• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tersedianya kebijakan pengembangan tanaman pangan

Untuk mencapai sasaran tersebut, diukur melalui pencapaian indikator kinerja utama dengan target yang ditetapkan dalam PKT 2011 yaitu tersedianya 8 rekomendasi kebijakan tanaman pangan.

Sasaran 5 tersebut dicapai melalui kegiatan “Analisis kebijakan pengembangan tanaman pangan.”

Indikator kinerja sasaran yang telah ditargetkan dalam tahun 2011 telah tercapai 100%. Target yang ditetapkan dalam PKT 2011 yaitu tersedianya 8 rekomendasi dan telah terealisasi 8 rekomendasi kebijakan tanaman pangan.

Sedangkan realisasi keuangan sebesar Rp. 768.314.800,- (97,13%). Pencapaian indikator kinerja kegiatan untuk mencapai sasaran tersebut dapat dilihat secara rinci pada formulir PKK.

Adapun topik rekomendasi kebijakan tanaman pangan antara lain:

1. Analisis peningkatan daya saing dan nilai tambah tanaman pangan menghadapi persaingan global.

2. Analisis tingkat adopsi teknologi produksi padi sawah mengacu produktivitas optimal dan keberlanjutan.

3. Analisis kesiapan tindakan adaptasi usahatani tanaman pangan menghadapi banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim global.

4. Analisis efektivitas bantuan benih dan bantuan pupuk pada program SL-PTT.

5. Analisis kesiapan sistem perbenihan kedelai dalam mendukung swasembada kedelai.

6. Analisis peningkatan kualitas implementasi PHT di lapangan.

7. Analisis permasalahan sistem produksi benih jagung komposit.

8. Pupuk dan pemupukan padi sawah spesifik lokasi

Sebagai perbandingan atas kemajuan yang telah diperoleh dari tahun sebelumnya 2010 dapat dijelaskan sebagai berikut : Perbandingan capaian Kinerja tahun 2010 dan 2011.

Indikator Kinerja 2010 2011

Rumusan kebijakan tanaman pangan

8 8

Adapun keluaran (output) dan outcome yang telah dicapai dari masing-masing subkegiatan diuraikan sebagai berikut:

Analisis peningkatan daya saing dan nilai tambah tanaman pangan menghadapi persaingan global.

Kebijakan peningkatan daya saing dan nilai tambah tanaman pangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih didominasi program pemerintah pusat berupa bantuan alat dan mesin pasca-panen dan pengolahan hasil pertanian. Terlihat kecenderungan bahwa hanya beberapa kabupaten saja yang perkembangannya meningkat karena mendapatkan bantuan dan dapat memanfaatkan bantuan tersebut secara optimal, sedangkan kabupaten lainnya tidak berhasil atau tidak dapat memanfaatkan bantuan tersebut guna meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk tanaman pangan yang dihasilkan di daerah tersebut. Oleh karena itu, perlu dirancang suatu kebijakan peningkatan daya saing dan nilai tambah tanaman pangan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi spesifik lokasi agar bantuan alat dan mesin pertanian benar-benar efektif dan produktif.

Saran alternatif kebijakan :

Aspek legalitas kebijakan pemerintah.

Peningkatan mutu dan nilai tambah tanaman pangan serta penanganan pasca panen harus didukung oleh aspek legal yang memadai, di antaranya keputusan Presiden No. 47 tahun 1986 tentang “peningkatan penanganan pascapanen hasil pertanian” dan Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang “sistem budi daya tanaman”.

Aspek koordinasi lintas sektoral

Koordinasi lintas sektoral mutlak diperlukan untuk mengkoordinasikan serta mensinkronisasikan program dan kegiatan penanganan pascapanen atau pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing tanaman pangan. Aspek sarana dan teknologi

Aspek ini berperan penting karena menggambarkan (a) peningkatan peran sarana dan teknologi pascapanen atau pengolahan dengan cara penambahan jumlah sarana alat dan mesin pascapanen, termasuk penyediaan fasilitas kredit dengan tingkat suku bunga rendah dan persyaratan lunak, (b) usaha-usaha kaji terap dan sosialisasi dari inovasi sarana alat dan mesin pascapanen tanaman pangan, (c) kebutuhan riil sarana alat dan mesin pascapanen atau pengolahan secara spesifik, (d) pemasyarakatan penggunaan sarana alat dan mesin pasca panen atau pengolahan melalui kampanye, demonstrasi atau gelar teknologi tanaman pangan, (e) langkah-langkah nyata untuk mendorong UPJA, LDM, penggilingan padi, pabrikan alat dan mesin pascapanen, distributor, perbengkelan dan petani/kelompok tani untuk

bekerjasama kemitraan, dan (f) penerapan sistem jaminan mutu dalam proses penanganan hasil tanaman pangan, terutama penerapan Good Handling Practices (GHP), Good

Manufacturing Practices (GMP), dan Good Distribution Practices (GDP).

