• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

4) Tidak memiliki hubungan dengan Bank apabila:

a) Tidak memiliki saham Bank lebih dari 5% dari modal disetor bank

b) Tidak menerima/memberi penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman dari/kepada Bank yang menyebabkan pihak yang memberi bantuan, seperti pihak terafiliasi dan/atau pihak yang melakukan transaksi keuangan dengan bank (debitor inti dan deposan inti) (Boediono, 2005).

2. Kepemilikan Institusional

Adanya pemegang saham seperti kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen. Adanya kepemilikan oleh institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan-perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi-institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham. Signifikasi institusional ownership sebagai agen

14

pengawas ditekankan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Apabila institusional merasa tidak puas atas kinerja manajerial, maka mereka akan menjual sahamnya ke pasar.

Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/8/PBI/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum semakin mengukuhkan diperbolehkannya pihak asing menguasai bisnis bank di Tanah Air. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini meliputi antara lain, penetapan batas maksimum kepemilikan saham didasarkan atas kategori pemegang saham yaitu Badan Hukum Lembaga Keuangan (bank dan bukan bank) (40%), Badan Hukum Non Lembaga Keuangan (30%), dan Perorangan (20%). Sementara batas maksimum kepemilikan saham bagi perorangan pada Bank Umum Syariah adalah sebesar 25 persen. Surat Edaran BI No. 15/4/DPNP yang merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya PBI No. 14/8/PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum. Dalam surat edaran tersebut tercantum mengenai persyaratan khusus bagi asing untuk bisa memiliki saham lebih dari 40 persen pada sebuah bank umum.

Syarat-syarat tersebut yaitu harus terdapat penilaian Tingkat Kesehatan (TKS), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko dan modal inti (tier 1) menggunakan posisi penilaian dalam satu tahun terakhir.

Perubahan perilaku institusional ownership dari pasif menjadi aktif dapat meningkatkan akuntabilitas manajerial sehingga manajer akan bertindak lebih hati-hati dalam pengambilan keputusan. Meningkatnya aktivitas institusional ownership dalam melakukan monitoring disebabkan oleh kenyataan bahwa adanya kepemilikan saham yang signifikan oleh institusional ownership telah meningkatkan kemampuan mereka untuk bertindak secara kolektif. Dalam waktu yang sama, biaya untuk keluar dari investasi yang mereka lakukan menjadi semakin mahal karena adanya resiko saham akan terjual pada harga diskon.

Kondisi ini akan memotivasi institusional ownership untuk lebih serius dalam mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku manajer dan memperpanjang jangka waktu investasi (Fidyati, 2004).

15 Manajemen Laba

Jensen dan Meckling (1976) dalam Oktafia (2013), menyatakan bahwa hubungan teori keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dan investor (principal). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan. Pemisah kepemilikan dan pengendalian menyebabkan manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik.

Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal) dan sebagai imbalannya manajer akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak yang mereka sepakati. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan, di mana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Irfan, 2002). Sedangkan menurut Eisenhardt (1989) dalam Luayyi (2012), bahwa dalam teori agensi itu pada prinsipnya didasari tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest). (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse).

Pada dasarnya teori keagenan merupakan model yang digunakan untuk memformulasikan permasalahan (conflict) antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) (Sunarto, 2009). Menurut Sunarto (2009), hubungan antara manajemen dan pemilik dapat berupa kontrak kerja di mana kinerja manajemen akan diberikan kompesasi oleh pihak pemilik apabila target dapat dipenuhi oleh manajemen. Kinerja perusahaan yang telah dicapai oleh pihak manajemen diinformasikan kepada pihak pemilik (principal) dalam bentuk laporan keuangan.

Manajemen mempunyai informasi yang superior dibandingkan dengan pemilik, karena manajemen telah menerima pendelegasian untuk pengambilan keputusan/

kebijakan perusahaan. Ketika pemilik tidak dapat memonitor secara sempurna aktivitas manajemen, maka secara potensial manajemen dapat menentukan kebijakan yang mengarah pada peningkatan level kompensasinya. Dari konflik inilah akan timbul manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen.

16

Manajemen laba menurut Fizcher dan Roszenrwig dalam Wulandari, 2013 adalah tindakan manajer yang menaikan atau menurunkan laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya, yang tidak mempunyai hubungan dagang menaikan atau menurunkan profitabilitas perusahaan untuk jangka panjang. Sedangkan menurut Merchant dan Rockness dalam Wulandari, 2013 manajemen laba dapat diartikan sebagai suatu tindakan manajemen yang mempengaruhi laba yang dilaporkan dan memberikan manfaat ekonomi yang keliru kepada perusahaan, sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan sangat mengganggu bahkan membahayakan perusahaan.

