• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Anak Domba Periode Prasapih dari Induk dengan Genotipe Calpastatin (CAST) dan Pakan yang Berbeda di UP3 Jonggol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Anak Domba Periode Prasapih dari Induk dengan Genotipe Calpastatin (CAST) dan Pakan yang Berbeda di UP3 Jonggol"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

i

PAKAN YANG BERBEDA DI UP3 JONGGOL

SKRIPSI

JOKO SUPRIYANTO

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

i Prasapih dari Induk dengan Genotipe Calpastatin (CAST) dan Pakan yang Berbeda di UP3 Jonggol. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr,Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Panca Dewi M. H. K, M.Si

Ternak domba merupakan salah satu ternak yang sudah dikembangkan dan berperan penting dalam peternakan Indonesia guna memenuhi kebutuhan daging dalam negeri yang cukup besar. Domba lokal Indonesia mempunyai keunggulan diantaranya prolifik, dapat beranak setiap tahun selama masa produktifnya, dapat bertahan hidup pada kondisi iklim setempat, serta daya tahan terhadap beberapa penyakit dan parasit lokal lebih tinggi, tetapi produktivitasnya masih belum optimal dalam menghasilkan daging. Oleh karena itu, perlu upaya peningkatan produktivitas salah satunya dengan seleksi. Seleksi dapat dilakukan dalam tingkatan gen dan salah satu gen yang berhubungan dengan pembentukan massa otot adalah gen calpastatin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pertumbuhan anak domba pada periode prasapih dari induk dengan genotipe calpastatin (CAST) dan digembalakan pada penggembalaan yang berbeda di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol.

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah genotipe MM sebanyak 36 ekor dan genotipe MN sebanyak 10 ekor, serta menggunakan 34 ekor anak domba yang digembalakan pada penggembalaan yang berbeda (Brachiaria humidicola dan

Brachiaria humidicola + legume). Anak domba yang berjumlah 34 ekor tersebut dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, genotipe induk, dan penggembalaan, kemudian dicatat bobot badan, bobot sapih dan pertumbuhan dengan melihat pertambahan bobot badan, serta pertambahan ukuran-ukuran tubuh. Analisis data menggunakan analisis Rancangan Faktorial 2x2, regresi eksponensial, serta analisis korelasi Pearson guna mengetahui korelasi tertinggi antara ukuran tubuh dengan bobot badan.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa genotipe calpastatin dari induk dan penggembalaan yang berbeda tidak berpengaruh baik pada bobot lahir anak, bobot sapih anak, serta parameter ukuran tubuh anak domba pada periode prasapih baik pada anak domba jantan maupun betina (P > 0,05). Rataan bobot lahir anak yang dihasilkan pada genotipe MM lebih kecil daripada genotipe MN, yaitu dengan berat 2,49 dan 2,53 Kg. Namun hasil rataan bobot sapih anak domba dengan genotipe MM cenderung lebih tinggi yaitu sebesar 10,44 kg daripada genotipe MN dengan rataan total 9,59 kg. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh dari gen

(3)

ii dada, dan kelompok MN B+L bernilai R2 0,894 pada lebar dadanya. Berdasarkan hasil analisis dapat dikatakan bahwa genotipe induk dan padang penggembalaan tidak berpengaruh terhadap bobot badan induk, bobot lahir anak, bobot sapih, laju pertumbuhan, dan pertumbuhan ukuran-ukuran tubuh domba pada periode prasapih di UP3 Jonggol.

Kata-kata kunci : domba lokal, pertumbuhan, genotipe calpastatin induk,

(4)

iii Lamb Growth Preweaning Period on The Parents with Calpastatin Genotipe

(CAST) and Feed Differences at Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit

Supriyanto, J., C. Sumantri., and P. D. M. H. Karti

Local sheep potential to be developed in Indonesia because they have several superiority but their productivity are not optimum yet. The sheep productivity can be improved through selection at the gene level. Among the genes turned out to

calpastatin gene (CAST) correlated with the sheep productivity esspecially on their body weight and growth rate. The purpose of this research was to find out the lamb growth preweaning period on the parents with different CAST genotype and tended to the different pasture. The lamb growth rate was known from weighting the body weight every once of two weeks. The materials used in this study were the MM genotype of 36 ewes and MN genotypes of 10 ewes, and used the 34 lambs which were tended in different pasture (B. humidicola and B. humidicola + legume). The 34 lambs then were separated by sex, genotype of the parents, and grazing, then observed for birth weight, weaning weight and growth by according to body weight and body measurements increased. Analysis of data that using in this research were factorial design, exponential regression analysis, and Pearson correlation analysis to determine the highest correlation between body size with body weight. The results showed that the calpastatin genotypes from different carriers and pasture were no significant differences in both birth weight, wean, as well as body size parameters lamb preweaning period in both male and female lambs (P > 0,05). Based on the analysis results, the genotype of the parent and grazing did not affect body weight of the parents, lamb birth weight, weaning weight, growth rate, and growth of body measurements in sheep on UP3 Jonggol preweaning period.

(5)

iv

PAKAN YANG BERBEDA DI UP3 JONGGOL

JOKO SUPRIYANTO

D14061940

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

v Nama : Joko Supriyanto

NIM : D14061940

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc ) NIP: 19591212 198603 1 004

Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Panca Dewi M. H. K., M.Si) NIP: 19611025 198703 2 002

Tanggal Ujian : 11 Agustus 2010 Tanggal Lulus : Mengetahui:

Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(7)

vi anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Chusaini dan Ibu Suyanti. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 2000 di SDN Trasan 2, pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP Negeri 6 Magelang, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 1 Mertoyudan, Magelang. Penulis diterima menjadi mahasiswa IPB di Fakultas Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006.

Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Peternakan, penulis aktif mengikuti organisasi antara lain sebagai staf Informasi dan Komunikasi Badan Eksekutif Mahasiswa Peternakan (BEM-D) periode 2007-2008, Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Peduli Peternakan Indonesia (HMPPI) periode 2007-2008, Anggota Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI) periode 2007-2008, Staf Informasi dan Komunikasi Himpunan Keprofesian HIMAPROTER Fakultas Peternakan periode 2008-2009 serta beberapa kepanitiaan lainnya. Selain aktif dalam organisasi intra kampus, penulis juga aktif di organisasi mahasiswa daerah yaitu sebagai anggota Ikatan Keluarga Mahasiswa Magelang (IKMM).

(8)

vii Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan skripsi yang berjudul “ Pertumbuhan Anak Domba Periode Prasapih

dari Induk dengan Genotipe calpastatin (CAST) dan Pakan yang Berbeda di UP3

Jonggol”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW

beserta keluarga, saudara, sahabat beserta umatnya yang senantiasa berada di jalan Allah.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pertumbuhan anak domba periode prasapih yang diperoleh dari induk dengan genotipe calpastatin dan pakan yang berbeda di UP3 Jonggol dengan melihat pertambahan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh anak domba tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu acuan seleksi domba dengan produktivitas yang baik.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu Penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan. Ucapan terima kasih tidak lupa Penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya. Harapannya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi kemajuan peternakan di Indonesia. Amin.

Bogor, Agustus 2010

(9)

viii

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Klasifikasi Domba ... 3

Domba Ekor Tipis ... 3

Domba Ekor Gemuk ... 3

Domba Garut ... 4

Pertumbuhan ... 4

Ukuran – Ukuran Tubuh ... 5

Bobot Lahir ... 7

Bobot Sapih ... 8

Gen Calpastatin ... 8

Hubungan Antara Sistem Calpastatin dengan Sifat Pertumbuhan ... 9

Padang Penggembalaan ... 10

Leguminosa ... 11

Sentro (Centrosema pubescens) ... 12

Puero (Peuraria phaseoloides) ... 13

Kalopo (Calopogonium mucunoides) ... 13

MATERI DAN METODE ... 14

Lokasi dan Waktu ... 14

Materi ... 14

Ternak ... 14

Padang Rumput ... 14

Kandang dan Peralatan ... 14

Prosedur Penelitian ... 15

(10)

ix

Peubah yang Diamati ... 17

Rancangan ... 17

Analisis Data ... 17

Analisis Regresi Eksponensial ... 18

Analisis dengan Korelasi Pearson ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Keadaan Umum Lokasi ... 20

