• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERKENDALI L plantarum BSL DAN EVALUASI SIFAT PREBIOTIK Di bawah bimbingan Prof Dr Ir Betty Sri Laksmi Jenie, MS, Dr.

Ir. Nur Richana, dan Dr. Dra. Suliantari, MS.

Masyarakat kini semakin sadar akan pentingnya hidup sehat yang dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan dengan nutrisi yang cukup. Tren masyarakat seperti ini disikapi oleh para produsen pangan dengan memproduksi pangan fungsional yang dapat dikonsumsi untuk fungsi-fungsi kesehatan tertentu. Contoh pangan fungsional adalah pangan yang mengandung probiotik atau prebiotik, atau keduanya dalam satu produk yang dikenal dengan pangan sinbiotik. Probiotik adalah mikroorganisme yang jika dikonsumsi dalam jumlah cukup akan menguntungkan bagi inangnya, sedangkan prebiotik adalah ingridien pangan yang secara selektif dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat (probiotik) di dalam saluran pencernaan manusia sehat. Pati resisten (RS) tipe 3 atau RS3 berpotensi sebagai sumber prebiotik karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan di usus halus dan ketika mencapai usus besar dapat dimanfaatkan oleh bakteri probiotik.

Oleh karena itu dalam penelitian ini kadar RS3 dalam tepung pisang akan ditingkatkan dengan menerapkan modifikasi proses dengan memfermentasi irisan pisang terlebih dahulu secara terkendali menggunakan L. plantarum BSL. Kondisi fermentasi dipelajari pada dua konsentrasi inokulan (104 dan 106 CFU/ml) serta beberapa waktu fermentasi (0, 6, 12, dan 24 jam). Sebagai kontrol dilakukan fermentasi irisan pisang uli secara spontan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa RS3 tertinggi (32.57%) dihasilkan dari fermentasi irisan pisang uli dengan L. plantarum BSL (106 CFU/ml) selama 12 jam. Pada fermentasi selama 24 jam, kadar RS3 TPUM menurun menjadi 30.14% dan dari 28.80% menjadi 26.01% pada TPUM yang difermentasi dengan L. plantarum BSL 104 CFU/ml. Selanjutnya RS3 TPUM tersebut dievaluasi sifat fisik prebiotiknya. Isolasi RS3 dilakukan dari TPUM formula terpilih yang menghasilkan RS3 tertinggi (difermentasi dengan L. plantarum BSL 106 CFU/ml selama 12 jam).

Evaluasi sifat prebiotik RS3 dari TPUM dilakukan dengan menguji viabilitas beberapa jenis bakteri asam laktat yang berpotensi sebagai probiotik yaitu L. plantarum BSL, L. acidophilus dan B. bifidum pada media m-MRSB. RS3 yang diperoleh dijadikan media pertumbuhan BAL probiotik dengan cara diinkorporasikan ke dalam media m-MRSB (MRSB tanpa glukosa) dan ke dalam akuades steril. RS3 berperan sebagai pengganti glukosa. Sebagai kontrol yaitu m- MRSB dan m-MRSB+FOS (fruktooligosakarida) yang merupakan prebiotik komersial. Oleh karena TPUM yang dihasilkan akan digunakan sebagai pensubsitusi susu skim dalam pembuatan yoghurt, maka dilakukan juga uji

viii

Hasil penelitian menunjukkan bahwa RS3 baik yang diperoleh dari TPUM fermentasi terkendali maupun TPUM fermentasi spontan mampu mendukung pertumbuhan probiotik. Pertumbuhan probiotik tertinggi terdapat pada media dengan RS3 yang diisolasi dari TPUM fermentasi terkendali (2.09-2.53 log CFU/ml) dibandingkan dengan media dengan RS3 dari TPUM fermentasi spontan (1.52-1.80 log CFU/ml). Untuk starter yoghurt, baik L. bulgaricus maupun S. thermophilus keduanya dapat memanfaatkan RS3 baik dari TPUM dengan fermentasi terkendali maupun dari TPUM dengan fermentasi spontan dengan kenaikan pertumbuhan antara 1-2 unit log CFU/ml.

