• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK DALAM

PERSPEKTIF KRIMINOLOGI

(Studi Putusan Nomor : 333/Pid.B/2014/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Rizal G Banjarnahor 120200111

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

ANALISIS HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF

KRIMINOLOGI

(Studi Putusan Nomor : 333/Pid.B/2014/PN.Mdn) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Rizal G Banjarnahor 120200111

Departemen Hukum Pidana

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Prof. Dr.Ediwarman,S.H., M.Hum.)

NIP. 195405251981031003 NIP.196110241989032002 (Liza Erwina,S.H.,M.Hum.)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

KATA PENGANTAR

Pujian dan rasa syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang terus memelihara, memberikan kesempatan dan serta kekuatan hingga dapat terselesaikannya skripsi yang berjudul “ANALISIS HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI (Studi Putusan Nomor : 333/Pid.B/2014/PN.Mdn),” sungguh ini bukan karena kuat dan hebat saya, namun karena uluran tangan-Nyalah hingga saya mampu menyelesaikannya. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan kelulusan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan segala hormat, saya mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung., S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting., S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

3. Bapak Dr. O. K. Saidin, S.H., M. Hum. Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

(4)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dan sekaligus Dosen Pembimbing II;

8. Bapak Prof. Dr. Ediwarman, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I atas kesedian waktu dan tenaga dalam memberi bimbingan terhadap pengerjaan skripsi ini hingga rampung;

9. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum selaku Dosen Wali penulis, terimakasih atas saran dan petunjuknya kepada penulis selama penulis menjalani studi pada Fakultas Hukum Sumatera Utara.

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berbagi ilmu selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan;

11. Seluruh jajaran staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

12. Terkhusus untuk kedua orang tua penulis Bapak T. Banjarnahor dan Mama E.

Br Hutabarat terimakasih sebesar-besarnya telah mendidik, membesarkan, memberi kasih sayang, mengajarkan kesabaran, serta setiap pengorbanan dan doa yang telah kalian berikan kepada penulis hingga penulis dapat

(5)

13. menyelesaikan studi dan skripsi ini. Terlalu banyak kebaikan kalian yang tak akan habis penulis tuliskan disini, semua kebaikan kalian tak akan pernah mampu penulis balas, namun penulis berharap pencapaian penulis ini dapat menjadi kebanggaan untuk kalian.

14. Kakakku tercinta, Melva Febrianty Banjarnahor dan adikku Immanuel D P Banjarnahor, terimakasih atas segala dukungan dan doa kalian. Aku mengasihi kalian.

15. Segenap keluarga besar Banjarnahor dan Hutabarat yang tak dapat disebutkan satu persatu dimanapun berada yang tak henti-hentinya mendukung penulis selama ini.

16. Yang terkasih Ester J P Hutagaol, terimakasih untuk setiap dukungan , semangat serta doamu yang telah mengantarkan penulis menyelesaikan skripsi ini.

17. Sahabat penulis, Rhomel Sihombing, Johannes Siregar, Pirdo Sihotang, Marconi Hutagalung, Greselita Purba, Deasy Tobing. Terimakasih atas pengalaman marguru yang tak terlupakan, semoga persahabatan kita tetap terjaga hingga nanti. Tuhan memberkati.

18. Segenap Naposo Bulung HKBP Sibolga Kota, terimakasih atas dukungannya, mari berikan pelayanan terbaik untuk Dia.

19. Lae-laeku yang tergabung dalam Futsal Hore-Hore, terimakasih atas semuanya meskipun kita baru berkumpul, tapi ikatan kita sudah begitu erat, sampai jumpa dimasa depan yang indah laeku semuanya.

(6)

20. Sahabat-sahabat satu grup penulis, Habibi Kurniawan Harahap, Andi Perwira Sinuraya, Dostiroy Lumbangaol, Bahari Sitinjak, Alfahri Yudha, Ibam Purba, dll. Terimakasih atas pertemanan kalian selama ini.

21. Teman-teman Panitia Natal FH USU 2015, terkhususnya Ruth Nelta, Betric Banjarnahor, Olin Tambunan, Indah, Ivo, Daniel, Kevin, Reynald yang tergabung dalam seksi dana, terimakasih atas support kalian.

22. IMADANA Angkatan 2012, Ikatan mahasiswa hukum pidana terbaik yang pernah ada, senang bisa bergabung menjadi salah satu diantaranya.

23. Segenap anggota PERMAHI Cabang Medan, terimakasih atas pengalaman berorganisasi yang sudah kalian bagikan kepada penulis.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, semoga Tuhan membalas semua kebaikan kalian. Penulis bersyukur diberi kesempatan belajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih untuk semua pelajaran yang boleh penulis peroleh. Penulis menyadari skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan kelemahan, karena itu penulis selalu terbuka untuk kritik dan saran yang membangun. Atas segala perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2016 Penulis,

RIZAL G BANJARNAHOR

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... .. i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………... 1

B. Perumusan Masalah………. 11

C. Tujuan Penulisan………..……… 11

D. Manfaat Penulisan……… 12

E. Keaslian Penulisan……….……... 13

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap Anak………. 13

2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan Yang Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap Anak Dalam Perspektif Kriminologi………... 24

3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap Anak……. 27

G. MetodePenelitian

(8)