Manajemen laba merupakan suatu teknik pengelolaan angka laba dimana angka-angka yang dilaporkan memiliki kekuatan yang serupa untuk membangun opini dilingkungan perusahaan. Karena laba bersih yang dilaporkan merupakan angka yang memperoleh perhatian paling banyak, maka angka ini pulalah yang paling mungkin dimanipulasi oleh para manejer (Stice, 2004 dalam Himawan dan Zaenal, 2006).

Ada empat alasan untuk mengelola laba yang dilaporkan, menurut Oktafia, 2013 keempat alasan tersebut meliputi:

a) Memenuhi target internal; merupakan alat penting dalam memotivasi para manejer untuk meningkatkan usaha penjualan, pengendalian biaya dan penggunaan sumber daya yang lebih effisien. Pencapaian target internal ini dijadikan dasar oleh manajemen untuk mengukur kinerja para manejer dan mengaitkannya dengan rencana atau program pemberian bonus akan mendorong munculnya manajemen laba.

b) Memenuhi harapan eksternal; Stakeholder eksternal memiliki kepentingan terhadap kinerja keuangan perusahaan. Para pegawai dan pelanggan menginginkan perusahaan tetap berjalan dengan baik sehingga dapat bertahan dalam jangka panjang, para pemasok menginginkan jaminan atas pembayaran, dan yang lebih penting lagi adalah bahwa perusahaan pembeli akan menjadi pembeli yang dapat diandalkan selama bertahun-tahun. Bagi stakeholder eksternal ini,

17

tanda-tanda dari kelemahan keuangan, seperti pelaporan rugi benar-benar merupakan berita buruk.

c) Meratakan atau memuluskan laba (Income Smoothing); bertujuan untuk mengatur angka laba dari satu periode keperiode berikutnya dengan tidak terlalu berfluktuasi.

d) Mendandani Angka Laporan Keuangan (Window Dressing) untuk Penjualan Saham Perdana (Initial Public Offering – IPO) atau Memperoleh Pinjaman; Bagi perusahaan yang sedang memasuki masa dimana pelaporan laba harus dalam kondisi baik, asumsi-asumsi akuntansi dapat diperluas – seringkali sampai ke titik yang paling jauh dari aturan yang ada. Dengan fakta ini dapat disimpulkan bahwa upaya untuk mendandani angka di laporan keuangan, atau yang disebut window dressing merupakan fenomena yang universal (Stice, 2004 dalam Himawan dan Zaenal, 2006).

Pengembangan Hipotesis

Beberapa mekanisme GCG meliputi keberadaan komisaris independen dan kepemilikan institusional. Selanjutnya dibawah ini akan dibahas secara ringkas mengenai mekanisme GCG tersebut.

Pengaruh Dewan Komisaris Independen Terhadap Manajemen laba

Adanya pemisahan antara pemilik perusahaan (principal) dan pengelolaan oleh manajemen (agent) cenderung menimbulkan konflik keagenan di antara prinsipal dan agen. Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan keinginan prinsipal, sehingga menimbulkan biaya keagenan (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Salah satu mekanisme yang diharapkan dapat mengontrol konflik keagenan adalah dengan menerapkan monitoring melalui tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).

18

Fama dan Jensen (1983), menyatakan bahwa non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance.

Hasil penelitian Dechow, Patricia, Sloan dan Sweeney (1996), Klein (2002), Peasnell, Pope dan Young (2001), Chtourou et al. (2001), Pratana dan Mas’ud (2003), dan Xie, Biao, Wallace dan Peter (2003) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007), memberikan simpulan bahwa perusahaan yang memiliki proporsi anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan atau outside director dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Sehingga, jika anggota dewan komisaris dari luar meningkatkan tindakan pengawasan, hal ini juga akan berhubungan dengan makin rendahnya penggunaan discretionary accruals (Cornett et al., 2006).

Terkait dengan manajemen laba, dewan komisaris independen tidak berkaitan langsung dengan perusahaan yang mereka tangani, karena mereka bertugas untuk memonitoring manajemen perusahaan tanpa ada tekanan dari pihak manapun, sehingga pekerjaan yang dilakukannya murni tanpa ada campur tangan dengan pihak manapun. Dalam penelitian ini rumusan hipotesis yang diajukan sebagai berikut:

H1: Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan teori keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dan investor (principal). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan.

Mekanisme yang dapat membantu menyamakan perbedaan kepentingan antara

19

pemegang saham dan manajer dalam rangka penerapan Corporate Governance adalah dengan menerapkan monitoring terhadap kegiatan manajemen atau direksi.

Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Gideon, 2005).

McConell dan Servaes (1990), Nesbitt (1994), Smith (1996), Del Guercio dan Hawkins (1999), dan Hartzell dan Starks (2003) dalam Cornertt et al., (2006) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007), menemukan adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor institusional dapat membatasi perilaku para manajer. Cornet et al., (2006), menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku opportunistic atau mementingkan diri sendiri.

