• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam Dada (DD) ukuran tubuh yang diukur dari titik tertinggi tulang pundak (Os vetrebra thoracalis) sampai tulang dada (Os sternum) bagian

bawah belakang kaki depan

Rancangan

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah faktorial 2 x 2, sebagai faktor adalah genotipe induk (dengan level genotipe MM dan MN), dan penggembalaan (dengan level penggembalaan B. humidicola dan B.humidicola + legum). Analisis sidik ragam menggunakan General Linear Model (GLM) dengan program SAS 9.13. Uji lanjut tukey dilakukan apabila analisa sidik ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Perhitungan uji-t student dilakukan untuk mengetahui pengaruh genotipe induk dan penggembalaan berdasarkan kelompok faktornya masing-masing secara lebih detail. Sebelum dilakukan pembandingan rataan antar genotipe dan

18 padang penggembalaan, data dikoreksi terlebih dahulu menurut tipe kelahiran dan umur induk tiga tahun berdasarkan petunjuk Salamena (2006) :

x X pengamatan ke-i

Keterangan : Xi-terkoreksi = ukuran ke-i yang dikoreksi

Xstandar = rataan sampel anak pada dari umur induk 3 tahun Xpengamatan = rataan sampel yang diamati

Xpengamatan ke-i = ukuran pengamatan ke-i

Perhitungan Rancangan Faktorial 2x2 dengan model sebagai berikut : Yij = µ + Gi + Pj + (GP)ij + Eij

Keterangan :

Yij = respon peubah yang diamati akibat pengaruh genotipe induk ke-i dan penggembalaan ke-j

µ = nilai tengah umum

Gi = pengaruh genotipe induk ke-i

Pj = pengaruh perlakuan penggembalaan ke-j

(GP)ij = pengaruh interaksi genotipe induk ke-i dan perlakuan penggembalaan ke-j Eij = pengaruh galat percobaan dari genotipe ke-i dan penggembalaan ke-j

Analisis Regresi Eksponensial

Hubungan antara umur dan bobot badan anak domba prasapih diperoleh dengan menggunakan analisis regresi eksponensial, mengacu pada Brody (1964) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ternak dari saat dilahirkan sampai titik infleksi terjadi kenaikan eksponensial yang pendekatan rumusnya sebagai berikut : Wt = Wo ekt

Ln Wt = Ln Wo + Kt = a + bX Keterangan :

Wt = bobot pada umur t minggu (kg) T = X = umur saat pengukuran (minggu) K = b = koefisien laju pertumbuhan e = 2,7183

19 Analisis dengan Korelasi Pearson

Hubungan antara bobot badan dengan ukuran tubuh domba dapat diketahui dengan analisis korelasi Pearson dengan menggunakan rumus (Gaspersz, 1992):

rx1x2 =

keterangan : r = koefisien korelasi Yi = bobot badan Xi = ukuran tubuh n = jumlah populasi

20 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadan Umum Lokasi

Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) yang dimiliki oleh Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor terletak antara 107,003o-107,011o BT dan 06,465o- 06,477o LS dengan ketinggian 145 m diatas permukaan laut dan terletak di Desa Singasari Kecamatan Jonggol, Bogor. Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol berjarak ± 69 Km dari kota Bogor. Tempat tersebut memiliki lahan seluas 169 ha yang terdiri dari beberapa fasilitas seperti kandang, kantor, ruang kelas, laboratorium, gudang dan perumahan (guest house). Informasi mengenai curah hujan, kelembaban udara, dan suhu lingkungan selama penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan di UP3J

Kondisi Umum Bulan

September Oktober November Desember Januari Februari Maret

Curah Hujan (mm) 66,5 167,5 307 257 236,5 465 338

Kelembaban (%) 91,78 97,04 95 96 96,91 97,63 96,40

Suhu Min (oC) 22 23,58 23 23 22,86 23 24,45

Suhu Max (oC) 34,92 34,91 32 33 29,36 31,81 32,31

Sumber : Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (2010)

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui curah hujan mengalami peningkatan mulai bulan November hingga bulan Maret karena telah memasuki musim penghujan, dan curah tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 465 mm. Suhu di UP3 Jonggol pada siang hari relatif tinggi yaitu pada kisaran 29,30 hingga 350C. Kelembaban udara juga relatif tinggi dengan kisaran 91,78 hingga 97,63%. Kondisi lingkungan yang demikian dapat menyebabkan rendahnya produktivitas ternak khususnya ternak domba di tempat tersebut.