Yoghurt sinbiotik sebagai pangan model dalam penelitian ini dibuat dengan melakukan substitusi susu skim dengan 70% TPUM dengan kadar RS3 tertinggi. Evaluasi sensori melaporkan bahwa yoghurt sinbiotik relatif dapat diterima dengan baik walaupun ada beberapa orang panelis (8 dari 30 orang panelis) menyatakan yoghurt terlalu asam. Secara keseluruhan panelis memberikan skor tidak berbeda (P>0.05) untuk semua atribut sensori yoghurt sinbiotik yang dihasilkan. Demikian juga total probiotik yang masih terdapat pada produk setelah penyimpanan satu bulan masih cukup tinggi, yaitu 109 CFU/ml. Dari hasil penelitian ini, yoghurt sinbiotik substitusi 70% TPUM baik dengan probiotik B. bifidum maupun L. plantarum BSL masih mengandung jumlah probiotik yang stabil (109 CFU/ml) selama penyimpanan empat minggu pada suhu 4°C.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki wilayah dengan potensi sumberdaya alam termasuk buah-buahan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat. Sumberdaya alam tersebut jika dimanfaatkan secara optimal merupakan aset nasional yang dapat menjamin ketersediaan pangan dan menjaga ketahanan pangan. Salah satu buah tropis yang tumbuh di Indonesia dan potensial dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat adalah pisang. Selain sebagai sumber karbohidrat, pisang juga mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu vitamin (provitamin A, B, dan C) serta mineral (kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium) yang penting bagi tubuh (Judoamidjojo dan Lestari 1991).

Keunggulan pisang sebagai sumber karbohidrat, vitamin dan mineral juga didukung oleh luas panen dan jumlah produksinya yang selalu menempati posisi pertama. Produktivitas pisang di Indonesia berfluktuasi dan terus meningkat, dimana pada tahun 2007 tingkat produksi pisang adalah 5 454 226 ton, kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi 6 004 615 ton (BPS 2009).

Upaya pendayagunaan pisang khususnya jenis pisang olahan (plantain) dalam bentuk yang lebih luas aplikasinya dan lebih tahan simpan yaitu tepung pisang telah dilakukan. Jenie et al (2009-2010) telah mengembangkan proses modifikasi tepung pisang dari jenis pisang tanduk yang kaya pati resisten (resistant starch) tipe 3 (disebut juga dengan istilah RS3) dan memiliki indeks glikemik rendah, sehingga dapat diolah lebih lanjut menjadi produk pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan. Pisang cukup melimpah jumlahnya dan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi pangan fungsional. Hal ini sesuai dengan trend hidup masyarakat saat ini yang semakin peduli terhadap kesehatan tubuh sehingga mendorong semakin berkembangnya pangan fungsional.

Pangan fungsional adalah pangan yang menguntungkan salah satu atau lebih dari target fungsi-fungsi dalam tubuh seperti halnya nutrisi yang dapat memperkuat mekanisme pertahanan tubuh dan menurunkan risiko terhadap suatu penyakit (Robertfroid 2007). Menurut BPOM (2005), pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun buatan telah mengalami proses menjadi produk atau produk olahan, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang

berdasarkan kajian ilmiah memiliki fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional yang saat ini sedang trend dikembangkan yaitu produk pangan yang mengandung probiotik atau prebiotik, atau gabungan keduanya dalam satu produk yang dikenal sebagai pangan sinbiotik.

Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang jika diasup dalam jumlah cukup akan menguntungkan bagi inangnya (FAO 2007). Prebiotik adalah ingridien pangan yang secara selektif dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat (probiotik) di dalam kolon pencernaan manusia sehat (FAO/WHO 2001). RS3 berpotensi sebagai sumber prebiotik karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan di usus halus dan ketika mencapai usus besar dapat dimanfaatkan oleh bakteri probiotik. Manfaat lain dari RS3 adalah mampu mereduksi kehilangan cairan fekal dan mempersingkat waktu diare pada penderita kolera (Ramakhrisna et al 2000) serta berpotensi dalam memperbaiki sensitivitas hormon insulin (Robertson et al 2005). RS3 digolongkan sebagai sumber serat (British Nutrition Foundation 2005) dan diketahui mampu menurunkan kolesterol dan indeks glikemik (Lehmann et al 2002), serta mencegah terjadinya kanker kolon karena mikroflora mampu mengubah RS3 menjadi senyawa asam lemak berantai pendek (asam butirat), mereduksi pembentukan batu empedu, dan membantu penyerapan mineral (Sajilata et al 2006).

