• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 11 WILAYAH DAN TATA RUANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 11 WILAYAH DAN TATA RUANG"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 11

WILAYAH DAN TATA RUANG

Kebijakan pengembangan wilayah dan tata ruang yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional telah mampu menumbuhkembangkan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meskipun masih terdapat kesenjangan pembangunan baik antarwilayah maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi ketimpangan tersebut adalah: (1) pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya dalam mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan daerah; (2) percepatan pembangunan di wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil; (3) pengembangan wilayah perbatasan yang berorientasi ke luar (outward looking) berdasarkan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan yang bersifat keamanan (security approach); (4) penyiapan strategi pengurangan resiko bencana yang mandiri dan berkelanjutan pada wilayah-wilayah yang memiliki kerentanan terkena bencana alam dan dampak perubahan iklim global; (5) pengembangan kawasan perkotaan (metropolitan, besar, menengah dan kecil) secara seimbang yang diarahkan sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang sesuai dengan sistem perkotaan nasional, dan mendukung pengembangan perdesaan; (6) peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan dengan orientasi pada

(2)

keunggulan komparatif sumber daya lokal dan didukung oleh sektor industri, jasa dan perdagangan, dengan infrastruktur yang menunjang keterkaitan perdesaan dengan pusat-pusat pertumbuhan; (7) sinergi pembangunan antarsektor dan antardaerah yang mengacu pada tata ruang dan didukung oleh pengelolaan pertanahan yang memberikan jaminan kepastian hukum; serta (8) pemantapan desentralisasi dan penguatan kapasitas pemerintah daerah.

11.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Dalam rangka mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan melalui pengembangan kawasan strategis nasional bidang ekonomi (KSN Ekonomi) masih ditemui berbagai permasalahan yaitu: pertama, terkait dengan penyediaan peraturan perundang-undangan yang dapat mendukung koordinasi kelembagaan dan kelancaran operasional baik di tingkat pusat maupun daerah. Pengembangan KSN Ekonomi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan payung hukum yang bersifat operasional bagi pengelolaan KSN Ekonomi, yaitu: (i) untuk Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Keppres Nomor 150 Tahun 2000 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kebutuhan pengelolaan KAPET yang profesional dan berorientasi bisnis terutama di era otonomi daerah. Dalam hal ini peran kelembagaan Badan Pengembagan KAPET di Pusat sebagai lembaga penyusun kebijakan KAPET di pusat dan Badan Pengelola KAPET di daerah sebagai pelaksana operasional belum terkoordinasi dengan baik; (ii) untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Sabang, meskipun telah memiliki Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 dan PP Nomor 83 Tahun 2010 tentang pelimpahan wewenang yang terkait dengan perijinan dan investasi, namun agar lebih operasional diperlukan produk hukum turunan lainnya untuk mendukung implementasi dan pengelolaan KPBPB. Terkait dengan KPBPB Batam, pengembangannya masih terkendala dalam hal menemukenali konsep badan pengusahaan yang mengacu

(3)

pada model BLU-like, sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 6 Tahun 2011; (iii) untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dengan tersusunnya PP Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan KEK, maka pengembangan KEK terkendala oleh belum tersusunnya peraturan pendukung dari kementerian dan lembaga lainnya terutama yang terkait dengan kebijakan insentif fiskal dan insentif nonfiskal. Selain itu, kriteria dan target penetapan lokasi KEK hingga tahun 2014 juga belum terselesaikan.

Permasalahan kedua adalah kurangnya sinkronisasi dan keterpaduan pelaksanaan program/kegiatan antar instansi sektoral baik di tingkat pusat dan daerah. Hal ini terkait dengan lemahnya koordinasi kelembagaan di tingkat pusat dan hubungan kelembagaan pusat dan daerah yang disebabkan: (i) minimnya dukungan kebijakan dan alokasi anggaran yang terpadu dan lintas sektor dari pusat hingga daerah untuk mendukung percepatan pengembangan kawasan strategis KAPET dan KPBPB; (ii) minimnya ketersediaan infrastruktur dan sarana pendukung dalam pengembangan produk-produk unggulan terutama di lokasi sentra produk-produksi, di lokasi industri pengolahan, dan pelabuhan yang banyak terjadi di KAPET dan sebagian di KPBPB; (iii) belum terbangunnya secara jelas mata rantai industri yang memberikan nilai tambah ekonomi bagi pengembangan KAPET, yang ditandai dengan minimnya industri pengolahan berbasis sumber daya alam lokal yang telah terbangun; (iv) minimnya aksesibilitas unit-unit usaha produk unggulan di KAPET terhadap perbankan, teknologi, pasar nasional, regional dan internasional; (v) lemahnya komitmen dan koordinasi menyebabkan Raperpres Revitalisasi KAPET masih belum tuntas pembahasannya di K/L berwenang, dan (vi) belum berkembangnya modernisasi sistem pelayanan jasa perdagangan dan kepelabuhanan laut maupun udara dalam pengembangan KPBPB yang berstandar internasional.

Permasalahan ketiga adalah tidak kondusifnya iklim usaha yang disebabkan oleh berbagai peraturan perundang-undangan di

(4)

daerah yang kontraproduktif bagi pengembangan usaha dan peningkatan investasi dan belum terbangunnya sistem pelayanan satu pintu bagi perizinan usaha. Hal ini ditandai dengan minimnya partisipasi sektor swasta nasional dan lokal dalam mendukung pengembangan dan investasi khususnya dalam pengembangan industri pengolahan produk-produk unggulan di tiga belas KAPET dan KPBPB.

Sementara itu, pembangunan di 183 kabupaten daerah tertinggal masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang mendasar, yaitu: (i) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan masyarakat daerah tertinggal masih rendah yang tercermin dari rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan angkatan kerja, rendahnya derajat kesehatan masyarakat, dan tingginya tingkat kemiskinan; (ii) belum optimalnya pengelolaan potensi sumber daya lokal dalam pengembangan perekonomian daerah tertinggal. Hal ini disebabkan oleh: a) rendahnya kemampuan permodalan, penguasaan teknologi, informasi pasar dan investasi dalam pengembangan produk unggulan daerah, dan b) rendahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya lokal; (iii) lemahnya koordinasi antarpelaku pembangunan di daerah tertinggal, karena kurang dimanfaatkannnya kerja sama antardaerah tertinggal pada aspek perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan pembangunan; (iv) belum optimalnya tindakan afirmatif kepada daerah tertinggal, khususnya pada aspek kebijakan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, koordinasi, dan pengendalian pembangunan; (v) terbatasnya ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana baik untuk pemenuhan hak dasar maupun untuk mendorong perekonomian, yang meliputi sarana prasarana pendidikan, kesehatan, air bersih, energi listrik, telekomunikasi, irigasi dan semacamnya; (vi) rendahnya aksesibilitas daerah tertinggal terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah, khususnya terhadap sentra-sentra produksi dan pemasaran karena belum didukung oleh sarana dan

(5)

prasarana angkutan barang dan penumpang yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tertinggal; (vii) modal sosial dan kearifan lokal belum digunakan dalam proses pembangunan secara baik yang tercermin dari terkikisnya kepercayaan, keterasingan nilai-nilai dasar yang dianut oleh masyarakat lokal terhadap proses pembangunan, pembangunan yang tidak berorientasi kepada pemeliharaan dan konservasi lingkungan serta pengambilan kebijakan dan tindakan dalam proses pembangunan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan; (viii) rendahnya penghasilan sebagian besar masyarakat di daerah tertinggal yang disebabkan oleh tingginya tingkat pengangguran serta rendahnya tarif tenaga kerja.