Kondisi Padang Penggembalaan

Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol mempunyai padang penggembalaan berupa B. humidicola dengan luasan lahan ± 55 ha, B. decumbens

dengan luas ± 19 ha dan King grass dengan luas ± 2 ha dan selebihnya berupa rumput alam seperti Themeda spp, Imperata cylindrica dan beberapa jenis gulma

21 lainnya. Padang penggembalaan yang digunakan pada saat penelitian adalah padang

B. humidicola seluas ± 9 ha dan padang B. humidicola yang diintroduksi legum seluas ± 2,7 ha. Rumput B. humidicola tumbuh membentuk hamparan tetapi tidak tebal, dan tahan terinjak-injak oleh ternak. Produksi rumput di UP3J tersebut sebesar 60 – 70 ton/tahunnya. Perbaikan kualitas hijauan di ladang penggembalaan dilakukan dengan introduksi leguminosa yaitu dengan menggunakan 3 jenis legum (Centroseme pubescens, Calopogonium mucunoides, dan Peuraria javanica). Kondisi padang penggembalaan selama penelitian dalam keadaan kering karena suhu yang tinggi dan diikuti curah hujan yang rendah. Selama penelitian hujan jarang terjadi meskipun sudah memasuki musim hujan. Areal penggembalaan dikelilingi dengan pagar kawat khususnya pada penggembalaan B. humidicola yang diintroduksi legum untuk menjaga agar ternak lain tidak dapat masuk ke lokasi penelitian serta memudahkan dalam pengawasan. Selain itu, di dalam areal penggembalaan juga ditanami pohon-pohon besar yang berfungsi sebagai naungan bagi ternak domba saat siang hari. Kandungan nutrien dari rumput B. humidicola dan leguminosa dapat dilihat dari Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Nutrien Rumput B. humidicola dan Beberapa Jenis Leguminosa

Bahan Makanan PK SK Abu LK BETN

--- % ---

Brachiaria humidicola1 5,10 37,4 9,80 1,05 46,1

Centrosemapubescens2 23,6 31,6 8,2 3,6 32,8

Peuraria javanica2 20,5 37,9 6,7 2,0 32,9

Calopogonium mucunoides3 184 21,6 9,8 2,9 47,1

Keterangan : 1) Skerman et al. (1990) 2) Gohl (1981)

3) Osakwe and Okechukwu (2007)

Jumlah Populasi Ternak dan Manajemen Pemeliharaan

Jumlah ternak domba di UP3 Jonggol tahun 2010 sebanyak 646 ekor yang terdiri dari 300 ekor induk, 6 ekor jantan dewasa, 74 ekor jantan lepas sapih, 97 ekor betina lepas sapih, 83 ekor anak jantan, dan 86 ekor anak betina. Terdapat juga ternak lain seperti 6 ekor sapi dan 30 ekor kerbau. Manajemen pemeliharaan di UP3 Jonggol merupakan semi intensif dengan sistem penggembalaan. Ternak domba

22 dikandangkan secara koloni tanpa memisahkan ternak muda, dara, indukan maupun pejantan, kecuali induk yang bunting tua dipindahkan ke kandang lambing. Ternak tersebut digembalakan di padang penggembalaan B. humidicola mulai pukul 10.00 hingga pukul 16.00 WIB, hal ini untuk menghindari rumput dengan kadar air yang berlebih yang dapat menyebabkan domba mengalami kembung atau bloat, kemudian dikandangkan kembali pada waktu sore harinya. Rumput tersebut merupakan pakan utama ternak di UP3 Jonggol. Pencegahan penyakit dan parasit khususnya untuk endoparasit juga dilakukan seperti pemberian obat cacing dan antibiotik yang dilakukan secara berkala yaitu 2 bulan sekali, atau sebulan sekali jika kondisi lingkungan kurang mendukung. Pencegahan parasit yang berupa ektoparasit seperti caplak tidak dilakukan sehingga terlihat banyak ternak domba yang terserang penyakit kudis pada bagian moncong, telinga, kaki dan selangkang yang menyebabkan produksi menurun. Manajemen pemeliharaan dan pengawasan yang kurang baik juga menyebabkan anak domba yang dilahirkan memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi karena terperosok ke lantai kandang dan terinjak-injak, penyakit, dan pemangsa. Gambar 4 dan 5 menunjukkan sistem perkandangan dan ternak yang dikandangkan secara koloni di UP3 Jonggol.