Jenie et al (2009-2010) telah menguji potensi prebiotik tepung pisang modifikasi kaya RS3 dengan menumbuhkan beberapa jenis bakteri probiotik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa beberapa kandidat probiotik mampu tumbuh baik pada substrat tepung pisang modifikasi. Untuk mengetahui apakah RS3 yang terkandung dalam tepung pisang modifikasi tersebut bersifat sebagai prebiotik dan dapat dimanfaatkan hanya oleh probiotik, maka perlu dilakukan konfirmasi dengan melakukan pengujian pertumbuhan probiotik pada RS3nya. Menurut Losada dan Olleros (2002), Bifidobacteria dan Lactobacilli dapat tumbuh dengan baik pada substrat fruktooligosakarida (FOS). FOS berperan sebagai prebiotik, yang memberikan nutrisi yang secara selektif untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri menguntungkan pada kolon. FOS merupakan prebiotik yang sudah dijual secara komersial.

Penambahan prebiotik seperti inulin ke dalam minuman yogurt dapat meningkatkan kesehatan kolon dan meningkatkan absorpsi kalsium dan mineral (Gonzalez et al 2011). Prebiotik meningkatkan fungsi probiotik, yaitu dengan cara meningkatkan viabilitas dan vitalitas probiotik sebagaimana yang terlihat pada survival probiotik pada saluran pencernaan dan kemampuannya menempel pada permukaan sel-sel mukosa usus serta kemampuannya untuk tumbuh (Ramchandran & Shah 2010). Uji-uji yang dilakukan pada produk sinbiotik umumnya berupa uji-uji kimia seperti kadar pH, Total Asam Tertitrasi (TAT), dan kekentalan (viskositas), uji sifat biokimia probiotik seperti kemampuannya menghasilkan peptida bioaktif (karena bersifat proteolitik), uji sifat reologi produk seperti kehalusan/tekstur, pemisahan whey, karakteristik laju aliran dan histeresis (contohnya pada yoghurt sinbiotik), dan uji sensori produk yang meliputi warna (penampilan), aroma, tekstur, flavor, mouthfeel, dan taste (rasa).

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah meningkatkan kadar RS3 tepung pisang uli modifikasi (TPUM) melalui fermentasi terkendali bakteri asam laktat L. plantarum BSL dan evaluasi sifat prebiotiknya. Tujuan khususnya yaitu : 1) Optimasi kondisi fermentasi terkendali irisan pisang uli dengan perlakuan konsentrasi L. plantarum BSL dan waktu fermentasi dan dilanjutkan dengan pemanasan bertekanan – pendinginan dalam pembuatan TPUM, 2) Evaluasi sifat prebiotik RS3 tepung pisang uli modifikasi dengan melakukan uji viabilitas tiga jenis BAL probiotik (B. bifidum, L. acidophilus, L. plantarum BSL), dan starter yoghurt (L. bulgaricus dan S. thermophilus), 3) Aplikasi TPUM pada pembuatan yoghurt sinbiotik dan analisis pH, TAT, total BAL probiotik serta evaluasi sensori.