Kondisi Padang Penggembalaan ... 20

Jumlah Populasi Ternak dan Manajemen Pemeliharaan 21

Gen Calpastatin dan Pengaruhnya Terhadap Bobot Badan ... 22

Bobot Lahir ... 24

Bobot Sapih ... 27

Laju Pertumbuhan Ternak ... 29

Pertumbuhan Parameter Ukuran Tubuh ... 33

Tinggi Pundak ... 33

Panjang Badan ... 35

Lingkar Dada ... 37

Lebar dada ... 39

Dalam dada ... 41

Korelasi Ukuran Tubuh Ternak terhadap Bobot Badan ... 42

KEIMPULAN DAN SARAN ... 45

Kesimpulan ... 45

Saran ... 45

UCAPAN TERIMAKASIH ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(11)

x 1. Pendugaan Umur Domba Berdasarkan Pergantian Gigi Seri ... 15 2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan

di UP3J ... 20 3. Kandungan Nutrien Rumput B. humidicola dan Beberapa Jenis

Leguminosa ... 21 4. Rataan Bobot Badan Induk dari Anak Domba Jantan dan Betina

dengan Genotipe Calpastatin dan Penggembalaan yang Berbeda

di UP3 Jonggol ... 24 5. Rataan Bobot Badan Anak Domba dengan Genotipe dan

Penggembalaan yang berbeda yang Telah Mengalami Koreksi

Umur Induk dan Tipe Kelahiran ... 25 6. Persamaan Regresi, Nilai Koefisien Laju Pertumbuhan (k) dan

Bobot Badan yang Diduga pada Umur t Minggu (Wt) pada Masing-masing Anak Domba dengan Genotipe Induk dan

Penggembalaan yang Berbeda ... 30 7. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Tinggi

Pundak Anak Domba Jantan dan Betina dengan Genotipe

Calpastatin Induk dan Penggembalaan yang Berbeda ... 34 8. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Panjang

Badan Anak Domba Jantan dan Betina dengan Genotipe

Calpastatin Induk dan Penggembalaan yang Berbeda ... 36 9. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Lingkar

Dada Anak Domba Jantan dan Betina dengan Genotipe

Calpastatin Induk dan Penggembalaan yang Berbeda ... 38 10. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Lebar Dada

Anak Domba Jantan dan Betina dengan Genotipe Calpastatin

Induk dan Penggembalaan yang Berbeda ... 40 11. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Lebar Dada

Anak Domba Jantan dan Betina dengan Genotipe Calpastatin

Induk dan Penggembalaan yang Berbeda ... 41 12. Korelasi Ukuran Tubuh dan Bobot Badan Anak Domba Periode

Prasapih dengan Genotipe Induk dan Penggembalaan yang

(12)

xi 1. Kurva Pertumbuhan pada Beberapa Jenis Ternak ... 5 2. Padang Penggembalaan di UP3 Jonggol ... 11 3. Perbedaan sekuen nukleotida gen Calpastatin pada lokus

CAST-MspI yang disebabkan karena subtitusi basa G – A ... 16 4. Sistem Kandang ... 22 5. Ternak Domba di UP3 Jonggol ... 22 6. Hasil dari Analisis PCR-RPLF dari Gen Calpastatin (CAST)

Domba dengan Enzym Restriksi MspI dalam Gel Poliakrilamid

6% (Diyono, 2008) ... 23 7. Respon Genotipe Induk terhadap Penggembalaan pada Bobot

Lahir Anak ... 27 8. Respon Genotipe Induk terhadap Penggembalaan pada Bobot

Sapih Anak ... 28 9. Kurva Pertumbuhan Anak Domba Jantan dari Induk dengan

Genotipe Calpastatin dan Penggembalaan yang Berbeda ... 31 10. Kurva Pertumbuhan Anak Domba Betina dari Induk dengan

Genotipe Calpastatin dan Penggembalaan yang Berbeda ... 31 11. Kurva Pertumbuhan Tinggi Pundak Anak Domba Jantan dan

Betina dengan Genotipe Calpastatin dan Penggembalaan yang

Berbeda ... 35 12. Kurva Pertumbuhan Panjang Badan Anak Domba Jantan dan

Betina dengan Genotipe Calpastatin dan Penggembalaan yang

Berbeda ... 37 13. Kurva Pertumbuhan Lingkar Dada Anak Domba Jantan dan

Betina dengan Genotipe Calpastatin dan Penggembalaan yang

Berbeda ... 39 14. Kurva Pertumbuhan Lebar Dada Anak Domba Jantan dan

Betina dengan Genotipe Calpastatin dan Penggembalaan yang

Berbeda ... 40 15. Kurva Pertumbuhan Dalam Dada Anak Domba Jantan dan

Betina dengan Genotipe Calpastatin dan Penggembalaan yang

(13)

xii 1. Analisis Ragam Respon Genotipe dan Penggembalaan yang

Berbeda terhadap Bobot Induk ... 54 2. Analisis Ragam Respon Genotipe dan Penggembalaan yang

Berbeda terhadap Bobot Lahir Anak Domba Jantan ... 54 3. Analisis Ragam Respon Genotipe dan Penggembalaan yang

Berbeda terhadap Bobot Sapih Anak Domba Jantan ... 55 4. Analisis Ragam Respon Genotipe dan Penggembalaan yang

Berbeda terhadap Bobot Lahir Anak Domba Betina ... 55 5. Analisis Ragam Respon Genotipe dan Penggembalaan yang

Berbeda terhadap Bobot Sapih Anak Domba Betina ... 56 6. Analisis Ragam Respon Genotipe dan Penggembalaan yang

Berbeda terhadap Bobot Lahir Total Anak Domba ... 56 7. Analisis Ragam Respon Genotipe dan Penggembalaan yang

Berbeda terhadap Bobot Sapih Total Anak Domba ... 57 8. Hasil Analisis Regresi Eksponensial Bobot Badan Anak Domba

Jantan dengan Genotipe Induk MM pada Penggembalaan B.

Humidicola ... 57 9. Hasil Analisis Regresi Eksponensial Bobot Badan Anak Domba

Jantan dengan Genotipe Induk MM pada Penggembalaan B.

Humidicola + Legum ... 58 10. Hasil Analisis Regresi Eksponensial Bobot Badan Anak Domba

Jantan dengan Genotipe Induk MN pada Penggembalaan B.

Humidicola ... 59 11. Hasil Analisis Regresi Eksponensial Bobot Badan Anak

Domba Jantan dengan Genotipe Induk MN pada

Penggembalaan B. Humidicola + Legum ... 60 12. Hasil Analisis Regresi Eksponensial Bobot Badan Anak Domba

Betina dengan Genotipe Induk MM pada Penggembalaan B.

Humidicola ... 61 13. Hasil Analisis Regresi Eksponensial Bobot Badan Anak Domba

Betina dengan Genotipe Induk MM pada Penggembalaan B.

Humidicola + Legum ... 62 14. Hasil Analisis Regresi Eksponensial Bobot Badan Anak Domba

Betina dengan Genotipe Induk MN pada Penggembalaan B.

(14)

xiii 16. Rataan Tinggi Pundak Anak Domba dengan Genotipe Induk

dan Penggembalaan yang Berbeda di UP3 Jonggol ... 65 17. Rataan Panjang Badan Anak Domba dengan Genotipe Induk

dan Penggembalaan yang Berbeda di UP3 Jonggol ... 66 18. Rataan Lingkar Dada Anak Domba dengan Genotipe Induk dan

Penggembalaan yang Berbeda di UP3 Jonggol ... 67 19. Rataan Lebar Dada Anak Domba dengan Genotipe Induk dan

Penggembalaan yang Berbeda di UP3 Jonggol ... 68 20. Rataan Dalam Dada Anak Domba dengan Genotipe Induk dan

Penggembalaan yang Berbeda di UP3 Jonggol ... 69 21. Korelasi Antara BB; TP; PB; LD; LbD; DD pada Anak Domba

Jantan dengan Genotipe Induk MM pada Penggembalaan B.

humidicola ... 70

22. Korelasi Antara BB; TP; PB; LD; LbD; DD pada Anak Domba Jantan dengan Genotipe Induk MM pada Penggembalaan B.

humidicola + Legum ... 70

23. Korelasi Antara BB; TP; PB; LD; LbD; DD DD pada Anak Domba Jantan dengan Genotipe Induk MN pada

Penggembalaan B. humidicola ... 71

24. Korelasi Antara BB; TP; PB; LD; LbD; DD DD pada Anak Domba Jantan dengan Genotipe Induk MN pada

Penggembalaan B. humidicola + Legum ... 71

25. Korelasi Antara BB; TP; PB; LD; LbD; DD pada Anak Domba Betina dengan Genotipe Induk MM pada Penggembalaan B.

humidicola ... 72

26. Korelasi Antara BB; TP; PB; LD; LbD; DD pada Anak Domba Betina dengan Genotipe Induk MM pada Penggembalaan B.

humidicola + Legum ... 72

27. Korelasi Antara BB; TP; PB; LD; LbD; DD DD pada Anak Domba Betina dengan Genotipe Induk MN pada

Penggembalaan B. humidicola ... 73

28. Korelasi Antara BB; TP; PB; LD; LbD; DD DD pada Anak Domba Betina dengan Genotipe Induk MN pada

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak domba merupakan salah satu ternak yang sudah dikembangkan dan berperan penting dalam peternakan Indonesia. Fungsi dari ternak tersebut salah satunya adalah sebagai sumber penghasil protein hewani yang berupa daging. Jumlah kebutuhan daging domba pada tahun 2008 mencapai 51.894 ton atau 2,5% dari jumlah konsumsi protein hewani lainnya dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan daging yang cukup besar tersebut belum dapat dipenuhi dari produksi daging domba dalam negeri, meskipun jumlah populasi ternak domba sebesar 10.392 juta ekor dan selama delapan tahun terakhir terus mengalami peningkatan (Ditjennak, 2008). Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha guna meningkatkan produktivitas ternak ke arah yang lebih baik, salah satunya dengan cara mengembangkan potensi domba lokal. Domba lokal mempunyai keunggulan yaitu bersifat prolifik, dapat beranak setiap tahun selama masa produktifnya, dapat bertahan hidup pada kondisi iklim setempat, serta daya tahan terhadap beberapa penyakit dan parasit lokal lebih tinggi dibandingkan domba impor. Hanya saja produktivitasnya belum optimal sehingga masih berpeluang besar untuk dikembangkan.