1. Spesifikasi Penelitian………... 29 2. Metode Pendekatan……….... 30 3. Alat Pengumpul Data……….... 30 4. Prosedur Pengumpulan dan Pengambilan Data……... 30 5. Analisis Data……….. 31 BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA

PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK

A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)………. 32

B. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak……….. 42 C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga……….. 49 BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK

PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI

(9)

A. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perkosaan Oleh

Orangtua Terhadap Anak………... 56

a) Faktor Interen (Intern Factor)……… 66

b) Faktor Eksteren (Ekstern Factor..……….. 73

B. Dalam Perspektif Kriminologi………. 77

a) Aliran etiologi kriminal mengenai faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan……… 78

b) Faktor psikologi kriminil (pelaku)………. 81

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK A. Kebijakan Hukum Penal dan Non Penal 1. Kebijakan Penal………. 87

2. Kebijakan Nonpenal……….. 102

B. Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 333/Pid.B/2014/PN.Mdn 1. Posisi Kasus……… 108

2. Pertimbangan Hukum……… 115

3. Putusan Hukum………. 120

4. Analisis Hukum………. 121

(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………..………...…… 127 B. Saran………...………... 132 DAFTAR PUSTAKA

(11)

ABSTRAKSI

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Mengingat posisi anak yang demikian strategis, perlu di lakukan upaya-upaya komprehensif untuk melindungi posisi anak yang rentan. Namun yang ada kini posisi anak semakin terancam setelah kian maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Hal yang mengherankan adalah sebagian besar pelaku perkosaan terhadap anak ini berasal dari orang-orang yang dekat dengan anak, yaitu dari golongan keluarga termasuk ayah.

Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak, bagaimanakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak, dan bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang bertujuan memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam praktiknya (studi putusan). Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka (library research).

Pengaturan hukum yang mengatur mengenai tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Kata Kunci : Tindak pidana perkosaan, orangtua dan anak, perspektif kriminologi

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, dimana memiliki peran strategis yaitu menjaga kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat perlindungan serta kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,baik fisik , mental maupun sosial dan spiritual. Perlindungan tersebut dibutuhkan oleh anak sebab anak merupakan makhluk sosial yang prematur, dimana memiliki berbagai macam kelemahan, dimulai dari cara berpikir rasional yang belum mumpuni sehingga anak masih sulit membedakan perbuatan yang benar dan salah serta akibat yang ditumbulkan dari perbuatannya tersebut, dan juga masih belum dibekali kemampuan untuk melindungi diri sendiri dari perlakuan salah dari orang lain.

Posisi anak yang rentan tersebut yang mendesak agar keberadaan anak harus terus dipantau,dituntun,serta dilindungi agar pertumbuhan fisik,mental serta karakter mereka dapat berjalan dengan baik. Perlindungan yang harus diberikan terhadap anak merupakan tugas serta kewajiban oleh pemerintah serta setiap lapisan masyarakat.

(13)

Koesparmono Irsan mengemukakan pendapat bahwa anak harus dilindungi dari perlakuan sebagai berikut :1

1 Koesparmono Irsan, Hukum Perlindungan Anak, Universitas Pembangunan Nasional, Jakarta : 2007, halaman 7

1. Diskriminasi, perlakuan diskriminasi misalnya, perlakuan yang membeda- bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran anak, kondisi fisik dan/ atau mental.

2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh

keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.

3. Penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak, dan tidak semata- mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

4. Kekejaman, kekerasan, dan penganiyaan. Perlakuan kejam misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan. Misalnya perbuatan melukai dan/ atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

5. Ketidak adilan, misalnya tindakan keberpihakan antara yang satu dengan lainnya atau kesewenang-wenangan terhadap anak. Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak.

(14)

Dalam perspektif kenegaraan, komitmen negara untuk melindungi warga negaranya termasuk didalamnya terhadap anak, dapat ditemukan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal tersebut tercermin dalam kalimat “…

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu..”

Komitmen yuridis negara untuk melindungi warga negaranya sebagaimana disebut dalam alinea ke-IV UUD 1945 tersebut, selanjutnya dijabarkan BAB XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Khusus untuk perlindungan terhadap anak, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,tumbuh dan berkembang serta berhakat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Meskipun secara eksplisit hanya pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan adanya Hak Asasi Anak, akan tetapi secara keseluruhan Pasal 28 UUD 1945 sepanjang dapat dilaksanakan dan dapat diterima serta bermanfaat bagi anak, maka hak-hak yang dimaksud harus dialamatkan kepada anak dan bukan monopoli manusia dewasa.

Beberapa hak yang dimaksud adalah : 2

1. Hak hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A UUD 1945)

2 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Penerbit Mandar Maju, Bandung : 2009, Halaman 1- 2

(15)

2. Hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapatkan pendidikan,hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (Pasal 28C ayat (1) UUD 1945).

3. Hak atas pengakuan, jaminan,perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (28D ayat (1) UUD 1945) 4. Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28D ayat (4) UUD 1945)

5. Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, hak memilih pendidikan dan pengajara, hak memilih kewarganegaraan, hak memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkan serta berhak kembali (Pasal 28E ayat (1) UUD 1945)

6. Hak untuk bebas meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. (Pasal 28E ayat (2) UUD 1945)

7. Hak untuk berkumpul,berserikat dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28E ayat (3) UUD 1945)

8. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28F UUD 1945).