Hipotesis penelitian ini yaitu: 1) Proses fermentasi terkendali irisan pisang uli dengan L. plantarum BSL mampu meningkatkan kadar RS3 TPUM, 2) RS3 TPUM mampu menstimulasi pertumbuhan tiga jenis probiotik (B. bifidum, L acidophilus, dan L. pantarum BSL), dan 3) TPUM kaya RS3 dapat diaplikasikan pada pembuatan yoghurt sinbiotik dengan sifat sensori yang dapat diterima.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Pisang

Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu produk hortikultura Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena ketersediaannya yang tidak mengenal musim serta harganya terjangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Keunggulan pisang sebagai sumber karbohidrat, vitamin dan mineral juga didukung oleh luas panen dan jumlah produksinya yang selalu menempati posisi pertama. Produktivitas pisang di Indonesia berfluktuasi dan terus meningkat, dimana pada tahun 2007 tingkat produksi pisang adalah 5 454 226 ton, kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi 6 004 615 ton (BPS 2009).

Pisang mempunyai kandungan gizi yang sangat baik, antara lain menyediakan energi yang cukup tinggi dibandingkan dengan buah-buahan lain. Pisang kaya akan mineral seperti kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium (Munadjim 1983). Kandungan inulin (sekitar 3%) yang terdapat pada pisang juga berperan sebagai prebiotik alami (Nuraida 2011).

Selain inulin, pisang juga memiliki kandungan pati yang cukup tinggi yaitu sekitar 61-73% untuk jenis pisang kepok, siam, uli dan tanduk (Abdillah 2010). Kandungan pati yang tinggi pada pisang berpotensi untuk dimodifikasi menjadi RS) yang juga memiliki sifat prebiotik. Efek prebiotik tidak hanya terbatas pada RS yang secara alami terdapat pada tanaman (RS1 dan RS2), tetapi juga dimiliki oleh pati yang dimodifikasi secara fisik dan kimia (RS3 dan RS4).

Pisang (Gambar 1) adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan dari famili Musaceae. Beberapa jenisnya (Musa acuminate, M. balbisiana, dan M. paradisiaca) menghasilkan buah konsumsi yang dinamakan sama. Buah ini tersusun dalam tandan dengan kelompok-kelompok tersusun menjari, yang disebur sisir (Munadjim, 1983).

Gambar 1 Tanaman pisang uli (Koleksi Widaningrum 2012)

Tanaman pisang berbunga pada saat berumur 9-12 bulan setelah tanam. Pemotongan tandan dilakukan pada umur 80-110 hari setelah berbunga dan biasanya pada umur 110 hari warna buah pisang mulai menguning. Ukuran, warna dan citarasa buah pisang berbeda-beda tergantung dari varietasnya. Selain itu, pertumbuhan tanaman pisang dipengaruhi oleh keadaan tanah, iklim dan cara pemeliharaannya. Berdasarkan cara penggunaannya, buah pisang digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu banana dan plantain. Banana adalah golongan pisang yang dimakan dalam bentuk segar setelah buahnya matang, contohnya antara lain pisang ambon, pisang raja sereh, pisang raja bulu, pisang susu, pisang seribu, dan lain-lain. Plantain adalah golongan pisang yang dimakan setelah diolah terlebih dahulu, contohnya antara lain pisang uli, pisang kepok, pisang siam, pisang kapas, pisang rotan, pisang tanduk, dan lain-lain (Prabawati et al 2008).

Golongan banana mempunyai bentuk buah yang ujungnya tumpul dan rasanya enak bila telah masak, sedangkan golongan plantain mempunyai warna buah yang mengkilap serta bila masak memiliki rasa yang kurang enak. Golongan plantain memiliki daging buah dengan kandungan pati yang tinggi, rasa manis yang kurang, dan membutuhkan pengolahan lebih lanjut (Prabawati et al 2008).

Komponen utama buah pisang adalah air dan karbohidrat dengan nilai energi pisang sekitar 136 kalori yang secara keseluruhan berasal dari karbohidrat (Munadjim 1983). Pisang termasuk buah-buahan yang mudah dicerna dengan

daya cerna 54-80%. Pisang merupakan komoditas pertanian yang mengandung karbohidrat siap cerna (sekitar 30% dari bagian yang dapat dimakan). Pisang banyak mengandung komponen karbohidrat terutama pati sehingga pisang juga sering ditepungkan atau terkadang diambil patinya (Prabawati et al 2008).

