• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAPTINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ANGGOTA POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCURIAN MOTOR (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. Pid.B/2012/PN.BT)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

SUMIRNA LUSIANA 130200030

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAPTINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ANGGOTA POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCURIAN MOTOR (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. Pid.B/2012/PN.BT)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

SUMIRNA LUSIANA 130200030

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Pidana

Dr. M.Hamdan, SH.,M.Hum NIP.195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Madiasa Ablisar,SH.,MS Dr. M. Ekaputra, SH.,M.Hum NIP.196104081986011002 NIP.197110051998011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

ABSTRAK

Sumirna Lusiana*

Muhammad Eka Putra**

Madiasa Ablisar***

Pada prinsipnya setiap suatu tindak pidana yang telah ditentukan didalam peraturan perundang-undangan khususnya hukum pidana sendiri akan dilakukan penegakan hukum bagi setiap orang yang melanggar ketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan tersebut. Pemidanaan dan penjatuhan sanksi pidana yang saat ini digunakan diharapkan akan mampu menjaga keefektivitasan dari hukum pidana itu sendiri. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan lembaga yang menjalankan tugas kepolisian sebagai profesi, maka membawa konsekuensi adanya kode etik profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota POLRI.

Pelanggaran kode etik profesi maupun peraturan disiplin kepolisian bagi anggota POLRI merupakan suatu hal yang takterelakkan, menginggat dalam pelaksanaan tugas kepolisian akan selalu berhadapan dengan hak dan kewajiban warga negara secara langsung. Tindak pidana ynag dilakukan oleh setiap angota POLRI akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum pidanayang berlaku. Yaitu diproses dan diajukan di dalam lingkup peradilan umum. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 7 ayat (4) TAP MPR NO. VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum”

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder melalui pendekatan perundang-undangan.

Dalam mengakaji terkait tindak pidana penganiayaan dapat dirujuk pada Pasal 170, Pasal 351, Pasal 352, Pasal 353, Pasal 354, Pasal 355, Pasal 356, Pasal 357, dan Pasal 358. Pasal-pasal tersebut pada pokoknya memuat terkait ketentuan- ketentuan pidana terkait penganiayaan dengan diklasifikasikan terhadap tindakan- tindakan maupun konsekuensi-konsekuensi lain berdasarkan tiap-tiap aturannya.

Secara umum penganiayaan berdasarkan pasal-pasal yang telah diatur dalam KUHP tersebut memiliki unsur1

*mahasiswa fakltas hukum sumatera utara

**dosen pembimbing II atau staf pengajar fakultas hukum sumatera utara

***dosen pembimbing I atau staf pengajar fakultas hukum sumatera utara

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus, atas berkat dan kasihNya penulis merasakan sukacita yang luar biasa, penulis diberi kesehatan dan kesempatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini adalah syarat yang harus dipenuhi penulis dalam penyelesaian studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum.

Judul skripsi Penulis adalah TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ANGGOTA POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN MOTOR (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 75/ PID.B/ 2012/PN.BT) Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan, pengetahuan, wawasan, serta bahan literatur yang penulis dapatkan. Oleh kerenanya penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk semakin menambah wawasan dan ilmu penulis.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan berbagai bantuan dari para pihak penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dan dapat diselesaikan dengan baik.

Untuk itu penulis dengan ketulusan hati mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada:

a. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

(5)

b. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

c. Bapak Dr.O.K. Saidin, SH.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

d. Ibu Puspa Melati, SH.,M.Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

e. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

f. Bapak Dr. Hamdan, SH.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

g. Ibu Liza Erwina, SH.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

h. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, SH., MH selaku Dosen Pembimbing II penulis, yang telah banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul di awal pembuatan skripsi ini, serta membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi serta dan membantu penulis dikala mengalami kesulitan.

i. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., MS selaku Dosen Pembimbing I penulis, yang telah banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul di awal pembuatan skripsi ini, serta membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi serta dan membantu penulis dikala mengalami kesulitan.

j. Ibu Afnila, SH.,M.Hum sebagai dosen pembimbing Akademik

(6)

k. Kepada seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU yang yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.

l. Kedua Orang tua saya yang sangat saya cintai Bapak Asabudi Zega dan Mama Rosida Situmorang yang tiada hentinya memberikan segala cinta, kasih sayang, doa dan semangat kepada saya dalam proses perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan memberikan umur yang panjang.

m. Kepada mak tua Suster Ludovika Situmorang yang telah mencurahkan kasih sayang dan selalu menjadi Motivasi kepada saya dalam segala hal, semoga selalu setia dalam menjalankan panggilan Tuhan.

n. Kepada abang saya satu-satunya Tiberius Zega yang selalu memotivasi saya dalam segala hal positif dan tempat saya bertukar pikiran.

o. Kepada paman saya, jamalum sinambella (sekeluarga), Lesmar situmorang (sekeluarga) yang banyak membantu saya, menasehati, mendoakan saya, dan selalu memotivasi dalam perkuliahan.

p. Kepada Arwin Roganda Sitanggang yang memotivasi dan membantu saya dalam menyelesaikan perkuliahan

q. Buat teman-teman seperjuangan saya (desi, rahmat, agnes, jelita, arvin, rizki sarni, wita, pitra,pandri) yang senantiasa mendukung dan memotivasi saya, setiap hari dan menanyakan perkembangan skripsi saya sampai skripsi ini selesai tepat pada waktunya.

r. Kepada KMK. FIDELIS fakultas hukum yang senantiasa menjadi keluarga saya selama menjalani perkuliahan

s. Kepada OMK gereja Induuk St. Antonius menjadi keluarga bagi saya . t. Dan semua pihak yang telah mendoakan, membantu dan memotivasi penulis.