Untuk pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan, terdapat sekitar enam puluh program yang secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan kepentingan pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan yang tersebar secara sektoral di 29 kementerian dan lembaga, namun tidak terkonsolidasi di dalam sebuah koordinasi yang mantap, sehingga hasilnya pun tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Sengketa batas wilayah negara, ketertinggalan pembangunan, keterisolasian, keterbelakangan, kemiskinan, dan predikat negatif lainnya menunjukkan kekurangberhasilan manajemen batas wilayah dan pembangunan kawasan perbatasan yang diterapkan selama ini. Beberapa permasalahan manajerial dalam pengelolaan batas wilayah dan pembangunan kawasan perbatasan, yaitu: (i) belum tersedianya Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Perbatasan Negara dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang seharusnya menjadi acuan bersama seluruh pihak dalam upaya pengembangan wilayah di kawasan perbatasan negara; (ii) fungsi koordinasi dalam pengelolaan batas wilayah dan pembangunan kawasan perbatasan tersebar di beberapa instansi yang berbeda-beda sehingga terjadi tumpang tindih fungsi koordinasi; (iii) masih belum terwujud keterpaduan program dan kejelasan prosedur penetapan

(6)

kebijakan pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan yang secara sektoral menjadi tanggung jawab kementerian dan lembaga; (iv) keuangan negara yang terbatas untuk dapat memenuhi anggaran program sebagaimana yang telah direncanakan, di sisi lain masih belum terwujud keterpaduan proses dalam penentuan prioritas kebutuhan anggaran seluruh sektor; (v) masih belum adanya koordinasi pelaksanaan program-program pengelolaan perbatasan, sehingga terjadi aktivitas yang ‘bertabrakan’ atau ‘kekosongan’, bahkan banyak yang kurang berfungsi karena tak saling terkait; (vi) masih belum adanya pola evaluasi dan pengawasan pelaksanaan program-program untuk perbatasan negara, sehingga kemajuan dan permasalahan yang dihadapi tidak terpetakan secara komprehensif, sehingga menyulitkan untuk mengambil tindakan korektif dan penanganan yang efektif.

Dalam upaya penanganan bencana, telah terjadi pergeseran paradigma yang semula terfokus pada penanganan darurat menjadi lebih berorientasi pada pencegahan dan pengurangan risiko bencana. Masalah utama yang dihadapi masih terkait dengan besarnya potensi ancaman berbagai jenis bencana alam. Permasalahan ini perlu disikapi dengan pengurangan risiko bencana secara menyeluruh serta komitmen bersama yang kuat dalam rangka penanggulangan bencana yang efektif dan efisien baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Secara umum permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan bencana meliputi: (i) belum memadainya kinerja penanggulangan bencana yang terkait dengan keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana; (ii) masih tingginya ketergantungan pada pemerintah pusat untuk pendanaan bantuan tanggap darurat dan bantuan kemanusiaan; (iii) keterbatasan kapasitas pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah yang terkena dampak bencana; dan (iv) masih rendahnya kesadaran terhadap risiko bencana dan pemahaman terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

(7)

Dalam hal pembangunan perkotaan dan perdesaan, pertumbuhan penduduk yang pesat dan urbanisasi sangat mempengaruhi pengelolaan perkotaan di Indonesia. Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, penduduk perkotaan akan mencapai 67,5 persen dari total jumlah penduduk pada 2025. Peran kota-kota menjadi semakin dominan terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2008, kota-kota memberikan kontribusi sekitar 78,1 persen terhadap PDB nasional. Namun di sisi lain, kota juga menghadapi banyak tantangan di masa depan, diantaranya adalah: (i) persaingan global, yang menuntut kota agar mampu berperan sebagai tempat beraktivitas yang kompetitif dan bertaraf internasional; (ii) desentralisasi dan demokratisasi tata pemerintahan, yang menuntut kota untuk dapat meningkatkan kapasitas teknis dan finansial pemerintahannya serta meningkatkan kerja sama antar kota; serta (iii) dampak perubahan iklim, yang menuntut kota untuk dapat meningkatkan pengarusutamaan antisipasi dampak perubahan iklim dalam pembangunan dan pengelolaan perkotaan.

Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan perkotaan saat ini adalah: (i) belum optimalnya kinerja dan kapasitas pemerintah kota dalam menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; (ii) masih lemahnya koordinasi dan sinkronisasi antar pemerintah pusat, sektor dan daerah dalam pembangunan perkotaan; (iii) masih terbatasnya penyediaan dan pemanfaatan lahan perkotaan untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah; (iv) masih minimnya dukungan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembangunan perkotaan; (v) semakin menurunnya pelayanan dan penyediaan prasarana dan sarana umum perkotaan, baik secara kualitas maupun kuantitas, seiring dengan bertambahnya penduduk; (vi) belum optimalnya penanganan pemerintah terhadap masalah sosial dan wabah penyakit di perkotaan; (vii) masih rendahnya implementasi rencana tata ruang kota, terutama terkait dengan pemberian Izin Mendirikan Bangunan; (viii) belum jelasnya

(8)

mekanisme dan terintegrasinya kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan dan metropolitan; (ix) belum optimalnya peran sektor informal dan kelembagaan ekonomi dalam pengembangan ekonomi perkotaan; serta (x) belum optimalnya upaya pengelolaan lingkungan, antisipasi dampak perubahan iklim, dan mitigasi bencana yang terintegrasi dalam pengelolaan perkotaan.

Pada Maret tahun 2011 masih terdapat 18,97 juta penduduk miskin di perdesaan atau 63,19% dari total keseluruhan penduduk miskin di Indonesia. Berbagai program pro rakyat masuk ke perdesaan dalam rangka mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan serta keberdayaan rakyat. Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah sinergi pusat-daerah, sinergi antar-sektor, sinergi antar-pusat-daerah, desentralisasi dan otonomi daerah, globalisasi, dan perubahan iklim. Secara umum, permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan, antara lain: (i) Belum optimalnya sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga antara kedua belah pihak masih terdapat perbedaan pandangan. Hal ini menyebabkan dalam pelaksanaan kegiatan masih ada yang berjalan sendiri-sendiri; (ii) Kapasitas sumber daya manusia yang belum memadai. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ditandai oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah yang juga mempengaruhi tingkat keberdayaan masyarakat; (iii) Keterbatasan kemampuan aparat pemerintah daerah yang menangani pembangunan perdesaan; (iv) Belum sinergi dan terintegrasinya program-program pemberdayaan dari pemerintah (termasuk PNPM) dan non pemerintah dengan perencanaan pembangunan desa yang mendukung terlaksananya perencanaan pembangunan yang ada di desa. Persentase desa-desa yang melaksanakan musyawarah pembangunan desa masih rendah sehingga usulan kegiatan masyarakat belum sesuai dengan yang direncanakan; (v) Minimnya dukungan regulasi bagi pengembangan desa dan perdesaan, sehingga perlu penyempurnaan dan penyiapan aturan hukum tentang desa; (vi) Belum optimalnya pendataan potensi

(9)

masyarakat melalui profil desa dan kelurahan sehingga perencanaan pembangunan desa seringkali menggunakan data yang tidak akurat; (vii) Belum memadainya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana perdesaan (termasuk transportasi perintis baik untuk angkutan penyeberangan, angkutan laut, maupun transportasi udara) dan belum menjangkau semua desa di daerah tertinggal, daerah terpencil/terluar, kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar; (viii) Kurang intensifnya pembinaan kepada masyarakat terutama dalam meningkatkan kewirausahaan, informasi peluang usaha/pasar, permodalan maupun pengelolaan sumber daya dalam rangka meningkatkan nilai tambah produksi; (ix) Rendahnya aset yang dikuasai oleh masyarakat perdesaan; (x) Terbatasnya inventarisasi dokumen pertanahan; (xi) Kurangnya dukungan tenaga ahli yang kompeten dalam merencanakan pembangunan kawasan perdesaan (termasuk di kawasan transmigrasi) sehingga dalam penyusunannya belum sepenuhnya mengikuti tahap-tahap perencanaan dan memahami pentingnya program PTB (Permukiman Transmigrasi Baru); (xii) Masih lemahnya kerja sama dengan lembaga terkait, khususnya pemerintah daerah setempat dan investor (swasta), karena kurangnya koordinasi dan kolaborasi dalam pembangunan dan pengembangan kawasan perdesaan (termasuk kawasan transmigrasi); (xiii) Meningkatnya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup seiring dengan penghidupan masyarakat perdesaan yang sangat bergantung pada alam; dan (xiv) Makin tingginya konversi (alih fungsi) lahan pertanian produktif menjadi peruntukan lain.

Adanya kesenjangan antara desa dan kota melatarbelakangi perlunya pengembangan ekonomi lokal dan daerah. Kesenjangan tersebut dicerminkan dari rasio jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor primer (pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan dan penggalian) yang mencapai sekitar 40 persen di tahun 2010, sementara rasio nilai tambah sektor primer tersebut terhadap PDB nasional hanya berkisar sekitar 25,8 persen di tahun 2009. Kesenjangan antara desa kota juga dapat dicerminkan dari persentase

(10)

jumlah penduduk miskin di desa dan kota, dimana persentase jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 16,56 persen dari jumlah penduduk di desa pada tahun 2010, lebih tinggi dari persentase penduduk miskin di kota yang mencapai sekitar 9,87 persen (BPS, 2010). Kesenjangan antardaerah juga dapat ditunjukkan dengan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDRB) per wilayah terhadap PDB nasional, dimana kontribusi PDRB Kawasan Barat Indonesia (KBI) lebih besar daripada Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Adapun masalah mendasar dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah pada tahun 2011 adalah sebagai berikut: (i) rendahnya kapasitas tata kelola ekonomi daerah; (ii) rendahnya kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan ekonomi daerah secara lintas sektor dan lintas wilayah; (iii) rendahnya kapasitas lembaga dan fasilitasi dalam mendukung percepatan pengembangan ekonomi lokal dan daerah; (iv) kurangnya kerja sama antardaerah dan kemitraan pemerintah-swasta dalam upaya pengembangan ekonomi lokal dan daerah, dan (v) kurang meratanya pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah.

