• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Dalam dokumen BAB 11 WILAYAH DAN TATA RUANG (Halaman 51-64)

DAFTAR KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS (KPBPB)

2 Kepulauan Riau Batam Bintan

11.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Dalam upaya menindaklanjuti capaian sampai dengan bulan Juni 2010 untuk pengembangan kawasan strategis ekonomi, perlu dilakukan hal-hal berikut. Untuk KAPET: (i) percepatan pembahasan dan pengesahan Raperpres tentang KAPET; (ii) mendorong dilakukannya Rapat Kerja Badan Pengembangan KAPET pusat yang melibatkan seluruh gubernur dan jajarannya serta BP KAPET serta swasta untuk melakukan reorientasi tujuan dan reposisi peran KAPET sebagai acuan bagi revitalisasi kelembagaan pengelolaan KAPET, termasuk didalamnya sistem penganggaran, dan mekanisme hubungan kerja Badan Pengembangan di pusat dengan Badan Pengelola di daerah; (iii) mendorong Badan Pengembangan KAPET untuk membuat sekretariat bersama sebagai upaya menata forum komunikasi dan koordinasi lintas kementerian dan lembaga; (iv) mendorong Badan Pengembangan KAPET dan Badan Pengelola KAPET untuk dapat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap lokasi dan cakupan wilayah pengembangan KAPET dan hubungannya dengan tingkat kemajuan pengembangan wilayah. Untuk KPBPB: (i) diperlukan penyusunan berbagai peraturan pendukung yang lebih operasional terhadap PP Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Perizinan Investasi KPBPB; dan (ii) pembahasan sistem alokasi anggaran bagi KPBPB dan penyusunan konsep dan format kelembagaan KPBPB sebagaimana mengacu pada konsep Badan Layanan Umum. Untuk KEK: (i) diperlukan koordinasi untuk percepatan penetapan Lokasi KEK. Penetapan lokasi ini harus

didasarkan pada kriteria dan ketersediaan infrastruktur terstandar; (ii) sosialisasi kebijakan yang dapat memberikan kejelasan tentang alasan perbedaan perlakukan insentif antara KEK dengan kawasan lainnya; (iii) penyusunan strategi nasional (grand strategy) yang menjelaskan bentuk keterkaitan KEK dengan KPBPB atau dengan KAPET dengan konsep MP3EI, (iv) penyusunan pedoman pengusulan kegiatan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten untuk mendukung KAPET, KPBPB atau KEK di tingkat daerahnya agar dapat disinergikan dengan rencana kementerian terkait di pusat sebelum dilaksanakannya Musrenbangnas.

Menindaklanjuti target pemerintah untuk mengentaskan lima puluh kabupaten tertinggal pada akhir tahun 2014, perlu pemihakan yang lebih serius terutama dalam: (i) kebijakan fiskal dengan meningkatkan kemampuan fiskal daerah tertinggal melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK adalah salah satu harapan dalam mengatasi keterisolasian wilayah serta mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal; (ii) pengembangan produk unggulan kabupaten (PRUKAB) sehingga setiap kabupaten memiliki satu produk unggulan daerah yang secara bersama-sama diintervensi oleh kementerian/lembaga untuk memicu pertumbuhan ekonomi lokal maupun regional. Pada tahun 2011 upaya ini dilaksanakan di lima puluh kabupaten tertinggal. Produk-produk unggulan tersebut diantaranya rumput laut, produk-produk pertanian yang memiliki nilai ekonomi dan daya saing yang tinggi baik di pasar domestik maupun global. Diharapkan kegiatan PRUKAB dapat mendorong terjadinya peningkatan investasi baik oleh pemerintah pusat, daerah serta swasta; (iii) program pembangunan yang berbasis perdesaan dalam bentuk “BEDAH DESA”. Bedah Desa adalah alat bantu manajemen pelaksanaan kebijakan pembangunan perdesaan yang digunakan untuk mengelola penyediaan ‘masukan dan proses’ kegiatan secara terpadu. Perlu adanya peningkatan sinergi antara kegiatan Bedah Desa sebagai “lokus” dengan PRUKAB dan kegiatan stimulan lainnya sebagai “fokus”; (iv) dalam Rencana Kerja