Gen Calpastatin dan Pengaruhnya Terhadap Bobot Badan Induk Domba

Keragaman gen calpastain pada induk domba Jonggol hanya diperoleh 2 genotipe saja yaitu MM dan MN, sedangkan induk dengan genotipe NN jarang ditemukan. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Diyono (2008) juga menemukan keragaman gen calpastatin tersebut pada domba ekor tipis (DET) Gambar 4. Sistem Kandang Gambar 5. Ternak Domba di UP3 Jonggol

23 hampir di semua daerah. Keragaman gen calpastatin di UP3 Jonggol kemungkinan disebabkan pejantan yang digunakan hanya beberapa ekor saja dan sebagian besar bergenotipe MM dan beberapa bergenotipe MN atau sudah dilakukannya seleksi sederhana berdasarkan bobot badan yang tinggi dan secara tidak langsung juga ikut menyeleksi gen calpastatin ini. Hasil identifikasi genotipe calpastatin dengan menggunakan analisis Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length

Polymorphisms (PCR-RPLF) yang telah dilakukan oleh Diyono (2008) pada domba

jonggol dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil dari Analisis PCR-RPLF dari Gen Calpastatin (CAST) Domba dengan Enzym Restriksi MspI dalam Gel Poliakrilamid 6%. Genotipe MN ditunjukkan dengan tiga pita ukuran 622, 336, dan 286 bp. Genotipe NN ditunjukkan dengan satu pita 622 bp. (Diyono, 2008)

Rataan bobot badan induk dengan genotipe calpastatin yang ditempatkan pada padang penggembalaan yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa gen calpastain tidak berpengaruh terhadap bobot badan induk domba di UP3 Jonggol (P > 0,05). Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena kondisi lingkungan yang kurang mendukung untuk ekspresi gen tersebut. Pakan yang diperoleh domba di ladang penggembalaan kurang memenuhi kebutuhan karena kualitas hijauan yang relatif rendah akan mempengaruhi ternak domba yang digembalakan. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam performa domba yang dihasilkan selain faktor genetiknya. Interaksi antara genotipe calpastatin

dan padang penggembalaan juga menunjukkan tidak adanya interaksi diantara kedua faktor tersebut. Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian Diyono (2008) yaitu genotipe gen calpastatin tidak berpengaruh terhadap bobot badan domba betina,

622

336 286

24 tetapi tetapi berpengaruh terhadap bobot badan domba jantan. Domba jantan dengan genotipe MN lebih tinggi dengan rataan bobot badannya yaitu 43,4 ± 4 kg sedangkan untuk genotipe NN hanya 35,1 ± 2,9 kg.

Tabel 4. Rataan Bobot Badan Induk dari Anak Domba Jantan dan Betina dengan Genotipe Calpastatin dan Penggembalaan yang Berbeda di UP3 Jonggol Genotipe

Induk

Ladang Penggembalaan

Bobot Induk dari Anak

Rataan Jantan Betina --- Kg --- MM B. humidicola 27,83±3,71 n = 6 KK = 13,33% 26,50±3,00 n = 4 KK = 11,32 27,30±3,33 n = 10 KK = 12,22% B. humidicola +legum 27,16±3,10 n = 7 KK = 11,43% 25,50±2,56 n = 8 KK = 10,04% 26,27±2,85 n = 15 KK = 10,86% MN B. humidicola 21 n = 1 KK = 0 % 30,00±2,83 n = 2 KK = 9,43% 27,00±5,57 n = 3 KK = 20,62% B. humidicola +legum 26,27±3,53 n = 3 KK = 13,46% 25,50±5,23 n = 2 KK = 20,52% 25,96±3,64 n = 5 KK = 14,03% Bobot Lahir