Rendahnya kapasitas tata kelola ekonomi daerah mencakup: (i) masih saling tumpang tindihnya peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik di pusat maupun di daerah; (ii) masih lemahnya peran dan fungsi kelembagaan pengelolaan ekonomi daerah terutama di bidang permodalan dan perizinan usaha; (iii) masih terbatasnya akses pada data dan informasi potensi investasi daerah, serta penelitian pengembangan ekonomi daerah; serta (iv) kurangnya efektivitas dan efisiensi pengelolaan ekonomi daerah disebabkan oleh belum optimalnya sistem monitoring dan evaluasi tata kelola ekonomi daerah.

Rendahnya kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan ekonomi daerah secara lintas sektor dan lintas wilayah mencakup (i) rendahnya koordinasi dalam mengelola ekonomi daerah secara lintas sektor masih rendah; (ii) rendahnya kompetensi sumber daya

(11)

manusia pemangku kepentingan lokal/daerah (masyarakat dan pengusaha lokal/daerah); dan (iii) terbatasnya partisipasi pemangku kepentingan lokal/daerah dalam pengambilan keputusan terkait pengembangan ekonomi daerah. Hal ini terlihat pada kurang dilibatkannya pemangku kepentingan lokal/daerah, yaitu pemerintah daerah dan dunia usaha, khususnya dalam proses perencanaan dan penganggaran program/kegiatan pengembangan ekonomi lokal dan daerah sehingga program/kegiatan yang disusun cenderung kurang memperhatikan aspirasi lokal.

Rendahnya kapasitas lembaga dan fasilitasi dalam mendukung percepatan pengembangan ekonomi lokal dan daerah mencakup (i) kurang optimalnya fungsi lembaga-lembaga fasilitasi ekonomi daerah, baik di tingkat pusat maupun di daerah, baik dari segi kapasitas, jumlah maupun jangka waktunya. Hal ini terkait dengan terbatasnya fasilitasi yang diberikan, baik oleh pemerintah maupun nonpemerintah, dan kurang terintegrasinya fasilitasi yang diberikan kepada daerah dalam upaya pengembangan ekonomi lokal dan daerah; dan (ii) terbatasnya kapasitas tenaga fasilitator pengembangan ekonomi lokal dan daerah, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun oleh nonpemerintah.

Kurangnya kerja sama antardaerah dan kemitraan pemerintah-swasta dalam upaya pengembangan ekonomi lokal dan daerah mencakup (i) belum optimalnya hubungan kerja sama antardaerah (lintas provinsi dan lintas kabupaten/kota). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perjanjian kerja sama antardaerah yang sudah ditandatangani, tetapi tidak diimplementasikan; (ii) masih rendahnya kemitraan antara pemerintah-swasta dalam pengembangan ekonomi daerah. Rendahnya kemitraan antara swasta dengan pemerintah daerah disebabkan oleh kurang kondusifnya iklim investasi di daerah dan kurangnya kesadaran pemerintah daerah untuk melibatkan swasta dalam pengembangan ekonomi daerah. Selain itu, adanya

(12)

proses perizinan yang berbelit-belit membuat iklim investasi dan usaha kurang kondusif.

Kurang meratanya pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah, khususnya transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi, serta air baku. Selain itu, kurang optimalnya jalur distribusi logistik menjadi persoalan yang mengakibatkan tersendatnya distribusi barang dan komoditas nasional.

Pengembangan dan pengelolaan kawasan, baik itu KSN ekonomi, daerah tertinggal, perbatasan, kawasan bencana serta kawasan perkotaan dan perdesaan perlu didukung dengan data dan informasi geospasial yang akurat serta penataan ruang yang mantap. Terkait dengan penyediaan data dan informasi geospasial, masih terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi, yaitu: (i) belum tersedianya peraturan terkait dengan pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, pengamanan, penyebarluasan dan penggunaan data dan informasi geospasial; (ii) belum tersedianya data dan informasi geospasial dasar dalam berbagai resolusi dan berbagai skala yang mencakup seluruh wilayah Indonesia; dan (iii) belum tersedianya secara optimal simpul jaringan data dan informasi geospasial menyebabkan standardisasi data spasial menemui berbagai kendala.

Berkenaan dengan penataan ruang,permasalahan utama yang dihadapi antara lain adalah: (i) tingginya alih fungsi lahan, terutama dari kawasan hutan dan pertanian menjadi daerah terbangun, baik berupa kawasan permukiman maupun industri; (ii) meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana seperti banjir, tsunami, gempa, longsor, dan kekeringan, yang diperburuk dengan adanya dampak perubahan iklim berupa kenaikan muka air laut dan siklus hidrologi yang ekstrim; (iii) tekanan pertumbuhan penduduk yang mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan; (iv) masih tingginya ketimpangan wilayah antara bagian barat dan timur Indonesia serta masih tingginya tingkat kesenjangan antar kawasan di pulau Sumatera,

(13)

Jawa, Kalimantan dan Sulawesi akibat belum meratanya pembangunan infrastruktur; (v) makin meningkatnya urbanisasi dan jumlah penduduk perkotaan yang belum diimbangi dengan kualitas penyediaan infrastruktur permukiman dan infrastruktur perkotaan yang memadai, yang ditandai dengan masih banyaknya kawasan kumuh perkotaan, kemacetan lalulintas dan tingginya pedagang kaki lima dan sektor informal; (vi) meningkatnya jumlah Daerah Aliran Sungai yang kritis yang ditandai dengan berkurangnya luas kawasan hutan dan menurunnya proporsi ruang terbuka hijau di perkotaan. Tantangan penataan ruang untuk lima tahun ke depan adalah: (i) menyelesaikan dan melengkapi peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, meliputi peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri berupa norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) di bidang penataan ruang untuk mendukung implementasi penataan ruang; (ii) melakukan percepatan penyelesaian Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan, Kawasan Strategis Nasional, serta Perda RTRW provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Recana Tata Ruang Wilayah Nasional, serta Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; (iii) melakukan pembinaan penataan ruang, khususnya dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan serta peningkatan kemampuan aparat perencana maupun pelaksana pengendalian pemanfaatan ruang, baik di tingkat pusat maupun di daerah, untuk menjamin pelaksanaaan RTR yang semakin berkualitas serta dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif; (iv) meningkatkan kualitas pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang terutama melalui dukungan sistem informasi dan pemantauan penataan ruang di daerah untuk mengurangi terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor, antar wilayah dan antar pemangku kepentingan; (v) meningkatkan efektivitas pengendalian

(14)

pemanfaatan ruang melalui penetapan peraturan zonasi, perijinan dan pemberian insentif serta pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (vi) melakukan pengawasan penyelenggaraan penataan ruang baik di tingkat pusat dan daerah dalam rangka menjamin kesesuaian antara rencana tata ruang dan implementasinya.

Pengelolaan pertanahan sebagai instrumen penataan ruang dan jaminan kepastian hukum atas tanah masih menghadapi berbagai permasalahan, yaitu: (i) rendahnya jumlah bidang tanah yang terdaftar, yang berdampak pada rentannya terjadi sengketa pertanahan serta terbatasnya akses ke sumber ekonomi dan modal usaha; (ii) terjadinya ketimpangan dalam struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) yang berakibat pada terkosentrasinya aset tanah pada sekelompok orang atau golongan; (iii) banyaknya bidang-bidang tanah dengan skala besar (luas) yang tidak digunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya (terlantar); (iv) tingginya kasus sengketa dan konflik pertanahan berpotensi terhadap timbulnya gejolak/kerawanan sosial yang dapat mengganggu iklim investasi dan menyebabkan lahan menjadi tidak produktif; (v) masih terbatasnya cakupan wilayah yang telah dipetakan kedalam peta dasar, peta tematik, dan peta nilai tanah sehingga berdampak pada terhambatnya upaya percepatan pendaftaran tanah dan terbatasnya informasi mengenai potensi, ketersediaan dan nilai tanah; (vi) masih sulitnya masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan di bidang pertanahan yang disebabkan oleh kondisi geografis, sarana transportasi, kemampuan ekonomi masyarakat, dan minimnya informasi tentang pelayanan pertanahan; dan (vii) rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang pertanahan yang berdampak pada masih rendahnya kinerja pengelolaan pertanahan. Disamping itu pemekaran wilayah administrasi kabupaten/kota pertumbuhannya jauh melebihi jumlah pegawai sehingga pada beberapa kantor pertanahan terjadi kekurangan staf maupun jabatan struktural yang kosong.