(16)

2 Salah satu tempat peternakan domba lokal dengan jumlah ternak yang banyak dan masih berpotensi untuk dikembangkan adalah di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J). Kurangnya penyeleksian ternak domba yang unggul dan kondisi lingkungan yang kurang mendukung seperti kualitas padang penggembalaan yang kurang memenuhi kebutuhan ternak menyebabkan produktivitas ternak di tempat tersebut belum optimal. Usaha peningkatkan produktivitas ternak perlu dilakukan dengan cara seleksi dilihat dari genotip calpastatin induk dan peningkatan kualitas hijauan dengan introduksi legum pada ladang penggembalaan. Produktivitas induk domba dapat diamati dengan melihat bobot badannya, pertumbuhan anak, pertambahan bobot anak domba, dan pertambahan parameter ukuran tubuh.

Tujuan

(17)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi domba

Ternak domba termasuk dalam kerajaan Animalia (hewan), filum Chordata

(hewan bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan menyusui), Ordo Artiodactyla

( hewan berkuku genap), family Bovidae (memamah biak), genus Ovis (domba) dan spesies Ovis aries (domba yang telah didomestikasi) (Blakely dan Bade, 1994).

Beberapa jenis domba yang dikenal di Indonesia tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu domba ekor gemuk dan domba ekor tipis. Hardjosubroto (1994) menyatakan kedua jenis domba tersebut dianggap berasal dari bangsa yang sama. Menurut Mulyaningsih (1990) menyatakan bahwa secara umum domba asli Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga bangsa yaitu domba ekor tipis (Javanese thin tailed) atau domba lokal, domba Priangan yang dikenal sebagai domba Garut dan domba ekor gemuk (Javanese fat tailed). Domba ekor tipis adalah domba yang umum terdapat di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat, sedangkan domba ekor gemuk banyak terdapat di Jawa Timur.

Domba Ekor Tipis

Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia yang sering dikenal sebagai domba lokal (Hardjosubroto, 1994). Penjelasan lebih lanjut bahwa domba lokal mempunyai tubuh yang kecil sehingga disebut domba kacang atau domba Jawa. Domba lokal biasanya mempunyai warna bulu putih dan memiliki bercak hitam di sekeliling mata. Ekor domba lokal tidak menunjukkan deposisi lemak. Domba betina biasanya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa domba lokal mempunyai garis punggung lurus dan tinggi pundak lebih rendah dari tinggi pinggul. Bobot badan domba ekor tipis di Jonggol umur 2-3 tahun sebesar 34,90 kg dan betina sebesar 26,11 kg serta ukuran tinggi pundak pada jantan sebesar 55,66 cm dan betina sebesar 57,87 cm (Einstiana, 2006)

Domba Ekor Gemuk

(18)

4 makanan dalam bentuk lemak yang dapat dimanfaatkan jika terjadi kekurangan pakan. Pada saat banyak pakan, ekor domba ini penuh dengan lemak sehingga terlihat membesar. Namun jika pakan kurang, ekor mengecil karena cadangan energinya dibongkar untuk mensuplai energi yang dibutuhkan tubuh. Panjang ekor normal 15-18 cm tulang vertebrae, berbentuk huruf S atau sigmoid. Domba ini banyak terdapat di Jawa Timur dan Madura, serta pulau-pulau di Nusa Tenggara. Bentuk tubuh domba ekor gemuk lebih besar dari domba ekor tipis. Domba ini merupakan domba tipe pedaging, berat jantan dewasa antara 30-50 kg, sedangkan berat badan betina 25-35 kg. Tinggi badan jantan dewasa antara 60-65 cm, sedangkan betina dewasa 52-60 cm (Malewa, 2007)

Domba Garut

Domba Garut dikategorikan dalam dua tipe, yaitu tipe tangkas dan tipe pedaging. Domba jantan memiliki tanduk yang cukup besar, melengkung ke arah belakang dan ujungnya mengarah ke depan sehingga membentuk seperti spiral, sedangkan domba betina tidak bertanduk. Domba ini terdapat di Priangan, yaitu Bandung, Garut, Sumedang, Ciamis dan Tasikmalaya. Menurut Einstiana (2006), pola warna bulu domba Garut di Margawati terdiri dari empat pola warna baku, yaitu hitam, putih, coklat, dan kombinasi (dua warna dan tiga warna). Bobot badan domba Priangan jantan mencapai 50-60 kg sedangkan domba betina sekitar 35-40 kg. Domba Priangan termasuk domba yang prolifik, interval beranak yang pendek dan jumlah anak yang dihasilkan pertahun rata-rata 1,7 ekor (Devendra dan McLeroy, 1982).

Pertumbuhan

(19)

5 berpengaruh terhadap laju pertumbuhan tulang yang lebih lambat dan pertumbuhan otot yang relatif cepat. Soeparno (1994) menambahkan bahwa berdasarkan laju pertumbuhan maksimum, jaringan tubuh mempunyai urutan pertumbuhan berdasarkan umur yaitu (1) jaringan syaraf, (2) tulang, (3) otot, dan (4) lemak. Nurhayati (2004) menyatakan bahwa peningkatan ini relatif tinggi pada umur muda yaitu pada umur I0 dan I1, yaitu pada saat ternak mulai tumbuh dan membentuk

tubuhnya. Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan terdiri dari tiga bagian yaitu fase percepatan (self-accelerating phase), diikuti fase linier (linier phase) atau pertumbuhan yang sangat cepat dengan waktu yang sangat pendek (dewasa kelamin) dan berakhir pada fase perlambatan (self-decelerating phase) yang berangsur-angsur menurun sampai hewan mencapai dewasa tubuh, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan pada Beberapa Jenis Ternak (Sumber : Lawrence dan Fowler, 2002)

Ukuran-Ukuran Tubuh

Penampilan seekor hewan adalah hasil dari suatu proses pertumbuhan yang berkesinambungan dalam seluruh hidup hewan tersebut. Setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda karena pengaruh genetik maupun lingkungan (Diwyanto, 1982). Menurut Mulliadi (1996), ukuran permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, karena dapat digunakan untuk menaksir bobot badan dan karkas serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu. Penggunaan ukuran tubuh

Sapi

Babi

Domba

B

obot

Hidup

(Kg)

(20)

6 dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sifat kuantitatif untuk dapat memberikan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui perbedaan-perbedaan dalam populasi ternak ataupun digunakan dalam seleksi.

Pengaruh genetik dan lingkungan menyebabkan timbulnya keragaman pada pengamatan dalam berbagai sifat kuantitatif. Keragaman merupakan suatu sifat populasi yang sangat penting dalam pemuliaan terutama dalam seleksi. Seleksi akan efektif bila terdapat tingkat keragaman tinggi (Martojo, 1990). Menurut Devendra dan Mcleroy (1982), ukuran tubuh dewasa pada domba lokal untuk betina adalah tinggi badan 57 cm, bobot badan 25-35 kg sedangkan pada jantan, tinggi badan mencapai 60 cm dan bobot badan 40-60 kg dengan rata-rata bobot potong 19 kg.

Fourie et al. (2002) menyatakan bahwa bentuk dan ukuran tubuh domba dideskripsikan berdasarkan ukuran dan penilaian visual. Ukuran merupakan indikator penting dari pertumbuhan untuk mengevaluasi pertumbuhan, tetapi tidak digunakan untuk mengindikasikan komposisi tubuh ternak. Lingkar dada dan panjang badan merupakan ukuran yang lebih umum digunakan.