(7)

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, bila ada kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhir kata, penulis memanjatkan doa dan syukur kepada Allah Bapa semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, Februari 2017

Hormat saya, Penulis,

Sumirna Lusiana 130200030

(8)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Pengertian tindak pidana ... 11

2. penganiayaan ... 12

3. pengertin POLRI ... 12

F. Metode Penelitian ... 13

1. Jenis Penelitian ... 14

2. Sifat Penelitian ... 14

3. Bahan Hukum……… 15

4. Teknik pengumpulan data ……….16

5. Analisis data……….. 16

G. Sistematika penulisan………. 17

BAB II KETENTUAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PENGANIAYAAN ... 19

A. Tindak Pidana Penganiayaan ... 19

B. jenis-jenis Tindak Pidana Penganiayaan ... 28

C. Unsur-unsur Tindak Pidana Penganiayaan ... 31

(9)

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK

PIDANA PENGANIAYAAN ... 47

A. Faktor Eksternal ... 47

B. Faktor Internal ... 50

BAB IV PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN TERHADAP PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR ... 53

A. Kasus Posisi ... 53

B. Dakwaan Penuntut Umum ... 54

C. Tuntutan Oleh Penuntut Umum ... 65

D. Putusan ... 67

D. Analisis Putusan ... 68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 80

B. Saran……….. 90

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Hukum. Hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945) bahwa Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Sebagai suatu negara hukum Indonesia memiliki karakter yang cenderung untuk menilai tindakan- tindakan yang dilakukan oleh masyarakat atas dasar peraturan-peraturan hukum. Selain itu sifat negara hukum dapat ditunjukkan jika seluruh elemen hukum bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang ditentukan sebelumnya. Indonesia menganut supremasi hukum sebagai garda terdepan untuk menuju welfarstate (negara kesejahteraan) sebagaimana telah tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke-4 yang mengamanatkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, dimana melindungi pula dari segi penegakan hukumnya. Dalam hal mewujudkan cita-cita tersebut, dalam bernegara perlulah diatur norma-norma atau kaidah-kaidah yang bersifat publik dan berlaku secara nasional sebagai mekanisme kontrol terhadap warga negaranya. Salah satu aturan yang bersifat publik tadi adalah aturan yang memuat tentang hukum pidana.

Dalam hukum pidana, secara umum yang dipakai untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi bagi yang melanggarnya. Sebagai aturan yang

(11)

memuat sanksi, hukum pidana tentunya memiliki tujuan dari ditetapkannya sanksi tersebut bagi yang melanggarnya. Sanksi dalam hukum pidana disebut juga dengan sanksi pidana. Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki, dan untuk kejahatan tertentu membinasakan.2 Penegakan hukum pidana dalam hal pemberian sanksi merupakan cara yang efektif untuk menekan tindak pidana yang akan muncul selanjutnya. Karena sanksi dapat dimaknai secara luas sebagai hukuman yang mempunyai kombinasi terkait tujuannya baik bersifat preventif maupun bersifat represif.

Pada prinsipnya setiap suatu tindak pidana yang telah ditentukan didalam peraturan perundang-undangan khususnya hukum pidana sendiri akan dilakukan penegakan hukum bagi setiap orang yang melanggar ketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam suatu peraturan perundang- undangan tersebut. Pemidanaan dan penjatuhan sanksi pidana yang saat ini digunakan diharapkan akan mampu menjaga keefektivitasan dari hukum pidana itu sendiri. Pertanggung jawaban hukum merupakan pengenaan sanksi dalam suatu tindak pidana dalam hukum pidana. Pertanggungjawaban hukum tersebut tergantung pada dilakukannya tindak pidana, hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Adanya penentuan atas pertanggungjawaban hukum mempunyai tujuan yang hampir sama dengan tujuan pidana antara lain adalah penjeraan (detterent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang

2 J.M van Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum), Terjemahan Hasnan, , (Bandung: Bina Cipta, 1987), h. 128.

(12)

mempunyai potensi menjadi penjahat, perlindungan terhadap masyarakat dari perbuatan jahat, perbaikan (reformasi) kepada penjahat.3

Di Indonesia, aturan hukum yang diperuntukkan dalam penerapan hukum pidana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 (UU No 1 / 1946) tentang Peraturan Hukum Pidana atau disebut juga dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk selanjutnya disebut KUHP.

KUHP yang berlaku saat ini merupakan hukum peninggalan dalam masa kolonial, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvS NI) Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juga merupakan legalitas hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang pada awalnya hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, sementara Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1958 yang berbunyi: “Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik

3Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana , (Jakarta: Rineka Cipta,2004), h.29.

(13)

Indonesia”. Dapat dikatakan KUHP sebagai sumber hukum materiil yang masih bersifat umum / general.

Setiap tindak pidana diancam dengan hukuman atau sanksi pidana, sanksi pidana tersebut dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang dapat dikenai pertanggungjawaban secara pidana. Kesalahan merupakan salah satu faktor yang sangat essensial didalam menentukan seseorang tersebut dapat dikenai pertanggungjawaban pidana ataukah tidak. Berkaitan dengan adanya asas “Geen Straff Zonder Schuld” terdapat adanya 2 (dua) hal yang dimaksud dalam pengertiannya tersebut antara lain:4

1. Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum dalam Undang- undang Pidana

2. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu perkecualian yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan lembaga yang menjalankan tugas kepolisian sebagai profesi, maka membawa konsekuensi adanya kode etik profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota POLRI. Pelanggaran kode etik profesi maupun peraturan disiplin kepolisian bagi anggota POLRI merupakan suatu hal yang takterelakkan, menginggat dalam pelaksanaan tugas kepolisian akan selalu berhadapan dengan hak dan kewajiban warga negara secara langsung. Anggota POLRI yang melaksanakan tugas dan wewenangnya yang melanggar kode etik profesi atau peraturan disiplin

4Ibid, h. 29-30

(14)

kepolisian, maka anggota polri tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan sidang komisi kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia ataupun sidang disiplin Kepolisian Republik Indonesia

Ketentuan yang mengatur perilaku anggota POLRI yang dituangkan dalam bentuk kode etik profesi polri maupun peraturan disiplin merupakan pedoman moral atau perilaku yang harus senantiasa dipegang teguh oleh anggota polri dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Namun, ada juga anggota polri yang berperilaku yang menyimpang, sehingga melanggar kode etik polri, peraturan disiplin bahkan melanggar ketentuan hukum pidana.

