa penerjemahannya, memiliki pengetahuan luas akan pernik-pernik bahasa tersebut.51
d. Pentingnya Terjemahan al-Qur’an
Penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa lain dengan tujuan mengenalkan bahasa Arab dan hakikat pengetahuan Qur’ani kepada bangsa-bangsa asing harus menjadi salah satu alasan keharusan berdakwah. Hingga saat ini tak ada satupun ulama yang melarang penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa lain. Tujuannya adalah berdakwah tentang agama Islam dan memperkenalkan syari’at dan hakikat al-Qur’an pada semua orang.
Penerjemahan al-Qur’an sejak dulu hingga sekarang sudah menjadi bagian sejarah yang digeluti para ilmuwan muslim bahkan non muslim.
Meskipun al-Qur’an bukan untuk bangsa Arab saja, tidak ada paksaan bagi bangsa-bangsa lain selain Arab untuk belajar bahasa Arab.
Meskipun mereka mau belajar hal itu adalah suatu keutamaan.
Oleh karena itu al-Qur’an sangat perlu diterjemahkan ke semua bahasa-bahasa dunia untuk bisa mereka miliki agar mengambil manfaat dari al-Qur’an secara langsung. Tentunya pekerjaan ini harus mendapat bimbingan orang-orang ahli dan sholeh.52
51 Dr. H. Anshori, Ulumul Qur’an, Ulumul Quran Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, (Rajawali Pers 20014), hlm. 171
52 Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Quran, (Al-Huda 2007), hal. 275-276