(21)

7 Bobot Lahir

Bobot lahir merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan prestasi produksi selanjutnya. Induk domba yang menghasilkan bobot lahir yang tinggi perlu dipertahankan karena biasanya bobot lahir yang tinggi berhubungan dengan bobot sapih dan bobot karkas yang tinggi pula saat dipotong. Faktor-faktor yang menentukan bobot lahir antara lain adalah jenis kelamin, bangsa, tipe kelahiran, umur domba, kondisi induk dan ransum tambahan untuk induk saat bunting. Anak dengan bobot lahir besar akan tumbuh lebih cepat dibanding dengan anak yang bobot lahirnya kecil. Namun ada kalanya, anak domba dengan bobot rendah pun bisa tumbuh cepat asalkan bukan berdasarkan keturunan tetapi dengan manajemen pemeliharaan yang baik (Harjosubroto, 1994). Partodiharjo et al. (1983) menyatakan bahwa anak-anak domba yang lahir kembar tiga, baik jantan maupun betina bobot lahirnya lebih rendah, sifat fisiknya lemah, pembagian saat menyusu tidak teratur, kompetisi memperoleh susu induk sangat tergantung kekuatan fisik mereka mengakibatkan betina yang lahir bersama jantan dalam kembar tiga lebih menderita. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan anak domba tipe kelahiran tunggal mempunyai perkembangan janin pada rahim induk domba yang lebih baik daripada tipe kelahiran kembar 2 atau 3.

(22)

8 Bobot Sapih

Bobot sapih merupakan bobot dimana anak mulai dipisahkan dari induknya. Umur penyapihan berbeda-beda tergantung dari manajemen pemeliharaan. Pada peternakan rakyat usia sapih bisa mencapai 5 hingga 6 bulan. Bobot sapih anak menggambarkan produksi susu dari induk, biasanya produksi susu induk yang lebih tinggi akan mengasilkan bobot sapih yang tinggi pula. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa bobot sapih anak dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur sapih, umur induk dan produksi susu induk. Bobot sapih selain ditentukan oleh bobot lahir yang merupakan akumulasi pertumbuhan embrio sampai fetus, juga tergantung pada produksi susu induk yang dihasilkan.

Subandriyo (1985) dalam pengamatannya terhadap domba ekor tipis di Jawa Barat melaporkan bahwa umur induk hanya berpengaruh nyata terhadap jumlah bobot badan pada saat disapih. Baliarti (1981) melaporkan bahwa anak domba jantan mempunyai bobot sapih yang lebih tinggi dibandingkan dengan bobot sapih pada anak domba betina. Bobot sapih meningkat bobotnya mengikuti kedewasaan induk. Induk yang lebih tua akan menghasilkan anak dengan bobot sapih yang lebih besar dibandingkan dengan induk yang lebih muda (Saputra, 2008).

Gen Calpastatin

Gen calpastatin merupakan salah satu gen yang berperan dalam pembentukan

massa otot dan pertumbuhan ternak yaitu dengan mendegradasi protein yang ada di dalam otot. Gen calpastatin terletak pada kromosom domba nomor 5 sedangkan pada ternak sapi (Bos taurus) terletak pada kromosom nomor 7 (Bishop et al.,1993). Gen

calpastatin dengan simbol CAST terletak diantara dua penciri apit mikrosatelit MCM527 dan BMS1247 pada posisi lokus 5q15-q21 antara 96,057-96,136 Mb. Hasil analisis Quantitative Traits Loci (QTL) menunjukkan bahwa gen calpastatin

berasosiasi kuat terhadap sifat pertumbuhan pada domba silang balik antara DET dengan Merino (Margawati, 2005). Gabor et al. (2008) menjelaskan bahwa gen

calpastatin merupakan kandidat gen yang baik untuk sifat daging pada ternak. Palmer et al. (1998) melaporkan bahwa terdapat keragaman gen calpastatin domba Dorset pada bagian ekson 1C, intron 1 dan ekson 1D (no akses Gen Bank Af016006 dan AF016007). Hasil pemotongan produk PCR dengan enzim retriksi Mspl dan

(23)

9 produk 336 dan 286 bp sedangkan Ncol menghasilkan potongan produk 374 dan 284 bp.

Hubungan Antara Sistem Calpastatin dengan Sifat Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan peningkatan ukuran tubuh dan perubahan komposisi tubuh seiring dengan bertambahnya umur anak domba. Sifat pertumbuhan anak domba dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah tingkat pemberian pakan, genotip, jenis kelamin, kesehatan dan manajemen pemeliharaan (Gatenby, 1991). Pada tingkat sel pertumbuhan hewan ternak dapat didefinisikan sebagai hiperplasia yaitu penambahan jumlah sel melalui proses mitosis, dan hipertropi yaitu bertambahnya ukuran dan volume sel-sel otot (Hossner, 2005). Menurut Chung et al. (1999), kejadian hipertropi ini erat kaitannya dengan sistem calpain-calpastatin yang terdapat pada jaringan tubuh. Garbor et al. (2009) menambahkan bahwa gen

calpastatin pada ternak domba memainkan peranan penting dalam pembentukan

otot, degradasi dan keempukan daging setelah pemotongan. Aktifitas gen calpastatin

sangat tinggi pada ternak muda atau pada masa pertumbuhan dengan memperbesar ukuran sel otot dan menambah jumlah otot secara hiperplasia dan hipertropi sehingga akan menyebabkan otot lebih besar dan banyak jika dibandingkan dengan otot normal.

Kejadian hipertropi tersebut disebabkan oleh kandungan DNA otot yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kapasitas sintesis protein otot. Kejadian hipertropi terjadi setelah hewan dilahirkan sehingga tidak menyebabkan kesulitan beranak (dystocia) dan sering disebut dengan callipyge pada domba. Domba

callipyge terlihat lebih berotot (double muscle) akibat adanya akivitas gen tersebut. Oleh karena itu, pada umumnya bobot badan ternak akan menjadi lebih tinggi. Duckett et al., (2000) dalam penelitiannya melaporkan bahwa adanya aktifitas

calpastatin yang tinggi pada domba callipyge mempengaruhi bobot supraspinatus,

(24)

10 Hasil penelitian Diyono (2008) melaporkan bahwa adanya keragaman gen

calpastatin pada lokus yang sama yang diidentifikasi dengan metode Polymerase

Chain Reaction Restriction Fragment Length Polymorphisms (PCR-RPLF).

Identifikasi dengan metode PCR-RPLF pada gen calpastatin menghasilkan dua jenis alel yaitu alel M dan N, sehingga akan diperoleh tiga genotipe yaitu MM, MN dan NN. Garbor et al. (2009) dalam penelitiannya juga memperoleh hasil yang sama. Diyono (2008) menyatakan bahwa gen calpastatin berpengaruh nyata terhadap bobot badan domba dan alel M terkait dengan bobot badan yang lebih tinggi. Penelitian lain menunjukkan bahwa genotipe gen calpastatin terkait dengan sifat pertumbuhan. Nassiry et al. (2005) melaporkan adanya hubungan antara genotipe gen calpastatin

domba Kurdi Iran (metode PCR-SSCP) dengan sifat pertumbuhan. Genotipe AB terkait dengan pertambahan bobot badan domba harian prasapih dan pertambahan bobot badan harian dari umur 9 bulan sampai umur 1 tahun (AB>AA>AC). Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Tahmoorespour (2005) yang melaporkan bahwa genotipe AB>AA>AC terkait dengan pertambahan bobot badan harian prasapih pada domba Baluchi.

Padang Penggembalaan

Padang penggembalaan adalah tempat atau lahan yang ditanami rumput unggul dan atau legume (jenis rumput/ legume yang tahan terhadap injakan ternak) yang digunakan untuk menggembalakan ternak. Tujuan utama dalam pembuatan padang penggembalaan adalah menyediakan hijauan makanan ternak yang berkualitas, efisien dan tersedia secara kontinyu sepanjang tahun, disamping itu sebagai media intensifikasi kawin alam (Sofyan, 2009). Beberapa macam padang penggembalaan diantaranya adalah padang penggembalaan alam, padang penggembalaan permanen yang sudah ditingkatkan, padang penggembalaan temporer dan padang penggembalaan irigasi.