(15)

Pengembangan wilayah dalam kerangka otonomi daerah harus didukung oleh kelembagaan yang kuat di daerah yang dapat mewujudkan sinergi hubungan pusat-daerah, mempererat kerjasama antardaerah serta memiliki kapasitas untuk mengelola pembangunan di daerahnya sendiri. Dalam upaya pemantapan desentralisasi dan hubungan pusat-daerah dan antardaerah, Pemerintah masih menghadapi empat permasalahan utama. Pertama, dalam hal penataan pembagian urusan pemerintahan dan antartingkat pemerintahan, masalah yang dihadapi adalah: (i) penyusunan dan sosialisasi revisi PP Nomor 38 Tahun 2007 belum dapat dilaksanakan karena harus menunggu hasil revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (ii) masih rendahnya pemahaman pemerintah daerah terhadap regulasi sektoral dan kewenangan daerah, sehingga masih banyak daerah yang belum menyelesaikan Perda mengenai kewenangan/urusan wajib dan pilihan pada pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota; (iii) belum seluruh kementerian dan lembaga menyelesaikan penyusunan norma standar prosedur kriteria (NSPK) secara lengkap, sehingga pelaksanaan urusan pemerintahan dalam rangka desentralisasi masih bergantung kepada pemahaman dan sudut pandang pemerintah daerah masing-masing; (iv) masih terdapat peraturan undangan sektoral yang belum sejalan dengan peraturan perundang-undangan desentralisasi dan otonomi daerah khususnya terkait dengan pembagian urusan. Kedua, dalam hal penataan daerah, yang meliputi penataan daerah otonom dan otonomi khusus serta penghentian/pembatasan pemekaran wilayah, masalah yang dihadapi adalah: (i) belum selesainya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Istimewa Yogyakarta; (ii) belum tuntasnya penyelesaian perlengkapan, pembiayaan, personel dan dokumen (P3D) pada sebagian besar daerah otonom baru; (iii) belum adanya kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR terhadap desain besar penataan daerah; dan (iv) masih banyaknya usulan pemekaran daerah (pembentukan daerah otonom baru). Ketiga, dalam hal peningkatan

(16)

kerja sama daerah, masalah yang dihadapi adalah: (i) belum optimalnya peran gubernur dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil Pemerintah di daerah untuk melakukan pemantauan terhadap kabupaten/kota dalam penyelenggaraan tugas pembantuan, mengkoordinasikan pembangunan di daerah dan mendorong kerja sama antara kabupaten/kota di wilayahnya; (ii) belum semua kementerian dan lembaga melaksanakan mekanisme penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan sesuai dengan amanat PP Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; (iii) belum optimalnya peran Tim Koordinasi Penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (DKTP) Provinsi dalam mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dari kementerian/lembaga serta belum semua kabupaten/kota memiliki Tim Koordinasi DKTP; (iv) komitmen pemerintah daerah dan DPRD yang cenderung berfokus pada kepentingan daerahnya saja; dan (v) kerja sama swasta dengan pemerintah daerah relatif masih sangat terbatas. Keempat, dalam hal pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintah daerah, masalah yang dihadapi adalah: (i) kurangnya data pendukung Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD); dan (ii) masih belum berjalannya proses evaluasi mandiri (self assessment) di daerah.

Selanjutnya, dalam rangka perbaikan tata kelola dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah, berbagai permasalahan masih terjadi di tiga upaya yang sedang dilakukan Pemerintah saat ini. Pertama, peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah masih dihadapkan pada permasalahan sebagai berikut: (i) revisi PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah belum dapat dilaksanakan karena menunggu revisi UU Nomor 32 Tahun 2004; (ii) penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai indikator utama pelayanan publik di daerah belum optimal karena keterbatasan sumber daya dan regulasi pendukung; dan (iii) SPM belum dapat diterapkan di daerah karena belum terintegrasinya SPM

(17)

dalam dokumen perencanaan dan anggaran, belum mencukupinya kapasitas keuangan daerah, dan terbatasnya ketersediaan dan kapasitas personil daerah. Kedua, peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah daerah dan anggota DPRD masih menghadapi permasalahan: (i) keterbatasan sumber daya sehingga belum seluruh pejabat negara di daerah dan DPRD difasilitasi dalam orientasi peningkatan kemampuan dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan daerah; dan (ii) terbatasnya sarana dan prasarana dan pengembangan badan diklat seperti auditorium multiguna, alat bantu latihan, dan media pembelajaran. Ketiga, peningkatan kapasitas keuangan daerah masih menghadapi permasalahan berikut: (i) pada TA 2010, penyerapan Dana Alokasi Khusus (DAK) masih belum optimal (sebesar 85 persen) karena keterlambatan penyaluran DAK ke daerah dan dalam pelaksanaannya hanya 80 persen sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari kementerian/lembaga; (ii) pengelolaan dana hibah dan bantuan sosial belum mencerminkan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat; (iii) pengelolaan APBD yang belum sepenuhnya mengintegrasikan prinsip pro-poor, pro-job, dan pro growth serta belum memperhatikan kebijakan Millennium Development Goals (MDGs) dan Justice for All; (iv) belum optimalnya pemanfaatan sistem informasi dan teknologi dalam pengelolaan keuangan daerah; (v) masih banyak daerah yang tidak tepat waktu dalam menetapkan APBD tahun anggaran 2011, dimana terdapat 3 provinsi dan 295 kab/kota belum tepat waktu; (vi) hanya 21 propinsi yang menetapkan Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD menjadi Perda sebelum bulan Juli; (vii) akuntabilitas pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah masih rendah dimana hanya 14 dari 348 daerah yang memberikan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD ) di tahun 2009 mendapatkan status wajar tanpa pengecualian (WTP); (viii) masih rendahnya kuantitas maupun kualitas SDM yang mempunyai kompetensi di bidang pengelolaan keuangan dan teknologi informasi menghambat proses pengelolaan keuangan daerah yang efektif; dan (ix) belum

(18)

optimalnya peran BUMD dalam mendukung pertumbuhan dan keuangan daerah yang disebabkan payung hukum dalam rangka pengelolaan BUMD belum mampu mengakomodasi dinamika perubahan dan tantangan ke depan.

11.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG TELAH DICAPAI

Arah kebijakan pengembangan KSN ekonomi dalam RPJMN 2010-2014 adalah mendorong pembangunan kawasan strategis dan kawasan cepat tumbuh lainnya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang memiliki skala aktivitas ekonomi yang fokus pada penambahan nilai tambah ekonomi, serta berorientasi ekspor dan peningkatan daya saing nasional sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal dan perbatasan di sekitarnya dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’ yang sinergis melalui keterkaitan mata-rantai proses industri dan distribusi. Pembangunan KSN ekonomi masih melanjutkan pengembangan tiga belas KAPET di tiga belas Provinsi (Tabel 11.1), empat KPBPB di dua provinsi (Tabel 11.2) dan rencana penetapan lokasi lima KEK yang masih dalam proses seleksi lokasi.

Hasil sementara yang telah dicapai sampai dengan Juli 2010 untuk pembangunan KSN Ekonomi khusus untuk KAPET adalah: (i) penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional dan konsolidasi antar Badan Pengelola KAPET se-Indonesia dalam rangka memberikan masukan kepada Badan Pengembangan KAPET terkait upaya mendorong revitalisasi pengelolaan KAPET. Namun Raperpres Revitalisasi KAPET yang disiapkan oleh Tim Revitalisasi KAPET dan sudah disampaikan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, selaku Ketua Badan Pengembangan KAPET, pada tahun 2009 dengan target pengesahan 2010, hingga saat ini masih menunggu untuk dibahas dan disahkan; (ii) sedang disusunnya RTR KAPET beserta Raperpres tentang RTR KAPET yang dilaksanakan

(19)

oleh Kementerian Pekerjaan Umum, dengan target penyelesaian tiga dokumen RTR, yakni RTR KAPET Sasamba, Parepare dan Manado Bitung pada akhir tahun 2011; (iii) dukungan komitmen kementerian dan lembaga untuk mendukung KAPET, meliputi Kementerian Pekerjaan Umum, selain penyusunan RTR KAPET, juga memberikan dukungan melalui Program P2KAPET dan penyusunan Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2JM) yang akan menjadi landasan pembangunan infrastruktur bidang PU di KAPET, Kementerian Dalam Negeri melalui Program Penguatan Kelembagaan Pemda, dan BKPM melalui Program Pengembangan Promosi Investasi. Namun, hingga saat ini belum ada bentuk dukungan dari K/L anggota Badan Pengembangan KAPET lainnya.