9. Hak atas perlindungan pribadi, kehormatan, martabat,dan harta benda yang dibawah kekuasaanya serta hak atas rasa aman dari ancaman ketakutan untuk

(16)

berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G ayat (1) UUD 1945)

10. Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G ayat (2) UUD 1945)

11. Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, hak bertempat tinggal, hak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta memperoleh layanan kesehatan (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945)

12. Hak untuk memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H ayat (2) UUD 1945)

13. Hak untuk memperoleh jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat

(Pasal 28H ayat (3) UUD 1945)

14. Hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 28H ayat (4) UUD 1945)

Meskipun perlindungan terhadap anak merupakan tugas dan kewajiban pemerintah serta setiap lapisan masyarakat, namun yang menjadi pilar pelindung utama bagi anak adalah keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan paling intim bagi anak, dimana didalam keluarga anak pertama kali melakukan aktifitas sosial, bertumbuh dan berkembang dengan pantauan dan tuntunan oleh orangtuanya.

Kewajiban orangtua dapat kita lihat pada pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang

(17)

Pokok-pokok Perkawinan,dimana menentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak yang belum dewasa atau dapat berdiri sendiri. Orangtua merupakan yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 9 UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak)3

Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan untuk melindungi anak,ternyata keamanan anak masih belum dapat dicapai, karena kenyataannya situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Jauh seperti yang diharapkan sebelumnya,dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia terus mengalami kekerasan. Yang paling mengherankan adalah pelaku kekerasan terhadap anak kerap kali dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi mereka yaitu orang-orang terdekat mereka dan bahkan anggota keluarga mereka sendiri. Kekerasan yang dialami anak kerap Menyadari kenyataan maraknya kasus kekerasan terhadap anak, maka pada saat ini pemerintah Indonesia sudah mengatur secara khusus mengenai perlindungan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak – anak. Diantara nya lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak lalu , Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

3 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, PT Refika Meditama, Bandung : 2008, halaman 1.

(18)

dilakukan oleh keluarganya sendiri, mulai dari kekerasan yang bersifat fisik ( physical abuse ) seperti memukul, menendang, menampar, mencubit dan bentuk – bentuk penganiayaan lainnya yang dapat menyebabkan si anak meninggal dunia, hingga kekerasan yang bersifat seksual (sexual abuse) seperti incest, perkosaan, eksploitasi seksual.4

Selain itu, sambungnya, anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan fokus kekerasan pada anak ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus,” kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti.

5

Berdasarkan survei KPAI diatas, lingkungan keluarga menduduki ranking pertama sebagai zona paling sering terjadinya kekerasan terhadap anak. Fakta ini sungguh membingungkan, dimana keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang, justru didalam keluarga tindak

4 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa Cendekia, Bandung : 2012, halaman 22.

5 http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun- meningkat/ di akses pada hari Kamis, 26 Mei 2016

(19)

kekerasan terhadap anak yang paling sering terjadi. Kekerasan terhadap anak didalam keluarga dapat terjadi secara fisik (Phisycal abuse), emosional (Emotional abuse), dan kekerasan secara seksual (Sexsual abuse).

Salah satu contoh kekerasan seksual (Seksual abuse) yang dapat terjadi pada anak adalah perkosaan. Pada umum nya tindak pidana pemerkosaan terjadi karena pelaku yang tidak mampu dalam menahan nafsu seksual dan keinginan pelaku untuk balas dendam terhadap sikap, ucapan korban,perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan pelaku , namun faktor pelaku pun dipengaruhi oleh faktor lain yaitu gaya hidup , mode pergaulan , Antara laki laki dan perempuan yang sudah tidak mengindahkan etika ketimuran, rendah nya pengalaman dan penghayatan terhadap norma norma keagamaan yang ada ditengah kehidupan nya karena nilai nilai agama sudah mulai terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.Tetapi kejahatan pemerkosaan pun tentu tidak akan timbul apabila adanya kontrol dari masyarakat.6

6 Rena Yulia, Victimologi ; Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan ,Graha Ilmu, Yogyakarta : 2010 ,halaman 21

Memang bagi kita masyarakat pada umumnya masih sulit memahami mengapa perkosaan terhadap anak sering terjadi , karena secara fisik dapat kita lihat, bahwa anak tidak memiliki fisik semenarik fisik wanita dewasa pada umumnya, namun entah mengapa pandangan ini sepertinya tidak berlaku bagi para pelaku pemerkosaan anak.

(20)

Anak – anak menjadi korban pemerkosaan ( Child Rape ) adalah kelompok yang paling sulit pulih . Mereka cenderung akan menderita trauma akut. Masa depan anak tersebut akan hancur , dan bagi anak yang tidak kuat menanggung beban , maka pilihan satu-satunya adalah bunuh diri. Perasaan merasa perempuan yang sudah tidak terhormat lagi, malu karena cibiran masyarakat akan menghantui para korban tindak pidana pemerkosaan. Anak korban tindak pidana pemerkosaan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi karena akan menjadi trauma yang akan mengiringi perjalanan hidup anak tersebut, anak yang mengalami traumatic korban pemerkosaan akan cenderung takut bertemu dengan laki laki, menjadi takut untuk menjalin pertemanan dengan laki-laki.