Pisang memiliki rasa yang sangat enak, dapat mengenyangkan, sumber pro- vitamin A, mengandung vitamin C sekitar 20 mg/100g bobot segar, dan vitamin B dalam jumlah sedang. Hancuran pisang mengandung dopamine dan vitamin C dalam jumlah tinggi. Selain vitamin, daging buah pisang mengandung abu sebanyak 0.70-0.75% dari berat daging buah. Abu pada pisang mengandung unsur mineral fosfor sebanyak 290 ppm, kalsium 80 ppm dan besi 60 ppm. Komposisi kimia buah pisang bervariasi tergantung pada varietasnya. Tingkat kematangan buah pisang juga mempengaruhi komposisi kimia daging buah seperti kadar pati, gula reduksi dan sukrosa, serta suhu gelatinisasi (Munadjim 1983, Putra 2010).

Tepung Pisang

Tepung pisang memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan buah segar, diantaranya dapat disimpan lebih lama dan lebih mudah disuplementasi dengan zat gizi sehingga cocok sebagai makanan bayi atau diolah menjadi roti, biskuit, ataupun kue-kue lainnya. Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Jenis pisang yang lebih baik untuk dijadikan tepung adalah plantain karena memiliki kadar pati yang tinggi. Buah pisang cukup sesuai untuk diproses menjadi tepung mengingat bahwa komponen utama penyusunannya adalah karbohidrat (17.2 – 38.0%). Berdasarkan kandungan nutrisi, buah pisang dibandingkan sayuran hijau memiliki kandungan zat besi yang paling kaya dan juga mengandung nutrisi lainnya. Manfaat pengolahan pisang menjadi tepung antara lain yaitu lebih tahan disimpan, lebih mudah dalam pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis untuk diversifikasi produk olahan, mampu memberikan nilai tambah buah pisang, mampu meningkatkan nilai gizi buah melalui proses fortifikasi selama pengolahan, dan menciptakan peluang usaha untuk pengembangan agroindustri pedesaan (Prabawati et al 2008). Syarat mutu tepung pisang ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Jenis A Jenis B 1 Keadaan:

1.1 Bau - Normal Normal

1.2 Rasa - Normal Normal

1.3 Warna - Normal Normal

2 Benda asing - Tidak ada Tidak ada

3 Serangga (dalam segala bentuk stadia dan potongan-potongan)

- Tidak ada Tidak ada

4 Jenis pati lain selain tepung pisang

- Tidak ada Tidak ada

5 Kehalusan lolos ayakan 60 mesh

%b/b Min. 95 Min. 95

6 Air %b/b Maks. 5 Maks. 12

7 Bahan tambahan pangan - SNI 01-0222-1987

8 Sulfit (SO2) mg/kg Negatif Maks. 1.0

9 Cemaran logam:

9.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks.1.0 Maks.1.0

9.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10.0 Maks. 10.0

9.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.0 Maks. 40.0

9.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05 Maks. 0.05

10 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5 Maks. 0.5 11 Cemaran mikroba:

11.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks.104 Maks.106

11.2 Bakteri pembentuk coli APM/g 0 0

11.3 Escherichia coli Koloni/g 0 Maks. 106

11.4 Kapang dan khamir Koloni/g Maks. 102 Maks. 104

11.5 Salmonella/25 gram - negatif -

11.6 Staphylococcus aureus Koloni/g negatif - Sumber: BSN (2011)

Tepung pisang dapat dibuat dari buah pisang muda dan pisang tua yang belum matang. Prinsip pembuatannya adalah pengeringan irisan pisang dengan sinar matahari atau dengan menggunakan alat pengering kemudian digiling. Produk yang sudah digiling kemudian dilewatkan pada penyaring berukuran 100 mesh. Judoamidjojo dan Lestari (1991) melaporkan bahwa kadar pati dari tiga jenis tepung pisang plantain (nangka, uli dan siam) cukup tinggi yaitu berkisar dari 55-62%. Hal ini menjadikan ketiga jenis pisang tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber RS3 prebiotik. Perbandingan karakteristik jenis tepung pisang nangka, uli dan siam dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi tepung pisang plantain