Aspek kelembagaan

Dalam aspek kelembagaan perlu difokuskan pada usaha pembentukan, pengorganisasian, pengelolaan, dan operasionalisasi kelembagaan petani atau kelompok tani, UPJA, LDM, penggilingan padi, dan pemangku kepentingan lainnya untuk dihimpun dalam organisasi yang disebut “kecamatan pascapanen” dengan mempertimbangkan kemampuan kelemba-gaan tersebut dalam usaha peningkatan nilai tambah dan daya saing usaha.

Aspek Sumber Daya Manusia (SDM)

Peningkatan mutu SDM harus diarahkan untuk meningkatkan sikap dan prilaku, pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan pengembangan kewirausahaan (enterpreuneurship), serta kemampuan pengelola usaha dibidang agribisnis tanaman pangan.

Aspek permodalan

Kelembagaan petani yang menangani penanganan pasca panen atau pengelolahan gabah atau beras harus diberi pemahaman dan keberanian untuk memperoleh akses tentang skim kredit dengan persyaratan mudah, suku bunga rendah, dan dapat dijangkau oleh skala usaha kelembagaan petani.

Outcome untuk kegiatan penelitian ini adalah: a) peningkatan nilai tambah dan pendapatan petani serta pelaku usaha, b) peningkatan daya saing produk tanaman pangan di pasar global, c) terbukanya kesempatan kerja di pedesaan sejalan dengan berkembangnya industri pengolahan hasil pertanian pada skala kecil dan menengah, dan d) meningkatnya kepercayaan terhadap kualitas produk dalam negeri.

Analisis tingkat adopsi teknologi produksi padi sawah mengacu produktivitas optimal dan keberlanjutan.

Proses alih teknologi dari sumber teknologi kepada pengguna belum terjadi secara proaktif-partisipatif, masih bersifat “top down” dan “project driven”. Alih teknologi menjadi semata-mata keinginan pemerintah, belum menjadi keinginan dan kebutuhan petani. Akibat, alih teknologi selalu harus memerlukan pembiayaan bagi calon pengadopsi (petani) dan petugas penyuluhnya.

Teknologi budi daya padi yang tidak didukung oleh pendanaan proyek nampaknya tidak akan menjadi bahan (program) penyuluhan dan tidak akan disampaikan kepada petani. Dinas Pertanian dan Instansi penyuluhan dalam fungsinya membina petani padi, baru melaksanakan proyek sesuai dengan persyaratan administratif, belum menggunakan terjadi proses pembelajaran pemilihan teknologi yang paling sesuai bagi lahan petani.

Pengelolaan Tanaman dan Sumber daya Terpadu yang dialihkan melalui proyek SLPTT/LLPTT, di lokasi studi ternyata belum dipahami sepenuhnya oleh petani. Petani baru mengadopsi sebagian dari komponen sebagian dari komponen teknologi PTT, dan proses partisipatif dalam memilih teknologi belum terjadi. Bantuan sarana benih dan pupuk pada LLPTT/SLPTT sedikit banyak

justru “membelenggu petani” dalam menentukan pilihan komponen teknologi yang paling sesuai terutama dari segi pilihan varietas unggul baru adaptif.

Konsep “pelestarian sumber daya lahan pertanian menuju keberlanjutan sistem produksi pertanian“ belum sepenuhnya dipahami oleh pejabat Dinas Pertanian dan Penyuluh Pertanian, dan bahkan sama sekali belum dimengerti oleh petani. Terdapat gejala terjadinya penurunan mutu sumber daya lahan sawah di Banten, yang perlu mendapat perhatian pemerintah.

Saran alternatif kebijakan :

Program operasional pembangunan tanaman pangan hendaknya memberikan keleluasaan pilihan berbagai kemasan teknologi yang paling sesuai dengan kondisi petani dan agroekologi setempat. Pemerintah otonomi kabupaten seyogianya dapat memfasilitasi terjadinya pilihan tersebut melalui petugas penyuluhan di BPP.