Stres akibat pemerkosaan dapat dibagi menjadi dua yaitu stres langsung dan stres jangka panjang. Stres langsung yaitu reaksi yang terjadi setelah pemerkosaan yaitu kesakitan secara fisik, rasa bersalah , takut , cemas , malu , marah , dan perasaan tidak berdaya . stress jangka panjang yaitu gejala psikologis yang dirasakan oleh korban pemerkosaan sebagai rasa trauma yang menjadikan korban kurang memiliki rasa percaya diri , menutup diri dari pergaulan dan reaksi lainya yang dirasakan korban.

Ada pepatah lama yang mengatakan,”harimau tidak mungkin memakan anaknya sendiri, begitu juga manusia, dia tidak mungkin memakan anaknya sendiri.’’

Pepatah kuno ini, hari ini terpatahkan dengan mencuatnya berbagai kasus hukum perilaku orangtua yang tega memperkosa anaknya. Pelaku perkosaan yang akan dibahas disini adalah ayah, karena ayah memiliki posisi paling dominan didalam

(21)

keluarga, dan yang menjadi korban perkosaan didalam lingkup keluarga adalah anak perempuan, mengingat posisi anak perempuan merupakan anggota keluarga yang paling lemah. Ayah sebagai pelaku pemerkosaan anaknya memang diluar logika kita sebagai manusia normal pada umumnya, dimana telah kita ketahui bersama bahwa ayah berperan sebagai kepala keluarga yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan hidup keluarganya dan juga sebagai pelindung keluarganya tersebut, kemudian mengingat bahwa korban perkosaan merupakan darah dagingnya sendiri, buah dari cintanya yang seharusnya dilindungi dan dikasihinya. Peran ayah yang sedemikian rupa tersebut yang menyebabkan kita masih sulit mempercayai bagaimana mungkin seorang ayah memperkosa anaknya sendiri.

Tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak kandungnya disebabkan banyak faktor, baik itu dari dalam diri pelaku yang menekankan pada unsur psikologis dan juga dari luar diri pelaku tersebut seperti keadaan lingkungan sekitarnya.

Secara subjektif bisa saja seorang anak yang diperkosa tidak melakukan kesalahan apa-apa atau tidak menyebabkan orangtua melakukan perkosaan, tetapi anak hanya menjadi korban dari perilaku orantua yang tidak mampu mengontrol hawa nafsu, atau libidonya atau mungkin bisa saja seorang anaklah yang menyebabkan orangtua melakukan perkosaan, dengan berpakaian yang minim dirumah sehingga memancing hawa nafsu orangtuanya. Namun apapun penyebabnya tetap saja yang menjadi pelaku adalah pemerkosa, yaitu kesalahan tetap pada pelaku walaupun yang menyebabkan terjadinya tindakan tersebut adalah anaknya.

(22)

Gambaran latar belakang masalah di atas yang menjadi alasan penulis untuk mengkaji bagaimana tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya dari perspektif kriminologi dan hukum pidana, dan judul yang diangkat dalam skripsi ini adalah “Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap Anak Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Nomor : 333/Pid.B/2014/PN.Mdn)

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak?

2. Bagaimanakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak?

3. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak? (Studi Putusan PN Nomor : 333/Pid.B/2014/Pn.Mdn)

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi adalah:

a) Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak kandung.

(23)

b) Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak kandung.

c) Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak kandung.

D. Manfaat Penulisan

Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk:

1. Manfaat secara teoritis :

Sebagai informasi untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana dan kriminologi. Selain itu, tulisan ini dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai faktor-faktor dan penegakan hukum terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak kandung.

2. Manfaat secara Praktis :

Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum bagi para pembuat peraturan, dimana diharapkan skripsi ini dapat dijadikan salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan terhadap hak anak dan sanksi yang akan diberikan terhadap pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh orang terutama orangtua terhadap anak.

(24)

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap Anak Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Nomor : 333/Pid.B/2014/PN.Mdn) “ adalah hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membuat.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan usaha penulisan sendiri dengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen pembimbing Penulis, tanpa adanya penipuan, penjiplakan, atau hal-hal lainnya yang dapat merugikan para pihak tertentu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian untuk skripsi adalah asli. Dan untuk itu, Penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap Anak

Kata tindak pidana berasal dari istilah dalam hukum pidana belanda yang dikenal, yaitu “strafbaar feit”. Lalu kemudian, para ahli hukum Indonesia memberikan banyak definisi dari istilah strafbaar feit tersebut.7

a. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefiniskan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

7 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), Hlm. 71-72

(25)

ancaman(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

b. Pompe merumuskan bahwa strafbaar feit adalah tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

c. R. Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.

Peristiwa Pidana “strafbaar feit” seringkali disinggung sebagai “peristiwa pidana”, yang sering juga disebut “delik”.8

Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tidak meberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu. Maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering digunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik. Tindak pidana dapat dibeda- bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu: Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan dimuat dalam buku II dan pelanggaran dimuat dalam buku III.

9

8 Mr Drs E Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986). Hlm. 251

9 Moeljatno, KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), hal 43 dan 179.

(26)

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat beberapa unsur-unsur tindak pidana, yaitu : 10

a. Unsur Objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan sipelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari :

1. Sifat melanggar hukum;

2. Kualitas dari si pelaku;

3. Kausalitas; Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur Subyektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk didalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:

1. Kesengajaan atau Ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) KUHP;

3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian,penipuan,pemerasan, dan sebagainya;

10 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta:Rajawali Pers) 2013,halaman.50

(27)

4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu;

5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP

Merumuskan pengertian anak merupakan masalah yang sangat penting karena ini berkaitan dengan batasan usia anak. Pengertian anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak pada Pasal 1 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Pengertian anak berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada Pasal 1 ayat(5) adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Pengertian anak berdasarkan undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah setiap orang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih berada dalam kandungan, apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Anak, bahwa anak adalah setiap orang yang berusia 18(delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

Pengertian anak berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlidungan Anak pada Pasal 1 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan. (sama seperti Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).