Untuk KPBPB telah dilakukan: (i) konsolidasi dan rapat antar-KL terkait Badan Pengusahaan KPBPB Sabang yang menghasilkan PP Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Perizinan Investasi KPBPB Sabang; (ii) rapat evaluasi dan pembahasan rutin terhadap alokasi anggaran untuk pembangunan KPBPB Sabang, Batam, Bintan dan Karimun tahun 2010 dan 2011 yang selama ini dibiayai melalui bagian anggaran 999 Kementerian Keuangan. Saat ini sedang diupayakan agar KPBPB Batam memiliki mata anggaran sendiri yang diikuti dengan penyelesaian konsep dan format badan pengusahaan kawasan (BPK) Batam yang mengacu pada konsep Badan Layanan Umum.

Untuk KEK telah dilakukan: (i) pengesahan PP Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan KEK; (ii) sosialisasi KEK ke sejumlah daerah calon KEK oleh Kemenko Perekonomian (iii) proses penyusunan RPP tentang Fasilitas Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai di KEK, RPP tentang Pembiayaan KEK, Rapermen Pedagangan tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan Perizinan di Bidang Perdagangan di KEK, serta Rapermen Ketenagakerjaan tentang Forum Serikat Pekerja/Buruh di KEK.

(20)

TABEL 11.1

DAFTAR KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET)

No. Provinsi Lokasi KAPET dan Lingkup Wilayah

1 Aceh Banda Aceh Darussalam (Kota Sabang

dan kab sekitar)

2 Nusa Tenggara

Barat

Bima (Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu)

3 Nusa Tenggara

Timur

MBAY (Kabupaten Ngada, Pulau Flores)

4 Kalimantan Barat Khatulistiwa (Kota Singkawang, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten

Sambas, Kabupaten Sanggau,

Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Kapuas Hulu)

5 Kalimantan Tengah DASKAKAB (Daerah Aliran Sungai Kahayan Kapuas dan Barito - meliputi: Palangkaraya, Barito Utara, Barito Selatan, Kapuas

6 Kalimantan Selatan Batulicin (Kab. Kotabaru)

7 Kalimantan Timur SASAMBA (Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kab Kutai Kartanegara) 8 Sulawesi Utara Manado-Bitung (Kota Manado, Kota

Bitung, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa, dan Kabupaten Minahasa Utara)

9 Sulawesi Tengah PALAPAS (Palu, Donggala, Parigi Mountong, Sigi)

10 Sulawesi Selatan Pare Pare (Kab Parepare, Barru, Sidrap, Pinrang, Enrekang)

11 Sulawesi Tenggara BANK SEJAHTERA (Kota Kendari,

Kabupaten Kolaka, Konawe,

Kabupaten Pomalo)

(21)

No. Provinsi Lokasi KAPET dan Lingkup Wilayah

Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Tengah)

13 Papua Teluk Cendrawasih (Kab Biak Numfor,

Kab Yapen, Kab Waropen, Kab. Supiori, Kab Nabire)

Sumber: PP No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

TABEL 11.2

DAFTAR KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS (KPBPB)

No.

Provinsi

Lokasi KPBPB

1

Aceh

Sabang

2

Kepulauan Riau

Batam

Bintan

Karimun

Sumber: PP No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Sedangkan terkait dengan interkonektivitas konsep dan spasial antara KEK, KAPET, dan KPBPB dengan Konsep Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesi (MP3EI) yang berbasis pada pengembangan koridor ekonomi, saat ini sedang disusun kajian sebagai inisiasi penyusunan strategi nasional (Grand Strategy) konektivitas KAPET–KEK–KPBPB dengan MP3EI.

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan daerah tertinggal telah dilakukan langkah-langkah kebijakan, antara lain; (i) meningkatkan keberpihakan pemerintah melalui peningkatan kapasitas koordinasi dengan kementerian/lembaga lainnya sebagai upaya pegarusutamaan untuk

(22)

lebih mendukung percepatan pertumbuhan daerah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain; (ii) mendorong pembangunan daerah tertinggal yang berorientasi klaster (cluster based), melalui kerja sama antardaerah tertinggal dan antara daerah tertinggal dengan kawasan strategis untuk meningkatkan kapasitas pelayanan publik serta mengembangkan kapasitas pengembangan ekonomi di daerah tertinggal secara lebih efisien, dalam bentuk manajemen regional; (iii) mengisi kesenjangan kebutuhan alokasi atau kegiatan yang belum dilakukan oleh kementerianlembaga lain melalui kegiatan stimulan dalam rangka meningkatkan pelayanan dasar dan menggerakan perekonomian di daerah tertinggal; (iv) mendorong terwujudnya skema pendanaan yang pro terhadap pembangunan daerah tertinggal, salah satunya melalui upaya peningkatan rata-rata Dana Alokasi Khusus untuk daerah tertinggal yang pada tahun 2010 senilai Rp 44 milyar menjadi Rp 100 milyar; (v) merumuskan kebijakan pembangunan daerah tertinggal berbasis kawasan perdesaan secara holistis berbasis pengembangan komoditas unggulan daerah melalui dua instrumen utama KPDT yaitu Bedah Desa dan Produk Unggulan Kabupaten sebagai roda penggerak investasi di daerah tertinggal.

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembangunan daerah tertinggal selama kurun waktu sejak pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sampai dengan bulan Juni 2011 antara lain: (i) telah dilakukan sinkronisasi dan koordinasi dengan seluruh kementerian/lembaga terkait untuk mendukung pembangunan di daerah tertinggal pada tahun 2012, antara lain sebagai berikut: a) terlaksananya Rapat Koordinasi Pusat Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (RAKORPUS-PPDT) yang menghasilkan dokumen perencanaan pembangunan antar sektor di pusat untuk berperan serta dalam PPDT, b) terlaksananya Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (RAKORNAS

(23)

PPDT) yang dihadiri kementerian/lembaga, propinsi dan kabupaten daerah tertinggal, c) tersusunnya dokumen Rencana Aksi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (RAN PPDT) Tahun 2012 yang dapat menjadi pedoman dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal baik untuk kementerian/lembaga, provinsi dan kabupaten daerah tertinggal; (ii) tersusunnya review STRANAS PPDT dengan kondisi telah disesuaikan dengan RPJMN 2010-2014 dan Renstra KL yang mengakomodir keragaman karakteristik lokal daerah dan dapat menjadi strategi operasional dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal; (iii) tersusunnya instrumen pemantauan dan evaluasi RAN di daerah tertinggal; (iv) terlaksananya sosialisasi STRANAS, RAN dan pedoman pelaksanaan kegiatan tugas pembantuan/bantuan sosial KPDT tahun anggaran 2011; (v) terlaksananya sosialisasi revitalisasi STRADA di tujuh puluh kabupaten tertinggal; (vi) terbentuknya Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (TK-PPDT) baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten dengan tujuan untuk mengkoordinasikan, mensinergikan, dan mengharmonisasikan kebijakan, strategi, rencana dan program yang dilakukan oleh seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan koordinasi antar-kementerian/lembaga dan daerah; (vii) terlaksananya koordinasi dan sinkronisasi lintas kedeputian dan sektor serta para pihak lainnya dan pemerintah daerah dalam berkontribusi pada pelaksanaan Pengembangan Produk Unggulan Kabupaten TA 2011 yang diwujudkan melalui nota kesepahaman; (viii) tersusunnya konsep Pembangunan Perdesaan Terpadu (Bedah Desa) dan Pengembangan Produk Unggulan Kabupaten (PRUKAB) sebagai instrumen utama dalam koordinasi lintas sektor yang dikoordinasikan oleh KPDT; (ix) tersusunnya kesepakatan bersama (MoU) yang diinisiasi oleh KPDT dengan melibatkan enam kementerian/lembaga dan perbankan dalam rangka percepatan pembangunan ekonomi masyarakat daerah tertinggal khususnya untuk pengembangan rumput laut di daerah tertinggal; (x) dalam

