• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG

A. Tindak Pidana Penganiayaan

Kejahatan merupakan perbuatan yang menyalahi etika dan moral sehingga dari suatu kejahatan yang dilakukan seseorang maka tentu perbuatan tersebut memiliki dampak yang sangat merugikan orang lain selaku subjek hukum. Salah satu bentuk kejahatan yang seringkali terjadi di sekitar kita yakni kejahatan dalam bentuk kekerasan seperti penganiyaan. Maraknya tindakan penganiayaan yang kita lihat dari berbagai sumber menjadi pertanda bahwa hal tersebut tidak lepas dari perilaku masyarakat yang kurang terkontrol baik itu yang dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan pengaruh lingkungan pergaulan yang kurang baik. Perselisihan baik secara personal ataupun kelompok dapat menjadi suatu faktor yang dapat mengundang terjadinya tindak kekerasan yang berujung pada penganiayaan.

Mengenai pengertian terkait tindak pidana (delik) telah dipaparkan pada bab seblumnya. Namun, pada intinya dalam hukum pidana Belanda selain memakai istilah strafbaar feit kadang juga menggunakan kata delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hal tersebut secara umum oleh pakar hukum pidana disetujui penggunaan strafbaar feit. Prof. Simon mendefinisikan strafbaar feit dengan suatu tindakan melanggar hukum yang

telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya.15

Oleh karena KUHP bersumber pada W.v.S Belanda, maka istilah yang digunakan pun sama yaitu strafbaar feit. Namun dalam menterjemahkan istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia terdapat perbedaan.

Sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah, Moeljatno dan Roeslan Saleh menggunakan istilah perbuatan pidana meski tidak untuk menterjemahkan strafbaar feit. Sedangkan Utrecht menyalin istiah strafbaar feit menjadi peristiwa pidana, di mana beliau menterjemahkan secara harfiah menjadi peristiwa pidana.16

Definisi terhadap istilah penganiayaan dalam Black’s Law Dictionary :

“In Criminal Law. A Criminal action; a proceeding instituted and carried on by due course of law, before a competent tribunal, for the purpose of determining the guilt or innocence of a person charged with crime” dapat disimpulkan bahwa penganiayaan adalah serangkaian tindakan kriminal (tindak pidana) yang dilakukan terhadap seseorang sebelum dirinya diputus bersalah ataukah tidak berdasarkan putusan hakim, karena apabila seseorang sudah diputus / divonis bersalah maka tindakan yang bersifat menestapakan diri seseorang bukan lagi dimaknai sebagai penganiayaan. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penganiayaan diartikan dalam arti luas yaitu menyangkut tentang perasaan atau suasana batiniah. Sementara penganiayaan yang dimaksudkan dalam ilmu hukum pidana merupakan

15 Leiden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan yang dapat dihukum, (Jakarta: Grafika, 1991). H.4

16 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h.4

penganiayaan yang berkenaan dengan tubuh manusia. Karena hukum pidana hanya membahas 2 (dua) hal, terkait tubuh manusia dan harta benda manusia.

Beberapa pendapat ahli hukum pidana mengenai penganiayaan adalah sebagai berikut:

Mr. M.H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai

berikut :

“Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan ..”

Kemudian ilmu pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”17

Penganiayaan sudah secara baku diatur (sebagai implementasi dari asas legalitas) dalam aturan hukum pidana. Perlu dicermati bahwa Penganiayaan berbeda dengan Pembunuhan. Walaupun keduanya merupakan tindak pidana yang menyerang tubuh seseorang namun perbedaan tetap harus diperhatikan karena perbedaan inilah yang akan dijadikan dasar untuk Aparat Penegak Hukum dalam mengkualifikasi tindakan tersebut dan nantinya Hakim akan dapat memberikan putusan yang tepat. Pembunuhan secara terminologi dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan yang membunuh / menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja, unsur dengan sengaja inilah yang menjadi kunci utama dan pembeda antara tindak pidana penganiayaan dengan tindak pidana pembunuhan.

17 Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), h.83.

Sedangkan menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah :

“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan...”18

Meskipun terdapat banyak perbedaan pengistilahan, namun yang jelas semua bersumber pada strafbaar feit. Mengenai penggunaan istilah tersebut A.Z.Abidin sependapat bahwa lebih baik digunakan istilah padanannya saja yang banyak digunakan yaitu delik.19Penganiayaan yang identik dengan tindakan kekerasan sangat dilarang untuk dilakukan. Karena dalam Instrumen Bill of Right dan aturan-aturan terkait konvensi-kovensi Internasional pun menjamin kebebasan dari setiap manusia dari segala bentuk kekerasan.