(28)

Mengenai batas usia anak secara umum telah dijelaskan dalam uraian diatas.

Penggolongan definisi “anak” pada umumnya selalu dikaitkan dengan batas usia dari seorang anak, meskipun pembatasan anak dari segi umurnya tidaklah selamanya tepat, karena kondisi umur seseorang dihubungkan dengan kedewasaan merupakan sesuatu yang bersifat semu dan relatif.11

Tidak hanya di Indonesia, pengertian anak juga menjadi bahasan penting di berbagai Negara. Disebutkan pengertian anak dalam United Nations Convention On The Rights Of The Child di pasal 1 yaitu: it sets the international legal definition of a child as a person below 18 years, but subject to the proviso that a domestic law which sets legal majority at an earlier age will no be compromised.12

11 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice), (Bandung: PT. Refika Aditama, cetakan kedua, 2012, halaman 36.

12 Trevor Buck, International Child Law, Great Britain:Cavendish Publishing Limited, 2005, Halaman 57

Ini berarti berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak tersebut yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun tetapi dengan syarat bahwa hukum dalam suatu negara yang sebagian besar menurut undang-undang menetapkan usia yang lebih dini tidak dapat dikompromikan. Berbeda dengan ketentuan konvensi tersebut, batasan usia di beberapa Negara sangat beragam. Sebagai contoh di Jepang batasan usia laki-laki adalah 18 dan untuk wanita adalah 16 tahun, di Perancis batasan usia laki-laki adalah 18 dan untuk wanita 15 tahun. Namun di beberapa Negara pada umumnya sebagian besar batasan usia anak adalah 18 tahun.

(29)

Di Indonesia sendiri, batasan usia yang berkaitan dengan pengertian anak sangat beragam. Dalam pengklasifikasian batas usia anak menurut hukum yang berlaku di negeri Indonesia, dapat kita tinjau sebagai berikut:

1. Menurut Ketentuan Hukum Pidana

Menurut Kitab Hukum Pidana, batas usia anak itu ialah sebagai berikut:

Dalam ketentuan KUHP, batas usia anak yang disebutkan dalam pasal 45, 46, dan 47 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Secara implisit batas usia anak dalam pengertian pidana telah dirumuskan secara jelas dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang SPPA yang menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah mereka yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi mereka belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

2. Menurut Ketentuan Hukum Adat

Menurut R. Soepomo pengklasifikasian batas usia anak secara hukum adat yakni seseorang tersebut dapat dikatakan bukan lagi sebagai anak namun ia telah dewasa apabila:

a. Dapat bekerja sendiri

b. Cakap dan bertanggung jawab dalam masyarakat c. Mengurus harta kekayaan sendiri

d. Telah menikah

e. Telah berusia 21 tahun

(30)

3. Menurut Ketentuan Hukum Perdata

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada pasal 330 KUHPerdata disebutkan bahwa anak belum dewasa apabila mereka belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah.

4. Menurut Ketentuan Hukum Islam

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 ayat (1) disebutkan bahwa batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Adapun Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Anak Masing-masing Diatur Dalam Undang-Undang Berikut Ini :

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

Perkosaan menurut KUHP terdapat dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.

Pengertian Persetubuhan menurut R.Soesilo13

13 R.Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor : Politeia, 1973),hal. 211

adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak,

(31)

jadi anggota laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5 Februari 1912.

Soetandyo Wignjosoebroto, “perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Dalam pengertian seperti ini, apa yang disebut perkosaan, disatu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (ialah perbuatan seseorang yang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya), dan lain pihak dapatlah dilihat pula sebagai suatu peristiwa(ialah pelanggaran norma-norma dan dengan demikian juga tertib sosial.14

Lamintang mengemukakan bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 285 KUHP diatas adalah sebagai berikut15

Perkosaan terhadap anak di bawah umur menurut KUHP terdapat dalam pasal 287 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) yang berbunyi:

: a. Barangsiapa

b. Dengan Kekerasan Atau Ancaman Akan Memakai Kekerasan c. Memaksa

d. Seorang Wanita

e. Bersetubuh Dengan Dia (laki-laki) Di Luar Perkawinan

16

14 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2011. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika Aditama, Bandung, hlm.40

15 Lamintang, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hlm. 108

16 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1983, Pasal 285, 287, 294 KUHP.

(32)

“(1) Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

(2)Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294”.

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pengaturan Hukum yang mengatur tentang perkosaan terhadap anak dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat pada Pasal 81 ayat (1) yang berbunyi :

’’ (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).’’

Di dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merubah ketentuan pidana Pasal 81 ayat (1) diubah menjadi yaitu :

“(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(33)

Ketentuan yang dimaksud dalam pasal 76D Undang-Undang No.35 Tahun 2014 adalah ’’Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.’’

Unsur-unsur Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 jo Undang- Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini, antara lain : a) Setiap orang.

Dalam undang-undang ini yang dimaksud ‘setiap orang’ adalah subyek hukum.

b) Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Dalam melakukan persetubuhan, terdakwa melakukan kekerasan atau ancaman demi memuluskan perbuatannya, bentuk konkret kekerasan itu misalnya dengan memukul, menendang, menusuk dengan pisau, dan lain sebagainya, sedangkan ancaman kekerasan itu merupakan ancaman kekerasan fisik yang didapat berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang berupa kekerasan yang ditujukan pada korban guna memudahkan melakukan suatu perbuatan;

c) Memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya.

Pengertian memaksa disini merupakan suatu perbuatan untuk menekan kehendak orang lain agar orang tersebut menerima kehendak terdakwa dalam melakukan persetubhan, sedangkan yang dimaksud “anak” dalam undang-undang ini adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.

(34)

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Tindak pidana dalam lingkungan keluarga diatur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 menentukan ruang lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam undang-undang ini, yaitu meliputi :

a. suami, isteri, dan anak;

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,

perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Tindak pidana perkosaan dalam rumah tangga termaktub dalam dalam ketentuan Pasal 46 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut: :

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).’’

(35)

Pasal 8 huruf a UU No 23 Tahun 2004 berisi sebagai berikut :

’’Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;.’’

2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan Yang Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap Anak Dalam Perspektif Kriminologi A. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan

Oleh Orangtua Terhadap Anak 1. Faktor Internal

Adalah faktor-faktor yang terdapat pada individu seperti Psychise, Sex, dan jenis kelamin, umur/usia, fisik, fleble minded/mental, psyical handicaps, twin/anak kembar, ras, dan keluarga. Ataupun aktorfaktor yang terdapat pada individu seperti umur, sex, kedudukan individu, masalah rekreasi/liburan individu, agama individu.

Menurut Galles, ketidakmampuan dalam pengasuhan dan masalah kepribadian orangtua juga disebut Galles sebagai faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya, orangtua yang melakukan kekerasan seringkali memiliki harapan yang tidak realistis pada anak mereka, memiliki pengetahuan yang minim mengenai perkembangan anak dan menunjukkan ketidakmampuan dalam menjalin hubungan dengan anak, selain itu mereka juga sering kali memiliki harga diri yang rendah dan kepribadian tidak matang, kurang rasa empati dan lebih egois, tingkat stress

(36)

yang tinggi disebut juga dapat mempengaruhi tingkat kekerasan yang dilakukan orangtua sebagai coping stressnya tersebut.17

2. Faktor Eksternal

Adalah faktor yang berasal dari luar individu. Faktor eksteren ini berpokok pangkal pada lingkungan individu seperti: waktu kejahatan, tempat kejahatan, keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan, keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan.

Faktor ekstern yaitu faktor yang berasal dari luar diri pelaku tersebut seperti keadaan lingkungan sekitar pelaku, yang menyebabkan pelaku tega melakukan tindak pidana pemerkosaan. Dalam hal ini secara subyektif bisa saja seorang anak yang diperkosa oleh orangtuanya tidak melakukan kesalahan apa-apa, tetapi anak ini hanya menjadi korban kejahatan oleh orangtuanya yang lepas kontrol dan tidak dapat menahan birahinya, atau bahkan bisa saja sang anak yang menyebabkan orangtua melakukan perkosaan, dengan menggunakan pakaian mini dirumah, sehingga memancing birahi orangtua hingga terjadi tindak pidana pemerkosaan yang menimpa dirinya. Namun apapun penyebabnya tetap saja pelaku adalah yang bersalah, meskipun sebab awal berasal dari anaknya.

17 Firda Fauziah, Hubungan Antara Intensitas Interaksi Sosial Ibu Dengan Kekerasan Pada Anak dalam Jurnal Penelitian Psikolog (Universitas Islam Indonesia), Halaman 13

(37)

Menurut Galles, Masalah ekonomi, tidak bekerja, pendapatan rendah, sakitnya anggota keluarga dan ketidakmampuan membayar biaya medis adalah sumber stress pada banyak kehidupan orangtua yang melakukan kekerasan.18

B. Dalam perspektif Kriminologi

a. Beberapa aliran Etiologi Kriminal mengenai faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan, antara lain :19

1. Aliran Antropologi.

2. Aliran lingkungan 3. Aliran Biososiologi.

4. Aliran Spiritualisme.

b. Sebab-sebab terjadinya kejahatan juga dapat dilihat dari sisi psikologis pelaku, yaitu:20

1) Mental Disorder 2) Teori Psikoanalisa

3) Personality Traits/ Inherited Criminality 4) Moral Development Theory

18 Firda Fauziah, Loc.Cit

19 Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi. Genta Publishing, Yogyakarta:

2014, Halaman 26-28

20 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi (Jakarta: PT Rajagrafindo Parsada) 2012 halaman 50-54

(38)

3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap Anak

Istilah ”kebijakan” berasal dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek”

(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechts politeik”.

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukummaupun politik criminal. Menurut Prof.Sudarto, “Politik Hukum” adalah :

a) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.21

b) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.22

Bertolak dari pengertian demikian Prof.Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.23

21 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung, Alumni, 1981), halaman .159

22 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), halaman. 20.

23 Sudarto, Op. cit., halaman. 161.

Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti , “usaha mewujudkan peraturan

(39)

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan dating.24

Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy” dari Marc Ancel yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “peratuan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah

“kebijakan atau politik hukum pidana”.25

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik criminal.

Dengan perkataan lain dilihat dari sudut politik criminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.26

24 Sudarto, Op.cit., 1983, halaman. 93 dan 109

25 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2008), halaman 26-27.

26 Ibid., halaman. 28.

(40)

Di dalam skripsi ini akan membahas kebijakan penanggulangan kejahatan yang antara lain adalah :

1. Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy)

Kebijakan yang lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.

2. Kebijakan Penal (Penal Policy)

Kebijakan yang lebih menitikberatkan pada sifat “repressive”

(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan analisa terhadap pasal–pasal dan peraturan perundang – undangan yang mengatur permasalahan dalam skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang beertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam pratiknya (studi putusan).

Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat

(41)

merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :27 a) Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b) Penelitian terhadap sistematika hukum.

c) Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.

d) Penelitian terhadap sejarah hukum.

e) Penelitian terhadap perbandingan hukum.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif.

3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan studi dokumen atau bahan pustaka yang disusun secara ilmiah (metodologi) guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengumpul dan pengambilan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu dengan

27 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, PT. Softmedia, Medan : 2015, halaman 97.

(42)

melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak pidana perkosaan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua dalam perspektif kriminologi.

5. Analisis Data

Metode analisis data yang dilakukan adalah analisis kualitatif, yaitu dengan:

a. Pengumpulan bahan hukum primer, sekunder,tersier yang relevan dengan permasalah yang akan dibahas;

b. Pemilahan terhadap bahan-bahan hukum yang relevan tersebut agar sesuai dengan masing-masing permasalahan;

c. Pengolahan dan penginterpretasian data untuk menarik kesimpulan dari permasalahan;

d. Pemaparan kesimpulan, dalam hal ini kesimpulan kualitatif, yang dituangkan kedalam bentuk pernyataan dan tulisan.

(43)

BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK

A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

Tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP, Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Namun demikian ada juga pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjaring pelaku perkosaan yaitu Pasal 286, Pasal 287 dan Pasal 288. Pasal 285 sifatnya adalah pasal pokok untuk kasus perkosaan. Adapun bunyi Pasal 285 adalah sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Walaupun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang telah kita ketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus dibuktikan baik oleh penuntut umum

(44)

maupun oleh hakim disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.28

Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki beberapa Unsur yaitu:29

1. Barangsiapa

2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 3. Memaksa

4. Seorang wanita bersetubuh dengan dia 5. Diluar perkawinan

Unsur pertama dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur barangsiapa. Kata barangsiapa ini menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana perkosaan tersebut.30

Unsur kedua dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Menurut Tirtaamidjaja, yang dimaksudkan dengan kekerasan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat.

“Kekerasan atau ancaman kekerasan “ tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri

28 Lamintang, P.A.F & Theo Lamintang , Delik-Delik Khusus : Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatuhan, Penerbit Sinar Grafika , Jakarta : 2009 , halaman 101.

29 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Penerbit Sinar Grafika ,Jakarta : 1997,halaman 49.

30 P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.cit., halaman. 97

(45)

dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidaj memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi.31

Unsur ketiga dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur memaksa. “memaksa”

berarti di luar kehendak dari si wanita tersebut atau bertentangan dengan kehendak wanita itu. Satochid Kartanegara menyatakan antara lain:32

Unsur keempat dalam Pasal 285 KUHP ialah seorang wanita bersetubuh dengan dia. Kalau bukan wanita (dalam hal homoseks) maka tidak dapat diterapkan Pasal 285 KUHP ini. Perlu diketahui bahwa kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP telah menyebutkan adanya berbagai wanita, masing-masing yakni:

“Perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.”

33

a. wanita yang belum mencapai usia dua belas tahun (Pasal 287 ayat (2) KUHP),

b. wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun (Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 290 angka 3 KUHP

c. wanita yang belum dapat dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP) d. dan wanita pada umumnya.

31 Leden Marpaung, Op,cit.

32 Ibid.

33 P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.cit., halaman.101

(46)

Unsur kelima dalam Pasal 285 KUHP adalah unsur di luar perkawinan.

Maksudnya adalah ketika terjadinya persetubuhan tidak ada terjalin hubungan perkawinan yang sah antara pelaku dan korban.

Perkawinan yang sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terdapat pada Pasal 2 yaitu:34

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

Secara normatif persetubuhan terhadap anak diatur dalam pasal 287 KUHP.

Persetubuhan yang dimaksud disini berbeda dengan pasal 285, dimana pasal ini tidak menyebutkan persetubuhan terhadap anak tersebut dilakukan dengan melakukan kekerasan ataupun ancaman kekerasan, KUHP memiliki pandangan bahwa persetubuhan orang dewasa dengan anak merupakan tindakan yang jahat dan akan menimbulkan dampak yang merusak bagi anak, baik secara fisik dan psikologis anak.

Sehingga KUHP menganggap apapun alasannya pelaku persetubuhan terhadap anak harus dihukum.

Pasan 287 bunyinya sebagai berikut :

1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas,bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 2

(47)

2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Apabila dirinci rumusan Pasal 287 ayat(1) di atas, terdapat unsur-unsur sebagai berikut.35

a. Perbuatannya: bersetubuh;

Unsur-unsur Objektif:

b. Objek: dengan perempuan diluar kawin;

c. Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas belum waktunya dikawin;

Unsur Subyektif:

d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun.