Tindak pidana ynag dilakukan oleh setiap angota POLRI akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum pidanayang berlaku. Yaitu diproses dan diajukan di dalam lingkup peradilan umum. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 7 ayat (4) TAP MPR NO.

VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum”

Berkaitan dengan anggota polisi yang melakukan tindak pidana, maka berdasarkan data tindakan penyiksaa dalam proses penangkapan dan penahanan paling banyak dilakukan oleh kepolisian Resor (polres) dengan persentase 66,7 persen sedangkan sisanya dilakukan oleh kepolisian sektor (polsek) dengan persentase 33,7 persen. Sementara dilevel penyidikan persentase tindak penyiksaan hampir merata yakni

(15)

kepolisian daerah (polda) 33,7 persen, polres 43,3 persen. Kepolisian resor kota (polresta) 13,3 persen dan polsek 10 persen.5

Indonesia, dalam model-model sistem peradilan pidananya, banyak menyerap model-model terkait sistem Crime Control Model dan Due Process of Law. Merujuk pada pendapat Damaska, dan pendapat Nico Jorg cs, bagi sistem peradilan pidana di Indonesia sampai saat ini penilaian para ahli hukum Indonesia, bahwa sistem peradilan pidana Indonesia menggunakan “mixed system” yaitu pada tahap investigasi merujuk pada sistem inkuisitor tetapi pada tahap persidangan digunakan sistem akusator.6 Hal tersebut Sebagai pengejawantahan dari model crime control model dan Due Process of law tersebut diatas. Tindak pidana penganiayaan yang justru dilakukan oleh oknum POLRI terhadap pelaku tindak pidana pencurian kendaraan bermotor semakin membuktikan bahwasanya belum difahaminya batasan-batasan ataupun aturan-aturan yang harus diperhatikan dalam rangka penegakan hukum pidana dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan, terlebih lagi kurang begitu difahaminya oleh oknum POLRI tersebut tentang tujuan dan arti penting penegakan pidana.

Menegakkan proses hukum tidak berarti harus menggunakan upaya-upaya represif dalam bentuk kekerasan bahkan sampai berujung pada tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik. Dalam konsep Due

5 http://m.antaranews.com/berita/503548/kontras-polisi-dominasi

6Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, , (Jakarta:Kencana Prenada Media Grup,2010), h.57.

(16)

Process of law penegakan preventif7 sangatlah penting dalam semangat Restorative Justice.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik mengkaji lebih dalam dan menyusun dalam bentuk skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ANGGOTA POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCURIAN MOTOR (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA NO. 75/ PID.B/ 2012/PN.BT)”

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat diambil rumusan permasalahan hukum sebagai berikut:

1. Bagaimanakah ketentuan hukum yang mengatur tentang penganiayaan?

7Merujuk pada upaya-upaya preventif dalam konsep rehabilitasi dalam semangat restorative justice perlu dipahami mengenai dasar-dasar yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan itu sendiri, dilihat pendapat dari Raymond R Swisher, “That emotions are a motivator of crime is a central tenet of general strain theory (Agnew 1992, 2001), which asserts that the experience of strain produces negative emotions, which in turn lead to coping responses such as crime. strains include losses of valued resources, the occurance of negative experiences, and other forms of goal frustation (Agnew, 1992) Strains that are perceived as unjust or high in magnitude, associated with low social control, and that create incentives for crime are most likely to evoke criminal responses (Agnew 2001, 2006). Downward educational pathways likely result in a loss of economic resources and social prestige, present new negative experiences in the form of economic difficulties and possible social disapproval, and may represent the frustation of middle class goals. Negative pathways may also be perceived as unjust, particularly for those from advantaged backgrounds who may consider the American dream their brightright (Newman 1988). Indeed, as Newman argues in Falling From Grace, downward intergenerational mobility not only has consequences for the individual but also represents a distrupture of a “family mobility project” (1988:230), Raymond, R Swisher and Christopher R Dennison, Educational Pathways and Change in Crime Between Adolence and Early Adulthood, Journal of Research in Crime and Deliquency, Vol. 53 (6) 840-871, Bowling Green State University, Bowling Green, OH, USA, 2016, h. 846.

(17)

2. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan anggota POLRI melakukan tindak pidana penganiayaan?

3. Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap anggota POLRI yang melakukan penganiayaan berdasarkan putusan No. 75/ Pid.B/2012/ PN.BT?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

1. Mengkaji dan menganalisis dalam mengetahui Penerapan Hukum terhadap Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Anggota POLRI terhadap Pencurian Bermotor berdasarkatan Putusan No.

75/ Pid.B/2012/ PN.BT

2. Untuk mengetahui apa sajakah faktor-faktor Penyebab Trejadinya Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan oleh POLRI berdasarkan Putusan 75/ Pid.B/2012/ PN.BT

3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjalankan, menjatuhkan pidana terhadap anggota POLRI yang melakukan tindak pidana penganiayaan berdasarkan putusan 75/

Pid.B/2012/ PN.BT 2. Manfaat Penelitian

2.1. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan dan pengembanan Ilmu Hukum Pidana pada

(18)

umumnya maupun pada khususnya, juga diharapkan dalam penelitian kali ini dicapainya penemuan hukum baru (recht-vinding), selain itu dapat juga sebagai penambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum bagi penulis. Penelitian hukum ini dilakukan sebagai suatu kajian akademis. Penelitian hukum yang bersifat akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum melalui teori-teori hukum, argumentasi baru, atau konsep baru terhadap hal-hal yang telah dipandang mapan dalam ilmu hukum.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa pada hakekatnya penelitian hukum adalah penelitian terhadap norma, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis baik hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) maupun hukum yang berlaku dikemudian hari (ius constituendum).

2.2. Manfaat Praktis

Terkait manfaat praktis yang ingin didapatkan dalam penelitian hukum ini adalah untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dan manfaat yang dapat disumbangkan kepada Aparat Penegak Hukum dalam menjalankan fungsinya sebagai garda terdepan didalam Penegakan Hukum Pidana agar dapat berfikir dan bertindak dengan sangat bijaksana demi tegaknya keadilan.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengamatan yang dilakukan oleh Penulis, skripsi dengan judul atau topik pembahasannya serta berdasarkan hasil penelusuran Kepustakaan

(19)

(library research) khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara terhadap judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ANGGOTA POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN MOTOR (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 75/ PID.B/ 2012/PN.BT)” ini belum pernah ada judul dan permasalahan yang sama. Mengenai konsep terkait orisinalitas (keaslian) penelitian, merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Estelle Phillips, mengenai ukuran originalitas penelitian yang meliputi :8

a. Saying something nobody said before;

b. Carrying out empirical work that hasn’t been done made before;

c. Making a synthesis that hasn’t made before;

d. Using already know material but with a new interpretation;

e. Trying out something in this country that has previously only been done in other countries;

f. Taking a particular technique and applying it in a new area;

g. Bringing new evidence to bear on an old issue;

h. Being cross-diciplinary and using different methodologies;

i. Taking someone else’s ideas and reinterpreting them in a way no one else has;

j. Looking at areas that people in your discipline haven’t looked at before;

k. Adding to knowledge in a way that hasn’t previously been done before;

l. Looking at existing knowledge and testing it out;

m. Palying with words. Putting thing together in ways that order haven’t.

Setelah dipaparkan mengenai keaslian skripsi (suatu oenelitian hukum) tersebut dengan demikian, penulisan skripsi ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

8Terry Hutchinson, Researching and Writing in Law, (Sidney:lawbook, 2002), h.164.

(20)

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian tindak pidana

hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan untuk: Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut, Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah m elanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan, menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pergantian perkataan

“starft” tetapi menurut beliau istilah “pidana” lebih baik daripada hukuman.

Menurut muladi dan barnadawawi arief istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya digunakan dalam bidang hukum akan tetapi dalam bidang sehari-hari juga digunakan, seperti bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan pengertian yang khusus maka perlu adanya pembatasan pengertian atau makna sentral yang menunjukkan ciri-ciri atau sifat yang khas. Pengertian tindak pidana yang dimuat di dalam kitab hukum pidana

(21)

(KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan straftbaarfeit maka dari itu terhadap maksud dan tujuan para pembentuk undang-undang straftbaarfeit sering dignakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.

Menurut istilah paling umum untuk straftbaarfeit dalam bahasa belanda walapun secara resmi straftbaarfeit maka pendapat para ahli sebgai berikut.

Pengertian tindak pidana menurut Simons ialah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kemudian menurut pompe pengertian tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun yang dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminya kepentingan hukum.

Menurut Moeljatno menyatakan bahwa pengertian tindak pidana berarti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut juga harus dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.

2. penganiayaan

(22)

penganiayaan adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain akan tetapi suatu perbuatan ini tidak dapat dikatakan penganiayaan apabila perbuatan itu dilakukan untuk menambah kesembuhan kepada orang lain. Dalam kitab undang-undang hukum pidana penganiayaan diatur dalam Bab XX pasal 351 ayat (1) KUHP.

3. pengertian POLRI

Polisi merupakan parat Negara yang mempunyai tugas utama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Di Indonesia keberadaan polisi secara konsttusi di atur dalam pasal 30 ayat 4 UUD 1945 disana dinyatakan “ kepolisian Negara republic Indonesia sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum”.

Berdasarkan undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 5 ayat (1) pengertian polisi adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, dan menegakkan hukum seerta memberikan perlindungan , pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam negeri.

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum dalam bentuk skripsi ini merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan maupun teknologi.

Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan suatu kebenaran dengan cara sistematis, metologis dan konsisten9 melalui proses

9 Soerjono soekanto dan sry Mahmuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal 1.

(23)

penelitian tersebut maka diadakan suatu analisis dan konstruksi terhadap data yang telah diolah. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, dimana penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.10 Serta disertai dengan beberapa contoh kasus yang telah beredar di masyarakat.

Agar suatu penelitian berjalan dengan baik maka dibutuhkan suatu metode penelitian yang tepat. Adapun metode penelitian yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Normatif.

Penelitian normatif ini merupakan penelitian doktriner, karena penelitian ini dilakukan melaluli penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari dokumen-dokumen, tulisan para ahli, buku-buku literatur, jurnal hukum, situs internet, kamus hukum serta peraturan perundang- undangan yang berhubungan dengan isu dan materi permasalahan.

2. Sifat penelitian

Penulisan ini bersifat penelitian deskriptif, yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang teliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena penelitian deskriptif tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan penyususnan data, tetapi juga meliputi analisa dan interpretasi data tersebut.

10Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 35.

(24)

Penelitian ini juga bertujuan menggambarkan secara lengkap dan sistemartiskeadaan objek yang diteliti, yang dalam hal ini meliputi apakah tuntutan hukuman dan penerapan hukumnya yang diberikan kepada terdakwa tersebut sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.

3. Bahan hukum

Dalam penelitian normatif bahan yang didapatkan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat11. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian normatif dan sifat deskriptif diambil Peraturan Perundang-undangan yang meliputi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan lain yang terkait dengan permasalahan yang sedang dibahas.

b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer 12 bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini seperti buku-buku literatur, dan artikel-artikel yang berkaitan dengan judul yang dibahas dan yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tersier, adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder13

11 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jember:PT.Grafindo Persada, 1996), hal 113

12Ibid, hal 114

13Ibid

(25)

adapun bahan tersier yang digunakan adalah ensiklopedia hukum dan kamus hukum yang berhubungan dangan materi dan isi permasalahan.

4. Teknik pengumpulan data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus tersebut bahan yang digunakan adalah putusan pengadilan yang selanjutnya akan di lihat ketentuan asas dan norma yang berlaku dan terkandung dalam perundang-undangan. Karena yang akan diteliti adalah putusan pengadilan maka pendekatan ini dilakukan dengan menelaan perundang-undangan yang berkaitan dengan isi hukum yang sedang diteliti yaitu tentang tindak pidana dalam putusan pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 75/ Pid.B/ 2012/

PN.BT. menggunakan pula pendekatan konsep (Conseptual Approach) yakni dengan menelaah konsep berdasarkan pendapat dan teori para ahli/sarjana hukum dan dogma-dogma dalam ilmu hukum.14

5. Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan oleh penulis adalah teknik analisa data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dan bahan hukum yang berkaitan dengan isu permasalahan melalui studi kepustakaan kemudioan diuraikan yang logis dan sisitematis dengan menarik kesimpulan dari penelitian

14 Peter mahmud Marzuki, Ibid

(26)

G. Sistematika Penulisan

Pembuatan Sistematika Penulisan ini dimaksudkan untuk memperjelan secara menyeluruh uraian singkat mengenai tulisan ini.

Penulisan penelitian hukum dalam bentuk skripsi ini disusun secara sistematis dan terdiri dari 5 (lima) bab.

BAB I didalam bab ini, Penulis membahas tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, keaslian Penelitian, Tinjauan Pustaka, metode Penelitian, Sumber bahan Hukum, Analisa sumber Bahan hukum, dan sistematika penulisan.

BAB II didalam bab ini, Penulis akan menuraikan secara lengkap mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang penganiayaan yang meliputi pengertian tindak pidana penganiayaan, unsur-unsur yang menyebabkan tindak pidana penganiayaan dan jenis-jenis tindak pidana penganiayaan

BAB III didalam bab ini, penulis akan menjabarkan secara komprehensif mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana penganiayaan baik faktor secara umum maupun secara khusus

BAB IV, didalam bab ini, Penulis akan menjelaskan terkait penerapan hukum pidana terhadap anggota POLRI yang melakukan penganiayaan terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor dengan mendasarkan pada penerapan hukum pidana materiil terhadap tindak pidana penganiayaan berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 75/PID.B/2012/PN.BT dengan menguraikan secara cermat jelas dan

(27)

lengkap tentang kasus posisi, Dakwaan Penuntut Umum, Tuntutan oleh Penuntut Umum, Fakta Hukum yang terjadi di persidangan berdasarkan alat bukti, dan analisis terhadap Penerapan Ketentuan Hukum Pidana Materiil.

BAB V, dalam bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi yang memuat tentang kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran yang disampaikan oleh Penulis yang berkaitan dengan pembahasan yang telah dibahas dalam skripsi ini.

(28)

BAB II

KETENTUAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PENGANIAYAAN

A. Tindak Pidana Penganiayaan

Kejahatan merupakan perbuatan yang menyalahi etika dan moral sehingga dari suatu kejahatan yang dilakukan seseorang maka tentu perbuatan tersebut memiliki dampak yang sangat merugikan orang lain selaku subjek hukum. Salah satu bentuk kejahatan yang seringkali terjadi di sekitar kita yakni kejahatan dalam bentuk kekerasan seperti penganiyaan. Maraknya tindakan penganiayaan yang kita lihat dari berbagai sumber menjadi pertanda bahwa hal tersebut tidak lepas dari perilaku masyarakat yang kurang terkontrol baik itu yang dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan pengaruh lingkungan pergaulan yang kurang baik. Perselisihan baik secara personal ataupun kelompok dapat menjadi suatu faktor yang dapat mengundang terjadinya tindak kekerasan yang berujung pada penganiayaan.

Mengenai pengertian terkait tindak pidana (delik) telah dipaparkan pada bab seblumnya. Namun, pada intinya dalam hukum pidana Belanda selain memakai istilah strafbaar feit kadang juga menggunakan kata delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hal tersebut secara umum oleh pakar hukum pidana disetujui penggunaan strafbaar feit. Prof. Simon mendefinisikan strafbaar feit dengan suatu tindakan melanggar hukum yang

(29)

telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya.15

Oleh karena KUHP bersumber pada W.v.S Belanda, maka istilah yang digunakan pun sama yaitu strafbaar feit. Namun dalam menterjemahkan istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia terdapat perbedaan.

Sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah, Moeljatno dan Roeslan Saleh menggunakan istilah perbuatan pidana meski tidak untuk menterjemahkan strafbaar feit. Sedangkan Utrecht menyalin istiah strafbaar feit menjadi peristiwa pidana, di mana beliau menterjemahkan secara harfiah menjadi peristiwa pidana.16

Definisi terhadap istilah penganiayaan dalam Black’s Law Dictionary :

“In Criminal Law. A Criminal action; a proceeding instituted and carried on by due course of law, before a competent tribunal, for the purpose of determining the guilt or innocence of a person charged with crime” dapat disimpulkan bahwa penganiayaan adalah serangkaian tindakan kriminal (tindak pidana) yang dilakukan terhadap seseorang sebelum dirinya diputus bersalah ataukah tidak berdasarkan putusan hakim, karena apabila seseorang sudah diputus / divonis bersalah maka tindakan yang bersifat menestapakan diri seseorang bukan lagi dimaknai sebagai penganiayaan. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penganiayaan diartikan dalam arti luas yaitu menyangkut tentang perasaan atau suasana batiniah. Sementara penganiayaan yang dimaksudkan dalam ilmu hukum pidana merupakan

15 Leiden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan yang dapat dihukum, (Jakarta: Grafika, 1991). H.4

16 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h.4

(30)

penganiayaan yang berkenaan dengan tubuh manusia. Karena hukum pidana hanya membahas 2 (dua) hal, terkait tubuh manusia dan harta benda manusia.

Beberapa pendapat ahli hukum pidana mengenai penganiayaan adalah sebagai berikut:

Mr. M.H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai

berikut :

“Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan ..”

Kemudian ilmu pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”17

Penganiayaan sudah secara baku diatur (sebagai implementasi dari asas legalitas) dalam aturan hukum pidana. Perlu dicermati bahwa Penganiayaan berbeda dengan Pembunuhan. Walaupun keduanya merupakan tindak pidana yang menyerang tubuh seseorang namun perbedaan tetap harus diperhatikan karena perbedaan inilah yang akan dijadikan dasar untuk Aparat Penegak Hukum dalam mengkualifikasi tindakan tersebut dan nantinya Hakim akan dapat memberikan putusan yang tepat. Pembunuhan secara terminologi dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan yang membunuh / menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja, unsur dengan sengaja inilah yang menjadi kunci utama dan pembeda antara tindak pidana penganiayaan dengan tindak pidana pembunuhan.

17 Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), h.83.

(31)

Sedangkan menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah :

“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan...”18

Meskipun terdapat banyak perbedaan pengistilahan, namun yang jelas semua bersumber pada strafbaar feit. Mengenai penggunaan istilah tersebut A.Z.Abidin sependapat bahwa lebih baik digunakan istilah padanannya saja yang banyak digunakan yaitu delik.19Penganiayaan yang identik dengan tindakan kekerasan sangat dilarang untuk dilakukan. Karena dalam Instrumen Bill of Right dan aturan-aturan terkait konvensi-kovensi Internasional pun menjamin kebebasan dari setiap manusia dari segala bentuk kekerasan.

Dalam rangka penegakan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) terdapat hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun yang disebut Non Derogable Rights yang salah satu instrumennya menyatakan bahwa hak untuk bebas dari penyiksaan (right to be free from torture) mengindikasikan bahwa tindak pidana penganiayaan terdapat mala in se (sifat jahat/buruk) didalamnya.

Selanjutnya dalam pasal 4 Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Anti Torture) mengatur salah satu bentuk manifestasi tindak kekerasan berupa penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, dan merendahkan

18Ibid

19Ibid, h.65.

(32)

martabat manusia.20 Pengaturan internasional terkait penganiayaan ini juga telah diratifikasi oleh Indonesia.21

Dalam rancangan dari undang-undang dari pemerintah Belanda ditemukan perumusan dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit dalam tubuh orang lain, dan dengan sengaja merugikan kesehatan orang lain perumusan ini dalam pembicaraan dalam parlemen Belanda di anggap kurang tepat, karena meliputi juga perbuatan seorang pendidik terhadap anak didiknya, dan perbuatan seorang dokter terhadap seorang pasiennya. Keberatan ini diakui kebenarannya, maka perumusan diganti menjadi penganiayaan dengan penjelasan bahwa ini berarti berbuat sesuatu dengan tujuan (oogmerk) untuk mengakibatkan rasa sakit, dan memang inilah arti dari kata penganiayaan, sedangkan menurut pasal 351 ayat (4) KUHP, penganiayaan disamakan dengan merugikan kesehatan orang lain dengan sengaja. Keberatan ini diakui kebenarannya, maka perumusan diganti menjadi penganiayaan dengan penjelasan bahwa ini berarti berbuat sesuatu dengan tujuan (oogmerk) untuk mengakibatkan rasa sakit, dan memang inilah arti dari kata penganiayaan, sedangkan menurut pasal 351 ayat (4) KUHP, penganiayaan disamakan dengan merugikan kesehatan orang lain dengan sengaja.

20Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia merupakan pengejawantahan dari Pasal 5 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 7 Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Lihat Konsideran menimbang.

21 Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang dengan konsekuensi tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 mewajibkan Negara Republik Indonesia sebagai peserta Konvensi ini untuk mengambil langkah- langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindakan penyiksaan, perlakuan kasar, penghukuman lain yang kejam dan merendahkan martabat manusia di dalam wilayah hukumnya dan mengatur sedemikian rupa agar tindakan- tindakan tersebut merupakan tindak pidana.

(33)

Dengan demikian unsur kesengajaan ini terbatas pada wujud tujuan (oogmerk) tidak seperti unsur kesengajaan dan pembunuhan. Apabila suatu penganiayaan mengakibatkan luka berat, maka sesuai dengan pasal 351 ayat (2) KUHP maksimum hukuman dijadikan 5 (lima) tahun penjara. Sedangkan jika berakibat matinya orang, maka maksimum hukuman meningkat lagi menjadi 7 (tujuh) tahun pennjara.

Terdapat 2 (Dua) macam akibat ini harus tidak dituju juga harus tidak disengaja, maka ada tindak pidana penganiayaan berat dan pasal 354 ayat (1) KUHP dengan maksimum hukuman delapan tahun penjara jika perbuatan ini mengakibatkan matinya orang, sedangkan kalau matinya orang disengaja tindak pidana menjadi pembunuhan yang diancam dengan maksimum 15 (lima belas) tahun penjara

Dalam mengakaji terkait tindak pidana penganiayaan dapat dirujuk pada Pasal 170, Pasal 351, Pasal 352, Pasal 353, Pasal 354, Pasal 355, Pasal 356, Pasal 357, dan Pasal 358. Pasal-pasal tersebut pada pokoknya memuat terkait ketentuan-ketentuan pidana terkait penganiayaan dengan diklasifikasikan terhadap tindakan-tindakan maupun konsekuensi- konsekuensi lain berdasarkan tiap-tiap aturannya. Secara umum penganiayaan berdasarkan pasal-pasal yang telah diatur dalam KUHP tersebut memiliki unsur :

1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak- banyaknya empat ribu lima ratus rupiah;

(34)

2. Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun;

3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan;

5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 170 KUHP :

Ayat (1) “Barangsiapa, dengan terang-terangan dan tenaga bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan Ayat (2) Yang bersalah diancam :

1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka ;

2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat ;

3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

Ayat (3) Pasal 89 tidak diterapkan”

Dalam tindak pidana penganiayaan perlu dikaji secara komprehensif bagi aparat penegak hukum agar nantinya dalam rangka penegakan hukum (law enforcement) menjadi lebih obyektif dan tidak merugikan siapapun terutama seseorang yang diduga menjadi pelaku tindak pidana penganiayaan.

Salah satu bentuk atau upaya kehati-hatian yang dilakukan oleh Aparat penegak hukum terkait tindak pidana penganiayaan, dalam penyidikan maupun penuntutannya menggunakan pasal berlapis dalam rangka menjerat

(35)

atau mempidana pelaku tindak pidana penganiayaan untuk dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.

Terkait tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh oknum POLRI perlu dikaji secara mendalam terhadap penyebab-penyebab ada sebelumnya.

Tindak pidana penganiayaan tersebut dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan (tahapan pemeriksaan pidana yang menjadi wewenang POLRI), sehingga kita tidak dapat mengesampingkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam tahapan hukum tersebut. Bagi Sadjidjono hal tersebut dipicu karena adanya diskresi. 22 Karena sangat dimungkinkan tindakan penganiayaan tersebut dilakukan oleh oknum POLRI karena kurang fahamnya mekanisme Due Process of Law dalam rangka penerapan hukum acara pidananya, sehingga telah terjadi kesalahan dalam penegakan hukumnya.

“...Today, there appears to be a growing awareness of the need to estimate the harm of errors that exist within the criminal justice system. Past research assumes the appropriateness of Blackstone ratio, but public acceptance of this principle e or the reason why it is correct e has not been sufficiently examined. Few studies focus on the question of whether people believe that wrongful convictions (false positives, a Type I error) are less harmful than erroneous acquittals (false negatives, a Type II error). This paper provides empirical evidence of public opinion on this question from a cross-national perspective.

22 Faktor diskresi POLRI adalah suatu perbuatan untuk melakukan tindakan berdasarkan kekuasaan dan kewenangan yang dinilai benar oleh seorang yang mempunyai kekuasaan tersebut, sehingga diskresi dapat menjadi suatu faktor yang memicu terjadinya suatu tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum POLRI, diskresi yang diimplementasikan melenceng tersebut dalam bentuk penganiayaan dapat ditafsirkan suatu pengambilan tindakan berdasarkan wewenang dan kekuasaan berdasarkan keinginan dari oknum POLRI itu sendiri, karena istilah diskresi tidak dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan atau kewenangan yang melekat untuk bertindak, yakni bertindak secara bebas dengan pertimbangannya sendiri dan tanggung jawab atas tindakan tersebut. Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, (Yogyakarta:Laksbang Presindo, 2010), h. 144.

(36)

In general, legal theories embody the spirit of criminal law in order to protect the innocent from being mistakenly convicted (Volokh, 1997; Findley, 2008; Clark, 2011; Allen and Laudan, 2008). However, Bentham (1825) believed that wrongful convictions are exaggerated since most guilty men would be exonerated to avoid a given number of wrongful convictions...”.23

Tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang telah diatur didalam KUHP terbagi menjadi beberapa uraian mengenai perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya:

1. Penganiayaan (Pasal 351 KUHP), meliputi : penganiayaan biasa, penganiayaan yang menyebabkan luka berat, penganiayaan yang menyebabkan matinya orang;

2. Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP);

3. Penganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP), meliputi: mengakibatkan luka berat, menyebabkan matinya orang.

4. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP), meliputi: Mengakibatkan luka berat, mengakibatkan matinya orang lain.;

5. Penganiayaan Berat dan Berencana (Pasal 355 KUHP), meliputi:

penganiayaan berat dan berencana, oenganiayaan berat dan berencana yang menyebabkan matinya orang lain.;

6. Penganiayaan dengan menggunakan bahan yang berbahaya bagi nyawa (Pasal 365 KUHP).;

7. Penyerangan atau perkelahian (Pasal 385 KUHP).

23 Moulin Xiong, Richard G. Greenleaf, Jona Goldschmidt, Citizen Attitudes toward errors in criminal justice: Implication of the declining acceptance of Blackstone Ratio, International Journal of Law, Crime and Justice, Vol 1 48 (2017), 14-26, h.15

(37)

B. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan

Sebelum membahas mengenai jenis-jenis tindak pidana penganiayaan, terlebih dahulu dikaji terkait jenis-jenis tindak pidana yang dibedakan berdasarkan unsur-unsurnya sebagai berikut:24

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan”

dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang- undangan secara keseluruhan.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten).

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu.

Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu

24 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h,16

(38)

dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359

KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.25

Terkait penganiayaan terdapat pengklasifikasian terkait jenis-jenis perbuatan yang dilakukan, jenis-jenis Tindak Pidana Penganiayaan berbeda berdasarkan setiap unsur-unsur masing-masing ketentuan hukum yang mengatur terkait penganiayaan.Jenis-Jenis Penganiayaan

25 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), h.25

(39)

dalam KUHP terdapat dalam Buku II KUHP Bab XX yang mengatur terkait tindak pidana penganiayaan yang telah disebutkan diawal penulisan yang terdiri mulai dari pasal 351 KUHP sampai dengan Pasal 358 KUHP yang pada pokoknya dikualifikasi menjadi 5 (lima) jenis penganiayaan:

1. Penganiayaan Biasa;

Jenis penganiayaan biasa diatur dalam Pasal 351 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

Ayat (1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama

lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,- (Empat Ribu Lima Ratus Rupiah)

Ayat (2) “Jika perbuatan itu menjadikan luka-luka berat, si trsalah dihukum selama-lamanya 5 (lima) tahun.”

Ayat (3) “Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, diancam dengan pidana paling lama 7 (tujuh) tahun”

Ayat (4) “Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan orang”

Ayat (5) “Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.”

2. Penganiayaan Ringan;

Jenis penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

Ayat (1) “Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana dengan paling banyak Rp.4.500,- (Empat Ribu Lima Ratus Rupiah)”.Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya”

Ayat (2) “Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana”

(40)

3. Penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu;

Jenis penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu ini diatur dalam Pasal 353 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut:

Ayat (1) “Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

Ayat (2) “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun”

Ayat (3) “Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara

paling lama sembilan tahun”

4. Penganiayaan Berat;

Jenis penganiayaan Berat ini diatur dalam Pasal 354 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

Ayat (1) “Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”

Ayat (2) “Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun”

5. Penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu

Jenis Penganiayaan Berat yang direncanakan terlebih dahulu diatur dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

Ayat (1) “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

Ayat (2) “Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penganiayaan

Secara garis besar unsur-unsur terhadap penganiayaan adalah : 1. Adanya kesengajaan;

(41)

Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yaitu “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. Dalam pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya.

Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya.

Kesengajaan dapat bermakna adanya niat dari dalam diri pelaku. Secara historis pernah direncanakan dalam Undang-undang 1804 bahwa kesengajaan adalah kesengajaan jahat sebagai keinginan untuk berbuat tidak baik, juga pernah dicantumkan dalam Pasal 11 Criminal Wetboek 1809 yang menerangkan bahwa kesengajaan adalah keinginan/maksud 26 untuk melakukan perbuatan atau diharuskan oleh Undang-undang. Dalam Wetboek van Straftrecht tahun 1881 yang mulai efektif berlaku mulai 1 September 1886 tidak lagi mencantumkan arti kesengajaan seperti rancangan terdahulu.27

26 Sependapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh VON HIPPEL dalam bukunya Die Grenze Vorsatz und Fahrlassigkeityang terbit tahun 1903 yang menyatakan kesengajaan adalah kehendak membuat sesuatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Akibat dikehendaki apabila akibat itu yang menjadi maksud dari tindakan tersebut.

Inti dari kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (SIMONS dan ZEVENBERGEN).

27 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 219

(42)

Membahas mengenai kesengajaan, terdapat beberapa teori yang menjelaskan terkait bentuk kesengajaan, salah satunya seperti yang diungkapkan Moeljatno yaitu :28

1. Kesengajaan yang bersifat tujuan.

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. Sebagai contoh : A mengarahkan pisau ke arah dada sebelah kiri (posisi jantung) si B, kemudian A menusuk dada sebelah kiri B dan si B mati, dalam ilustrasi singkat ini dapat disimpulkan bahwa A sengaja membunuh B apabila A memang benar-benar menghendaki kematian B.

2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Dollus Eventualis) Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya

28 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1993), h.46.

(43)

dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya.

Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat, inilah awal mula muncul terkait teori kesengajaan yang dalam perkembangannya muncul kesengajaan dengan maksud, kesengajaan dengan kepastian, dan kesengajaan dengan kemungkinan yang telah dijelaskan diatas. Sebenarnya banyak pendapat ahli hukum pidana terkait bentuk kesengajaan, yang pada mulanya hanya dikenal kesengajaan secara tradisional.29

Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. de will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan

29 Ada 3 (tiga) pembagian jenis kesengajaan yaitu : (1). Sengaja sebagai maksud (Opzet als oogemark); (2). Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (Opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid); (3). Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (Opzet met waarschlijkheidbewustzjin). Moeljatno.h.174-175.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan

Informed Consent dalam kasus ini dapat menjadi salah satu bukti kuat karena selain berisikan persetujuan akan tindakan medis yang hendak dilakukan terhadap

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

Persekongkolan tender merupakan kegiatan dilarang karena menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Akibatnya

DEDI menjemput 2 (dua) orang cewek TIARA dan SARI untuk dibawa ke lokalisasi Pulau Bay Bengkulu. b) Terdakwa III menjelaskan, benar orang yang menjadi korban dalam

Kata mendistribusikan atau mentransmisikan sehingga dapat diaksesnya dokumen elektronik yeng memiliki muatan yang melanggar kesusilaan ialah perbuatan yang dilarang dan apabila

Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, Terdakwa yang telah melakukan perbuatan menggorok 3 (tiga) orang yaitu Tjie sun Alias Asun, Minarni dan

Salah satu bahan alami yang mempunyai kemampuan untuk mencerahkan warna gigi adalah buah tomat yang mempunyai kandungan hidrogen peroksida.Tujuan penelitian ini