Dalam rangka penegakan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) terdapat hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun yang disebut Non Derogable Rights yang salah satu instrumennya menyatakan bahwa hak untuk bebas dari penyiksaan (right to be free from torture) mengindikasikan bahwa tindak pidana penganiayaan terdapat mala in se (sifat jahat/buruk) didalamnya.

Selanjutnya dalam pasal 4 Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Anti Torture) mengatur salah satu bentuk manifestasi tindak kekerasan berupa penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, dan merendahkan

18Ibid

19Ibid, h.65.

martabat manusia.20 Pengaturan internasional terkait penganiayaan ini juga telah diratifikasi oleh Indonesia.21

Dalam rancangan dari undang-undang dari pemerintah Belanda ditemukan perumusan dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit dalam tubuh orang lain, dan dengan sengaja merugikan kesehatan orang lain perumusan ini dalam pembicaraan dalam parlemen Belanda di anggap kurang tepat, karena meliputi juga perbuatan seorang pendidik terhadap anak didiknya, dan perbuatan seorang dokter terhadap seorang pasiennya. Keberatan ini diakui kebenarannya, maka perumusan diganti menjadi penganiayaan dengan penjelasan bahwa ini berarti berbuat sesuatu dengan tujuan (oogmerk) untuk mengakibatkan rasa sakit, dan memang inilah arti dari kata penganiayaan, sedangkan menurut pasal 351 ayat (4) KUHP, penganiayaan disamakan dengan merugikan kesehatan orang lain dengan sengaja. Keberatan ini diakui kebenarannya, maka perumusan diganti menjadi penganiayaan dengan penjelasan bahwa ini berarti berbuat sesuatu dengan tujuan (oogmerk) untuk mengakibatkan rasa sakit, dan memang inilah arti dari kata penganiayaan, sedangkan menurut pasal 351 ayat (4) KUHP, penganiayaan disamakan dengan merugikan kesehatan orang lain dengan sengaja.

20Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia merupakan pengejawantahan dari Pasal 5 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 7 Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Lihat Konsideran menimbang.

21 Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang dengan konsekuensi tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 mewajibkan Negara Republik Indonesia sebagai peserta Konvensi ini untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah-langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindakan penyiksaan, perlakuan kasar, penghukuman lain yang kejam dan merendahkan martabat manusia di dalam wilayah hukumnya dan mengatur sedemikian rupa agar tindakan-tindakan tersebut merupakan tindak pidana.

Dengan demikian unsur kesengajaan ini terbatas pada wujud tujuan (oogmerk) tidak seperti unsur kesengajaan dan pembunuhan. Apabila suatu penganiayaan mengakibatkan luka berat, maka sesuai dengan pasal 351 ayat (2) KUHP maksimum hukuman dijadikan 5 (lima) tahun penjara. Sedangkan jika berakibat matinya orang, maka maksimum hukuman meningkat lagi menjadi 7 (tujuh) tahun pennjara.

Terdapat 2 (Dua) macam akibat ini harus tidak dituju juga harus tidak disengaja, maka ada tindak pidana penganiayaan berat dan pasal 354 ayat (1) KUHP dengan maksimum hukuman delapan tahun penjara jika perbuatan ini mengakibatkan matinya orang, sedangkan kalau matinya orang disengaja tindak pidana menjadi pembunuhan yang diancam dengan maksimum 15 (lima belas) tahun penjara

Dalam mengakaji terkait tindak pidana penganiayaan dapat dirujuk pada Pasal 170, Pasal 351, Pasal 352, Pasal 353, Pasal 354, Pasal 355, Pasal 356, Pasal 357, dan Pasal 358. Pasal-pasal tersebut pada pokoknya memuat terkait ketentuan-ketentuan pidana terkait penganiayaan dengan diklasifikasikan terhadap tindakan-tindakan maupun konsekuensi-konsekuensi lain berdasarkan tiap-tiap aturannya. Secara umum penganiayaan berdasarkan pasal-pasal yang telah diatur dalam KUHP tersebut memiliki unsur :

1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah;

2. Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun;

3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan;

5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 170 KUHP :

Ayat (1) “Barangsiapa, dengan terang-terangan dan tenaga bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan Ayat (2) Yang bersalah diancam :

1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka ;

2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat ;

3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

Ayat (3) Pasal 89 tidak diterapkan”

Dalam tindak pidana penganiayaan perlu dikaji secara komprehensif bagi aparat penegak hukum agar nantinya dalam rangka penegakan hukum (law enforcement) menjadi lebih obyektif dan tidak merugikan siapapun terutama seseorang yang diduga menjadi pelaku tindak pidana penganiayaan.