(25)

11 tekanan panas yang tinggi, tergolong tanaman tahunan, perkembangan vegetatif dengan stolon yang begitu cepat sehingga bila ditanam di lapang akan membentuk

Gambar 2. Padang Penggembalaan di UP3 Jonggol

hamparan. Tinggi tanaman dapat mencapai 50 cm, daunnya tidak berbulu dan umumnya menggulung, warna bunga ungu atau kecoklatan. Kandungan TDN rumput tersebut sebesar 55% dan PK sebesar 6,6% (Vendramini et al., 2008)

Leguminosa

Leguminosa termasuk dicotyledoneus dimana embrio mengandung dua daun biji/cotyledone. Famili legume dibagi menjadi 3 group sub famili, yaitu: mimisaceae, tanaman kayu dan herba dengan bunga “regular”, caesalpinaceae, tanaman dengan

(26)

12

Phylum = Spermatophyta

Sub phylum = Angiospermae

Class = Dicotyl

Ordo = Rosales

Family = Leguminoceae

Sub Family = Papillionaceae

Genus = Centrosema, Peuroria,Calopogonium

Spesies = Pubescens, Phaseloides, Mucunoides

Kebanyakan tanaman pakan dan tanaman ekonomi penting termasuk dalam

papiloneceae group. Legume ada yang mempunyai siklus hidup secara annual,

biennial atau perennial (Soegiri et al., 1982). Leguminosa memegang peranan penting sebagai hijauan pakan ternak dan rumput-rumputan untuk ternak herbivora (Lubis, 1992). Dijelaskan lebih lanjut bahwa leguminosa mempunyai sifat-sifat yang baik sebagai bahan pakan dan mempunyai kandungan protein dan mineral yang tinggi. Tanaman leguminosa meskipun mempunyai kandungan nutrisi cukup tinggi tetapi hanya dapat digunakan sebagai campuran pakan hijauan paling banyak 50% dari total hijauan yang diberikan (Susetyo, 1980). Hal ini disebabkan dalam leguminosa terdapat zat anti nutrisi seperti mimosin, anti tripsin, dan juga mempunyai banyak bulu sehingga palatabilitasnya rendah. Jenis leguminosa antara lain: Sentro (Centrosema pubescens), Puero (Pueraria phaseoloidse), Kalopo

(Calopogonium muconoides), Gamal (Gliricida maculata), Lamtoro (Leucaena

leucocephala). Berikut beberapa contoh karakteristik beberapa jenis legum : Sentro (Centrosema pubescens)

Centrosema pubescens merupakan legum yang berasal dari Amerika Selatan,

(27)

13 Puero (Pueraria phaseoloides)

Legum ini disebut juga puero, tropikal kudzu, kacang ruji (Jawa) yang berasal dari India Timur dan siklus hidupnya perennial. Ciri-ciri legum ini adalah tumbuh merambat, membelit, memanjat, sifat perakarannya (pada buku) dalam, daun muda tertutup bulu berwarna coklat, warna bunga ungu kebiruan (Reksohadiprojo, 1985).. Adaptasi legum ini adalah tumbuh di daerah tropika, curah hujan lebih dari 1270 mm/th, ketinggian 0-1.000 m, suhu sedang sampai dengan tinggi, tidak tahan suhu rendah, tahan musim kering panjang, kisaran tanah luas, tanah masam miskin Ca dan P, responsif terhadap pupuk P, sebagai legum pioner, tahan genangan (Reksohadiprojo, 1985).

Kalopo (Calopogonium muconoides)

Calopogonium mucunoides merupakan tanaman leguminosa yang berasal dari

Amerika Selatan tropik yang bersifat perennial, dan hidup pada daerah yang kelembaban udaranya tinggi (Reksohadiprojo, 1985). Calopogonium mucunoides

merupakan tanaman penutup tanah, tanaman sela dan tanaman pemberantas gulma.

Calopogonium mucunoides tumbuh menjalar dan memanjang, membentuk hamparan

(28)

14 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2009 sampai Maret 2010.

Materi

Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah induk dengan total induk 46 ekor induk domba ekor tipis bunting (I1=15 ekor, I2=15 ekor dan I3=16 ekor).

Pengelompokan ternak didasarkan pada genotipe calpastatin yang berbeda dan diperoleh kelompok induk domba dengan genotipe MM sebanyak 36 ekor dan genotipe MN sebanyak 10 ekor. Penelitian ini juga menggunakan 34 ekor anak domba yang kemudian dikelompokkan menurut jenis kelamin dan genotipe

calpastatin induk.

Padang penggembalaan

Pakan yang diberikan hanya menggunakan 100% hijauan tanpa penambahan konsentrat. Pakan hijauan yang digunakan berupa rumput B. humidicola dan B.

humidicola + legum yang diperoleh langsung dengan menggembalakan ternak

domba pada padang rumput B. humidicola, dan padang rumput B. humidicola yang telah introduksi leguminosa yang masing-masing terpisah menjadi dua paddock

penggembalaan.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah 1 kandang koloni dengan sistem panggung untuk domba betina bunting, betina+anak yang digembalakan di padang rumput

Brachiaria humidicola + leguminosa, dan 1 kandang lambing yang berisi induk bunting, induk dan anak yang digembalakan di padang rumput B. humidicola.

(29)

15 untuk mengukur lebar dada dan dalam dada untuk anak domba yang berumur 0-1 bulan, pita ukur dengan skala 0,1 cm yang digunakan untuk mengukur panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada anak domba, alat tulis menulis yang digunakan untuk mencatat data pengukuran.

Prosedur Penelitian

Persiapan Ternak

Penelitian ini diawali dengan pemilihan induk domba yang telah bunting tua dengan melihat perut yang telah membesar dan ambing yang telah membesar dan menggantung. Kemudian dilakukan identifikasi dan penentuan umur domba dengan melihat gigi tetapnya. Identifikasi dilakukan dengan pemberian nomor dengan menggunakan selang dan tali plastik kemudian dikalungkan pada masing-masing induk bunting. Nomor pada selang disesuaikan dengan umur dan urutan masing-masing. Induk-induk bunting tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 24 ekor yang terdiri dari I1 8 ekor, I2 8 ekor, I3 8

ekor dan ditempatkan pada kandang yang telah dipersiapkan. Penentuan Umur Domba

Sebenarnya cara yang paling tepat dalam menentukan umur adalah dengan melihat catatan kelahiran domba tersebut. Namun, ada cara lain untuk menentukan umur domba yaitu dengan melihat keadaan gigi dari domba tersebut, seperti melihat keterasahannya gigi seri (bagian depan) dan pergantian (tanggalnya) gigi seri susu. Pendugaan umur domba berdasarkan gigi disajikan pada Tabel 1

Tabel 1. Pendugaan Umur Domba Berdasarkan Pergantian Gigi Seri

Umur Penggantian Gigi Seri Kode Umur

< 1 tahun gigi seri masih utuh I0

1- 1,5 tahun gigi seri pasangan pertama tanggal dan berganti I1

1,5- 2 tahun gigi seri pasangan kedua tanggal dan berganti I2

2,5- 3 tahun gigi seri pasangan ketiga tanggal dan berganti I3

3,5- 4 tahun semua gigi seri susu sudah tanggal dan berganti I4

> 4 tahun semua gigi seri permanen sudah terasah/aus I5

(30)

16 Identifikasi Genotipe Induk

Identifikasi genotipe calpastatin induk domba dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi dilakukan pada setiap kelompok. Metode yang digunakan yaitu metode Restriction

Fragment Length Polymorphisms (RFLP). Enzim restriksi yang digunakan yaitu

MspI yang mengenali situs pemotongan empat basa C│CGG, yang terletak di daerah

intron 1 antara ekson 1C dan 1D. Keragaman gen calpastatin domba disebabkan oleh adanya mutasi titik yang terjadi pada posisi basa ke-261 nomor akses GenBank AF016006. Terjadinya subtitusi basa (transisi) G – A (Gambar 1) menyebabkan situs pemotongan untuk enzim restriksi MspI berubah. Produk PCR gen calpastatin

sepanjang 622 pb berhasil dipotong dan menghasilkan dua alel, yaitu alel M dan N.

Gambar 3. Perbedaan sekuen nukleotida gen calpastatin pada lokus CAST-MspI yang disebabkan karena subtitusi basa G – A . Alel M mempunyai nukleotida G pada posisi basa ke-261, sedangkan alel N mempunyai nukleotida A (Nomor akses GenBank : AF016006 dan AF016007) Sumber : www. ncbi.nlm.nih.gov

Pada lokus CAST-MspI, ternak domba dikatakan mempunyai genotipe MM apabila terdapat dua fragmen (pita) DNA dengan panjang 336 dan 286 bp. Genotipe MN ditunjukkan dengan tiga fragment DNA yaitu 622, 336 dan 286 bp. Genotipe NN ditunjukkan dengan terdapatnya satu fragmen DNA yaitu 622 bp. Genotipe tersebut kemudian digunakan untuk identifikasi pada masing-masing individu.

Penempatan Ternak

Kelompok pertama yang ditempatkan di kandang lambing digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola, sedangkan kelompok kedua yang ditempatkan di kandang koloni digembalakan di padang rumput B. humidicola

(31)

17 disesuaikan dengan nomor induknya. Selanjutnya pengukuran dilakukan setiap dua minggu sekali.