Karakteristik Jenis Pisang

Nangka Siam Uli

Rendemen (%) 30.02 30.11 39.60

Kadar air (%) 9.04 12.05 10.82

Kadar total gula (%) 9.58 12.82 26.56

Kadar pati (%) 61.61 56.82 55.23

Kadar amilopektin (%) 54.29 49.63 48.54

Kekentalan (cP) 1.2075 1.4056 -

Derajat putih (%) 42.96 57.08 41.60

Sumber: Judoamidjoyo dan Lestari (1991)

Tepung pisang dari buah pisang muda mengandung pati lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung pisang dari pisang tua matang, sedangkan kandungan gula sederhananya sebaliknya. Pisang yang akan digunakan untuk pembuatan tepung pisang sebaiknya dipanen pada saat telah mencapai tingkat kematangan ¾ penuh, kira-kira 80 hari setelah berbunga. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut, pembentukan pati mencapai maksimum dan tanin sebagian besar terurai menjadi ester aromatik dan fenol, sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang (Putra 2010).

Pisang yang terlalu muda (kurang dari ¾ penuh) akan menghasilkan tepung pisang yang mempunyai rasa sedikit pahit dan sepat, karena kadar asam dan tanin yang relatif masih tinggi, sedangkan kadar patinya rendah. Sifat sepat pisang akan berkurang banyak sejalan dengan berubahnya senyawa tanin selama proses pematangan. Meningkatnya tingkat kematangan pisang akan menyebabkan perubahan komposisi kimia dari tepung pisang yang dihasilkan, sehingga untuk memperoleh tepung pisang dengan kadar pati yang cukup tinggi diperlukan pemilihan tingkat kematangan pisang yang sesuai (Prabawati et al 2008).

Dewasa ini, telah dilakukan beberapa penelitian pembuatan tepung pisang modifikasi sebagai bahan baku pangan fungsional. Tepung pisang modifikasi berpotensi sebagai prebiotik yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan saluran pencernaan. Tepung pisang kaya RS3 telah diteliti dapat diproduksi dengan cara melakukan modifikasi pada proses pembuatannya, yaitu dengan fermentasi spontan yang dikombinasikan dengan perlakuan pemanasan bertekanan dan dilanjutkan dengan pendinginan (Jenie et al 2009).

Abdillah (2010) melaporkan bahwa pada varietas pisang tanduk, fermentasi spontan merupakan perlakuan terbaik dalam meningkatkan kadar RS3 dari tepung pisang modifikasi, karena pada lama fermentasi tersebut terjadi pembentukan asam laktat (penurunan pH) dan dihasilkannya enzim amilase. Fermentasi selama 24 jam dilanjutkan dengan satu siklus pemanasan autoklaf mampu meningkatkan kadar RS3 tepung pisang tanduk dari 6.38% (bk) menjadi 15.24% (bk). Peningkatan kadar RS3 yang sama (15.90%) juga dapat diperoleh bila pisang tidak difermentasi tetapi diberi pemanasan autoklaf sebanyak dua siklus.

Putra (2010) melakukan penelitian fermentasi irisan pisang tanduk dengan menggunakan bakteri asam laktat. Dilaporkan bahwa waktu fermentasi optimal irisan pisang tanduk dengan menggunakan kultur campuran L. plantarum kik dan L. fermentum 2B4 adalah 72 jam. Namun waktu fermentasi selama 72 jam tidak mempengaruhi kadar RS3 yang dihasilkan. Peningkatan RS3 hingga dua kali lipat dari 5.87-6.45% menjadi 12.99-13.71% bk dihasilkan oleh fermentasi yang dilanjutkan dengan pemanasan autoklaf. Kombinasi proses fermentasi yang dilanjutkan dengan pemanasan autoklaf menghasilkan tepung pisang modifikasi dengan beberapa sifat fungsional yang menguntungkan yaitu berpotensi sebagai kandidat prebiotik karena kadar RS3-nya yang tinggi (13.22%) dan dapat mendukung pertumbuhan probiotik (L. plantarum BSL, L. fermentum 2B4, dan L. acidophilus).