Kepemilikan institusional memiliki power kontrol yang lebih kuat dibandingkan kepemilikan individu dikarenakan kepemilikan institusional dimiliki oleh pihak institusi atau lembaga keuangan sehingga mereka lebih efektif dalam melakukan kontrol perusahaan karena mereka mempunyai kekuasaan di jasa keuangan.

Pemilik institusional sebagai pemegang saham mayoritas meminta jajaran manajer untuk meminimalisasi manajemen laba karena jika pemilik institusional sebagai pemegang saham mayoritas meminta manajer untuk melakukan rekayasa laba yang menguntungkan pemegang saham mayoritas dan manajemen, maka pemegang saham minoritas dan pasar saham akan mendiskon harga saham perusahaan yang justru akan merugikan pemegang saham mayoritas itu sendiri.

Dalam penelitian ini diajukan hipotesis dengan rumusan sebagai berikut:

H2: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

20

Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba

Menurut Sunarto (2009) teori keagenan merupakan model yang digunakan untuk memformulasikan permasalahan (conflict) antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan prinsipal.

Pemisah kepemilikan dan pengendalian menyebabkan manajemen dapat menentukan kebijakan yang mengarah pada peningkatan level kompensasinya dan membuat manajer melakukan praktik manajemen laba.

Ukuran perusahaan dapat menentukan banyak sedikitnya praktik manajemen laba perusahaan. Perusahaan dengan ukuran yang relatif besar akan dilihat kinerjanya oleh publik sehingga perusahaan tersebut akan melaporkan kondisi keuangannya dengan lebih berhati-hati, lebih menunjukkan keinformatifan informasi yang terkandung di dalamnya, dan lebih transparan.

Oleh karena itu, perusahaan lebih sedikit dalam melakukan praktik manajemen laba (Nuryaman, 2008). Sedangkan perusahaan yang mempunyai ukuran yang lebih kecil mempunyai kecenderungan untuk melakukan manajemen laba dengan melaporkan laba yang lebih besar untuk menunjukkan kinerja perusahaan yang memuaskan(Veronika dan Utama, 2005)

Chtourou (2001) menemukan bukti bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba pada perusahaan di Amerika. Ini berarti, perusahaan yang besar mempunyai peluang yang lebih sedikit dalam melakukan praktik manajemen laba dan sebaliknya, perusahaan yang lebih kecil mempunyai peluang yang lebih besar dalam melakukan praktik manajemen laba. Hasil penelitian Veronica dan Utama (2005) menunjukkan adanya pengaruh negatif signifikan antara ukuran perusahaan dengan manajemen laba perusahaan.

Nuryaman (2008) menemukan bukti bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Dari penelitian tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah:

H3: Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

21

Pengaruh Hutang Perusahaan Terhadap Manajemen Laba

Teori keagenan dari Michael C. Jensen dan William H. Meckling (1976) menyatakan hubungan keagenan atau agency relationship muncul ketika satu atau lebih individu (principal) menggaji individu lain (karyawan atau agen) untuk bertindak atas namanya, mendelegasikan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada agen atau karyawannya. Pemisahan yang terjadi antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan akan menimbulkan suatu konflik yang disebut dengan agency conflic (Luayyi, 2012). Namun terkadang informasi yang diberikan agen tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Kondisi ini yang sering disebut sebagai informasi yang tidak simetri (information asymetric) hal ini yang memicu manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba (Ujiyantho dan Pramuka, 2007).

Hutang perusahaan dapat menentukan banyak sedikitnya praktik manajemen laba perusahaan. Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan hutang. Dengan semakin banyaknya hutang maka manajemen harus dapat lebih meyakinkan pihak kreditur bahwa perusahaan tetap dapat mengembalikan pokok pinjaman beserta bunganya (Astuti, 2004). Leverage yang tinggi akan berpengaruh dengan nilai pembiayaan yang juga tinggi dengan maksud untuk mempertahankan kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang, dengan mempertahankan kinerja perusahaan tersebut, diharapkan kreditur juga akan tetap memiliki kepercayaan terhadap manajemen perusahaan (Subhan, 2011)

Hasil penelitian Astuti (2004) menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap praktik manajemen laba, karena apabila suatu perusahaan memiliki leverage yang tinggi, maka kemungkinan untuk melakukan manajemen laba sangat besar, dan perusahaan memiliki kewajiban yang lebih besar dalam pengungkapan terhadap publik. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Subhan (2011) menunjukkan bahwa Leverage keuangan berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

H4: Hutang perusahaan berpengaruh positif terhadap manajemen laba

22

Model Penelitian

Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)

Variabel Kontrol

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Mekanisme GCG

Proporsi Dewan Komisaris Independen (X1) ( - ) Kepemilikan Institusional (X2) ( - )

Ukuran Perusahaan (X3) ( - ) Hutang Perusahaan (X4) ( + )

Manajemen Laba

23

Dokumen terkait