Pemerintah (RKP) tahun 2012 memuat prakarsa-prakarsa baru untuk memenuhi tuntutan terkini dari pembangunan nasional, maka dari itu diperlukan sinergi agar implementasi prakasa baru dapat mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal. Prakarasa-prakarsa tersebut antara lain: a) Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang memuat antara lain pembangunan enam koridor ekonomi, yaitu koridor Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku- Papua, Bali dan Nusa Tenggara, b) percepatan pembangunan Papua, Papua Barat, dan NTT yang mencakup penguatan ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, pengembangan ekonomi rakyat, peningkatan pelayanan pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, pengembangan infrastruktur dasar, pemihakan terhadap masyarakat asli Papua. Keberpihakan terhadap tiga provinsi tersebut sangat membantu percepatan pembangunan daerah tertinggal, karena sebagian besar kabupaten di tiga provinsi tersebut berstatus sebagai daerah tertinggal, c) enam program yang dikelompokkan ke dalam klaster keempat sebagai tambahan bagi tiga klaster program-program penanggulangan kemiskinan. Keenam program tersebut adalah Program Rumah Sangat Murah, Program Kendaraan Angkutan Umum Murah, Program Air Bersih untuk Rakyat, Program Listrik Murah dan Hemat, Program Peningkatan Kehidupan Nelayan, dan Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Pinggir Perkotaan; d) prakarsa perluasan lapangan kerja. Selain itu untuk meningkatkan akselerasi pembangunan di kawasan timur Indonesia dilakukan program afirmatif untuk percepatan pembangunan Provinsi Papua, Papua Barat, dan NTT.

Berdasarkan permasalahan dan hasil-hasil yang telah dicapai hingga saat ini, beberapa tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka pembangunan kawasan perbatasan: (i) mengefektifkan tugas BNPP dalam menetapkan kebijakan dan program pembangunan serta menetapkan rencana kebutuhan anggaran pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan, yaitu dengan : a) mempercepat penetapan

RTR KSN Perbatasan menjadi Peraturan Presiden sesuai amanat PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dan menjamin sinkronisasinya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten di Kawasan Perbatasan, b) menyusun atau menyesuaikan substansi Rencana Induk dan Rencana Aksi berdasarkan RTR KSN Perbatasan sesuai dengan amanat Perpres Nomor 12 Tahun 2010 tentang BNPP pasal 5. Dengan demikian, RTR KSN Perbatasan dan Rencana Induk Perbatasan menjadi acuan bagi penyusunan arah pengembangan kecamatan Lokasi Prioritas sehingga penetapan berbagai program, kegiatan, dan rencana kebutuhan anggaran di masing-masing Lokasi Prioritas sesuai dengan arahan pengembangan dalam RTR KSN dan Rencana Induk, c) mengintegrasikan proses penyusunan rencana aksi dengan mekanisme musrenbang di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional, d) menyusun basis data wilayah di kawasan perbatasan secara komprehensif sebagai dasar bagi upaya penetapan kebijakan di kawasan perbatasan; (ii) mengefektifkan tugas BNPP dalam mengoordinasikan pelaksanaan pengelolaan batas wilayah dan pembangunan kawasan perbatasan, yaitu dengan: a) memperjelas kewenangan pusat-daerah dalam pengelolaan perbatasan melalui penyusunan Peraturan Pemerintah mengenai Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan sesuai amanat UU Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara pasal 13, b) mengupayakan pengintegrasian fungsi koordinasi pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan yang masih tersebar di beberapa instansi ke dalam BNPP agar koordinasi berjalan satu pintu; (iii) mengefektifkan tugas BNPP dalam melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai program pembangunan di kawasan perbatasan negara secara berkala dan berkesinambungan, sehingga berbagai kemajuan maupun permasalahan yang dihadapi dapat terpetakan secara komprehensif, dan dapat menjadi dasar bagi upaya perumusan

kebijakan maupun tindakan korektif lebih lanjut; (iv) mendorong seluruh kementerian/lembaga terkait untuk memberikan keberpihakan (aksi afirmatif) baik dari sisi kebijakan maupun pembiayaan pembangunan, bagi upaya pembangunan di kawasan perbatasan yang memerlukan lebih banyak perhatian dibandingkan wilayah lain serta pola penanganan yang bersifat spesifik.