Bobot lahir ternak merupakan faktor yang penting, karena bobot lahir akan mempengaruhi pertumbuhan dan bobot sapih dari ternak tersebut. Informasi mengenai bobot lahir anak domba dengan genotipe calpastatin induk dan penggembalaan yang berbeda di UP3 Jonggol dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil penelitian diperoleh bobot lahir anak domba jantan dan betina tertinggi berturut-turut

terdapat pada anak dengan genotipe induk MN yang digembalakan pada

B. humidicola yaitu sebesar 2,62 dan 2,71 kg, dan bobot terendah didapatkan pada anak domba jantan dengan genotipe induk MN pada penggembalaan B. humidicola

dengan bobot 1,82 kg. Perbedaan bobot lahir ini dikarenakan faktor genetik dari induk, kualitas pakan yang diberikan selama kebuntingan serta adanya pengaruh dari pejantan karena sistem perkawinan alam. Hasil rataan bobot badan induk dibandingkan dengan rataan bobot lahir ternyata bobot badan induk yang tinggi belum tentu menghasilkan bobot lahir anak yang tinggi pula. Hal ini tidak sesuai

25 Tabel 5. Rataan Bobot Badan Anak Domba dengan Genotipe dan Penggembalaan yang Berbeda yang Telah Mengalami Koreksi

Umur Induk dan Tipe Kelahiran

Keterangan : B = Penggembalaan B. humidicola

B+L = Penggembalan B. humidicola yang diintroduksi legum

Genotipe Induk

Bobot Anak

Jenis Kelamin Anak

Rataan Jantan Betina B B+L B B+L B B+L --- Kg --- MM Awal 2,46± 0,47 n = 6 KK = 18,90% 2,57±0,41 n = 8 KK = 16,04% 2,57±0,46 n = 4 KK = 17,88% 2,41±0,46 n = 8 KK = 19,03% 2,51± 0,44 n = 10 KK = 17,58% 2,49±0,43 n = 16 KK = 17,23% Sapih 11,78±1,97 n = 5 KK = 16,77% 11,04±1,85 n = 8 KK = 16,77% 8,34±3,02 n = 3 KK = 36,23% 9,78±2,03 n = 8 KK = 20,75% 10,49±2,83 n = 8 KK = 26,97% 10,41±1,99 n = 16 KK = 19,07% MN Awal 1,82 n = 1 KK = 0% 2,62±0,37 n = 3 KK = 14,13% 2,57± 0,37 n = 2 KK = 14,43% 2,71±0,10 n = 2 KK = 3,73% 2,32±0,51 n = 3 KK = 21,96% 2,66± 0,27 n = 5 KK = 10,20% Sapih 9,68 n = 1 KK = 0% 10,39± 3,16 n = 3 KK = 30,39% 9,56±2,52 n = 2 KK = 26,42% 8,40±1,46 n = 2 KK = 17,40% 9,60±1,79 n = 3 KK = 18,62% 9,59±2,59 n = 5 KK = 26,97% 25

26 dengan peryataan Inounu et al. (1999) menyatakan bahwa induk dengan bobot yang rendah akan melahirkan anak dengan bobot lahir yang rendah pula. Ilham (2008) menambahkan induk yang berumur lebih tua dan memiliki bobot badan yang lebih besar akan menghasilkan bobot lahir yang lebih besar.

Rataan total bobot lahir berdasarkan genotipe dan penggembalaan diperoleh hasil yang tidak berbeda (P > 0,05). Hal ini sesuai dengan pernyataan Duckett et al., (2000) yang mengatakan bahwa kejadian hypertropi dalam hal ini akibat adanya pengaruh gen calpastatin terjadi setelah hewan dilahirkan, sehingga tidak berpengaruh pada bobot lahir anak domba. Kerth (1999) juga menyatakan bahwa fenotipe callipyge pada domba sama seperti domba normal dari lahir hingga 4 sampai 12 minggu. Induk dengan genotipe MN ternyata memberikan respon positif pada bobot lahir anak domba terhadap penggembalaan B. humidicola yang introduksi leguminosa, sedangkan induk dengan genotipe MM memberikan respon yang sebaliknya. Respon induk dengan genotipe calpastatin dengan penggembalaan yang berbeda terhadap bobot lahir anak dapat dilihat pada Gambar 7. Terlihat peningkatan rataan bobot lahir anak domba dengan genotipe MN yang digembalakan pada B.

humidicola + legum karena dengan dilakukannya introduksi leguminosa pada ladang

penggembalan akan meningkatkan kualitas pakan yang dibutuhkan sebagai asupan nutrisi bagi induk dan fetus pada periode kebuntingan sehingga dapat meningkatkan bobot lahir anak (Gatenby,1991). Rataan bobot lahir dari induk dengan genotipe MM yang digembalakan pada B. humidicola + legum justru mengalami penurunan. Hal tersebut kemungkinan dapat terjadi akibat kondisi induk saat bunting pada penggembalaan B. humidicola + legum tidak sebaik kondisi induk yang digembalakan pada B. humidicola, sehingga bobot lahir pun lebih rendah.