Peubah yang diamati

Peubah-peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah :

1. Bobot lahiranak adalah bobot badan anak domba sesaat setelah dilahirkan. Bobot lahir ditimbang pada saat baru lahir sampai sehari saat kelahiran. 2. Bobot badan tiap 2 minggu adalah bobot individu anak domba yang yang

ditimbang setiap 2 minggu sekali dan penimbangannya dilakukan sebelum domba digembalakan

3. Tinggi pundak (TP) adalah ukuran tubuh yang diukur dari titik tertinggi pundak (Os vertebra thoracalis) sampai permukaan tanah secara tegak lurus 4. Panjang Badan (PB) adalah ukuran tubuh yang diukur dari tepi tulang

humerus sampai benjolan pada tulang tapis atau duduk (Os tuber ishiadikum)

5. Lingkar dada (LD) adalah ukuran tubuh yang diukur melingkar sekeliling rongga dada di belakang sendi bahu (Os scapula)

6. Lebar dada (LbD) adalah ukuran tubuh yang diukur dari sendi bahu kiri ke kanan

7. Dalam Dada (DD) ukuran tubuh yang diukur dari titik tertinggi tulang pundak (Os vetrebra thoracalis) sampai tulang dada (Os sternum) bagian bawah belakang kaki depan

Rancangan

Analisis Data

(32)

18 padang penggembalaan, data dikoreksi terlebih dahulu menurut tipe kelahiran dan umur induk tiga tahun berdasarkan petunjuk Salamena (2006) :

x X pengamatan ke-i

Keterangan : Xi-terkoreksi = ukuran ke-i yang dikoreksi

Xstandar = rataan sampel anak pada dari umur induk 3 tahun

Xpengamatan = rataan sampel yang diamati

Xpengamatan ke-i = ukuran pengamatan ke-i

Perhitungan Rancangan Faktorial 2x2 dengan model sebagai berikut : Yij = µ + Gi + Pj + (GP)ij + Eij

Keterangan :

Yij = respon peubah yang diamati akibat pengaruh genotipe induk ke-i dan

penggembalaan ke-j µ = nilai tengah umum

Gi = pengaruh genotipe induk ke-i

Pj = pengaruh perlakuan penggembalaan ke-j

(GP)ij = pengaruh interaksi genotipe induk ke-i dan perlakuan penggembalaan ke-j

Eij = pengaruh galat percobaan dari genotipe ke-i dan penggembalaan ke-j Analisis Regresi Eksponensial

Hubungan antara umur dan bobot badan anak domba prasapih diperoleh dengan menggunakan analisis regresi eksponensial, mengacu pada Brody (1964) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ternak dari saat dilahirkan sampai titik infleksi terjadi kenaikan eksponensial yang pendekatan rumusnya sebagai berikut : Wt = Wo ekt

Ln Wt = Ln Wo + Kt = a + bX Keterangan :

(33)

19 Analisis dengan Korelasi Pearson

Hubungan antara bobot badan dengan ukuran tubuh domba dapat diketahui dengan analisis korelasi Pearson dengan menggunakan rumus (Gaspersz, 1992):

rx1x2 =

keterangan :

(34)

20 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadan Umum Lokasi

Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) yang dimiliki oleh Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor terletak antara 107,003o-107,011o BT dan 06,465o- 06,477o LS dengan ketinggian 145 m diatas permukaan laut dan terletak di Desa Singasari Kecamatan Jonggol, Bogor. Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol berjarak ± 69 Km dari kota Bogor. Tempat tersebut memiliki lahan seluas 169 ha yang terdiri dari beberapa fasilitas seperti kandang, kantor, ruang kelas, laboratorium, gudang dan perumahan (guest house). Informasi mengenai curah hujan, kelembaban udara, dan suhu lingkungan selama penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan di UP3J

Kondisi Umum Bulan

September Oktober November Desember Januari Februari Maret

Curah Hujan (mm) 66,5 167,5 307 257 236,5 465 338

Kelembaban (%) 91,78 97,04 95 96 96,91 97,63 96,40

Suhu Min (oC) 22 23,58 23 23 22,86 23 24,45

Suhu Max (oC) 34,92 34,91 32 33 29,36 31,81 32,31

Sumber : Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (2010)

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui curah hujan mengalami peningkatan mulai bulan November hingga bulan Maret karena telah memasuki musim penghujan, dan curah tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 465 mm. Suhu di UP3 Jonggol pada siang hari relatif tinggi yaitu pada kisaran 29,30 hingga 350C. Kelembaban udara juga relatif tinggi dengan kisaran 91,78 hingga 97,63%. Kondisi lingkungan yang demikian dapat menyebabkan rendahnya produktivitas ternak khususnya ternak domba di tempat tersebut.

Kondisi Padang Penggembalaan

Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol mempunyai padang penggembalaan berupa B. humidicola dengan luasan lahan ± 55 ha, B. decumbens

(35)

21 lainnya. Padang penggembalaan yang digunakan pada saat penelitian adalah padang

B. humidicola seluas ± 9 ha dan padang B. humidicola yang diintroduksi legum seluas ± 2,7 ha. Rumput B. humidicola tumbuh membentuk hamparan tetapi tidak tebal, dan tahan terinjak-injak oleh ternak. Produksi rumput di UP3J tersebut sebesar 60 – 70 ton/tahunnya. Perbaikan kualitas hijauan di ladang penggembalaan dilakukan dengan introduksi leguminosa yaitu dengan menggunakan 3 jenis legum (Centroseme pubescens, Calopogonium mucunoides, dan Peuraria javanica). Kondisi padang penggembalaan selama penelitian dalam keadaan kering karena suhu yang tinggi dan diikuti curah hujan yang rendah. Selama penelitian hujan jarang terjadi meskipun sudah memasuki musim hujan. Areal penggembalaan dikelilingi dengan pagar kawat khususnya pada penggembalaan B. humidicola yang diintroduksi legum untuk menjaga agar ternak lain tidak dapat masuk ke lokasi penelitian serta memudahkan dalam pengawasan. Selain itu, di dalam areal penggembalaan juga ditanami pohon-pohon besar yang berfungsi sebagai naungan bagi ternak domba saat siang hari. Kandungan nutrien dari rumput B. humidicola dan leguminosa dapat dilihat dari Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Nutrien Rumput B. humidicola dan Beberapa Jenis Leguminosa

Bahan Makanan PK SK Abu LK BETN

--- % ---

Brachiaria humidicola1 5,10 37,4 9,80 1,05 46,1

Centrosemapubescens2 23,6 31,6 8,2 3,6 32,8

Peuraria javanica2 20,5 37,9 6,7 2,0 32,9

Calopogonium mucunoides3 184 21,6 9,8 2,9 47,1

Keterangan : 1) Skerman et al. (1990) 2) Gohl (1981)

3) Osakwe and Okechukwu (2007)

Jumlah Populasi Ternak dan Manajemen Pemeliharaan

(36)

22 dikandangkan secara koloni tanpa memisahkan ternak muda, dara, indukan maupun pejantan, kecuali induk yang bunting tua dipindahkan ke kandang lambing. Ternak tersebut digembalakan di padang penggembalaan B. humidicola mulai pukul 10.00 hingga pukul 16.00 WIB, hal ini untuk menghindari rumput dengan kadar air yang berlebih yang dapat menyebabkan domba mengalami kembung atau bloat, kemudian dikandangkan kembali pada waktu sore harinya. Rumput tersebut merupakan pakan utama ternak di UP3 Jonggol. Pencegahan penyakit dan parasit khususnya untuk endoparasit juga dilakukan seperti pemberian obat cacing dan antibiotik yang dilakukan secara berkala yaitu 2 bulan sekali, atau sebulan sekali jika kondisi lingkungan kurang mendukung. Pencegahan parasit yang berupa ektoparasit seperti caplak tidak dilakukan sehingga terlihat banyak ternak domba yang terserang penyakit kudis pada bagian moncong, telinga, kaki dan selangkang yang menyebabkan produksi menurun. Manajemen pemeliharaan dan pengawasan yang kurang baik juga menyebabkan anak domba yang dilahirkan memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi karena terperosok ke lantai kandang dan terinjak-injak, penyakit, dan pemangsa. Gambar 4 dan 5 menunjukkan sistem perkandangan dan ternak yang dikandangkan secara koloni di UP3 Jonggol.

Gen Calpastatin dan Pengaruhnya Terhadap Bobot Badan Induk Domba

(37)

23 hampir di semua daerah. Keragaman gen calpastatin di UP3 Jonggol kemungkinan disebabkan pejantan yang digunakan hanya beberapa ekor saja dan sebagian besar bergenotipe MM dan beberapa bergenotipe MN atau sudah dilakukannya seleksi sederhana berdasarkan bobot badan yang tinggi dan secara tidak langsung juga ikut menyeleksi gen calpastatin ini. Hasil identifikasi genotipe calpastatin dengan menggunakan analisis Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length

Polymorphisms (PCR-RPLF) yang telah dilakukan oleh Diyono (2008) pada domba

jonggol dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil dari Analisis PCR-RPLF dari Gen Calpastatin (CAST) Domba dengan Enzym Restriksi MspI dalam Gel Poliakrilamid 6%. Genotipe MN ditunjukkan dengan tiga pita ukuran 622, 336, dan 286 bp. Genotipe NN ditunjukkan dengan satu pita 622 bp. (Diyono, 2008)

Rataan bobot badan induk dengan genotipe calpastatin yang ditempatkan pada padang penggembalaan yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa gen calpastain tidak berpengaruh terhadap bobot badan induk domba di UP3 Jonggol (P > 0,05). Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena kondisi lingkungan yang kurang mendukung untuk ekspresi gen tersebut. Pakan yang diperoleh domba di ladang penggembalaan kurang memenuhi kebutuhan karena kualitas hijauan yang relatif rendah akan mempengaruhi ternak domba yang digembalakan. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam performa domba yang dihasilkan selain faktor genetiknya. Interaksi antara genotipe calpastatin

dan padang penggembalaan juga menunjukkan tidak adanya interaksi diantara kedua faktor tersebut. Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian Diyono (2008) yaitu genotipe gen calpastatin tidak berpengaruh terhadap bobot badan domba betina,

622

(38)

24 tetapi tetapi berpengaruh terhadap bobot badan domba jantan. Domba jantan dengan genotipe MN lebih tinggi dengan rataan bobot badannya yaitu 43,4 ± 4 kg sedangkan untuk genotipe NN hanya 35,1 ± 2,9 kg.