Untuk pelaksanaan penanggulangan bencana, tindak lanjut yang diperlukan adalah: (i) pengintegrasian kebijakan penanggulangan bencana ke dalam perencanaan pembangunan di daerah termasuk pengurangan faktor-faktor penyebab risiko bencana, melalui pengendalian pemanfaatan ruang dan pelaksanaan penataan ruang berbasis mitigasi bencana, penjabaran Rencana Penanggulangan Bencana Nasional ke dalam Rencana Penanggulangan Bencana Daerah, penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana sebagai masukan penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah serta penganggarannya; (ii) penguatan kapasitas kelembagaan dan koordinasi penanggulangan bencana di pusat dan daerah, termasuk penanganan darurat kebencanaan yang terkoordinasi, efektif dan terpadu; (iii) percepatan pelaksanaan dan penyelesaian rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pascabencana di Wasior, Kepulauan Mentawai, erupsi Gunung Merapi dan Banjir Lahar Dingin di wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah serta wilayah pascabencana alam lainnya; dan (iv) peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana dan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana, melalui pendidikan dan pelatihan kebencanaan secara berkala dan berkelanjutan.

Untuk pembangunan perkotaan, arah kebijakan pembangunan perkotaan hingga tahun 2014 tetap berfokus pada pengembangan kota sebagai suatu kesatuan kawasan/wilayah, yaitu kota sebagai pendorong pertumbuhan nasional dan regional serta kota sebagai tempat tinggal yang berorientasi pada kebutuhan penduduk kota.

Walaupun demikian, pembangunan perkotaan ke depan akan lebih difokuskan pada: (i) pelaksanaan pengendalian pembangunan kota-kota besar dan metropolitan melalui peningkatan kelembagaan dan kerja sama pengelolaan kawasan metropolitan terutama untuk mendukung peran kawasan metropolitan dalam koridor ekonomi, penyediaan pelayanan publik untuk mendukung peningkatan daya saing di tingkat nasional dan internasional, peningkatan upaya-upaya pengelolaan lingkungan, mitigasi bencana, dan antisipasi dampak perubahan iklim yang diarusutamakan dalam setiap kegiatan pengelolaan perkotaan, serta peningkatan perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang di pinggiran kawasan metropolitan; dan (ii) pelaksanaan percepatan pembangunan kota-kota menengah dan kecil, melalui pengembangan ekonomi lokal dan peningkatan iklim investasi, serta penyediaan pelayanan publik terutama untuk mendukung mendorong pengembangan perekonomian di kota-kota menengah dan kecil.

Tindak lanjut yang diperlukan untuk pembangunan perdesaan yaitu meningkatkan kemandirian desa, meningkatkan ketahanan desa sebagai wilayah produksi menuju daya saing desa, melalui: (i) penuntasan RUU tentang Desa; (ii) meningkatkan keberpihakan sektor dan daerah dalam: (a) penyediaan dan pelayanan sarana prasarana dasar terkait pendidikan (beserta tenaga pendidik), kesehatan (beserta tenaga kesehatan), energi (kelistrikan), dan permukiman (sarana air bersih, air minum, drainase), dan (b) penyediaan sarana prasarana produktif untuk mendukung usaha pengentasan kemiskinan terkait pengairan/irigasi, jalan, jembatan, komunikasi, informatika, dan transportasi; (iii) pengembangan ekonomi perdesaan melalui pengembangan kewirausahaan dan produk lokal, pemantapan lembaga keuangan mikro perdesaan, serta peningkatan akses terhadap lahan dan permodalan; (iv) peningkatan kapasitas/penguatan pemerintahan daerah (aparat pemerintah, masyarakat maupun kelembagaan masyarakatnya) untuk memperkuat partisipasi dan keterlibatan masyarakat secara aktif

dalam pembangunan baik melalui pendampingan dan fasilitasi serta penyusunan profil desa; dan (v) meningkatkan ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan perdesaan yang berkelanjutan dan berwawasan mitigasi bencana.

Pengembangan ekonomi lokal dan daerah ke depan diarahkan untuk meningkatkan keterkaitan ekonomi antara desa-kota atau antara wilayah produksi dengan wilayah pusat pertumbuhan (hulu-hilir). Arah kebijakan ini dijabarkan melalui lima strategi yaitu: (i) meningkatkan tata kelola ekonomi daerah; (ii) meningkatkan kapasitas sumber daya manusia pengelola ekonomi daerah; (iii) meningkatkan fasilitasi/pendampingan dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah; (iv) meningkatkan kerja sama dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah; serta (v) meningkatkan akses terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah.

Selanjutnya, tindak lanjut yang diperlukan pada tahun 2011 adalah: (i) meningkatkan tata kelola ekonomi daerah yang dapat dilakukan dengan menyusun kebijakan atau regulasi yang mendukung pengembangan ekonomi lokal dan daerah, meninjau ulang rencana induk (masterplan) kegiatan kawasan yang berpotensi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah yang baru, meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan usaha ekonomi daerah, terutama di bidang permodalan dan perizinan usaha, membangun sistem pemetaan potensi ekonomi daerah secara rasional untuk mengefektifkan pelaksanaan investasi di daerah, mengembangkan penelitian dan sistem data dan informasi potensi daerah dan kawasan yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah, mengembangkan sarana dan prasarana kelembagaan ekonomi lokal dan daerah, dan melaksanakan pemantauan dan evaluasi tata kelola ekonomi daerah, termasuk melaksanakan pemantauan dan evaluasi efisiensi dan efektivitas regulasi yang mendukung pengembangan ekonomi daerah; (ii) meningkatkan kapasitas sumber daya manusia

pengelola ekonomi daerah dilakukan dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia aparatur, terutama di bidang kewirausahaan, meningkatkan kompetensi sumber daya manusia pemangku kepentingan lokal/daerah dalam mengembangkan usaha ekonomi daerah, serta meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan lokal/daerah dalam upaya pengembangan ekonomi daerah; (iii) meningkatkan fasilitasi/pendampingan dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah yang dilakukan dengan mengembangkan lembaga fasilitasi pengembangan ekonomi lokal dan daerah yang terintegrasi lintas pemangku kepentingan (pemerintah, dunia usaha, dan akademisi) serta berkelanjutan, baik di pusat maupun di daerah serta meningkatkan kapasitas fasilitasi pengembangan ekonomi lokal dan daerah berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan; (iv) meningkatkan kerja sama dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah dilakukan dengan meningkatkan kerja sama antardaerah, terutama di bidang ekonomi baik antara daerah yang memiliki pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah dengan daerah belakangnya, maupun antara daerah tersebut dengan daerah lainnya melalui penguatan peran dan fungsi Badan Kerja sama seperti semacam badan pengelola (executing agency) Kerja Sama Antar Daerah (KSAD) termasuk kewenangan untuk mengelola dana APBD/APBN, dan meningkatkan kemitraan Pemerintah-Swasta dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah; (v) meningkatkan akses terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah dilakukan dengan mengembangkan prasarana dan sarana kawasan yang berpotensi menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah, serta membangun dan meningkatkan jaringan infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, energi, serta air minum yang bertujuan untuk meningkatkan keterkaitan antarwilayah.

Dalam rangka peningkatan fasilitasi pengembangan ekonomi lokal dan daerah, TKPED dan FPNP melalui kelompok kerja pengembangan ekonomi lokal dan daerah akan membahas

permasalahan dan solusi pengembangan ekonomi lokal di daerah sehingga dapat menjadi rekomendasi pengambilan kebijakan terkait pengembangan ekonomi lokal dan daerah. Selain itu, akan mempercepat pembentuk Fasilitasi Pendukung Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah (FPPELD) untuk mengoptimalkan fasilitasi pengembangan ekonomi lokal di daerah.

Berkenaan dengan data dan informasi geospasial, tindak lanjut yang diperlukan adalah: (i) memprioritaskan implementasi UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN); (ii) memprioritaskan pemenuhan data dan informasi geospasial dasar pada wilayah yang belum terpetakan; dan (iii) memprioritaskan pembangunan sistem simpul jaringan instansi pemerintah pusat dan daerah. Optimalisasi fungsi penghubung simpul jaringan dengan menyusun dan mengimplementasikan protokol pertukaran dan penyebarluasan data dan informasi geospasial.

Untuk penataan ruang, kebijakan dan tindak lanjut ke depan adalah: (i) mempercepat penyelesaian norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang penataan ruang; (ii) mengefektifkan pembinaan dan pengawasan teknis dalam pelaksanaan penataan ruang, termasuk dengan meningkatkan kualitas penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah daerah sesuai kewenangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; (iii) meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional yang mendorong keterpaduan pembangunan infrastruktur wilayah dan implementasi program pembangunan daerah; (iv) mengembangkan prakarsa dan peran, serta meningkatkan rasa memiliki (ownership) seluruh pemangku kepentingan dalam percepatan penyelesaian produk peraturan; (v) mengembangkan kapasitas kelembagaan pusat

dan daerah serta sinergi dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan teknis pelaksanaan penataan ruang; (vi) mendapatkan komitmen berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; dan (vii) mengembangkan rencana terpadu pengembangan wilayah di berbagai aras spasial. Agenda bidang penataan ruang untuk tahun 2012 adalah penyelesaian Raperpres tentang RTR KSN pada lima belas KSN dan pulau/kepulauan, penyusunan Raperpres tentang RTR KSN pada lima belas KSN, pendampingan persetujuan substansi hingga legalisasi Raperda RTRW pada 141 kabupaten dan 15 kota, serta pendampingan legalisasi raperda pada 131 kabupaten dan 30 kota yang telah mendapatkan persetujuan substansi RTR.

Pembangunan pertanahan ke depan diarahkan untuk: (i) mengembangkan kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (trust building); (ii) mengembangkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertifikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia; (iii) memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah; (iv) menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh Indonesia; (v) menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara sistimatik; (vi) membangun dan mengembangkan Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan Sistem Pengamanan Dokumen Pertanahan di seluruh Indonesia; (vii) menangani masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; (viii) membangun dan mengembangkan basis data penguasaan dan pemilikan tanah skala besar; (ix) melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang yang telah ditetapkan; (x) menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional; dan (xi) membangun dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan pertanahan.

Tindak lanjut pembangunan pertanahan untuk tiga tahun ke depan (2012- 2014) adalah sebagai berikut: (i) redistribusi tanah sebanyak 630.000 bidang tanah; (ii) penyelesaian peraturan perundang-undangan bidang pertanahan, meliputi penyelesaian RUU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan dan penyusunan peraturan pelaksanaan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; (iii) penyusunan neraca penatagunaan tanah untuk 300 kabupaten/kota; (iv) penyediaan peta pertanahan seluas tujuh juta ha; (v) legalisasi atau sertifikasi aset tanah sebanyak 5,4 juta bidang; (vi) penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan untuk 5.582 kasus pertanahan; (vii) pengelolaan data dan informasi pertanahan di 419 kantor pertanahan dan 33 kantor wilayah provinsi; (viii) inventarisasi dan identifikasi tanah terindikasi terlantar seluas 172.500 ha; dan (ix) pengelolaan dan inventarisasi wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan, dan wilayah tertentu sebanyak 545 SP. Untuk lebih memantapkan otonomi daerah, tindak lanjut yang diperlukan bagi Penataan Pembagian Urusan Pemerintahan dan Antartingkat Pemerintahan adalah: (i) perlu dilakukan penguatan substansi terhadap PP Pembagian Urusan berdasarkan hasil inventarisasi permasalahan yang telah disusun, untuk selanjutnya dituangkan di dalam materi Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan konsultasi publik draf Rancangan PP mengenai Pembagian Urusan Antartingkatan Pemerintahan; (ii) pembahasan RUU Pemerintahan Daerah akan segera dibahas dalam sidang kabinet; (iii) optimalisasi fasilitasi pelaksanaan NSPK kepada sektor dan implementasi pelaksanaan NSPK kepada daerah; (iv) invetarisasi dan pengkajian masalah terhadap peraturan perundang-undangan sektoral yang tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan bidang desentralisasi dan otonomi daerah, khususnya pada sektor pertanahan, pendidikan dan kesehatan.

Untuk Penataan Daerah, tindak lanjut yang diperlukan adalah: (i) mempercepat proses pembahasan RUU DIY antara Pemerintah

dengan DPR untuk ditetapkan menjadi UU; (ii) fasilitasi terhadap penyelesaian personil, perlengkapan, pembiayaan dan dokumen (P3D) kepada beberapa daerah otonom baru; (iii) menuntaskan penyelesaian evaluasi terhadap 148 daerah otonom baru yang berusia antara tiga sampai sepuluh tahun yang belum dievaluasi; (iv) memasukkan substansi dan rancangan regulasi tentang Desain Besar Penataan Daerah ke dalam materi Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004; dan (v) pemerintah akan tetap konsisten pada kebijakan moratorium pemekaran sampai ada ketentuan peraturan perundang-undangan lebih lanjut.

Untuk Peningkatan Kerja Sama Daerah, tindak lanjut yang diperlukan adalah: (i) melakukan koordinasi penguatan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi dan inventarisasi terhadap kegiatan atributif gubernur sebagai wakil Pemerintah yang belum terakomodir dalam pendanaan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi; (ii) memperkuat peran dan fungsi Badan Kerja Sama (BKS), agar dapat berperan sebagai badan pengelola (executing agency) Kerja Sama Antar Daerah (KSAD), termasuk kewenangan untuk mengelola dana APBD/APBN; (iii) pembentukan badan usaha milik bersama (BUMD) untuk melaksanakan kerja sama layanan bersama (KLB), dalam mengembangkan dan mengelola infrastruktur; (iv) melakukan KLB dengan badan usaha milik swasta (BUMS) melalui pola kerja sama pemerintah dengan swasta; dan (v) pelaksanaan sosialisasi dan evaluasi secara kontinu untuk mengakomodasi model-model baru kerja sama antar daerah agar dapat saling menguntungkan daerah.

Untuk Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah, tindak lanjut yang diperlukan adalah sebagai berikut: (i) penajaman terhadap indikator dan mekanisme common sense dalam proses evaluasi kinerja pemerintahan daerah; (ii) revisi terhadap Permendagri Nomor 73 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD)

khususnya di dalam indikator-indikator pelaksanaannya; (iii) Pemerintah akan menelaah secara lebih cermat terhadap usulan-usulan pembentukan daerah otonom baru, dimana kedepan pembentukan daerah otonom akan diawali dengan pembentukan daerah persiapan.

Untuk Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD, tindak lanjut yang diperlukan adalah sebagai berikut: (i) mempercepat revisi PP Nomor 41 Tahun 2007 setelah disahkannya Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004; (ii) perlu dilakukan koordinasi secara kontinu dengan sektor dalam rangka pemantauan perkembangan penerapan SPM di daerah; dan (iii) fasilitasi kepada pemerintah daerah serta memantau perkembangan penerapan SPM di daerah. Untuk Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD, tindak lanjut yang diperlukan adalah melanjutkan orientasi kepemimpinan daerah dengan melakukan perbaikan secara terus menerus pada kurikulum dan materi yang diberikan serta sarana dan prasarana pendukung untuk mendapatkan pimpinan daerah yang cakap dan memiliki kompetensi yang baik.

Untuk Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah, tindak lanjut yang diperlukan adalah: (i) akan di optimalkan koordinasi pengalokasian DAK ke daerah dan perlu ditingkatkan asistensi pembinaan dan pengawasan pelaksanaan DAK agar sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari kementerian teknis; (ii) peningkatan frekuensi dan kualitas pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah perlu dilaksanakan untuk mendorong pemerintahan daerah agar meningkatkan proporsi belanja langsung dengan merujuk pada penetapan Permendagri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2012; (iii) pengefektifan proses asistensi dan pembinaan/pengawasan penyusunan APBD provinsi dan pelaksanaan/ pertanggungjawaban APBD; (iv) perlu diadakan perbaikan proses perekrutan personalia yang membidangi masalah keuangan daerah dan peningkatan

kapasitas melalui pelatihan; (v) penyelesaian Rancangan UU mengenai BUMD yang akan menjadi payung hukum pengaturan BUMD dalam mendukung pertumbuhan perekonomian di daerah; (vi) mendorong dan terus menerus melakukan sosialisasi agar daerah dapat menggunakan teknologi informasi dalam pengelolaan keuangan daerah, melalui penerbitan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; (vii) menerbitkan Surat Edaran (SE) dengan tujuan memberikan kepastian implementasi terhadap pengaturan yang berbeda dari masing-masing peraturan perundang-undangan.

Dalam dokumen BAB 11 WILAYAH DAN TATA RUANG (Halaman 51-64)

Dokumen terkait