Faktor manajemen pemeliharaan khususnya pada sistem perkawinan ternak di UP3 Jonggol yang kurang dengan menggunakan pejantan yang terbatas dan sistem perkawinan secara alami kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya perkawinan inbreeding sehingga dapat menurunkan persentase kebuntingan dan menurunkan bobot lahir anak. Alsheikh (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat inbreeding yang semakin meningkat akan menyebabkan penurunan bobot lahir dan meningkatkan tingkat mortalitas anak yang dilahirkan, namun tidak berpengaruh pada bobot sapih anak tersebut.

27

Gambar 7. Respon Genotipe Induk terhadap Penggembalaan pada Bobot Lahir Anak Bobot Sapih

Bobot sapih pada anak domba dengan genotipe calpastain induk dan penggembalaan yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Rataan bobot sapih pada anak domba jantan tertinggi terdapat pada genotipe induk MM pada penggembalaan B. humidicola sebesar 11,78 kg, sedangkan rataan bobot sapih anak domba betina terdapat genotipe induk MM pada penggembalaan B. humidicola + legum sebesar 9,56 kg. Rataan total bobot sapih berdasarkan genotipe dan penggembalaan diperoleh hasil yang tidak berbeda (P > 0,05) serta tidak terdapat interaksi antara genotipe

calpastatin dan padang penggembalaan yang berbeda. Induk dengan genotipe

calpastatin MM memberikan respon yang negatif terhadap padang penggembalaan

B.humidicola + legum terhadap rataan bobot sapih anak yang diperoleh, sedangkan pada induk dengan genotipe MN memiliki rataan bobot sapih yang hampir sama baik yang digembalakan pada B. humidicola ataupun dengan introduksi leguminosa. Respon dari genotipe calpastatin induk dan penggembalaan dapat dilihat pada Gambar 8. Introduksi leguminosa pada padang penggembalaan ternyata tidak selalu memberikan pengaruh yang lebih baik pada bobot sapih yang diperoleh. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nugroho (2010) memperoleh hasil bahwa introduksi leguminosa tidak berpengaruh pada pertambahan bobot induk dan pertambahan bobot anak.

Bobot sapih selain dipengaruhi oleh pakan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti jumlah susu yang dihasilkan induk domba. Induk dengan produksi

B obot L ahir (Kg ) Penggembalaan

28

Gambar 8. Respon Genotipe Induk terhadap Penggembalaan pada Bobot Sapih Anak susu tinggi umumnya menghasilkan bobot sapih yang lebih tinggi pula. Selain itu bobot lahir juga mempengaruhi bobot sapih yang akan diperoleh. Jawaresh et al.

(2009) menyatakan bahwa bobot lahir yang rendah akan menyebabkan pengaruh yang negatif terhadap bobot badan prasapih dan bobot badan saat disapih sebab korelasi antara bobot lahir dan bobot sapih adalah sedang. Bobot lahir yang rendah akan menyebabkan laju pertambahan bobot badan prasapih lebih lambat dan bobot sapih yang akan dicapai lebih rendah. Terlihat pada anak domba dengan genotipe MM pada penggembalaan B. humidicola + legum yang memiliki rataan bobot lahir yang rendah berpengaruh pada bobot sapih yang lebih rendah juga dibandingkan anak dengan genotipe MM yang digembalakan di B. humidicola. Manajemen di UP3 Jonggol yang kurang juga mempengaruhi bobot sapih yang diperoleh.