(24)

rangka melaksanakan fungsi operasionalisasi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, pada tahun 2010 KPDT melaksanakan enam instrumen, yaitu: a) P2IPDT (Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal), dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, pelayanan infrastruktur sosial dasar, dan pemberdayaan komunitas adat terasing. Pada Tahun 2010 P2IPDT mengalokasikan anggaran sebesar Rp 153,3 milyar dengan lokasi kegiatan tersebar di 96 kabupaten daerah tertinggal, b) P2KPDT (Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal) dilakukan melalui penyiapan lahan dan investasi dalam kegiatan usaha pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan rakyat, pariwisata, berikut industri pengolahan dan pendukung, yang dikelola secara kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Pada Tahun 2010 P2KPDT telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 115 milyar dengan lokasi kegiatan tersebar di 115 kabupaten daerah tertinggal, c) P4DT (Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal) dilakukan melalui pembangunan pusat pelayanan jasa dan distribusi/kota penyangga, termasuk kawasan industri terpadu, dan kawasan perdagangan bebas atau kawasan ekonomi khusus. Pada Tahun 2010 P4DT mengalokasikan anggaran sebesar Rp 25 milyar dengan lokasi kegiatan tersebar di 50 kabupaten daerah tertinggal, d) P2DTK (Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus) dilakukan melalui penyediaan ’block grant’ untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal, penyediaan prasarana dan sarana lokal/perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat. Pada Tahun 2010 P2DTK mengalokasikan anggaran sebesar Rp 253,655 milyar dengan lokasi kegiatan tersebar di 51 kabupaten daerah tertinggal. P2DTK telah melibatkan masyarakat

(25)

sejumlah 46.697.450 orang, diantaranya terdapat warga miskin sekitar 18.558.540 orang. Kegiatan yang dikembangkan telah melibatkan sebanyak 105.980 tenaga kerja dan hasil kegiatan telah dimanfaatkan oleh 15.465.450 orang, e) P2SEDT (Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal) dilakukan melalui manajemen regional dan pemasaran, pengembangan sistem distribusi barang dan jasa, pelayanan informasi, maupun pengembangan jaringan prasarana antar wilayah (transportasi dan komunikasi). Pada Tahun 2010 P2SEDT mengalokasikan anggaran sebesar Rp 22,730 milyar dengan lokasi kegiatan tersebar di 191 kabupaten daerah tertinggal, f) P2WP (Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan) dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana transportasi/komunikasi, pengembangan ekonomi lokal, pelayanan sosial dasar, dan pelayanan lintas batas. Pada Tahun 2010 P2WP mengalokasikan anggaran sebesar Rp 34 milyar dengan lokasi kegiatan tersebar di 27 kabupaten perbatasan di daerah tertinggal.

Langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan untuk mengatasi persoalan manajemen batas wilayah dan pembangunan kawasan perbatasan agar dapat dikelola secara lebih sistematis, terpadu, dan komprehensif, antara lain: (i) pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang ditujukan untuk memperkuat upaya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergitas lintas pelaku dalam pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan; (ii) pembentukan Sekretariat Tetap BNPP melalui penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Tetap Badan Nasional Pengelola Perbatasan; (iii) mendorong pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah melalui penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah.

(26)

Adapun hasil-hasil yang telah dicapai hingga Bulan Juni 2011 antara lain: (i) tersusunnya tiga dokumen pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan meliputi: a) Peraturan Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 1 Tahun 2011 tentang Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025, b) Peraturan Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2014, c) Peraturan Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011. Pada periode 2011-2014 telah ditetapkan seratus sebelas kecamatan yang menjadi ‘Lokasi Prioritas’ yang akan ditangani secara bertahap; (ii) terlaksananya serangkaian forum rapat koordinasi dengan pemerintah daerah dan K/L dalam rangka penyusunan Rencana Aksi Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2012, dimana telah terinventarisasi rencana kebutuhan pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan tahun 2012 sebesar Rp 4,42 triliun untuk menangani 24 kabupaten dan 39 kecamatan lokasi prioritas, serta alokasi anggaran kementerian/lembaga (per 2 Agustus 2011) sebesar Rp 691,75 miliar (15,66 persen dari total rencana kebutuhan); (iii) terlaksananya upaya fasilitasi pembangunan berbagai sarana dan prasarana untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan negara mempergunakan anggaran tugas pembantuan BNPP, antara lain meliputi pembangunan poros penghubung antar desa/kampung dengan jalan utama, pembangunan sarana air bersih, pembangunan pemecah gelombang laut di pulau kecil terluar serta sarana dan prasarana kerja bagi lembaga pengelola perbatasan negara di daerah; (iv) pelibatan kalangan dunia usaha dan perguruan tinggi dalam pembangunan kawasan perbatasan melalui penandatanganan nota kesepahaman.

Dalam rangka mendukung pelaksanaan penanggulangan bencana yang efektif dan efisien, strategi pembangunan bidang

(27)

penanggulangan bencana dititik beratkan kepada: (i) pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional dan daerah serta penguatan kelembagaan penanggulangan bencana; (ii) peningkatan kapasitas penanganan kedaruratan dan penanganan korban yang terkena dampak bencana secara terkoordinasi, efektif dan terpadu dengan dukungan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis: Jakarta dan Malang; (iii) percepatan pemulihan wilayah terkena bencana dengan fokus pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana Wasior, Kepulauan Mentawai, Yogyakarta dan Jawa Tengah serta wilayah pascabencana alam lainnya.

Pencapaian dari pelaksanaan arah kebijakan yang ditetapkan sampai dengan triwulan kedua tahun 2011 adalah: (i) telah terbentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 33 provinsi dan 365 kabupaten/kota; (ii) telah dibentuk Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC-PB) yang berbasis di Jakarta dan Malang; (iii) Rencana Penanggulangan Bencana 2010-2014 sebagai kerangka kebijakan penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 3 Tahun 2010; (iv) Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012 yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB No. 5 Tahun 2010.

Terkait dengan upaya pemulihan wilayah pascabencana, pada tahun 2010 BNPB telah mengalokasikan dana sebesar Rp 1,7 triliun bagi pemulihan bidang perumahan di wilayah pascabencana Provinsi Jawa Barat. Sementara untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana gempa bumi September 2009 di Provinsi Sumatera Barat, pada tahun 2010 telah dialokasikan sebesar Rp 2 triliun untuk pemulihan perumahan dan alokasi tahun 2011 sebesar Rp 300 miliar untuk kelanjutan pemulihan perumahan dan Rp 402 miliar untuk pemulihan kantor pemerintahan, fasilitas pendidikan, kesehatan, ibadah serta rehabilitasi jalan dan jembatan.

(28)

Selain itu, pelaksanaan penanganan darurat di wilayah pascabencana Wasior, wilayah pascabencana gempa bumi dan tsunami di Kepulauan Mentawai serta erupsi Gunung Merapi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah telah dilaksanakan dan selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah yang terkena dampak bencana di Wasior, Mentawai serta Yogyakarta dan Jawa Tengah, telah diterbitkan: (i) Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah; (ii) Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2013, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 5 Tahun 2011; (iii) Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempa Bumi dan Tsunami di Wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2013, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2011; (iv) Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Banjir Bandang di Wasior Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat Tahun 2010-2011, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2011. Selain itu, pada tahun 2011, Pemerintah juga telah mengalokasikan dana untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Wasior sebesar Rp 239 miliar dan Mentawai sebesar Rp 486 miliar dengan fokus rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan termasuk dukungan pendanaan yang bersumber dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota.

Langkah kebijakan pembangunan perkotaan 2010–2014 adalah mengembangkan kota sebagai suatu kesatuan kawasan/wilayah, sebagai pendorong pertumbuhan nasional dan

(29)

regional serta sebagai tempat tinggal yang berorientasi pada kebutuhan penduduk kota.

Dalam rangka menyiapkan kebijakan pembangunan perkotaan dan meningkatkan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait pembangunan perkotaan, hasil-hasil yang telah dicapai sampai dengan pertengahan tahun 2011 diantaranya adalah: (i) tersusunnya rancangan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN); (ii) tersusunnya Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) nasional bidang pengembangan permukiman sejumlah satu NSPK; (iii) tersusunnya NSPK Penataan Bangunan dan Lingkungan sejumlah dua belas NSPK; serta (iv) tersusunnya indikator pembangunan berkelanjutan.

Dalam rangka menurunkan tingkat kemiskinan perkotaan, hasil yang telah dicapai di antaranya adalah: (i) terlaksananya pendampingan pemberdayaan masyarakat melalui PNPM Perkotaan di 10.948 kelurahan/desa; (ii) mulai disusunnya kebijakan/pedoman dalam rangka optimalisasi pemanfaatan lahan perkotaan; (iii) mulai disusunnya kebijakan/pedoman dalam rangka peningkatan peran pedagang kaki lima (PKL) dalam kaitannya dengan peremajaan kawasan kumuh perkotaan; serta (iv) terlaksananya fasilitasi kepada Pemerintah Daerah dalam upaya pengurangan kawasan kumuh dan penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Berkenaan dengan penurunan tingkat kerawanan sosial di perkotaan, hasil yang telah dicapai diantaranya adalah: (i) terlaksananya fasilitasi pengendalian masalah sosial dan penyakit menular di kawasan perkotaan (Provinsi DKI Jakarta); dan (ii) mulai disusunnya pedoman pengendalian masalah sosial dan wabah penyakit di kawasan perkotaan.

Selanjutnya dalam upaya meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan modal sosial dan budaya di perkotaan, hasil-hasil yang telah dicapai di antaranya adalah: (i) terlaksananya fasilitasi

(30)

sarana pengembangan, pendalaman, dan pergelaran seni dan budaya di 28 ibukota provinsi dan 482 kabupaten/kota; (ii) terlaksananya pelestarian peninggalan sejarah dan purbakala; dan (iii) terlaksananya penelitian dan pengembangan bidang kebudayaan.

Dalam upaya menguatkan kelembagaan dan kerja sama antarkota, hasil-hasil yang telah dicapai diantaranya adalah (i) mulai disusunnya kebijakan/pedoman pembentukan forum koordinasi pembangunan perkotaan di tingkat Provinsi; (ii) terlaksananya supervisi dan evaluasi pelaksanaan kerja sama sister city di tujuh kabupaten/kota; (iii) terlaksananya supervisi dan evaluasi pelaksanaan kerja sama perkotaan bertetangga di sepuluh kabupaten/kota; (iv) mulai dilaksanakannya Studi Penyusunan Model Pelaksanaan Kerja sama Antardaerah/ Kawasan Perkotaan Bertetangga; serta (v) tersusunnya sistem informasi pembangunan perkotaan dan pemutakhiran profil perkotaan.

Sedangkan dalam konteks menguatkan kapasitas pemerintah kota dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan perkotaan serta penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik, hasil-hasil yang telah dicapai diantaranya adalah: (i) terlaksananya penilaian inovasi pemerintah kota dalam pengelolaan perkotaan melalui penghargaan Inovasi Manajemen Perkotaan (IMP) Tahun 2010 kepada lima belas kabupaten/kota; (ii) terlaksananya pendampingan penyusunan rencana tindak sistem Ruang Terbuka Hijau (RTH) di 33 kawasan; (iii) terlaksananya pendampingan penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) di 41 kabupaten/kota; (iv) terlaksananya pendampingan penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) di 33 kabupaten/kota; (v) tersusunnya Rencana Pengembangan Permukiman di 27 kabupaten/kota; (vi) terlaksananya pendampingan penyusunan Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP) di 48 kabupaten/kota; serta (vii) terlaksananya

(31)

batuan teknis pendampingan penyusunan NSPK bidang penataan bangunan dan lingkungan di 33 kabupaten/kota.

Dalam rangka meningkatkan penanganan polusi lingkungan dan mitigasi bencana dalam pengelolaan perkotaan, hasil-hasil yang telah dicapai diantaranya adalah (i) diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tentang Pelaksanaan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Perkotaan (PPSP) tahun 2012; serta (ii) terlaksananya fasilitasi pembentukan Kelompok Kerja Sanitasi Perkotaan di 17 provinsi dan 58 kabupaten/kota.

Terkait dengan peningkatan investasi dan pembangunan ekonomi di perkotaan, hasil-hasil yang telah dicapai diantaranya adalah: (i) telah disusunnya Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengelolaan Pasar Tradisional; serta (ii) dilaksanakannya pembangunan pasar tradisional dan pelaksanaan agenda reformasi dasar perkotaan melalui Urban Sector Development Reform Program (USDRP) di tujuh kabupaten/kota.

Sementara ini dalam upaya penyediaan pelayanan publik sesuai dengan Standar Pelayanan Perkotaan, hasil-hasil yang telah dicapai diantaranya adalah: (i) terlaksananya pemberian dukungan sarana dan prasarana Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada 41 kawasan permukiman; (ii) terlaksananya pemberian dukungan sarana dan prasarana pada 31 kawasan yang direvitalisasi; (iii) terlaksananya pemberian dukungan sarana dan prasarana pada 65 kawasan permukiman tradisional dan bersejarah; (iv) terlaksananya fasilitasi dan supervisi dalam penyelenggaraan penyerahan aset prasarana, sarana dan utilitas (PSU) dari pengembang ke pemerintah daerah di satu provinsi dan dua kabupaten/kota; (v) terlaksananya fasilitasi penyusunan Perda terkait PSU di tiga provinsi dan sepuluh kabupaten/kota; (vi) mulai disusunnya pedoman mengenai standar pengukuran besaran RTH kawasan perkotaan; (vii) terlaksananya fasilitasi pembangunan sistem pengelolaan air limbah sistem off-site dan on-site di 38 kawasan di 27 kab/kota; (viii) terlaksananya

(32)

pembangunan infrastruktur persampahan Tempat Pembuangan Akhir sanitary landfill di 55 kab/kota; (ix) dimulainya pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta; serta (x) terlaksananya revitalisasi kereta komuter Jabodetabek.

Sehubungan dengan meningkatkan implementasi rencana tata ruang perkotaan dan pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan, hasil-hasil yang telah dicapai diantaranya adalah; (i) mulai disusunnya kebijakan/pedoman dalam rangka penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan rencana tata ruang dalam pembangunan kawasan perkotaan; (ii) terlaksananya fasilitasi dalam penyusunan Peraturan Daerah berkaitan dengan pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di 26 kota besar/metropolitan; (iii) terlaksananya peningkatan penataan perkotaan pada kota pusaka dan pemenang PKPD (Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah) di delapan kota; serta (iv) terlaksananya pengembangan kapasitas penataan ruang di enam kawasan perkotaan dan sembilan kota.

Arah Kebijakan Jangka Panjang pembangunan perdesaan dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 yaitu memperkuat kemandirian desa dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; meningkatkan ketahanan desa sebagai wilayah produksi; serta meningkatkan daya tarik perdesaan melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan seiring dengan upaya peningkatan kualitas SDM dan lingkungan.

Dalam upaya menguatkan kapasitas dan peran desa dan tata kelola kepemerintahan desa yang baik, hasil-hasil yang telah dicapai sampai dengan pertengahan tahun 2011 diantaranya adalah: (i) terlaksananya inventarisasi pelayanan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan di 90 kabupaten di 33 provinsi; (ii) terlaksananya pembinaan pengelolaan keuangan dan aset desa/kelurahan di 64 kabupaten di 33 provinsi; terlaksananya peningkatan kapasitas 270 orang Sekretaris Desa melalui orientasi tugas dan fungsi dalam

(33)

pembangunan masyarakat dan desa; (iii) terlaksananya penetapan indikator keberhasilan pemerintahan desa, penetapan dan penegasan batas wilayah desa, penyusunan basis data desa dan kelurahan, di 32 desa di 16 kabupaten di 16 provinsi; (iv) terlaksananya pelatihan untuk pelatih, pembinaan teknis peningkatan kapasitas aparat desa dan kelurahan bagi 720 orang aparat desa dan kelurahan di 22 kabupaten/kota di 33 provinsi; (v) terselenggaranya pelatihan pendataan desa dan penyusunan APBD bagi 75 orang aparat desa; (vi) sedang dilakukannya harmonisasi draf Rancangan Undang-Undang tentang Desa di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; (vii) terlaksananya pelatihan di bidang pemberdayaan aparatur desa/kelurahan untuk 30 angkatan, dan di bidang pemberdayaan lembaga masyarakat desa/kelurahan untuk 36 angkatan; (viii) terlaksananya kerjasama dengan 22 instansi dalam rangka mendukung program transmigrasi; (ix) terdapat 44.755 keluarga yang berminat mengikuti program transmigrasi; (x) terlaksananya kerjasama antar daerah (KSAD) yaitu antar kabupaten/kota di 273 kabupaten/kota; (xi) terwujudnya lima belas Badan Usaha yang mengembangkan investasi di kawasan transmigrasi; dan (xii) terlaksananya pembangunan transmigrasi di 141 kabupaten.

Dalam upaya meningkatkan kualitas dasar sumber daya manusia perdesaan, hasil-hasil yang telah dicapai sampai dengan pertengahan tahun 2011 diantaranya adalah: (i) terlaksananya pelatihan bagi 600 orang masyarakat perdesaan dalam 15 angkatan yang berasal dari 32 provinsi; (ii) terlaksananya pelatihan pelaksanaan Musrenbangdes untuk 75 orang fasilitator desa di 9 lokasi; (iii) tersusunnya Perda tentang tata ruang kawasan perdesaan, dan pengembangan pusat pertumbuhan antara desa (PPTAD) di dua puluh kabupaten di lima belas provinsi; (iv) terbentuknya 184 kelembagaan permukiman transmigrasi (kimtrans); (v) terlaksananya pendampingan kepada 343 orang (aparat dan masyarakat) di kimtrans; (vi) meningkatnya peran 18 sektor, swasta dan 49.135

(34)

kepala keluarga; dan (vii) terlaksananya pemberian bantuan layanan pendidikan, dan mental spiritual kepada 49.135 kepala keluarga di 223 kimtrans.

Dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan, hasil-hasil yang telah dicapai sampai dengan pertengahan tahun 2011 diantaranya adalah: (i) terlaksananya penerapan dan penguatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di 4.791 kecamatan di 394 kabupaten di 32 provinsi (termasuk 50 kabupaten tertinggal) di tahun 2010. Terkait penanganan daerah-daerah lokasi PNPM Mandiri yang terkena bencana, telah dilakukan tambahan alokasi Bantuan Langsung Masyarakat, khususnya untuk kecamatan yang terkena bencana yaitu 4 kecamatan di Kabupaten Mentawai Provinsi Sumatera Barat, 13 kecamatan di Provinsi Jawa tengah dan 1 kecamatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; (ii) terlaksananya pemberian bantuan langsung masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Nias (PNPM R2PN); (iii) terselenggaranya pembinaan teknis pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS di empat provinsi; (iv) sosialisasi penguatan kelembagaan HIV dan AIDS di 33 provinsi; (v) tersusunnya panduan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS; (vi) pembinaan budaya nusantara di 25 kabupaten; (vii) penguatan kelembagaan Posyandu, dan pelaksanaan Bangun Desa Mandiri Terpadu (Bangdesmadu) di 468 kabupaten di 33 provinsi; (viii) pembinaan dan perlindungan tenaga kerja perdesaan di 50 kabupaten di 33 provinsi; (ix) pengarusutamaan gender dan peningkatan pemberdayaan perempuan di dua puluh kabupaten di lima belas provinsi; dan (x) tersusunnya 63 dokumen rencana teknis pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi yang dapat diaplikasikan oleh lintas sektor terkait, baik pusat maupun daerah.

(35)

Dalam upaya meningkatkan ekonomi perdesaan, hasil-hasil yang telah dicapai sampai dengan pertengahan tahun 2011 diantaranya adalah: (i) pelatihan untuk pelatih kewirausahaan serta pemberian stimulan kepada kelompok masyarakat pesisir di 25 kabupaten; (ii) pemberian bantuan stimulan pembangunan wilayah tertinggal kepada 2 Pokmas di 2 Desa di 64 kabupaten di 32 provinsi; (iii) terlaksananya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Pengembangan Infrastruktur Ekonomi Wilayah (PNPM-PISEW) di 32 kabupaten di 9 provinsi; (iv) tersusunnya modul pemberdayaan kewirausahaan dan modul pemberdayaan usaha ekonomi keluarga; (v) terlaksananya replikasi pengembangan model Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM) di dua puluh desa di sepuluh provinsi; (vi) terlaksananya pemberian bantuan langsung masyarakat untuk stimulus pemberdayaan ekonomi masyarakat di dua belas desa; (vii) pemberian stimulan kepada kelompok masyarakat usaha perkreditan dan simpan pinjam serta lembaga keuangan mikro perdesaan; (viii) tersedianya lahan produktif seluas 13.306 ha; (ix) terlaksananya penerapan teknologi tepat guna dan perolehan informasi pemasaran di 22 kawasan di 15 provinsi; (x) terbinanya 34 unit lembaga ekonomi (koperasi/Lembaga Keuangan Mikro Balai Mandiri Terpadu Transmigrasi (LKM BMT-Trans)/Usaha Jasa Pelayanan Alsintan (UPJA) dan 71 Kelompok Tani (POKTAN)/Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) di kimtrans; (xi) berkembangnya kewirausahaan di 15 kawasan dan 223 kimtrans; (xii) tersedianya lahan seluas 100.000 ha; (xiii) tersedianya dukungan legalitas untuk lahan seluas 32.000 ha; (xiv) terlaksananya pembagian lahan seluas 16.326 ha; (xv) tersedianya data tentang bidang tanah yang dibagikan kepada transmigran di 58 lokasi; (xvi) dalam upaya memberikan kepastian hak atas tanah transmigran pada tahun 2010 telah dilakukan fasilitasi sertifikasi hak atas tanah transmigran bekerjasama dengan BPN sebanyak 22.132 bidang atau 73,19% dari target sebanyak 30,237 bidang; (xvii) telah dapat

(36)

diselesaikan kasus pertanahan transmigrasi sebanyak 61 kasus atau 45,86% dari jumlah 133 kasus pertanahan yang ada.

Dalam upaya meningkatkan kualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana, hasil-hasil yang telah dicapai sampai dengan pertengahan tahun 2011 diantaranya adalah: (i) terlaksananya peningkatan fungsi kimtrans dan sarana prasarana untuk menunjang kegiatan ekonomi dan sosial di 153 kimtrans; (ii) tersedianya rencana wilayah pengembangan transmigrasi (WPT) sebanyak tiga WPT dan Rencana Detail Pusat WPT sebanyak satu WPT; (iii) tersedianya rencana kawasan pengembangan transmigrasi sebanyak lima satuan kawasan pengembangan (SKP); (iv) tersedianya rencana teknis permukiman/redesain tata ruang perdesaan terintegrasi dengan kawasan transmigrasi sebanyak 24 satuan permukiman (SP); (v) tersedianya empat belas rencana teknis sarana dan prasarana kimtrans; (vi) tersedianya rencana teknis pengembangan sumber daya manusia dan penataan persebaran penduduk di kawasan transmigrasi di sebelas SKP; (vii) tersedianya data potensi sasaran pengarahan dan perpindahan transmigrasi di 32 kabupaten; (viii) terlaksananya pembukaan lahan seluas 6.707,75 ha; (ix) terlaksananya pembangunan jalan antar SKP, antar permukiman dan jalan lingkungan kimtrans sepanjang 83,40 km; (x) tersedianya 7.193 unit rumah transmigran dan jamban keluarga (RTJK); (xi) dipugar/dikembangkannya 880 unit rumah penduduk setempat; (xii) dibangun/dikembangkannya 145 unit fasilitas umum/fasilitas sosial; (xiii) dibangunnya 1.568 unit sarana air bersih dan sanitasi; (xiv) disiapkannya lima belas unit sarana dan prasarana kawasan perkotaan baru; (xv) tersedianya pusat layanan internet kecamatan (PLIK) untuk 4,269 desa di kecamatan berbasis PLIK; dan (xvi) terlaksananya 5.784 desa yang teraliri internet di 4.700 kecamatan.

Dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan masyarakat perdesaan, hasil-hasil yang telah dicapai sampai dengan pertengahan tahun 2011 diantaranya adalah: (i) pembinaan teknis dan pemberian

Referensi

Dokumen terkait

Serta agar pembaca dan para animator dapat lebih mengapresiasi proses penciptaan dan perancangan pada sebuah tokoh Selama proses pembuatan skripsi, penulis menyadari

Dampak dari masalah tersebut apabila tidak diatasi dapat mengakibatkan ibu hamil menderita anemia, resiko pada saat melahirkan, melahirkan dengan bayi dengan berat

Data resistivitas dari penampang resistivitas 2-D yang diperoleh dari pengukuran lintasan 1 sampai dengan pengukuran lintasan 4 di lapangan yaitu zona lapisan

Peran pelajaran sastra semakin penting ketika pelajaran budi pekerti dan Pancasila tidak diberikan lagi di sekolah, sementara waktu yang tersedia untuk pelajaran agama juga

Salah satu cara yang cukup efisien untuk menyelesaikan program integer adalah dengan mengaplikasikan algoritma Branch and Bound dibandingkan metode perhitungan

Tembaga ini akan menjadi lebih keras dengan tegangan yang tidak dapat direduksi oleh temperature penyolderan, penimahan (Tining) atau proses lain

Catatan atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian jumlah yang tertera dalam Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Arus Kas dan Laporan Perubahan Ekuitas,

Judul yang kami pilih adalah “ Rekonstruksi Peran Atase dan Konsul Kejaksaan dalam Upaya Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) yang Melakukan