Program pembangunan yang bersifat top-down perlu diubah menjadi bersifat proaktif bottom-up, atas dasar kebutuhan petani sehingga alih teknologi tidak selalu harus memerlukan pembiayaan.

Rendahnya tingkat pemahaman petani terhadap PTT perlu difasilitasi dengan penyediaan sarana penyuluhan berupa buku pedoman, leaflet, dan brosur untuk petani atau ketua kelompok tani yang mudah diakses semua petani. Pemberian bantuan sarana hanya kepada sebagian kelompok petani peserta LL/SLPTT kemungkinan kurang baik/kurang kondusif bagi adopsi PTT oleh semua petani.

Perlu memasukkan upaya pelestarian sumber daya lahan pertanian sawah kedalam program pembangunan pertanian. Perlu diterbitkan buku pedoman sebagai bahan penyuluh dan pencerahan bagi petani. Masih rendahnya pemahaman pejabat pertanian tentang Pelestarian Mutu Sumber daya Lahan Pertanian, menunjukkan perlunya diadakan pelatihan, lokakarya, dan diskusi tentang hal tersebut, agar keberlanjutan sistem produksi tanaman pangan dapat dijamin bagi keberlanjutan kecukupan pangan bangsa Indonesia. Outcome penelitian ini adalah: a) penanganan faktor terkait dengan senjang hasil dapat meningkatkan produksi padi petani, meningkatnya produktivitas daerah, wilayah dan produksi padi secara nasional yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan ketahanan pangan nasional, b) peningkatan kesadaran petani dan tindakan pelestarian sumber daya lahan pertanian menjadikan sistem produksi padi sawah dapat berkelanjutan. Analisis kesiapan tindakan adaptasi usahatani tanaman pangan menghadapi banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim global.

Iklim di wilayah nusantara sangat dipengaruhi oleh letak geografis, di antara dua samudra hindia dan pasifik dan dua benua Asia dan Australia. Kondisi ini menyebabkan wilayah Indonesia memiliki dua musim yang sangat berbeda karakteristiknya yaitu musim kemarau dan musim hujan. Iklim dengan dua kondisi ini dikenal sebagai muson (moonsoon). Selama musim kemarau pada beberapa kondisi tertentu yang ekstrim, dapat terjadi peristiwa kekeringan, sedangkan musim hujan, dapat memicu banjir.

Secara umum kekeringan disebabkan adanya anomali iklim dan aktifitas manusia. Kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan sering terjadi karena anomali iklim seperti El nino. Kegiatan studi dilaksanakan di Propinsi Jawa Tengah khususnya Kabupaten Rembang untuk masalah kekeringan dan banjir.

Saran alternatif kebijakan menanggulangi dampak banjir Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai fungsi lahan.

Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian sungai yang sering menimbulkan banjir Tidak membuang sampah ke sungai

Mengadakan program pengerukan sungai

Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari permukaan laut

Saran alternatif kebijakan menanggulangi dampak kekeringan Konservasi daerah aliran sungai, agar hujan dapat meresap ke dalam tanah sebanyak mungkin

Pemeliharaan dam parit, embung, waduk secara reguler agar daya tampungnya dapat ditingkatkan

Mengatur komposisi luas tanam komoditas yang akan diusahakan dihamparan pertanian

Penyiapan varietas-varietas padi toleran kekeringan, berumur genjah, dan tahan OPT musim kemarau

Pengembangan early warning system untuk mengetahui akan terjadinya kekeringan secara lebih awal

Penyiapan sarana dan prasaran produksi untuk daerah-daerah yang mulai terancam kekeringan.

Dapat memanfaatkan biomas yang sudah terlanda kekeringan/puso untuk pakan ternak.

Bantuan pengadaan/penyiapan sumber-sumber air cadangan di lahan-lahan pertanian.

Outcome penelitian ini adalah: a) terjadinya penurunan tingkat kerusakan tanaman pangan yang terkenan banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim global, dan b) stabilitas produksi padi dan palawija di daerah sentra produksi padi masa kini dan masa mendatang, meskipun perubahan iklim telah terjadi.