Salah satu bentuk atau upaya kehati-hatian yang dilakukan oleh Aparat penegak hukum terkait tindak pidana penganiayaan, dalam penyidikan maupun penuntutannya menggunakan pasal berlapis dalam rangka menjerat

atau mempidana pelaku tindak pidana penganiayaan untuk dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.

Terkait tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh oknum POLRI perlu dikaji secara mendalam terhadap penyebab-penyebab ada sebelumnya.

Tindak pidana penganiayaan tersebut dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan (tahapan pemeriksaan pidana yang menjadi wewenang POLRI), sehingga kita tidak dapat mengesampingkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam tahapan hukum tersebut. Bagi Sadjidjono hal tersebut dipicu karena adanya diskresi. 22 Karena sangat dimungkinkan tindakan penganiayaan tersebut dilakukan oleh oknum POLRI karena kurang fahamnya mekanisme Due Process of Law dalam rangka penerapan hukum acara pidananya, sehingga telah terjadi kesalahan dalam penegakan hukumnya.

“...Today, there appears to be a growing awareness of the need to estimate the harm of errors that exist within the criminal justice system. Past research assumes the appropriateness of Blackstone ratio, but public acceptance of this principle e or the reason why it is correct e has not been sufficiently examined. Few studies focus on the question of whether people believe that wrongful convictions (false positives, a Type I error) are less harmful than erroneous acquittals (false negatives, a Type II error). This paper provides empirical evidence of public opinion on this question from a cross-national perspective.

22 Faktor diskresi POLRI adalah suatu perbuatan untuk melakukan tindakan berdasarkan kekuasaan dan kewenangan yang dinilai benar oleh seorang yang mempunyai kekuasaan tersebut, sehingga diskresi dapat menjadi suatu faktor yang memicu terjadinya suatu tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum POLRI, diskresi yang diimplementasikan melenceng tersebut dalam bentuk penganiayaan dapat ditafsirkan suatu pengambilan tindakan berdasarkan wewenang dan kekuasaan berdasarkan keinginan dari oknum POLRI itu sendiri, karena istilah diskresi tidak dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan atau kewenangan yang melekat untuk bertindak, yakni bertindak secara bebas dengan pertimbangannya sendiri dan tanggung jawab atas tindakan tersebut. Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, (Yogyakarta:Laksbang Presindo, 2010), h. 144.

In general, legal theories embody the spirit of criminal law in order to protect the innocent from being mistakenly convicted (Volokh, 1997; Findley, 2008; Clark, 2011; Allen and Laudan, 2008). However, Bentham (1825) believed that wrongful convictions are exaggerated since most guilty men would be exonerated to avoid a given number of wrongful convictions...”.23

Tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang telah diatur didalam KUHP terbagi menjadi beberapa uraian mengenai perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya:

1. Penganiayaan (Pasal 351 KUHP), meliputi : penganiayaan biasa, penganiayaan yang menyebabkan luka berat, penganiayaan yang menyebabkan matinya orang;

2. Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP);

3. Penganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP), meliputi: mengakibatkan luka berat, menyebabkan matinya orang.

4. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP), meliputi: Mengakibatkan luka berat, mengakibatkan matinya orang lain.;

5. Penganiayaan Berat dan Berencana (Pasal 355 KUHP), meliputi:

penganiayaan berat dan berencana, oenganiayaan berat dan berencana yang menyebabkan matinya orang lain.;

6. Penganiayaan dengan menggunakan bahan yang berbahaya bagi nyawa (Pasal 365 KUHP).;

7. Penyerangan atau perkelahian (Pasal 385 KUHP).

23 Moulin Xiong, Richard G. Greenleaf, Jona Goldschmidt, Citizen Attitudes toward errors in criminal justice: Implication of the declining acceptance of Blackstone Ratio, International Journal of Law, Crime and Justice, Vol 1 48 (2017), 14-26, h.15

Dokumen terkait