• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 7 ASUHAN NEONATUS DENGAN RISIKO TINGGI

H. Tetanus Neonatorum

Tetanus Noenatorum merupakan penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi<1 bulan) yang disebabkan oleh clostridium tetani (kuman yang mengeluarkan toksin yang menyerang sistem syaraf pusat).

Patofisiologi: spora clostridium tetani masuk ke dalam tali pusat yang belum puput.

Masa inkubasi:

1. 3- 28 hari dengan rata- rata 6 hari.

2. Apabila masa inkubasi < 7 hari biasanya penyakit lebih parah dan angka kematisnnya tinggi

Epidemiologi:

 Angka kematian kasus tinggi

 Tetanus Neonatorum yang dirawat angka kematiannya mendekati 100%, terutama dengan masa inkubasi <>  Angka kematian tetanus neonatorum yang dirawat di RS di

Indonesia bervariasi dengan kisaran 10,8- 55%

Faktor risiko:

 Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil tidak dilakukan atau tidak lengkap

 Pemberian tidak sesuai dengan program

 Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat- syarat 3 bersih

 Perawatan tali pusat tidak memenuhi persyaratan kebersihan

Gejala klinik tetanus neonatorum:

 Bayi yang semula dapat menetek tiba- tiba sulit menetek karena kejang otot rahang dan faring

 Mulut bayi mencucu seperti mulut ikan

 Kejang terutama bila kena rangsang cahaya, suara, sentuhan  Kadang- kadng disertai sesak napas dan wajah membiru

Penanganan tetanus neonatorum:

 Mengatasi kejang dengan injeksi anti kejang

 Menjaga jalan napas tetap bebas dan pasang spatel lidah agar tidak tergigit

 Mencari tempat masuknya kuman tetanus, biasanya di tali pusat atau di telinga

 mengobati pnyebab tetanus dengan anti tetanus serum dan antibotik

 Perawatan adekuat: kebutuhan O2, makanan, cairan dan elektrolit

 Tempatkan di ruang yang tenang dn sedikit sinar.

I. HIV/AIDS

Pengertian

Acquired immunodeficiency syndrom (AIDS) suatu gejala

penyakit yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh atau gejala penyakit infeksi tertentu/keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) oleh virus yang disebut dengan HIV. Sedang

Human Imuno Deficiency Virus merupakan virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang kemudian mengakibatkan AIDS. HIV sistem kerjanya menyerang sel darah putih yang menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk dalam limfosit yang disebut dengan T4 atau sel T penolong. (T helper), atau juga sel CD 4. HIV tergolong dalam kelompok retrovirus sub kelompok lentivirus. Juga dapat dikatakan mempunyai kemampuan mengopi cetak materi genetika sendiri di dalam materi genetik sel-sel yang ditumpanginya dan melalui proses ini HIV dapat mematikan sel-sel T4.

AIDS adalah salah satu penyakit retrovirus epidemic menular, yang disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus

berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual, atau biseksual, penyalahgunaan obat intra vena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dan individu yang terinfeksi virus tersebut.

AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dan kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi.

Etiologi

Risiko HIV utama pada anak-anak yaitu:

 Air susu ibu yang merupakan sarana transmisi  Pemakaian obat oleh ibunya

 Pasangan sexual dari ibunya yang memakai obat intravena  Daerah asal ibunya yang tingkat infeksi HIV nya tinggi

Bayi yang berisiko tertular HIV di antaranya:  Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual  Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan yang berganti-ganti  Bayi yang lahir dan ibu dengan penyalahgunaan obat

melalui vena

 Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah yang berulang

 Bayi atau anak yang terpapar dengan alat suntik atau tusuk bekas yang tidak steril

Tanda dan Gejala

Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah:

 Gangguan tumbuh kembang

 Kandidiasis oral

 Diare kronis

Penularan

Penularan HIV dari bayi kepada bayinya dapat melalui:

 Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum) (5-10 %)

 Selama persalinan (intrapartum)(10-20 %)

 Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (postpartum)

 Bayi tertular melalui pemberian ASI

 Sebagian besar (90%), infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu, hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses tranfusi.

BBL memproduksi respon antibodi yg tdk terlalu aktif, Lebih terbatas terhadap infeksi HIV. Bayi lahir dengan ibu HIV seropositif: memiliki antibodi HIV saat lahir. Bayi tidak terinfeksi akan kehilangan antibodi maternal sekitar 8-15 bulan.

Sebagian besar bayi terinfeksi: mengembangkan antibodi mereka sendiri dan tetap seporopositif

Pencegahan

Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui:

1. Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan

yang bertujuan agar vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.

2. Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral (Nevirapine)

saat persalinan dan bayi baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar karena terbukti mengurangi risiko penularan sebanyak 80%.

3. Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang

Untuk mengurangi risiko penularan, ibu dengan HIV positif bisa memberikan susu formula pengganti ASI, kepada bayinya. Namun, pemberian susu formula harus sesuai dengan persyaratan AFASS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu Acceptable= mudah diterima, Feasible= mudah dilakukan,

Affordable= harga terjangkau, Sustainable= berkelanjutan, dan Safe = aman penggunaannya.

Pada daerah tertentu di mana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan AFASS, ibu HIV positif harus mendapatkan konseling jika memilih untuk memberikan ASI eksklusif.

Penatalaksanaan

Asuhan ibu: ikuti panduan Center for Disease Control (CDC) untuk profilaksis antiretrovirus gestasional.

Asuhan bayi: dengan pemberian obat-obat ARV, maka daya tahan tubuh anak dapat meningkat dan mereka dapat tumbuh dan berkembang seperti anak normal lainnya.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau komponennya seperti:

 untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma

 untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma

untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD)

Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang. Real time PCR (RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole

blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah

dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.

Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan.

Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa. Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu dalam penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia.Hal ini dapat disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan auto antibodi terhadap sel asal, atau akibat infeksi oportunistik.

Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8 menurun.Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat pula dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B menurun.

BAB 8

Dokumen terkait