Jenie et al (2009) telah melakukan penelitian pembuatan RS3 dari berbagai jenis pisang, yaitu tanduk, kepok, dan siam. Fermentasi spontan pada irisan pisang tanduk yang dikombinasi dengan pemanasan satu siklus autoklaf meningkatkan kadar RS3 tepung pisang dua kali lipat dibanding dengan dua siklus autoklaf tanpa fermentasi. Tepung pisang modifikasi dengan kadar RS3 yang meningkat berpotensi sebagai kandidat prebiotik karena dapat meningkatkan pertumbuhan L. plantarum BSL, L. fermentum 2B4, dan L. acidophilus sebesar 3 log pada media 2.5% tepung pisang modifikasi yang sebanding dengan pertumbuhan pada media fruktooligosakarida (FOS) dan MRSB.

Pisang uli adalah pisang tipe plantain yang banyak dihasilkan di daerah Bogor dan Jawa Barat pada umumnya. Pisang ini merupakan salah satu jenis pisang yang memiliki potensi sebagai sumber RS3 karena kandungan pati dan

amilosanya yang relatif tinggi. Selama ini pisang uli biasa diolah dengan cara digoreng menjadi pisang goreng yang lezat dan merupakan penganan/jajanan pasar yang murah meriah dan mengenyangkan.

Pisang uli memiliki kulit yang berwarna hijau dan daging buah yang berwarna putih kekuningan. Karakteristik pisang uli yang cukup tua tetapi belum matang ditentukan dari bentuk pisang yang masih memiliki siku dan terdapat bintik-bintik kecil berwarna hitam pada bagian kulit. Pisang uli biasanya dikonsumsi dengan cara dikukus, dibakar, dijadikan kolak atau digoreng. Kandungan nilai gizi pisang beberapa varietas pisang dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa kandungan kalori pisang varietas uli adalah paling tinggi (146 kalori) dibanding varietas pisang lainnya, demikian pula kandungan karbohidrat (38.20 %) dan vitamin C-nya (75 mg) yang lebih tinggi dari varietas pisang lainnya.

Tabel 3 Kandungan nilai gizi beberapa varietas pisang di Indonesia Varietas pisang Kalori

(kalori) Karbohidrat (%) Vitamin C (mg) Vitamin A (SI) Air (%) Bagian yang dapat dimakan Ambon 99 25.80 3 140 72.00 75 Angleng 68 17.20 6 76 80.30 75 Lampung 99 25.60 4 61,80 72.10 75 Emas 127 33.60 2 79 4.20 85 Raja Bulu 120 31.80 10 950 65.80 70 Raja Sere 118 31.10 4 112 67.00 85 Uli 146 38.20 75 75 59,10 75 Sumber: Prabawati et al (2008)

Pisang uli banyak terdapat di daerah Jawa Barat pada umumnya dan di Bogor pada khususnya. Dengan kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi tersebut, pisang uli sangat potensial untuk dijadikan sumber RS3.

Modifikasi Pati

Pati telah banyak digunakan pada pengolahan pangan, baik pada penggunaan di tingkat industri pangan maupun skala rumah tangga. Pati yang digunakan umumnya berupa pati tanpa perlakuan modifikasi (pati alami atau pati native). Walaupun pati alami cukup luwes dalam penggunaannya, namun

memiliki kekurangan yang sering menghambat aplikasinya di dalam proses pengolahan pangan. Kebanyakan pati alami menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan kemampuan membentuk gel yang tidak seragam (konsisten). Hal ini disebabkan profil gelatinisasi pati alami sangat dipengaruhi oleh iklim dan kondisi fisiologis tanaman sehingga jenis pati yang sama belum tentu memiliki sifat fungsional yang sama. Menurut Kusnandar (2010), di antara kekurangan yang utama adalah sebagai berikut: 1) Kebanyakan pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, 2) kebanyakan pati alami tidak tahan pada kondisi asam, 3) pati alami tidak tahan proses mekanis (agitasi), dimana viskositas pati akan