• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan Latar belakang

Berbagai macam biota perairan secara empiris telah digunakan oleh masyarakat karena memiliki khasiat sebagai pencegahan atau pengobatan suatu penyakit. Salah satu contoh biota perairan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah kerang lamis. Kerang lamis merupakan kerang air laut yang termasuk dalam kelas Bivalvia (Nugranad dan Noodang et al. 2000). Kerang lamis ini dipercayai oleh masyarakat Cirebon dapat menyembuhkan penyakit kuning, hipertensi bahkan dapat meningkatkan stamina.

Semakin berkembangnya zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dibidang pangan dan kesehatan, maka diperlukan bukti ilmiah untuk menjawab berbagai manfaat empiris dari kerang lamis ini. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, kerang lamis terbukti memiliki aktivitas sebagai sebagai anti hiperlipidemik, antineoplastik serta aktivitas antioksidan (Xu et al. 1999; Zhao dan Su 1997; Wei et al. 2007; Huang et al. 2005), aktivitas immune

modulatori (Yu et al. 1991; He et al. 1995; Zhang et al. 2005; Zheng et al. 2008; Xie et al. 2012), aktivitas antitumor dan antikanker (Xie et al. 2012), serta anti hiperglikemik dan anti hiperlipemia (Zhang et al. 1997; Xu et al. 1999;Yuan et al. 2007).

Berbagai macam manfaat dari kerang lamis ini telah dilakukan, akan tetapi kajian mengenai toksikologi dari kerang lamis ini belum ada yang melakukan. Uji toksisitas terdiri dari dua jenis yaitu: uji toksisitas umum (akut, subakut/subkronik dan kronis) dan uji toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (DepKes RI 2000). Oleh karena itu kajian awal yang harus dilakukan adalah pengamatan mengenai toksisitas akut dari kerang lamis ini.

Tujuan dari uji toksisitas akut adalah untuk mendeteksi adanya toksisitas suatu zat, menentukan organ sasaran dan kepekaannya, memperoleh data bahayanya setelah pemberian suatu senyawa secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat dosis yang diperlukan untuk uji toksisitas selanjutnya serta menentukan nilai LD50 zat pada

tikus.

Kajian mengenai toksisitas akut ini akan dapat membantu dalam penentuan dosis konsumsi yang tepat untuk kerang lamis. Selain itu juga penelitian ini juga bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai efek farmakologis dari kerang lamis dan juga diharapkan akan dapat memberikan nilai tambah untuk kerang lamis.

19

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk

1. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis pada dosis 2, 4, 6 dan 15 g/kg BB terhadap parameter fisik, pertumbuhan, konsumsi pakan, histopatologi serta organ dalam tikus percobaan.

2. Menentukan nila LD50 dari ekstrak air dan metanol kerang lamis.

Bahan dan Metode Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013. Penelitian dilakukan dibeberapa laboratorium, antara lain Laboratorium Bedah dan Radiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Balai Besar Penelitian Veteriner, Kementerian Pertanian Cimanggu Bogor.

Bahan dan alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya ekstrak air dan metanol kerang lamis, tikus jenis Sprague Dawley, pakan tikus, air minum dan formalin. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya kandang, wadah makan dan minum tikus, timbangan digital, syringe, mikroskop, botol film serta alat bedah.

Metode penelitian

Penelitian ini melakukan pengujian toksisitas akut dari ekstrak air dan metanol kerang lamis (Meretrix meretrix Linnaeus). Pengujian toksisitas akut pada penelitian ini dilakukan secara in vivo dengan menggunakan hewan uji tikus putih (Rattus noeveginus) galur Sprague Dawley dengan berat ±150 g atau berumur sekitar dua bulan.