Tabel 4. Rataan Bobot Badan Induk dari Anak Domba Jantan dan Betina dengan Genotipe Calpastatin dan Penggembalaan yang Berbeda di UP3 Jonggol Genotipe mempengaruhi pertumbuhan dan bobot sapih dari ternak tersebut. Informasi mengenai bobot lahir anak domba dengan genotipe calpastatin induk dan penggembalaan yang berbeda di UP3 Jonggol dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil penelitian diperoleh bobot lahir anak domba jantan dan betina tertinggi berturut-turut

terdapat pada anak dengan genotipe induk MN yang digembalakan pada

B. humidicola yaitu sebesar 2,62 dan 2,71 kg, dan bobot terendah didapatkan pada anak domba jantan dengan genotipe induk MN pada penggembalaan B. humidicola

(39)

25 Tabel 5. Rataan Bobot Badan Anak Domba dengan Genotipe dan Penggembalaan yang Berbeda yang Telah Mengalami Koreksi

Umur Induk dan Tipe Kelahiran

Keterangan : B = Penggembalaan B. humidicola

B+L = Penggembalan B. humidicola yang diintroduksi legum

(40)

26 dengan peryataan Inounu et al. (1999) menyatakan bahwa induk dengan bobot yang rendah akan melahirkan anak dengan bobot lahir yang rendah pula. Ilham (2008) menambahkan induk yang berumur lebih tua dan memiliki bobot badan yang lebih besar akan menghasilkan bobot lahir yang lebih besar.

Rataan total bobot lahir berdasarkan genotipe dan penggembalaan diperoleh hasil yang tidak berbeda (P > 0,05). Hal ini sesuai dengan pernyataan Duckett et al., (2000) yang mengatakan bahwa kejadian hypertropi dalam hal ini akibat adanya pengaruh gen calpastatin terjadi setelah hewan dilahirkan, sehingga tidak berpengaruh pada bobot lahir anak domba. Kerth (1999) juga menyatakan bahwa fenotipe callipyge pada domba sama seperti domba normal dari lahir hingga 4 sampai 12 minggu. Induk dengan genotipe MN ternyata memberikan respon positif pada bobot lahir anak domba terhadap penggembalaan B. humidicola yang introduksi leguminosa, sedangkan induk dengan genotipe MM memberikan respon yang sebaliknya. Respon induk dengan genotipe calpastatin dengan penggembalaan yang berbeda terhadap bobot lahir anak dapat dilihat pada Gambar 7. Terlihat peningkatan rataan bobot lahir anak domba dengan genotipe MN yang digembalakan pada B.

humidicola + legum karena dengan dilakukannya introduksi leguminosa pada ladang

penggembalan akan meningkatkan kualitas pakan yang dibutuhkan sebagai asupan nutrisi bagi induk dan fetus pada periode kebuntingan sehingga dapat meningkatkan bobot lahir anak (Gatenby,1991). Rataan bobot lahir dari induk dengan genotipe MM yang digembalakan pada B. humidicola + legum justru mengalami penurunan. Hal tersebut kemungkinan dapat terjadi akibat kondisi induk saat bunting pada penggembalaan B. humidicola + legum tidak sebaik kondisi induk yang digembalakan pada B. humidicola, sehingga bobot lahir pun lebih rendah.

(41)

27

Gambar 7. Respon Genotipe Induk terhadap Penggembalaan pada Bobot Lahir Anak Bobot Sapih

Bobot sapih pada anak domba dengan genotipe calpastain induk dan penggembalaan yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Rataan bobot sapih pada anak domba jantan tertinggi terdapat pada genotipe induk MM pada penggembalaan B. humidicola sebesar 11,78 kg, sedangkan rataan bobot sapih anak domba betina terdapat genotipe induk MM pada penggembalaan B. humidicola + legum sebesar 9,56 kg. Rataan total bobot sapih berdasarkan genotipe dan penggembalaan diperoleh hasil yang tidak berbeda (P > 0,05) serta tidak terdapat interaksi antara genotipe

calpastatin dan padang penggembalaan yang berbeda. Induk dengan genotipe

calpastatin MM memberikan respon yang negatif terhadap padang penggembalaan

B.humidicola + legum terhadap rataan bobot sapih anak yang diperoleh, sedangkan pada induk dengan genotipe MN memiliki rataan bobot sapih yang hampir sama baik yang digembalakan pada B. humidicola ataupun dengan introduksi leguminosa. Respon dari genotipe calpastatin induk dan penggembalaan dapat dilihat pada Gambar 8. Introduksi leguminosa pada padang penggembalaan ternyata tidak selalu memberikan pengaruh yang lebih baik pada bobot sapih yang diperoleh. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nugroho (2010) memperoleh hasil bahwa introduksi leguminosa tidak berpengaruh pada pertambahan bobot induk dan pertambahan bobot anak.

Bobot sapih selain dipengaruhi oleh pakan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti jumlah susu yang dihasilkan induk domba. Induk dengan produksi

B

obot

L

ahir

(Kg

)

(42)

28

Gambar 8. Respon Genotipe Induk terhadap Penggembalaan pada Bobot Sapih Anak susu tinggi umumnya menghasilkan bobot sapih yang lebih tinggi pula. Selain itu bobot lahir juga mempengaruhi bobot sapih yang akan diperoleh. Jawaresh et al.

(2009) menyatakan bahwa bobot lahir yang rendah akan menyebabkan pengaruh yang negatif terhadap bobot badan prasapih dan bobot badan saat disapih sebab korelasi antara bobot lahir dan bobot sapih adalah sedang. Bobot lahir yang rendah akan menyebabkan laju pertambahan bobot badan prasapih lebih lambat dan bobot sapih yang akan dicapai lebih rendah. Terlihat pada anak domba dengan genotipe MM pada penggembalaan B. humidicola + legum yang memiliki rataan bobot lahir yang rendah berpengaruh pada bobot sapih yang lebih rendah juga dibandingkan anak dengan genotipe MM yang digembalakan di B. humidicola. Manajemen di UP3 Jonggol yang kurang juga mempengaruhi bobot sapih yang diperoleh.

Perbandingan rataan bobot badan dari segi genotipenya diperoleh perbedaan rataan bobot badan. Anak dengan genotipe MM menunjukkan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe MN. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Diyono (2008) yang menyatakan gen calpastatin alel M berpengaruh terhadap bobot badan yang lebih tinggi daripada alel N. Oleh karena itu, alel M yang berpasangan secara homozigot akan memberikan pengaruh yang lebih baik daripada berpasangan secara heterozigot. Bobot sapih pada anak domba jantan menunjukkan bobot sapih yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak domba betina, karena adanya pengaruh hormon androgen yang lebih tinggi pada ternak jantan dibandingkan dengan ternak betina dan berperan dalam memunculkan sifat

B

obot

S

apih

(Kg)

(43)

29 maskulinasi. Menurut Hafez dan Dyer (1969) hormon testosteron yang merupakan steroid dari hormon androgen apabila dalam jumlah yang tinggi di dalam tubuh dapat meningkatkan pertumbuhan yang lebih cepat pada ternak jantan, terutama setelah munculnya sifat-sifat kelamin sekunder pada ternak jantan. Hormon androgen tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tulang pipa pada anak domba jantan, sedangkan pada anak domba betina terdapat hormon estrogen yang fungsinya justru menghambat pertumbuhan tulang pipa, sehingga peletakan otot menjadi lebih sedikit dan akan berpengaruh pada bobot badan yang lebih rendah.