Analisis efektivitas bantuan benih dan bantuan pupuk pada program SL-PTT

Kegiatan survei telah dilakukan di Jawa Tengah yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Bantuan langsung benih unggul (BLBU) padi varietas Ciherang, Inpari-1, Cibogo, dan IR 64 yang diterima petani SL-PTT di Kabupaten Grobogan, Sragen, dan Pati Jawa Tengah umumnya mempunyai mutu benih (kemurnian dan daya tumbuh) baik, sedangkan padi hibrida Intani-1 dan Sembada mutunya ada yang baik, cukup, dan kurang baik. 2. Bantuan benih padi pada umumnya diterima tepat waktu

sesuai musim tanam, kecuali varietas Intani-1 yang diterima petani di Kabupaten Sragen mengalami keterlambatan sampai 30 hari, sehingga pelaksanaan SL-PTT varietas Intani-1 dilakukan pada musim berikutnya (MT-II, 2010/2011).

3. Jumlah bantuan benih padi nonhibrida (inbrida) pada umumnya cukup untuk luas sawah yang dimiliki petani, sedangkan bantuan benih padi hibrida jumlahnya 15 kg/ha menurut petani tidak cukup, apabila terjadi banyak serangan keong mas tidak tersedia untuk menyulam.

4. Bantuan benih varietas padi unggul padi non hibrida (Ciherang, Inpari-1, Cibogo) pada program SLPTT di Kabupaten Grobogan, Sragen dan Pati, cukup efektif. Hal ini ditandai dengan terdapatnya peningkatan produktivitas di tiga kabupaten tersebut, yaitu antara 0,85-1,3 t/ha GKP 5. Dari 3 kabupaten yang diteliti rata-rata produktivitas yang

dapat dicapai petani di lokasi SL adalah 8,3 t, 7,4 t dan 8,0 t/ha GKP. Sedangkan pada laboratorium lapang LL rata-rata 8,65 t, 8,0 t dan 8,4 t/ha, atau di lokasi LL produktivitasnya 350-550 kg lebih tinggi daripada petani SL.

6. Di Grobogan, bantuan benih unggul padi hibrida varietas Intani-1 dan Sembada yang diterima petani SL-PTT kurang efektif, karena kedua varietas tersebut produktivitasnya hampir sama dengan varietas Ciherang, Cibogo, dan Inpari-1, bahkan di Pati produktivitasnya lebih rendah daripada Ciherang. Rendahnya produksi padi hibrida di Sragen dan Pati karena ketidaksesuaian lahan, musim, dosis pupuk, dan daya adaptasi varietas.

7. Bantuan pupuk untuk laboratorium lapang (LL) pada SL-PTT padi non hibrida cukup efektif, sedangkan untuk padi hibrida kurang efektif karena dosis pupuk kurang sesuai. Padi hibrida memerlukan dosis pupuk lebih tinggi dari pada padi inbrida (nonhibrida).

Saran alternatif kebijakan :

Mutu benih (kemurnian dan daya tumbuh) bantuan benih padi hibrida perlu terus ditingkatkan agar dapat diperoleh hasil yang maksimal.

Jumlah bantuan benih padi hibrida perlu ditingkatkan (>15 kg/ha), agar apabila terdapat serangan hama keong mas atau hama lain tersedia benih untuk menyulam

Agar program SLPTT padi hibrida dapat berhasil lebih baik, dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan faktor-faktor kesesuaian lahan, musim, dosis pupuk, daya adaptasi varietas dan mutu benih yang tinggi

Outcome penelitian ini adalah: diketahuinya efektivitas bantuan benih unggul padi dan bantuan pupuk pada program SL-PTT untuk peningkatan produktivitas padi secara nasional.

Analisis kesiapan sistem perbenihan kedelai dalam mendukung swasembada.

Kegiatan survei telah dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Output yang telah dicapai secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Penggunaan benih bermutu dari varietas-varietas unggul nasional di Jawa Tengah dan Jawa Timur umumnya belum begitu berkembang. Vub kedelai yang dikembangkan di daerah cenderung tidak berjalan atau putus ditengah jalan. 2. Alur kelas benih belum berjalan sebagaimana mestinya,

cenderung terputus ditengah jalan yang mengakibatkan tidak terjaminnya komoditas ketersediaan benih sumber.

3. Produsen benih di Jawa Tengah belum berkembang, ada kecenderungan bahwa keberadaan produsen benih dikarenakan adanya proyek pengadaan benih kedelai dari pemerintah. Jarang ada produsen benih kedelai yang konsisten dan bersifat mandiri. Sedangkan di Jawa Timur, ada beberapa produsen/penangkar benih yang masih konsisten dan bwerisifat mandiri dalam memproduksi benih kedelai, namun terbatas hanya 2-3 varietas kedelai sesuai dengan permintaan masyarakat tani setempat.

4. Sistem jabalsim (jalinan arus benih antar lapang dan musim) saat ini tidak dapat dipertahankan sejalan dengan menurunnya minat petani untuk menanam kedelai.

5. Minat petani untuk menanam kedelai menurun, karena berusahatani kedelai saat ini kurang menguntungkan dan tidak menarik bagi petani. Sebagai imbasnya akses terhadap benih kedelaipun menurun, dan akibatnya sistem perbenihan kedelai tidak berjalan.

Saran alternatif kebijakan :

Menetapkan pengembangan kawasan industri benih kedelai, agar ketersediaan benih menjadi lebih dekat dengan petani sehingga lebih efisien.

Meningkatkan sosialisasi tentang manfaat penggunaan benih bermutu dari varietas unggul kedelai.

Menumbuh kembangkan produsen/penangkar benih khususnya pada wilayah/daerah sentra produksi kedelai. Meningkatkan kemampuan SDM perbenihan dalam penanganan perbenihan kedelai.

Mengembangkan jaringan suistem informasi perbenihan kedelai, melalui penggunaan teknologi informasi yang dapat memudahkan terjadinya titik temu antara produsen dan konsumen benih serta instansi terkait lainnya, guna terciptanya agribisnis perbenihan kedelai.

Outcome penelitian ini adalah: a) percepatan penyebaran dan adopsi varietas unggul baru, b) terhasilkannya produk berupa benih sumber dan benih sebar kedelai dengan penerapan sistem mutu, c) terpecahkannya permasalahan ketidakseimbangan penyediaan benih sumber dan benih sebar, kedelai bermutu sepanjang waktu, musim dan lokasi, dan d) terimplementasikannya sistem perbenihan serta terwujudnya industri benih kedelai yang stabil dan mantap.

Analisis peningkatan kualitas implementasi PHT di lapang 1. Organisme pengganggu tanaman (OPT) padi utama yang

dilaporkan petani di daerah DIY dan Jawa Tengah adalah tikus, penggerek batang, wereng batang coklat, dan kresek. Walaupun menurut hitungan statistik nasional akibat serangan OPT ini belum mengurangi produksi nasional secara nyata, akan tetapi di tingkat individu petani atau tingkat daerah kabupaten akibatnya sangat nyata. Oleh karena itu, petani sangat membutuhkan perhatian dan bantuan yang nyata dari berbagai pihak terkait.

2. Ledakan wereng batang coklat di berbagai daerah di Pulau Jawa masih berlanjut hingga pertengahan 2011 karena banyak faktor, seperti pertanaman yang tumpang tindih dan petani masih menanam varietas yang rentan seperti varietas

Ciherang, IR64, IR42, dan Ketan yang berperan dalam peningkatan populasi wereng batang coklat.

3. Seringkali pertimbangan harga jual gabah yang baik menyebabkan petani mengesampingkan faktor perlindungan tanaman yang ramah lingkungan. Sebagai akibatnya petani akan melakukan aplikasi pestisida dengan tujuan OPT tertentu mati.

4. Pengendalian OPT padi di tingkat petani di berbagai daerah bervariasi, karena tingkat dominasi OPT utama berbeda. Memperhatikan dominasi wereng batang coklat pada dua setengah tahun terakhir, petani menggunakan teknik pengendalian dengan pestisida sintetis, dan bahan nabati (bawang putih, akar alang-alang, dan lain-lain) jarang dimanfaatkan padahal ramah lingkungan.

Saran alternatif kebijakan :

Penyakit yang ditularkan wereng batang coklat, yaitu virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput tidak dapat dikendalikan dengan pestisida, tetapi dengan sanitasi dan pengendalian vektornya. Mengingat gejala penyakit virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput mungkin sangat membingungkan petani, maka materi penyuluhan harus di up date dan para penyuluh pertanianpun perlu di training dalam masalah ini.

Menyiasati faktor iklim hampir tidak mungkin, tetapi dengan menanam varietas yang lebih genjah dan dengan arsitektur tanaman yang tegak akan dapat mengurangi kelembaban dan suhu pada iklim mikro di pertanaman padi. Yang terjadi pada saat ini, pada musim hujan yang sangat panjang, dengan pemupukan N yang tinggi, banyak petani yang memanen

tanaman yang rebah, padahal banyak gabah yang masih hijau, sehingga dapat diduga hasil gabah atau berasnya berkualitas rendah, terutama dengan tumbuhnya jamur atau bakteri pembusuk biji. Inilah salah satu permasalahan mutu gabah/beras di tingkat petani saat ini.