Sebelum dilakukan pengujian, tikus percobaan ini harus diadaptasikan terlebih dahulu dengan kondisi lingkungan di laboratorium selama 1 minggu. Ruangan diatur dengan siklus gelap dan terang masing-masing 12 jam. Pakan dan minuman diberikan secara ad libitum. Formulasi pakan standar yang diberikan mengacu pada American Institute of Nutrition (AIN 1976) (komposisi pakan dapat dilihat pada Lampiran 4). Sedangkan minuman yang diberikan kepada tikus yaitu air mineral biasa dengan menggunakan botol khusus untuk tikus.

Tikus diberi pakan dalam bentuk pellet dengan berat 20 g/ekor/hari. Pakan diletakkan dalam wadah pada kandang. Jumlah pakan tersebut sudah mencukupi untuk kebutuhan tikus dengan umur 2 bulan. Penentuan jumlah konsumsi pakan dilakukan dengan menimbang jumlah pakan yang tersisa pada wadah, kemudian dilanjutkan dengan penimbangan bobot badan tikus. Pemberian ekstrak air dan

15 g/kg BB, kemudian diamati pertumbuhan, konsumsi pakan dan parameter fisik tiap harinya.

Uji toksisitas akut (OECD Test Guideline 403: 2009)

Adapun tahap-tahapan percobaannya adalah sebagai berikut:

1 Tikus dibagi menjadi 5 kelompok, dimana kelompok pertama adalah kontrol, kelompok kedua diberi ekstrak dengan dosis 2 g/kg BB, kelompok ketiga diberi ekstrak dengan dosis 4 g/kg BB, kelompok keempat diberi ekstrak dengan dosis 6 g/kg BB dan keompok kelima diberi ekstrak dengan dosis 15 g/kg BB

2 Pemberian ekstrak dilakukan secara oral menggunakan sonde. 3 Sebelum perlakukan tikus dipuasakan dahulu selama 4 jam. 4 Tikus kontrol hanya diberi akuades.

5 Pemberian perlakuan hanya dilakukan satu kali, yaitu pada hari pertama. 6 Pengamatan dilakukan pada hari ke 1, 2, 3, 5, 10 dan 14. Dilakukan

pengamatan terhadap parameter fisik (Lampiran 3), pertumbuhan serta pengukuran konsumsi pakan serta perubahan warna organ tikus.

7 Tikus yang mati, kemudian dibedah untuk diambil hati dan ginjalnya lalu dibuat preparat histologisnya.

8 Mengetahui nilai LD50.

Diagram alir proses pengujian toksisitas akut secara in vivo pada tikus di Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir metode uji toksisitas akut Pencekokan pada

tikus uji

Pengamatan fisik

tikus (Lampiran 1) pertumbuhan dan Pengamatan konsumsi pakan Pengamatan LD50 Pengamatan histopatologi hati dan ginjal Pengamatan organ dalam tubuh tikus Ekstrak air dan metanol dosis 2,4,6 dan

21

Hasil dan Pembahasan Pengamatan parameter fisik tikus

Setelah pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis pada hari pertama, kemudian diamati parameter fisik dari tikus percobaan. Hasil pengamatan parameter fisik tikus untuk semua dosis selama 14 hari dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pengamatan parameter fisik tikus No Sistem organ Pengamatan Tanda-tanda

umum Ket Jumlah kematian 1 Sistem pusat dan somatomotor Perilaku Gelisah - 0 Kedutan perut - 0 Kejang - 0

Keaktifan terhadap rangsangan Normal 0

2 Pernafasan Laju pernafasan Sesak nafas - 0

3 Saluran

pencernaan Feses

Mencret - 0

Bentuk feses Normal 0

Warna feses Normal 0

4 Kulit dan bulu Warna dan keutuhan

Warna bulu Normal 0

Keutuhan bulu Normal 0

5 Mata Bulu dan bola

mata

Bulu mata utuh - 0

Warna mata Normal 0

Kejernihan Normal 0

6 Mulut Pendarahan Pendarahan - 0

Pembengkakan - 0

7 Hidung Pendarahan Pendarahan - 0

Pembengkakan - 0

8 Genitourinari Kelenjar mamae Pembengkakan - 0

Penis Pembengkakan - 0

Keterangan: - : tidak terjadi

Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dari tikus uji pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis pada dosis 2, 4, 6 dan 15 g/kg BB tidak menyebabkan adanya tanda-tanda keracunan pada tikus uji. Pengamatan terhadap sistem saraf pusat, tidak terjadi perubahan selama pengamatn 14 hari serta tidak terjadi perubahan tingkat keaktifan dari tikus uji. Pengamatan tarhadap saluran pernafasan juga tidak menunjukkan adanya dyspenia/sesak napas atau 100 % sampel tikus yang diberikan kedua ekstrak dalam kondisi normal laju pernafasannya. Saluran pencernaan tikus juga dalam kondisi normal. Hal ini dapat diamati dari warna dan bentuk feses yang normal serta tidak adanya tikus yang menceret selama 14 hari pengamatan. Hal ini diduga, bahwa ekstrak air dan metanol kerang lamis tidak mengandung zat atau senyawa-senyawa yang dapat mengganggu pencernaan tikus. Pengamatan pada mulut, hidung dan genitourinari tidak menunjukkan adanya gejala keracunan seperti pembengkakan dan pendarahan selama 14 hari pengamatan.

Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik pada tikus yang diberikan kedua ekstrak dosis 2, 4, 6 dan 15 g/kg BB dan diamati selama 14 hari tidak ditemukan adanya tikus percobaan yang mati pada tiap tingkatan dosis. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui derajat toksisitas untuk ekstrak air dan metanol kerang lamis menurut klasifikasi toksisitas relatif Lu (1995) adalah praktis tidak toksik dengan nilai LD50>15 g/kg BB. Hal ini disebabkan tidak

ditemukan adanya tikus percobaan yang mati pada dosis tersebut.

Nilai LD50 bukan suatu tetapan biologi yang mutlak, melainkan hanya

merupakan salah satu petunjuk toksisitas akut (Siregar et al. 1991). Menurut Lu (1995), jika sejumlah zat yang diberikan kepada hewan uji dengan dosis tinggi dan tidak ada hewan uji yang mati, maka dianggap bahwa semua toksisitas akut yang berbahaya dapat diabaikan. Hasil pengamatan toksisitas akut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya spesies, keragaman individu, jenis kelamin,

umur, berat badan, cara pemberian, kesehatan hewan dan lingkungan (Balls et al. 1991).

Pertumbuhan dan Konsumsi Pakan Tikus Percobaan

Selain pengamatan parameter fisik dan LD50, dilakukan juga pengamatan

pertumbuhan dari tikus percobaan dan tingkat konsumsi pakannya setelah pemberian kedua ekstrak kerang lamis. Pengamatan pertumbuhan tikus ini merupakan salah satu parmeter dari efek toksik. Menurut Lu (1995), berkurangnya pertambahan bobot badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana namun sensitif. Penimbangan bobot badan dan konsumsi pakan akan dilakukan setiap hari setelah pemberian kedua ekstrak kerang lamis. Berikut dapat dilihat data pertumbuhan tikus percobaan selama 14 hari pengamatan pada Gambar 4.

Gambar 4 Pertumbuhan tikus percobaan pada uji toksisitas akut. kontrol, ekstrak air dosis 2 g/kg BB, ekstrak air dosis 4 g/kg BB, ekstrak air dosis 6 g/kg BB, ekstrak air dosis 15 g/kg BB, ekstrak metanol 2 g/kg BB, ekstrak metanol 4 g/kg BB, ekstrak metanol 6 g/kg BB, ekstrak metanol 15 g/kg BB. 130 145 160 175 190 205 220 235 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 B o b o t b ad an (g) Hari ke-

23

Hasil pada Gambar 4, terlihat adanya peningkatan rata-rata bobot badan tikus selama pengamatan dengan kisaran 3.0-4.5 g/hari atau pertumbuhan tikus sebesar 1.75-2.8 % untuk masing-masing perlakuan. Akan tetapi adanya perbedaan bobot badan tiap perlakuan, hal ini berhubungan dengan kondisi dan konsumsi pakan dari tikus percobaan.

Konsumsi pakan tikus selama pengamatan juga mengalami fluktuatif berkisar antara 18.00-20.00 g/ekor/hari untuk masing-masing perlakuan. Levine dan Saltzman (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan tikus normal rata-rata sebesar 1.5-3.0 % dari berat awal, hal ini apabila nutrisi tercukupi dengan baik dan tikus masih berumur di bawah 5 bulan. Berdasarkan hasil tersebut, maka disimpulkan pertumbuhan tikus percobaan yang diberi kedua ekstrak masih normal. Hal ini diduga bahwa ekstrak kerang lamis tidak mengandung senyawa yang dapat menyebabkan gangguan pada penyerapan nutrisi, sehingga tubuh dapat memanfaatkan nutrisi dengan baik dan dapat meningkatkan bobot badan tikus.

Histopatologi hati dan ginjal

Bagian paling penting dari pengujian toksisitas adalah histopatologi organ hati dan ginjal. Hasil histopatologi hati dapat dilihat pada Gambar 5.

Hati kontrol Hati yang diberi ekstrak air 15 g/kg BB

Hati yang diberi ekstrak metanol 15 g/kg BB

Gambar 5 Hasil histopatologi organ hati tikus, (1)Vena sentralis, (2) Sel hepatosit, (3) Sinusoid, (4) Nekrosis. 2 1 3 2 4 1 3 2 4 1 3

Hati merupakan organ terbesar dan mempunyai peranan yang penting dalam fisiologi tubuh yaitu fungsi metabolisme dan detoksifikasi (Lu 2006). Hati selalu menjadi organ sasaran, hal ini karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem digesti, setelah diserap kemudian toksikan dibawa ke vena porta lalu ke hati. Casarett dan Doull’s (1986) menyatakan bahwa, pemaparan oleh berbagai bahan toksik akan memperbesar kerusakan hati. Hati rentan mengalami kerusakan, hal ini karena hati merupakan organ pertama setelah saluran pencernaan yang terpapar oleh bahan-bahan yang bersifat toksik.

Hasil analisis histopatologi organ hati pada Gambar 6 tidak menunjukkan adanya perubahan mikroskopis pada kontrol dan kedua perlakuan. Akan tetapi pada kedua perlakuan, terdapat beberapa sel yang mengalami nekrosis pada pengamatan sebanyak sepuluh lapang pandang. Histopatologi hati dari tikus yang diberi ekstrak air mengalami nekrosis sebanyak 6.51±2.20 % dan tikus yang diberi ekstrak metanol sebanyak 7.01±1.54 %. Cheville (2006) menyatakan bahwa, nekrosis adalah terjadinya kematian sel dan jaringan pada hewan hidup. Sudiono et al. (2003) menyebutkan bahwa, kematian yang umum terjadi setelah sel terpapar stimulus eksogen seperti rangsangan kimia ialah terjadinya pembengkakan sel. Selanjutnya sel pecah, terjadi denaturasi, koagulasi sel sitopasma dan hancurnya organel sel. Menurut Kelly (1993) nekrosis merupakan kelanjutan dari degenerasi dan bersifat irreversible, sehingga hepatosit tidak dapat kembali ke bentuk normal.

Pemberian kedua ekstrak kerang lamis dosis 15 g/kg BB menyebabkan terjadinya nekrosis pada beberapa sel hepatosit, walaupun secara umum kondisi hati normal. Terjadinya nekrosis, diduga karena adanya senyawa aktif saponin yang dimiliki kerang lamis, hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisa zat aktif menunjukkan, kedua ekstrak kerang lamis mengandung zat bioaktif jenis saponin.

Harborne (1984) menyatakan bahwa, saponin terbagi menjadi dua kelompok yaitu triterpenoid dan steroid. Menurut Robison (1995), kedua senyawa tersebut merupkan glikosida alam, dimana terdapat ikatan kompleks antara gula dengan aglikon (sapogenin). Waktu terjadi hidrolisis baik oleh asam, basa atau enzim maupun fisik menyebabkan glikosida saponin akan terurai menjadi gula dan sapogenin sebagai aglikon, sifat racunnya disebabkan oleh aglikon tersebut. Menurut Hoffmann et al. (2001), saponin juga telah diketahui memiliki aktivitas dalam memacu apoptosis, tetapi belum diketahui letak titik tangkapnya. Batubara (2004) melaporkan bahwa, kadar saponin dalam jumlah tinggi lebih dari 200 ppm akan bersifat toksik. Abadi (2005) menyatakan pemberian saponin 150 ppm selama 18 hari sudah menyebabkan kondisi patologi organ hati dengan munculnya degenerasi dan nekrosis sel hepatosit hati.

Selain hati, ginjal juga merupakan organ vital yang perlu diamati histopatologinya. Casarett dan Doull’s (1986) menyatakan bahwa, ginjal hewan mamalia sangat kompleks secara anatomi dan fungsi. Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan limbah hasil detoksifikasi. Kegagalan fungsi ginjal dapat terjadi jika organ tersebut dirusak oleh bahan yang bersifat toksik. Menurut Japaries (1995) serta Confer dan Panciera (1995), semua darah yang akan disaring dan dibersihkan ginjal harus melalui glomerulus dan hasil saringan glomerulus masuk ke dalam tubulus ginjal untuk diolah lebih lanjut dan akhirnya menghasilkan urin. Berikut dapat dilihat histopatologi ginjal pada Gambar 6.

25

Ginjal kontrol Ginjal yang diberi ekstrak air 15 g/kg BB

Ginjal yang diberi ekstrak metanol 15 g/kg BB

Gambar 6 Hasil histopatologi organ ginjal tikus, (1) Glomerulus, (2) Tubulus proksimal, (3) Tubulus distal, (4) Sel normal, (5) Degenerasi

Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi ginjal pada Gambar 6 tidak menunjukkan adanya perubahan mikroskopis pada kontrol dan kedua perlakuan. Akan tetapi pada kedua perlakuan, terdapat beberapa sel yang mengalami degenerasi pada pengamatan dalam sepuluh lapang pandang. Histopatologi ginjal dari tikus yang diberi ekstrak air mengalami degenerasi sebanyak 3.25±1.12 % dan tikus yang diberi ekstrak metanol sebanyak 5.16±0.68 %. Spector dan Spector (1993) menyatakan bahwa degenerasi sel merupakan perubahan ukuran sel, hilangnya struktur dan berubahnya fungsi sel yang bersifat progresif, akan tetapi tidak berhubungan dengan neoplasia ataupun radang. Adanya gangguan

metabolisme dalam sel merupakan penyebab utama dari degenerasi. Menurut Kelly (1993), degenerai bersifat reversible. Apabila terpaan bahan toksik

dihentikan, sel yang mengalami kerusakan akan kembali normal, sedangkan jika terus berlanjut akan menyebabkan nekrosis sel.

Pemberian kedua ekstrak kerang lamis yang bersifat toksik pada organ hati, tetapi tidak toksik pada organ ginjal. Penyebab keracunan sel hati yang

4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3

diduga efek toksik kandungan saponin tidak terjadi pada sel ginjal. Hal ini diduga karena saponin (sapogenin) telah didetoksifikasi oleh hati sehingga meringankan bagi glomerulus ginjal untuk melakukan penyaringan dan tubulus dalam proses pengolahan untuk selanjutnya dikeluarkan melalui urin.

Proses detoksifikasi saponin oleh organ hati dan kemudian tidak bersifat toksik pada organ ginjal dapat dijelaskan sebagai berikut. Saponin bebas dalam bentuk glikosida alam atau masih berikatan dengan molekul gula yang bersifat larut air. Saat dilambung hewan uji melalui tekanan fisik dan suasana asam, saponin dipecah menjadi gula dan sapogenin (steroid). Sapogenin bersifat lipofilik dan toksik. Kemudian sapogenin melalui vena porta masuk ke hati. Proses detoksifikasi hati berjalan terhadap bahan toksik termasuk sapogenin melalui reaksi fase satu secara oksidasi, hidrolisis dan reduktase dengan induksi enzim sitokrom P-450 dipecah menjadi metabolit yang bersifat polar reaktif. Selanjutnya metabolit yang terbentuk ini akan dikonjugasikan oleh enzim-enzim fase kedua khususnya oleh enzim GST sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah dieksresikan ke luar tubuh makhluk hidup. Blanchette et al. (2007) menyatakan, enzim GST yang berada di sel hewan berfungsi mengisolasi dan memindahkan komponen hidrofobik seperti steroid dan turunannya, bilirubin, heme dan garam empedu. Sebelum diekskresikan keluar, terlebih dahulu senyawa yang sudah tidak bersifat toksik tersebut disaring oleh glomerulus ginjal dan diolah oleh tubulus tanpa adanya beban yang berat sehingga berakibat sel-sel ginjal pada bagian tersebut tidak mengalami kerusakan.

Pengamatan organ dalam tikus

Akhir pengujian toksisitas akut, dilakukan pembedahan untuk pengamatan organ secara makroskopik. Pengamatan terhadap organ bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai toksisitas zat uji dalam kaitannya dengan organ sasaran dan efek terhadap organ tersebut. Karena pengamatan dilakukan secara makroskopik, maka hal yang diamati hanya sebatas warna dan penampilan organ yang tampak. Adapun organ yang diamati diantaranya jantung, hati, paru-paru, lambung, usus, ginjal dan limpa.

Hasil pengamatan efek toksik ekstrak air dan metanol kerang lamis terhadap organ setelah pemberian kedua ekstrak dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7 serta Gambar 7 dan 8 berikut ini.

Tabel 6 Hasil pengamatan organ tikus yang diberi ekstrak air kerang lamis

Keterangan: n (normal), m (kemerahan), mpk (merah pekat)

Organ Dosis (g/kg BB) Kontrol 2 4 6 15 (1) Ginjal n n n Mpk Mpk (2) Hati n m Mpk Mpk Mpk (3) Jantung n n n n n (4) Lambung n n n n n (5) Limpa n n n n n (6) Paru-paru n n n n n (7) Usus n n n n n

27 Kontrol 2 g/kg BB 4 g/kg BB 6 g/kg BB 15 g/kg BB

Gambar 7 Penampakan organ tikus yang diberi ekstrak air kerang lamis Tabel 7 Hasil pengamatan organ tikus yang diberi ekstrak metanol kerang lamis

Keterangan: n (normal), m (kemerahan), mpk (merah pekat), mkh (merah kehitaman) Organ Dosis (g/kg BB) Kontrol 2 4 6 15 (1) Ginjal n n m mpk mpk (2) Hati n n m mpk mpk (3) Jantung n n n n n (4) Lambung n n n n n (5) Limpa n m m mkh mkh (6) Paru-paru n n n n n (7) Usus n n n n n

7

7

Kontrol 2 g/kg BB

6 g/kg BB 8 g/kg BB

15 g/kg BB

Gambar 8 Penampakan organ tikus yang diberi ekstrak metanol kerang lamis Ginjal

Berdasarkan hasil pengamatan organ dalam tikus percobaan, terjadi perubahan warna organ ginjal tikus untuk kedua ekstrak kerang lamis. Perubahan warna yang terjadi yaitu dari kemerahan (ektrak metanol konsentrasi 4 g/kg BB)

sampai warna merah pekat (ekstrak air dan metanol pada konsentrasi 6 dan 15 g/kg BB). Adanya perubahan warna pada organ, akan menjadi salah satu

indikator terjadinya suatu efek toksik pada organ. Hal ini terkait dengan fungsi ginjal yaitu memusnahkan zat toksik tertentu, sehingga menjadikan ginjal sasaran utama dari efek toksik (Lu 2006).

Ginjal merupakan organ yang berfungsi sebagai sistem urinasi untuk mengeluarkan sisa metabolisme, mengatur cairan garam, menjaga keseimbangan

29

asam basa, serta mengatur tekanan darah (Dellman dan Brown 1992). Hasil metabolisme akan dibuang dari tubuh melalui ginjal dalam bentuk urin dan ditampung sementara dalam kandung kemih untuk selanjutnya dibuang melalui uretra.

Hati

Hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Hati selalu menjadi organ sasaran, hal ini disebabkan hati sebagai penerima 80% suplai darah dari vena porta, sehingga memungkinkan untuk zat- zat toksik diserap di hati (Lu 1995). Fungsi hati yaitu mendetoksifikasi produk buangan metabolisme, merusak sel darah merah tua, sintesis dan sekresi lipoprotein plasma dan fungsi metabolisme (sintesis glikogen, glukoneogenesis, menyimpan glikogen, beberapa vitamin dan lipid) (Burkitt et al. 1995).

Hati tikus percobaan mengalami perubahan warna semakin meningkatnya dosis kedua ekstrak kerang lamis. Terjadinya perubahan warna kemerahan untuk ekstrak air (dosis 2 g/kg BB) dan metanol (dosis 4 g/kg BB) sampai merah pekat untuk ekstrak air (dosis 4, 6, 15 g/kg BB) dan metanol (dosis 6 dan 15 g/kg BB). Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh kandungan senyawa dalam ekstrak kerang lamis terhadap organ hati tikus, terkait dengan fungsi dan kerja hati.

Jantung

Hasil pengamatan jantung, tidak terjadi perubahan warna jantung dari semua perlakuan. Jantung memiliki fungsi untuk memompa darah keseluruh tubuh. Jantung juga dapat dirusak oleh berbagai jenis zat kimia karena merupakan salah satu sasaran organ. Zat kimia bekerja secara langsung pada otot jantung atau tidak langsung melalui susunan saraf atau pembuluh darah. Otot jantung mengandung sedikit bahan kontraktil dengan lebih banyak mengandung bahan mitokondria. Mitokondria berperan penting dalam kontraktilitas jantung sehingga menjadi organ sasaran kardiotoksisitas. Suatu toksin dapat mempengaruhi salah satu dari pembuluh darah dan akibat yang ditimbulkan tergantung dari seberapa penting organ yang disuplai darah oleh pembuluh darah yang terkena (Lu 1995). Lambung

Hasil pengamatan organ tikus, tidak terjadi perubahan warna untuk kedua ekstrak kerang lamis. Lambung memiliki fungsi utama adalah tempat penyimpanan dan pencampuran makanan, serta tempat awal proses pencernaan protein dan lemak (Swenson 1984). Lambung mengosongkan semua isinya menuju ke duodenum dalam 2-6 jam setelah makan tersebut dicerna. Pengosongan lambung pada dasarnya dipermudah oleh gelombang peristaltik pada antrum lambung dan dihambat oleh resistensi pylorus terhadap jalan makanan. Bila makanan berlemak, khususnya asam-asam lemak terdapat dalam chyme yang masuk ke dalam duodenum, maka akan menekan aktivitas pompa pilorus yang pada akhirnya akan menghambat pengosongan lambung. Hal ini berakibat pada pencernaan lemak yang lambat sebelum akhirnya masuk ke dalam usus.

Limpa

Berdasarkan pengamatan mikroskopis terhadap limpa tikus percobaan, tidak terjadi perubahan warna tikus pada ekstrak air, akan tetapi untuk ekstrak metanol, terjadi perubahan warna menjadi kemerahan (dosis 2 dan 4 g/kg BB) dan

merah kehitaman (dosis 6 dan 15 g/kg BB). Hal ini menandakan adanya pengaruh ekstrak metanol kerang lamis terhadap organ limpa tikus.

Sistem jaringan limfoid dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok yaitu,

Dokumen terkait