• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tiada Bandingnya

Dalam dokumen Drs. H. Bangun P. Lubis, M.Si CAHAYA AL QUR AN (Halaman 177-185)

"Islam itu tinggi dan tidak ada

yang lebih tinggi darinya."

[HR Ar-Rawiyani, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi)

ila lah kita menilik kepada tiga fungsi Sunnah yang bisa merupakan penguat, penjelas, atau pedoman syariat yang tidak disebutkan Al-Qur’an, maka hadits ini termasuk kelompok pertama.

Allah ta'ala berfirman: "Janganlah kalian merasa lemah lagi bersedih hati, padahal kalianlah yang lebih tinggi kedudukannya jika kalian beriman." [QS. 3: 139]

Islam adalah agama yang Al-Khâliq pilihkan bagi segenap manusia sejak zaman Nabi Adam 'alaihissalam hingga akhir zaman. Otomatis semua tuntunannya

B

BAB 28

sesuai dengan fitrah manusia. Bagaimana mungkin derajat Islam lebih rendah dari agama-agama kreasi manusia? Atau lebih rendah dari agama yang pada mulanya murni lalu dirombak fondasinya hingga menyimpang?

Secara kemurnian dan keindahan ajarannya, semua telah mengakui, baik dengan lisan maupun dalam lubuk hati, karena gengsi. Kalangan non-muslim termasuk para penentang Islam pun tidak ragu akan ketinggian ajaran Islam. "Namun, mengapa kondisi para pemeluknya seperti ini? Miskin, bodoh, terbelakang, penuh konflik, tertindas, dan hal-hal yang menyesakkan dada lainnya. Ke mana makna hadits di atas?"

Barangkali sebagian yang berpenyakit hatinya akan mengatakan demikian. Hal itu adalah sebab berpalingnya kita akan Islam. Kita enggan mempelajari, apalagi menerapkannya. Kebanyakan kaum muslimin pun lebih cenderung mencari ketinggian dan kemulian dengan selain Islam; dengan harta, tahta, bahkan berbangga dengan kafir.

Jangankan kemuliaan dan ketinggian yang akan diraih, justru sebaliknya. Umar ibn al-Khaththâb pernah mengatakan, “Kita adalah kaum yang Allah muliakan

dengan Islam. Tatkala kita mencari kemuliaan dengan selainnya, Allah akan hinakan kita." Oleh karenanya, janganlah kalian merendah kepada kaum selain umat Islam, karena kalianlah yang paling tinggi dan agung.

Takwa Kalian

Firman Allah: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Mengutip Ath Thobari rahimahullah ia men-jelaskan, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian wahai manusia adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir Ath Thobari, 21:386)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kalian bisa mulia dengan takwa dan bukan dilihat dari keturunan kalian” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13: 169)

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.” (HR. Ahmad)

Bila kalian membandingkan dengan orang kafir, maka kalian umat Islam adalah umat yang paling tinggi di muka bumi ini. "Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya."

UMAT Islam adalah khoiru ummah, umat terbaik yang menjadi teladan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan ini dengan benar. Mereka beriman kepada Allah SWT. Keimanannya ditunjukkan antara lain dengan perilaku senantiasa berbuat baik dan mengajak orang lain dalam kebaikan, serta menghindari kemunkaran dan mencegah adanya kejahatan.

“Kalian (umat Islam) adalah umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan beriman kepada Allah.”

(Q.S. 3:110).

Dengan keimanan kepada Allah SWT itu, umat Islam merupakan umat yang paling tinggi derajatnya.

Allah SWT menegaskan, umat Islam adalah umat terbaik

atau paling tinggi derajatnya di antara umat-umat lain.

Hal itu karena umat Islam memiliki akidah, syariah, dan norma-norma yang sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia, yakni akidah, syariah, dan norma-norma Islam yang diturunkan oleh Sang Mahapencipta dan Maha Pengatur Semesta Alam, yakni Allah SWT.

“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang beriman” (Q.S.

3:139).

Kewajiban utama sebagai umat terbaik, selain beriman kepada Allah SWT, adalah melaksanakan ‘amar ma’ruf nahyi munkar, yakni mengajak manusia lain kepada kebaikan (ma’rufat) dan mencegah kemunkaran (munkarat). Jika tugas tersebut tidak dilaksanakan, maka akibatnya adalah sebagaimana disabdakan Nabi Saw, yang artinya: “Demi Allah, hendaklah kamu beramat ma’ruf nahi munkar atau Allah akan menurunkan adzab kepadamu, lalu kamu berdoa kepada-Nya, maka Allah tidak akan mengabulkan doamu” (Q.S. Tirmidzi). (*)

Ihsan, Meninggikan Drajat Kemuliaan Manusia

erajat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini.

Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Bila kita ingin meraihnya maka perbuatan baik dalam segala hal yang dapat mewujudkannya.”

Seorang yang berada dalam kondisi marah, dengan sangat emosi, bahkan dendam yang membara dalam hatinya, namun bila dapat menahannya dan justru menunjukkan perbuatan baik yang ikhlas dan sepenuh jiwa, maka itulah sesungguhnya ihsan yang dimaksud.

Dosen UIN Raden Fatah Ustads H Mugiono, M.

Pdi, yang menyampaikan Kajian Hadist, Pada Ahad awal November 2016 lalu, di Masjid Al Furqon Palembang

"D

BAB 29

mengupas soal pengertian dan bagaimana sebenarnya seseorang sampai pada taraf ihsan.

Dijabarkan Mugiono, tingkatan agama yang paling tinggi adalah ihsan, kemudian iman, dan paling rendah adalah Islam. Kaum muhsinin (orang-orang yang memiliki sifat ihsan) merupakan hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh sebab itu, sebagian ulama menjelaskan jika ihsan sudah terwujud berarti iman dan islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba.

Jadi, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Namun tidak berlaku sebaliknya.

Tidak setiap muslim itu mukmin dan tidak setiap mukmin itu mencapai derajat muhsin. Orang yang ihsan adalah hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur’an disebutkan hak-hak mereka secara khusus tanpa menyebutkan hak yang lainnya.

Digambarkan pula, bahwa mencintai orang lain laksana mencintai diri sendiri merupakan ajaran yang sangat mulia. Merasa tak pernah cukup dalam urusan materi kerap menjadi benteng kokoh, penghalang menebarkan kebaikan kepada sesama. Di situlah jihad

besar dilakukan, mengendalikan hawa nafsu serakah yang tidaklah mudah.

Dalam dokumen Drs. H. Bangun P. Lubis, M.Si CAHAYA AL QUR AN (Halaman 177-185)

Dokumen terkait