Menghadapi banyak kenyataan bahwa petani telah menggunakan pestisida kurang tepat tetapi berkaitan erat dengan permasalahan yang ada di lapangan, seperti kurangnya air pada saat aplikasi, sehingga volume semprot juga berkurang. Permasalahan lainnya adalah pencampuran beberapa jenis pestisida dalam satu tangki sprayer menimbulkan in-efisiensi dan in-efektivitas aplikasi pestisida. Oleh karena itu kepada para peneliti entomologi perlu didalami kembali untuk menciptakan teknologi yang mudah digunakan petani, tetapi tetap efektif.

Outcome untuk kegiatan penelitian ini adalah: hasil analisis tingkat adopsi PHT di lapang oleh petani dapat digunakan untuk meletakan permasalahan PHT pada tempatnya yang jelas, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar perbaikan program PHT pada masa yang akan datang.

Analisis sistem produksi benih jagung komposit

Penelitian dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat (Bandung, Garut, Cirebon, Majalengka). Responden penelitian meliputi Kepala dan aparat instansi atau lembaga yang terkait dalam sistem perbenihan jagung, yaitu BPSB Provinsi Jawa Barat di Bandung, BPB Palawija di Plumbon, Cirebon, UPT BPSB Wilayah di Garut dan Majalengka, Dinas Pertanian Kabupaten Garut, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten

Majalengka, penangkar benih, pengusaha/pedagang/pemilik kios benih, dan petani.

1. Faktor-faktor penyebab kurang berkembangnya varietas unggul jagung komposit (bersari bebas) hasil riset litbang pertanian serta isu-isu permasalahan dalam sistem perbenihan jagung komposit di antaranya adalah: (1) lemahnya diseminasi dan promosi varietas unggul hasil riset litbang pertanian, (2) kurang terjalinnya komunikasi dan pertukaran informasi secara optimal antara produsen/penyedia benih yaitu BPB/UPT BPSB dan penangkar benih, pendistribusi/pemasar/penjual benih, dan petani pengguna benih, (3) kurangnya unit demplot untuk menunjukkan keragaan varietas unggul jagung komposit hasil riset litbang pertanian, (4) gencarnya promosi yang dilakukan oleh produsen/distributor/ pengusaha/pedagang benih jagung hibrida melalui media massa (cetak dan elektronik), demplot, display, pertemuan dengan kelompok tani, komunikasi tatap-muka, dan sering juga melibatkan penyuluh lapangan, (5) kurangnya insentif terhadap penyuluh untuk mendiseminasikan dan mempromosikan varietas unggul jagung komposit hasil riset litbang pertanian, (6) tidak terdatanya jenis atau varietas jagung yang ditanam petani di suatu daerah, apakah terkategori jagung komposit atau hibrida, (7) tidak adanya data atau ”peta” wilayah yang menanam jagung komposit di suatu daerah, dan (8) tidak adanya keharusan bagi pemulia untuk mengawal atau menelusur lebih lanjut pasca pelepasan varietas mulai fase produksi sampai pendistribusian benih sumber, benih pokok, dan benih sebar.

2. Pengembangan produksi benih jagung komposit perlu dilakukan secara in situ disesuaikan dengan lokasi BPB Palawija, UPT BPSB Wilayah, atau cakupan pendistribusiannya. Permintaan benih sumber kepada Balitsereal perlu disampaikan beberapa bulan atau satu musim sebelum jadwal tanam, sehingga Balitsereal dapat memproduksi benih sumber sesuai dengan prinsip enam tepat (varietas, mutu, jumlah, waktu, lokasi/tempat, harga). Saran alternatif kebijakan :

Perlu dijalin komunikasi dan koordinasi yang lebih intensif antara Dinas Pertanian Propinsi dan Kabupaten, instansi atau lembaga perbenihan di tingkat Pusat dan Daerah, Penyuluh, Penangkar, dan Kelompok Tani dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan merencanakan kebutuhan benih untuk musim tanam yang akan datang dengan tepat,

Dinas Pertanian Kabupaten bersama-sama kantor BPP dan Penyuluh di Kecamatan perlu menginformasikan data prediksi kebutuhan benih sebar dan varietas jagung komposit yang perlu disediakan oleh produsen atau penangkar benih, Atas dasar informasi tentang prediksi kebutuhan benih sebar tersebut, BPB atau UPT BPSB Wilayah perlu menyampaikan

Dokumen terkait