Perbandingan rataan bobot badan dari segi genotipenya diperoleh perbedaan rataan bobot badan. Anak dengan genotipe MM menunjukkan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe MN. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Diyono (2008) yang menyatakan gen calpastatin alel M berpengaruh terhadap bobot badan yang lebih tinggi daripada alel N. Oleh karena itu, alel M yang berpasangan secara homozigot akan memberikan pengaruh yang lebih baik daripada berpasangan secara heterozigot. Bobot sapih pada anak domba jantan menunjukkan bobot sapih yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak domba betina, karena adanya pengaruh hormon androgen yang lebih tinggi pada ternak jantan dibandingkan dengan ternak betina dan berperan dalam memunculkan sifat

B obot S apih (Kg) Penggembalaan

29 maskulinasi. Menurut Hafez dan Dyer (1969) hormon testosteron yang merupakan steroid dari hormon androgen apabila dalam jumlah yang tinggi di dalam tubuh dapat meningkatkan pertumbuhan yang lebih cepat pada ternak jantan, terutama setelah munculnya sifat-sifat kelamin sekunder pada ternak jantan. Hormon androgen tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tulang pipa pada anak domba jantan, sedangkan pada anak domba betina terdapat hormon estrogen yang fungsinya justru menghambat pertumbuhan tulang pipa, sehingga peletakan otot menjadi lebih sedikit dan akan berpengaruh pada bobot badan yang lebih rendah.

Laju Pertumbuhan Ternak

Laju pertumbuhan seekor ternak dapat diduga dari bobot saat setelah dilahirkan hingga pada umur tertentu. Laju pertumbuhan merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melihat produksi ternak. Tabel 5 menunjukkan perubahan bobot badan dari awal ternak dilahirkan sampai berumur 3 bulan (sapih), sehingga dapat diperoleh pendugaan hubungan bobot badan terhadap umur ternak yang disajikan dengan rumus persamaan regresi eksponensial dan diperoleh laju pertumbuhan (k) seperti yang disajikan pada Tabel 6. Hasil yang diperoleh pada Tabel 6 menunjukkan nilai k yang berbeda-beda pada setiap genotipe induk dan padang penggembalaan. Nilai k merupakan nilai kecepatan pertumbuhan ternak dalam hal ini laju pertumbuhan saat dilahirkan hingga usia sapih. Terlihat bahwa nilai k tertinggi terdapat pada genotipe MN sebesar 0,153 yang justru memiliki bobot badan terendah. Hal ini dapat terjadi karena dengan bobot badan anak yang rendah maka jumlah konsumsi susu induk pun lebih sedikit sehingga produksi susu induk masih dapat mencukupi kebutuhan anaknya hingga usia sapih dan berpengaruh pada laju pertumbuhan yang lebih tinggi pada periode prasapih. Umumnya laju pertumbuhan paling cepat terjadi pada 1 atau 2 bulan setelah kelahiran karena asupan makanan dari susu induk masih mencukupi dari kebutuhan anaknya. Gatenby (1991) menyatakan bahwa produksi susu induk mengalami peningkatan setelah melahirkan dan mendekati maksimum pada satu atau dua bulan, kemudian produksi susu turun secara perlahan. Herman (2003) menambahkan bahwa 75% proses pertumbuhan terjadi pada ternak sampai umur 1 tahun dan 25% pada ternak dewasa. Pertumbuhan paling cepat terjadi pada 3 bulan pertama, bobot badan bisa mencapai 50% dari bobot badan umur 1 tahun, 25% pada 3 bulan kedua dan

30 Tabel 6. Persamaan Regresi, Nilai Koefisien Laju Pertumbuhan (k) dan Bobot Badan yang Diduga pada Umur t Minggu (Wt) pada

Masing-masing Anak Domba dengan Genotipe Induk dan Penggembalaan yang Berbeda

Keterangan: k = laju pertumbuhan (minggu)

t = umur ternak

Wo = bobot awal yang diduga

Jenis Kelamin Genotipe

Induk Penggembalaan Ln Wt = Ln Wo + kt K Wt = Wo e kt R2 (%) Jantan MM B. humidicola Ln Y = 1,08 + 0,132 t 0,132 Wt = 2,94 e 0,132t 85,4 B. humidicola+Legum Ln Y = 1,05 + 0,122 t 0,122 Wt = 2,86 e 0,122t 87,0 MN B. humidicola Ln Y = 0,58 + 0,153 t 0,153 Wt = 1,79 e 0,153t 96,1 B. humidicola+Legum Ln Y = 1,16 + 0,110 t 0,110 Wt = 3,19 e 0,110t 80,9 Betina MM B. humidicola Ln Y = 1,09 + 0,102 t 0,102 Wt = 2,97 e 0,102t 66,2 B. humidicola+Legum Ln Y = 1,08 + 0,111 t 0,111 Wt = 2,94 e 0,111t 76,3 MN B. humidicola Ln Y = 1,08 + 0,107 t 0,107 Wt = 2,94 e 0,107t 81,5 B. humidicola+Legum Ln Y = 1,06 + 0,096 t 0,096 Wt = 2,89 e 0,096t 86,7 30

31 25% berikutnya dicapai pada 6 bulan terakhir. Laju pertumbuhan anak domba jantan dan betina dengan genotipe calpastatin induk dan penggembalaan yang berbeda digambarkan seperti kurva pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 9. Kurva Pertumbuhan Anak Domba Jantan dari Induk dengan Genotipe

Calpastatin dan Penggembalaan yang Berbeda

Gambar 10. Kurva Pertumbuhan Anak Domba Betina dari Induk dengan Genotipe

Calpastatin dan Penggembalaan yang Berbeda

Perbedaan laju pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor terpenting yaitu jumlah pakan, genotipe, jenis kelamin (dan kastrasi), kesehatan dan manajemen pemeliharaan (Gatenby, 1991). Gen calpastatin induk ternyata tidak mempengaruhi laju pertumbuhan anak, hanya berpengaruh pada bobot

umur (minggu) b o b o t b a d a n ( K g ) 12 10 8 6 4 2 0 12 10 8 6 4 2 0 Variable Rataan BB MN B * t3 Rataan BB MN B+L * t4 Rataan BB MM B * t1 Rataan BB MM B+L * t2 umur (minggu) b o b o t b a d a n ( k g ) 12 10 8 6 4 2 0 12 10 8 6 4 2 0 Variable Rataan BB MN B * t3 Rataan BB MN B+L * t4 Rataan BB MM B * t1 Rataan BB MM B+L * t2

32 karkas yang lebih tinggi, seperti pernyataan yang dikemukakan oleh Lawrence dan Fowler (2002) bahwa genotipe yang menyebabkan callipyge pada domba tidak memberikan pengaruh pada pertumbuhan prasapih dan pertumbuhan lepas sapih, tetapi berpengaruh pada massa otot dan berat karkas yang lebih besar. Campbell dan Lasley (1985) menambahkan bahwa laju pertumbuhan dari lahir sampai sapih sangat besar dipengaruhi oleh sekresi air susu induk dan kesehatan individu serta tergantung impuls dari dalam individu itu sendiri. Manajemen pemeliharaan yang kurang memperhatikan kesehatan ternak menyebabkan beberapa anak domba selama penelitian terserang penyakit sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan dan bobot badan. Penurunan laju pertumbuhan akan berpengaruh pada rataan bobot sapih yang diperoleh. Kerth (1999) menyatakan bahwa selain seleksi genetik dan peningkatan nutrisi bagi ternak, kesehatan juga dapat digunakan untuk menambah laju dan efisiensi pertumbuhan otot, hormon dan faktor lainnya juga dapat mempengaruhi pertumbuhan otot.

Introduksi legum pada padang penggembalaan B. humidicola tidak menunjukkan pengaruh peningkatan laju pertumbuhan anak yaitu dengan membandingkan nilai k pada masing-masing genotipe yang sama. Introduksi legum ditujukan untuk meningkatkan kualitas pakan di padang penggembalaan karena memiliki kandungan 16-20% protein kasar yang dapat memenuhi kebutuhan induk saat periode laktasi (Swart, 1981). Terlihat bahwa laju pertumbuhan pada penggembalaan B. humidicola + legum lebih rendah daripada penggembalaan B.

humidicola. Faktor lain yang dapat menyebabkan menurunnya laju pertumbuhan

anak seperti produksi susu induk yang memang sedikit sehingga tidak mencukupi kebutuhan anak, kemampuan induk dalam mengasuh anak (mothering ability) dan manajemen saat penggembalaan di padang penggembalaan B. humidicola + legum dengan memasukkan domba pada kandang berukuran 5 x 5 meter, sehingga domba merasa tidak bebas dan dapat menyebabkan stress karena tidak terbiasa dikandangkan. Lain halnya dengan induk domba yang digembalakan pada penggembalaan B. humidicola secara bebas sehingga tidak menutup kemungkinan induk domba akan memakan tumbuhan lain, dan tingkat stress yang terjadi relatif

Dokumen terkait