Laju Pertumbuhan Ternak

(44)

30 Tabel 6. Persamaan Regresi, Nilai Koefisien Laju Pertumbuhan (k) dan Bobot Badan yang Diduga pada Umur t Minggu (Wt) pada

Masing-masing Anak Domba dengan Genotipe Induk dan Penggembalaan yang Berbeda

Keterangan: k = laju pertumbuhan (minggu)

t = umur ternak

Wo = bobot awal yang diduga

Jenis Kelamin Genotipe

Induk Penggembalaan Ln Wt = Ln Wo + kt K Wt = Wo e

kt R2

(%)

Jantan

MM B. humidicola Ln Y = 1,08 + 0,132 t 0,132 Wt = 2,94 e

0,132t

85,4

B. humidicola+Legum Ln Y = 1,05 + 0,122 t 0,122 Wt = 2,86 e 0,122t 87,0

MN B. humidicola Ln Y = 0,58 + 0,153 t 0,153 Wt = 1,79 e

0,153t

96,1

B. humidicola+Legum Ln Y = 1,16 + 0,110 t 0,110 Wt = 3,19 e 0,110t 80,9

Betina

MM B. humidicola Ln Y = 1,09 + 0,102 t 0,102 Wt = 2,97 e

0,102t

66,2

B. humidicola+Legum Ln Y = 1,08 + 0,111 t 0,111 Wt = 2,94 e 0,111t 76,3

MN B. humidicola Ln Y = 1,08 + 0,107 t 0,107 Wt = 2,94 e

0,107t

81,5

B. humidicola+Legum Ln Y = 1,06 + 0,096 t 0,096 Wt = 2,89 e 0,096t 86,7

(45)

31 25% berikutnya dicapai pada 6 bulan terakhir. Laju pertumbuhan anak domba jantan dan betina dengan genotipe calpastatin induk dan penggembalaan yang berbeda digambarkan seperti kurva pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 9. Kurva Pertumbuhan Anak Domba Jantan dari Induk dengan Genotipe

Calpastatin dan Penggembalaan yang Berbeda

Gambar 10. Kurva Pertumbuhan Anak Domba Betina dari Induk dengan Genotipe

Calpastatin dan Penggembalaan yang Berbeda

Perbedaan laju pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor terpenting yaitu jumlah pakan, genotipe, jenis kelamin (dan kastrasi), kesehatan dan manajemen pemeliharaan (Gatenby, 1991). Gen calpastatin induk ternyata tidak mempengaruhi laju pertumbuhan anak, hanya berpengaruh pada bobot

(46)

32 karkas yang lebih tinggi, seperti pernyataan yang dikemukakan oleh Lawrence dan Fowler (2002) bahwa genotipe yang menyebabkan callipyge pada domba tidak memberikan pengaruh pada pertumbuhan prasapih dan pertumbuhan lepas sapih, tetapi berpengaruh pada massa otot dan berat karkas yang lebih besar. Campbell dan Lasley (1985) menambahkan bahwa laju pertumbuhan dari lahir sampai sapih sangat besar dipengaruhi oleh sekresi air susu induk dan kesehatan individu serta tergantung impuls dari dalam individu itu sendiri. Manajemen pemeliharaan yang kurang memperhatikan kesehatan ternak menyebabkan beberapa anak domba selama penelitian terserang penyakit sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan dan bobot badan. Penurunan laju pertumbuhan akan berpengaruh pada rataan bobot sapih yang diperoleh. Kerth (1999) menyatakan bahwa selain seleksi genetik dan peningkatan nutrisi bagi ternak, kesehatan juga dapat digunakan untuk menambah laju dan efisiensi pertumbuhan otot, hormon dan faktor lainnya juga dapat mempengaruhi pertumbuhan otot.

Introduksi legum pada padang penggembalaan B. humidicola tidak menunjukkan pengaruh peningkatan laju pertumbuhan anak yaitu dengan membandingkan nilai k pada masing-masing genotipe yang sama. Introduksi legum ditujukan untuk meningkatkan kualitas pakan di padang penggembalaan karena memiliki kandungan 16-20% protein kasar yang dapat memenuhi kebutuhan induk saat periode laktasi (Swart, 1981). Terlihat bahwa laju pertumbuhan pada penggembalaan B. humidicola + legum lebih rendah daripada penggembalaan B.

humidicola. Faktor lain yang dapat menyebabkan menurunnya laju pertumbuhan

(47)

33 Laju pertumbuhan anak dengan genotipe induk MM sebagian besar lebih tinggi daripada anak dengan genotipe induk MN, tetapi sebagian lagi justru lebih rendah. Laju pertumbuhan pada anak domba jantan dan betina terlihat adanya perbedaan. Hasil menunjukkan laju pertumbuhan anak domba jantan lebih cepat dari anak domba betina. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hafez dan Dyer (1969) yang menyebutkan bahwa anak domba jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan ternak betina. Anak domba jantan memiliki kemampuan kecepatan tumbuh yang lebih tinggi karena adanya pengaruh hormonal. Hormon androgen yang terdapat pada jantan merupakan salah satu perangsang pertumbuhan.

Pertumbuhan Parameter Ukuran Tubuh

Pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang dapat diamati selain dengan penimbangan bobot badan tetapi juga dapat dilakukan dengan mengukur beberapa ukuran tubuh pada ternak. Seiring dengan bertambahnya umur, ukuran tubuh ternak juga akan mengalami peningkatan. Pertumbuhan ukuran tubuh umumnya berlangsung sangat cepat khususnya pada ternak muda, karena tulang merupakan komponen tubuh yang tumbuh lebih dahulu dibandingkan dengan pertumbuhan otot. Pertumbuhan tulang sangat cepat kemudian melambat ketika ternak mulai dewasa kelamin. Nurhayati (2004) menyatakan bahwa peningkatan ukuran tubuh relatif tinggi pada umur muda yaitu pada umur I0 dan I1, yaitu pada saat ternak mulai

tumbuh dan membentuk tubuhnya. Pertumbuhan ukuran tubuh ini lebih dipengaruhi oleh sifat genetik.

Tinggi Pundak

Tinggi pundak diperoleh dengan mengukur Os vertebra thoracalis hingga permukaan tanah secara tegak lurus. Tinggi pundak merupakan perpaduan antara tulang kaki dan dalam dada (Utami, 2008). Rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman tinggi pundak anak domba jantan dan betina pada umur 2 minggu dan 3 bulan dengan genotipe calpastatin induk dan penggembalaan yang berbeda disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis sidik ragam rataan tinggi pundak anak domba baik pada jantan maupun betina dengan genotipe calpastatin induk dan padang penggembalaan yang berbeda diperoleh hasil yang tidak berbeda (P > 0,05). Genotipe calpastatin

(48)

34 3 bulan karena karakteristik gen calpastatin lebih berpengaruh terhadap pembentukan otot bukan pada pertumbuhan tulang. Introduksi leguminosa juga tidak menyebabkan peningkatan rataan tinggi pundak meningkat. Rataan tinggi pundak anak domba jantan tertinggi terdapat pada anak dengan genotipe induk MM yang digembalakan pada B. humidicola sebesar 49,02 ± 4,39 cm, sedangkan pada betina diperoleh pada anak dengan genotipe MM yang digembalakan di B. humidicola + legum sebesar 46,21 ± 2,66 cm.

Tabel 7. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Tinggi Pundak Anak Domba Jantan dan Betina dengan Genotipe Calpastatin Induk dan Penggembalaan yang Berbeda

Keterangan : TP = Tinggi Pundak

MM B = Genotipe Induk MM pada penggembalaan B. humidicola

MM B+L = Genotipe Induk MM pada penggembalaan B. humidicola + legum

MN B = Genotipe Induk MM pada penggembalaan B. humidicola

MN B+L = Genotipe Induk MM pada penggembalaan B. humidicola + legum

Gambar

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan pada Beberapa Jenis Ternak
Gambar 2. Padang Penggembalaan di UP3 Jonggol
Tabel 1. Pendugaan Umur Domba Berdasarkan Pergantian Gigi Seri
Tabel 4. Rataan Bobot Badan Induk dari Anak Domba Jantan dan Betina dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kegiatan Pembelajaran daring dengan pendekatan saintifik menggunakan metode observasi, diskusi, presentasi dan model pembelajaran discovery learning peserta didik

Bagaimana aktivitas toksisitas akut ekstrak metanol daun sirsak ( Annona muricata L) terhadap larva Artemia salina Leach dengan metode Brine Shrimp Lethality Test

Pada pengamatan histopatologi pankreas mencit kelompok perlakuan terapi ekstrak etanol daun sambiloto ( Andrographis paniculata Nees) dosis 2,2 mg/kg BB, tampak

Pada kelompok kontrol tidak dilakukan intervensi dengan pemberian yoghurt kedelai hitam dan hanya diberikan konseling seperti pada kelompok perlakuan sehingga

Ujian praktek mengajar dilaksanakan setelah kemampuan mengajar dinilai cukup oleh Guru Pamong dan Dosen Pembimbing. Pengaturan ujian mengajar diserahkan kepada

21 Ali al- Wardi, seorang cendekiawan Syi’ah Irak dan penulis beberapa buku kontroversial, termasuk Manzilat al- ‘Aql al -Basyari (Kedudukan Akal Manusia), adalah orang

Bangunan kontruksi habitus Andi serta masyarakat dalam struktur sosial di pinrang saling terkait dan dibangkitkan kembali dalam proses kontestasi di arena pilkada.Adanya

Pengantar Ilmu Sastra (Teori Sastra), Surabaya: Usaha Nasional.. Dasar Dasar Psikologi, Yogyakarta: