• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 TOKSISITAS SUB KRONIS EKSTRAK AIR DAN METANOL KERANG LAMIS (Meretrix meretrix Linnaeus) SECARA

IN VIVO PADA TIKUS Sprague Dawley

Pendahuluan

Latar belakang

Kerang lamis merupakan kerang air laut yang termasuk dalam kelas Bivalvia (Nugranad dan Noodang et al. 2000). Anggota kelas Bivalvia diperkirakan berjulah sepertiga dari filum Moluska yang meliputi kerang, kijing serta tiram. Ciri utamanya adalah memiliki dua cangkang yang pipih dan lateral. Tubuhnya bersifat simetri bilateral dan berada dalam cangkang (Barnes 1980). Kerang lamis ini dipercayai oleh masyarakat Cirebon dapat menyembuhkan berbagai penyakit diantaranya penyakit kuning, hipertensi bahkan dapat meningkatkan stamina.

Semakin berkembangnya zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dibidang pangan dan kesehatan, maka diperlukan bukti ilmiah untuk menjawab berbagai manfaat empiris dari kerang lamis ini. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, kerang lamis terbukti memiliki aktivitas sebagai sebagai anti hiperlipidemik, antineoplastik serta aktivitas antioksidan (Xu et al. 1999; Zhao dan Su 1997; Wei et al. 2007; Huang et al. 2005), aktivitas immune

modulatory (Yu et al. 1991; He et al. 1995; Zhang et al. 2005; Zheng et al. 2008; Xie et al. 2012), aktivitas antitumor dan antikanker (Xie et al. 2012), serta anti hiperglikemik dan anti hiperlipemia (Zhang et al. 1997; Xu et al. 1999; Yuan et al. 2007).

Berbagai macam khasiat dari kerang lamis ini harus didukung dengan data pengujian toksisitas. Berdasarkan hasil pengujian toksisitas akut pada tahap ke dua penelitian, kerang lamis memiliki LD50 diatas 15 g/kg BB atau dapat

dikatakan kerang ini tidak toksik. Lu (1995) mengkalsifikasikan bahwa suatu substansi jika memiliki LD50 > 15 g/kg BB termasuk golongan bahan practically

non toxic. Akan tetapi pemberian ektrak kerang lamis secara berulang mungkin saja dapat menimbulkan efek toksik pada organ tubuh. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian toksisitas sub kronis yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis terhadap tikus percobaan.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk:

1 Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis dosis 0.1 dan 1 g/kg BB secara berulang selama 12 minggu terhadap pertumbuhan dan konsumsi pakan tikus percobaan.

33

2 Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis dosis 0.1 dan 1 g/kg BB secara berulang selama 12 minggu terhadap parameter fisik dan kimia tikus percobaan.

Bahan dan Metode Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2013. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium, antara lain Laboratorium Bedah dan Radiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Klinik YASA Bogor.

Bahan dan alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya ekstrak air dan metanol kerang lamis, tikus jenis Sprague dawley, pakan tikus, air minum. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya kandang, wadah makan dan minum tikus, timbangan digital, syringe, alat bedah, tabung darah, tabung sentrifuge, sentrifuge, Auto-analyzer Cobas Mira Instrument serta test kit Biocon Diagnostic.

Metode penelitian

Uji toksisitas sub kronis (OECD Test Guideline 413: 2009)

Penelitian pengujian tosksisitas sub kronis ini dilakukan secara in vivo dengan menggunakan hewan percobaan yaitu tikus. Tikus yang digunakan adalah tikus putih (Rattus noeveginus) galur Sprague Dawley dengan berat ± 150 g yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Veteriner Kementerian Pertanian, Cimanggu Bogor. Sebelum dilakukan pengujian, tikus percobaan ini harus diadaptasikan terlebih dahulu dengan kondisi lingkungan di laboratorium selama 1 minggu. Ruangan diatur dengan siklus gelap dan terang masing-masing 12 jam.

Tikus diberi pakan dalam bentuk pellet dengan berat 20 g/ekor/hari. Pakan diletakkan dalam wadah pada kandang. Jumlah pakan sebanyak 20 g/ekor/hari sudah mencukupi untuk kebutuhan konsumsi tikus dengan umur 2 bulan. Jadwal pemberian pakan dan minum yaitu pada pukul 09.00-10.00 WIB untuk setiap harinya. Penentuan jumlah konsumsi pakan dilakukan dengan menimbang jumlah pakan yang tersisa dalam wadah pakan, kemudian dilanjutkan dengan penimbangan bobot badan tikus. Pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis dilakukan setiap hari selama 12 minggu dengan dosis 0.1 dan 1 g/kg BB masing- masing perlakuan dilakukan sebanyak 10 kali ulangan dengan kontrol hanya diberi akuades, kemudian akan diamati pertumbuhan tiap harinya, konsumsi pakan, parameter kimia serum darah tikus serta berat hati dan ginjal tikus. Adapun pengamatan parameter kimia dilakukan dengan menguji beberapa parameter dan dilakukan dalam beberapa tahapan berikut ini.

Pembuatan serum darah

Pembuatan serum darah dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: - Tikus dianestesi kemudian dilakukan pembedahan.

- Kemudian darah diambil dari bagian jantung dengan menggunakan syringe.

- Darah ditampung ke dalam tabung sentrifuge, kemudian didiamkan selama 15 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dan diambil superntannya (serum).

- Serum disimpan di dalam kulkas dengan suhu 12-15 ⁰C Pengujian parameter kimia serum darah

Serum yang telah dibuat kemudian diamati parameter urea, bilirubin, kreatinin, albumin dan kolesterol. Setiap parameter dipipet sebanyak 20 μL contoh serum, kemudian ditambahkan campuran reagen 1 (bufer) dan reagen 2 (starter) dengan jenis reagen yang berbeda-beda untuk setiap parameter. Pencampuran antara contoh dan reagen serta pembacaan dilakukan secara otomatis oleh Auto-analyzer Cobas Mira Instrument. Analisis ini menggunakan metode test kit Biocon Diagnostic secara kuantitatif.

Diagram alir dalam pengujian toksisitas sub kronis secara in vivo pada tikus dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini.

Gambar 9 Diagram alir dalam pengujian toksisitas sub kronis secara in vivo Ekstrak air dan metanol

kerang lamis dosis 0.1 dan 1 g/kg BB

Pencekokan pada tikus percobaan per hari selama 90 hari pemeliharaan

Pengamatan pertumbuhan dan konsumsi pakan Data perumbuhan Jumlah pakan yang dikonsumsi

Pengamatan setelah 90 hari

Bobot hati dan ginjal Kadar kimia

35

Rancangan percobaan

Percobaan dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor yang digunakan ada tiga taraf yaitu tikus kontrol, ekstrak air dan ekstrak metanol dengan 10 kali ulangan. Model matematis rancangan percobaan tersebut menurut Steel dan Torrie (1995) adalah:

Yij = μ + αi + εij Keterangan:

Yij : respon pengaruh perlakuan pada taraf I ulangan ke j μ : Pengaruh rata-rata umum

αi : Pengaruh perlakuan pada taraf i

εij : Pengaruh acak (galat percabaan) pada konsentrasi taraf I ulangan ke j

Hasil dan pembahasan

Pertumbuhan dan konsumsi pakan tikus percobaan

Penimbangan bobot badan tikus dilakukan setiap hari per ekor tikus selama 90 hari, kemudian setiap minggu dirata-rata perkelompok perlakuan. Penimbangan bobot badan digunakan untuk menghitung volume ekstrak sonde yang diberikan pada tikus. Selain itu, penimbangan juga bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tikus, memperkirakan tingkat kesehatan dan indikasi keracunan subkronis akibat pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis. Menurut Lu (1995), berkurangnya pertambahan bobot badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana namun sensitif. Data pertumbuhan tikus percobaan selama 12 minggu pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Pertumbuhan tikus pada uji toksisitas sub kronis, tikus kontrol, ekstrak air 0.1 g/kg BB, ekstrak air 1 g/kg BB, ekstrak metanol 0.1 g/kg BB, ekstrak metanol 1 g/kg BB

1 26 51 76 101 126 151 176 201 226 251 276 301 326 351 376 401 426 M0 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11 M12 B o b o t b ad an (g )

Hasil pengukuran pertumbuhan tikus percobaan selama 12 minggu, bobot badan tikus mengalami peningkatan dengan kisaran 7.06-24.36 g/minggu atau pertumbuhan tikus sebesar 2.20-15.98 % untuk masing-masing perlakuan. Akan tetapi adanya perbedaan bobot badan tiap perlakuan, hal ini berhubungan dengan kondisi dan konsumsi pakan dari tikus percobaan. Levine dan Saltzman (1999)

menyatakan bahwa, pertumbuhan tikus normal rata-rata sebesar 1.5-3.0 % per hari dari bobot awal atau sekitar 7.05-21.00 % per minggu, hal ini

apabila nutrisi tercukupi dengan baik dan tikus masih berumur di bawah 5 bulan. Muttaqin (2009) melakukan pengujian toksisitas subkronis kerang mas ngur pada dosis 0.04, 0,4 dan 4 g/kg BB. Pemberian ekstrak kerang tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan konsumsi pakan tikus percobaan dan tikus dalam kondisi normal dengan bobot badan berkisar 409.16-437.34 g.

Berdasarkan hasil tersebut, maka disimpulkan pertumbuhan tikus percobaan yang diberi ekstrak air dan metanol masih normal, walaupun terdapat perbedaan bobot badan antara kedua ekstrak dan kedua dosis yang diberikan.

Bobot badan tikus percobaan yang diberi ekstrak air dan metanol dosis 0,1 g/kg BB lebih besar jika dibandingkan dengan pemberian dosis 1 g/kg BB,

akan tetapi secara keseluruhan berat badan tikus percobaan yang diberi ekstrak air lebih tinggi dari ekstrak metanol. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kerang lamis diduga tidak mengandung senyawa yang dapat menyebabkan gangguan pada penyerapan nutrisi, sehingga tubuh dapat memanfaatkan nutrisi dengan baik dan dapat meningkatkan berat badan tikus.

Berdasarkan hasil perhitugan konsumsi pakan tikus selama 12 minggu mengalami fluktuasi. Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh tikus yang diberi ekstrak air lebih tinggi jika dibandingkan dengan jika diberikan ekstrak metanol. Begitu juga dengan semakin meningkatnya dosis ekstrak yang diberikan, maka jumlah pakan yang dikonsumsi juga berkurang. Hasil konsumsi pakan ini berbanding lurus dengan pertumbuhan tikus, dimana tikus yang diberi ekstrak air lebih besar pertumbuhannya dari tikus yang diberi ekstrak metanol, begitu juga dengan perbedaan dosis yang diberikan.

Bahan yang mengandung senyawa beracun selalu mengganggu kerja enzim-enzim pencernaan, sehingga kerja enzim tersebut dapat terganggu dan selera manjadi turun drastis. Hal ini merupakan tahap awal terganggunya metabolisme tubuh, jumlah konsumsi pakan yang rendah akan menyebabkan gangguan metabolisme lainnya, dan pertumbuhan tikus menjadi terganggu. Ekstrak air dan metanol kerang lamis tidak mengandung senyawa yang dapat memblokir permukaan usus atau mengkhelat zat gizi tertentu sehingga penyerapan zat gizi menjadi terganggu. Pemblokiran dan pengkhelatan zat gizi tertentu dapat menyebabkan defisiensi zat gizi, akibatnya akan mengganggu pertumbuhan tikus (Qodrie et al. 2009).

Bobot hati tikus percobaan

Hati merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi metabolisme paling penting. Kerusakan organ hati akan menyebabkan gangguan metabolisme di dalam tubuh. Hati mengendalikan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak.

37

β-globulin, faktor pembeku darah (fibrinogen, protrombin). Hati juga memiliki peran penting dalam sintesis kolesterol dan sebagian dieksresi ke dalam empedu sebagai asam kolat. Vitamin larut lemak (A, D, E, K) dan vitamin B12 serta Cu dan Fe disimpan di hati. Hati menginaktifkan dan menyekresi aldosteron, glukokartikoid, estrogen, pregesteron dan testosteron. Hati bertanggung jawab atas biotransformasi zat-zat berbahaya menjadi tidak berbahaya, kemudian diekskresi melalui ginjal (Price dan Wilson 1997).

Hasil pengukuran bobot hati tikus yang diberi ekstrak air dan metanol kerang lamis dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Bobot rata-rata hati tikus percobaan Dosis pemberian ekstrak Berat rata-rata hati (g) Kontrol A/0.1 A/1 M/0.1 M/1 2.78 ± 0.33 a 2.63 ± 0.20 a 2.58 ± 0.17 a 2.60 ± 0.18 a 2.49 ± 0.14 a

Ket: A/0,1 dan A/1 (Ekstrak air dosis 0.1 dan 1 g/kg BB); M/0.1 dan M/1 (Ekstrak metanol dosis 0.1 dan 1 g/kg BB)

Hasil uji statistik menunjukkan tidak beda nyata (P>0.05) untuk semua perlakuan

Pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis dosis 0.1 dan 1 g/kg BB tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0.05) terhadap bobot hati tikus percobaan. Bobot relatif hati dapat dijadikan sebagai indikator pertumbuhan tikus secara normal. Hati dapat tumbuh lebih rendah dari bobot relatif hati normal atau dapat lebih tinggi terhadap bobot relatif hati normal. Persentase bobot hati

tikus percobaan yaitu berkisar antara 2.92-3.07 % bobot badan. Menurut Linder (1992) bobot relatif hati tikus yaitu 2.30-3.10 % bobot badan. Hal ini dapat

dikategorikan bahwa bobot hati tikus percobaan dalam kisaran normal.

Hati yang terlalu ringan menunjukkan hati di bawah normal atau hati telah mengalami sirosis tahap lanjut sehingga hati menjadi lebih kecil dari ukuran sebenarnya. Hati yang lebih berat dari berat normal, menunjukkan adanya jaringan adipose atau pelemakan hati, ini merupakan tahap awal terjadinya sirosis. Sirosis tahap lanjut akan menyebabkan autofagositosis organel sel, sehingga kondisi sel akan semakin buruk dan kondisi ini akan lebih bersifat irreversible. Apabila kematian hepatosit terjadi terus menerus dan dalam jumlah yang banyak, sampai hepatosit tidak dapat memperbaiki diri, maka akan terjadi sirosis dan volume/berat hati akan mengecil (Price dan Wilson 1997).

Secara normal hepatosit merupakan tempat terjadinya pertukaran dan metabolisme lemak. Sebagian lipid yang masuk ke dalam hepatosit dioksidasi, sedangkan sebagian yang lain dikonjugasi dengan protein dan dikeluarkan dari hepatosit dalam bentuk lipoprotein. Gangguan sel hepatosit dapat terjadi pada beberapa tempat pertukaran lemak, sehingga terjadi akumulasi lemak di dalam sel. Sehingga kemampuan metabolisme dan sintesis sel akan menurun, dan lemak yang tertimbun akan semakin tebal. Hal ini akan menyebabkan hati menjadi lebih berat jika dibandingkan dengan hati normal (Murray et al. 2009).

Bobot ginjal tikus percobaan

Ginjal mempunyai fungsi untuk membuang sisa metabolisme dengan cara menyaring plasma darah, kemuadian mengolahnya menjadi urin, mengatur kadar air, elektrolit tertentu (Na, K, Ca) serta bahan penting lainnya pada darah yaitu glukosa, membuang bahan-bahan yang berlebihan atau yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh setelah terlebih dahulu dirombak, seperti hormon dan obat-obatan (Hartono 1992). Bobot relatif ginjal dapat digunakan sebagai indikasi kerusakan ginjal. Hasil pengukuran bobot ginjal dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Bobot rata-rata ginjal tikus percobaan Dosis pemberian ekstrak Berat rata-rata ginjal (g) Kontrol A/0.1 A/1 M/0.1 M/1 0.64±0.04 a 0.61±0.03 ab 0.57±0.04 c 0.59±0.03 bc 0.56±0.05 c

Ket: A/0,1 dan A/1 (Ekstrak air dosis 0.1 dan 1 g/kg BB); M/0.1 dan M/1 (Ekstrak metanol dosis 0.1 dan 1 g/kg BB)

Hasil uji statistik menunjukkan beda nyata (P<0.05) untuk beberapa perlakuan

Pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis dosis 0.1 dan 1 g/kg BB tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0.05) terhadap bobot ginjal tikus percobaan. Menurut Linder (1992), bobot relatif ginjal tikus adalah 0.4-0.9 % bobot badan tikus. Bobot ginjal tikus percobaan yaitu berkisar antara 0.63-0.88 %. Berdasarkan data tersebut disimpulkan bahwa bobot ginjal tikus percobaan masih dalam kategori normal. Kerusakan pada ginjal akan menyebabkan berat ginjal lebih rendah atau lebih tinggi dari ginjal normal.

Kadar kimia serum darah tikus percobaan

Girinda (1989) meyatakan bahwa analisis kimia serum darah baik untuk kepentingan diagnosis maupun untuk suatu tujuan penelitian. Penentuan kandungan kimia serum darah merupakan hal yang sangat biasa dikerjakan, hal ini karena darah merupakan jaringan yang paling mudah diambil contohnya tanpa menyakiti hewan bersangkutan. Darah dapat menggambarkan keadaan atau kesehatan hewan pada waktu diambil darahnya. Adapun parameter serum darah yang dianalisis dalam penelitian ini antara lain urea, kreatinin, kolesterol, bilirubin dan albumin.

Urea

Urea sebagian besar dibentuk di dalam hati dari metabolisme proten. Urea berdifusi bebas masuk ke dalam cairan intra sel dan ekstra sel. Zat ini kemudian dipekatkan dalam urin untuk dieksresikan. Kondisi keseimbangan nitrogen yang stabil, sekitar 25 g urea dieksresikan setiap hari. Kadar urea dalam darah mencerminkan keseimbangan antara produksi dan eksresi. Urea berasal dari metabolisme protein, terutama yang berasal dari makanan. Orang yang banyak mengkonsumsi protein, urea biasanya berada di atas rentang normal. Kadar

39

rendah biasanya tidak dianggap abnormal, hal ini karena mencerminkan rendahnya kadar protein yang dimakan. Akan tetapi jika kadarnya sangat rendah dapat mengindikasikan penyakit hati berat. Hasil pengukuran kadar urea serum darah tikus dapat dilihat pada Tabel 10 dan Lampiran 7.

Tabel 10 Kadar rata-rata urea serum darah tikus

Dosis pemberian ekstrak Kadar rata-rata urea (mg/dL) Kontrol A/0.1 A/1 M/0.1 M/1 28.65±2.93 a 29.76±4.77 a 29.83±5.20 a 28.83±4.50 a 31.28±4.43 a

Ket: A/0,1 dan A/1 (Ekstrak air dosis 0.1 dan 1 g/kg BB); M/0.1 dan M/1 (Ekstrak metanol dosis 0.1 dan 1 g/kg BB)

Hasil uji statistik menunjukkan tidak beda nyata (P>0.05) untuk semua perlakuan

Pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis dosis 0.1 dan 1 g/kg BB tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0.05) terhadap kadar urea serum darah tikus percobaan. Muttaqin (2009) melakukan pengukuran kadar urea pada tikus yang diberi kerang mas ngur didapatkan kadar urea sebesar 56.67-76.33 mg/dL. Menurut Levine dan Saltzman (1999) kadar normal urea pada serum darah tikus yaitu berkisar 12-42 mg/dL. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, kadar urea pada serum darah tikus percobaan masih dalam kadar normal.

Kadar urea serum darah yang meningkat dengan pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis, hal ini karena kerang ini merupakan hewan dan memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sebesar 9.42 %. Kebutuhan protein untuk pertumbuhan dan metabolisme sudah disuplai dari pakan dengan kadar protein 20% sehingga sebagian besar protein yang berasal dari kerang lamis digunakan untuk tambahan dalam pembentukan albumin, protein tubuh dan beberapa enzim, sisanya digunakan untuk pembentukan energi, glukosa atau disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Sebelum diubah menjadi energi, glukosa dan lemak tubuh, protein terlebih dahulu mengalami pemutusan gugus NH3 melalui reaksi

deaminasi. Selanjutnya NH3 diubah menjadi urea sehingga tidak beracun bagi

tubuh. Semakin banyak protein yang dikonsumsi, maka semakin banyak NH3

yang dideaminasi, sehingga kadar urea serum akan semakin tinggi.

Peningkatan kadar urea disebut dengan istilah uremia. Azotemia mengacu pada peningkatan semua senyawa nitrogen berberat molekul rendah (urea, kretinin, asam urat) pada gagal ginjal. Penyebab uremia dibagi mejadi tiga, yaitu penyebab parental, renal dan pascarenal (Mingyu et al. 1995). Uremia parental terjadi karena gagalnya mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi oleh glomerulus. Mekanisme tersebut meliputi: 1) penurunan aliran darah ke ginjal seperti pada syok kehilangan darah dan dehidrasi, 2) peningkatan katabolisme protein seperti pada pendarahan gastrointestinal disertai pencernaan hemoglobin dan penyerapannya sebagai protein dalam makanan, pendarahan ke dalam jaringan lunak atau rongga tubuh, hemolisis, leukemia, cedera fisik berat, luka bakar dan demam (Guyton dan Hall 1997).

Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal. Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, hipertensi maligna, obat atau logam

nefrotoksik, nekrosis korteks ginjal. Gagal ginjal kronis disebabkan oleh glomerulonefritis, pielonefritis, diabetes mellitus, arterosklerosis, amiloidosis, penyakit tubulus ginjal, penyakit kolagen-vaskular. Uremia pascarenal terjadi akibat obstruksi saluran kemih di bagian bawah ureter, kandung kemih atau uretra yang menghambat eksresi urin (Rodwell 2009).

Penurunan kadar urea sering dijumpai pada penyakit hati yang berat. Terjadinya nekrosis hepatik akut, hal ini menyebabkan urea rendah, asam-asam amino tidak dapat dimetabolisme lebih lanjut. Sirosis hepatitis, terjadi pengurangan sintesis dan sebagian karena retensi air oleh sekresi hormon antidiuretik yang tidak semestinya. Karsinoma payudara yang sedang dalam pengobatan dengan androgen yang intensif, kadar urea rendah karena kecepatan anabolisme protein yang tinggi. Akhir kehamilan, kadar urea kadang-kadang terlihat menurun, ini bisa karena peningkatan filtrasi glomerulus, diversi nitrogen ke fetus atau karena retensi air. Penurunan kadar urea juga dijumpai pada malnutrisi protein jangka panjang. Penggantian kehilangan darah jangkan panjang, dekstran, glukosa bisa menurunkan kadar urea akibat pengenceran (Linder 1992; Guyton dan Hall 1997; Rodwell 2009).

Kreatinin

Kreatinin adalah senyawa nitrogen non protein yang diproduksi selama metabolisme kreatinin dan fosfokreatinin otot Kretainin dibentuk dari asam amino jenis glisin, arginin dan metionin dengan fosfat membentuk kretinin fosfat (Coles 1986). Kaneko (1980) dan Coles (1986) melaporkan bahwa jaringan otot mengandung fosfokretinin yang secara spontan mengalami proses siklikasi yang mengakibatkan kehilangan fosfat inorganik sehingga membentuk kreatinin. Produksi kretainin harian hasil metabolisme otot relatif konstan. Kreatinin difiltrasi glomerulus dan tidak dieksresikan ataupun direasorbsi tubulus. Oleh karena itu, kreatinin sering digunakan untuk mengetahui laju filtrasi glomerulus. Hasil pengukuran kadar kreatinin serum darah tikus dapat dilihat pada Tabel 11 dan Lampiran 8.

Tabel 11 Kadar rata-rata kreatinin serum darah tikus

Dosis pemberian ekstrak Kadar rata-rata kreatinin (mg/dL) Kontrol A/0.1 A/1 M/0.1 M/1 1.03±0.07 a 1.01±0.07 a 1.06±0.08 a 1.02±0.07 a 1.04±0.10 a

Ket: A/0,1 dan A/1 (Ekstrak air dosis 0.1 dan 1 g/kg BB); M/0.1 dan M/1 (Ekstrak metanol dosis 0.1 dan 1 g/kg BB)

Hasil uji statistik menunjukkan tidak beda nyata (P>0.05) untuk semua perlakuan

Pemberian ekstrak air dan metanol kerang lamis dosis 0.1 dan 1 g/kg BB tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0.05) terhadap kadar kreatinin serum darah tikus percobaan. Muttaqin (2009) mengukur kadar kreatinin pada tikus yang diberi kerang mas ngur didapatkan kadarnya sebesar 0.80-1.00 mg/dL. Kadar kreatinin untuk tikus dalam kondisi normal berkisar 0.40-1.37 mg/dL (Baron et al. 1979). Hal ini dapat disimpulkan bahwa kadar kreatinin serum darah tikus percobaan masih dalam kategori normal.

41

Girindra (1989) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi kreatinin mengindikasikan adanya penurunan laju filtrasi glomerulus. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi kreatinin dalam darah sama dengan urea, hanya kreatinin tidak dipengaruhi oleh diet dan faktor katabolisme protein. Kadar kreatinin dalam serum darah relatif stabil, hampir tidak dipengaruhi oleh kreatinin dari makanan dan juga tidak dipengaruhi oleh umur, seks, aktivitas atau diet. Oleh karena itu peningkatan kadar kreatinin hanya terjadi jika fungsi ginjal terganggu. Peningkatan kreatinin dalam serum merupakan tanda yang buruk. Peningkatan kreatinin sampai 6 % dari kontrol memberikan tanda bahwa ginjal telah rusak.

Murray et al. (2009) meyatakan bahwa kreatinin darah meningkat jika fungsi ginjal menurun. Oleh karena itu, kreatinin dianggap lebih sensitif dan merupakan indikator khusus pada penyakit ginjal dibandingkan uji dengan kadar nitrogen urea darah (BUN). Sedikit peningkatan kadar BUN dapat menandakan terjadinya hipovolemia (kekurangan volume cairan), namun kadar kreatinin sebesar 2.5 mg/dL dapat menjadi indikasi kerusakan ginjal. Kreatinin serum darah sangat berguna untuk mengevaluasi fungsi glomerulus. Keadaan yang berhubungan dengan peningkatan kadar kreatinin adalah gagal ginjal akut dan kronis, nekrosis tubular akut, glomerulonefritis, pielonefritis, eklampsia, preeclampsia, hipertensi esensial, dehidrasi, penurunan aliran darah ke ginjal (syok berkepanjangan, gagal jantung kongesif), rhabdomiolisis, lupus nefritis, kanker (usus, kandung kemih, testis, uretrus dan prostat), leukemia, penyakit Hodgkin, diet tinggi protein.

Kolesterol

Kolesterol adalah lemak bewarna kekuningan berbentuk seperti lilin yang diproduksi oleh tubuh, terutama di dalam hati (Heslet 1996). Molekul kolesterol memiliki gugus polar pada bagian kepalanya yaitu gugus hidroksil pada posisi 3. Bagian yang lain merupakan struktur non polar yang relatif kaku. Kolesterol terdapat di dalam jaringan dan lipoprotein plasma baik dalam bentuk kolesterol bebas atau gabungan dengan asam lemak rantai panjang sebagai ester kolesterol

Dokumen terkait