Pengertian belum waktunya untuk dikawin, adalah belum waktunya untuk disetubuhi. Indikator belum waktunya untuk disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan secara psikis. Secara fisik tampak pada wajah atau tubuhnya masih wajah anak-anak atau tubuh anak kecil, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dadanya atau mungkin belum datang haidnya. Secara psikis dapat dilihat pada

35 Adami Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta : Raja Grafindo Persada. halaman. 70

(48)

kelakuannya, misalnya masih senang bermain-main seperti pada umumnya anak belum berumur lima belas tahun.36

Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur kesalahannya yang berupa; (1) kesengajaan, yakni diketahuinya umurnya belum lima belas tahun; dan (2) kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk dikawin.37

Kejahatan Pasal 287 merupakan tindak pidana aduan relatif karena pengaduan itu berlaku atau diperlukan hanya dalam hal persetubuhan yang dilakukan pada anak perempuan yang umurnya dua belas sampai lima belas tahun atau jika dalam melakukan persetubuhan itu tidak ada unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 291 dan 294. Akan tetapi apabila persetubuhan itu dilakukan pada anak perempuan belum berumur dua belas tahun, dan terdapat unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 291 dan 294, kejahatan itu bukan merupakan tindak pidana aduan.38

1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun;

Pasal 291 KUHP berbunyi:

2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285. 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

36 Ibid, halaman. 72

37 Ibid.

38 Ibid.

(49)

Unsur-unsur yang dimaksud dalam Pasal 291, merupakan unsur akibat perbuatan menyetubuhi, yakni luka-luka, luka berat, dan kematian. Unsur ini disebut dengan unsur akibat konstitutif (constitutief gevolgi) yang timbul setelah dilakukannya perbuatan. Antara perbuatan dan akibat terdapat causal verband, artinya akibat-akibat itu benar-benar langsung diakibatkan oleh sebab persetubuhan.39

Sementara itu, yang dimaksud dengan salah satu dari hal berdasarkan Pasal 294, ialah bila persetubuhan itu dilakukan pada anak kandungnya, anak tiri, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya, pembantu atau bawahannya.40

1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Selain Pasal 287, persetubuhan terhadap anak dibawah umur juga diatur pada Pasal 288 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pasal 288 KUHP berisi :

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.

3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Terdapat beberapa perbedaan yang harus diperhatikan pada Pasal 287 dan 288, dimana perempuan yang disetubuhi si pembuat ini adalah istrinya sendiri, yang belum waktunya dikawin. Belum waktunya dikawin artinya belum pantas untuk

39 Ibid.

40 Ibid,halaman. 73.

(50)

disetubuhi karena masih anak-anak. Pada Pasal 288 ini tidak dimasukkan unsur belum berumur lima belas tahun seperti pada Pasal 287. Apakah di sini tidak berlaku mengenai umur belum lima belas tahun?. Berdasarkan rumusan ayat (1) Pasal 287 yang menyebutkan sebagai alternative dari belum berumur lima belas tahun, dalam hal tidak diketahui secara jelas umurnya adalah belum waktunya untuk dikawin, maka dalam Pasal 288 ini dapat juga diartikan (ditafsirkan) bahwa perempuan (istrinya) yang belum waktunya untuk dikawin itu belum berumur lima belas tahun (penafsiran sistematis).41

Menyetubuhi istrinya yang belum waktunya untuk dikawin ini tidaklah dilarang dan tidak dipidana. Baru dapat dipidana apabila persetubuhan itu timbul akibat luka-luka. Akibat luka adalah membuktikan bahwa perempuan (istrinya) itu belum waktunya untuk disetubuhi. Sebab perempuan yang sudah pantas disetubuhi, tidaklah menimbulkan luka-luka sebagaimana yang dimaksudkan disini, apalagi luka berat. Robeknya selaput dara (keperawanan) semata-mata karena persetubuhan tidaklah masuk dalam pengertian luka-luka disini. Karena robeknya keperawanan itu adalah suatu keharusan dari persetubuhan pertama. Jadi, yang dimaksud dengan luka- luka adalah luka-luka lain diluar robeknya selaput dara. Misalnya luka-luka dalam liang vagina. Jadi unsur akibat ini adalah berupa unsur syarat untuk dapatnya dipidana, yang timbul setelah perbuatan menyetubuhi dilakukan.

42

41 Ibid, halaman. 74.

42 Ibid, halaman. 75.

(51)

Apabila akibat menyetubuhi itu bukan sekedar luka-luka, tetapi luka berat, maka dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. Bahkan apabila berakibat kematian istri-nya itu, maka dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Akibat luka berat atau kematian adalah berupa dasar pemberatan pidana pada Pasal 288 ini. Mengenai luka berat oleh Undang-Undang telah diberikan pengertian khusus secara limitative oleh Pasal 90, yang menyatakan bahwa luka berat berarti:43

a) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

b) tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;

c) kehilangan salah satu pancaindera;

d) mendapat cacat berat;

e) menderita sakit lumpuh;

f) terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;

g) gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, secara normatif Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak terdapat pada Pasal 294 ayat(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 294 ayat (1) KUHP berbunyi demikian :

43 Ibid, halaman. 76.

(52)

1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Berbeda dengan pasal-pasal sebelumnya yang telah dibicarakan diatas, pada perbuatan cabul menurut pasal 294 ini terdapat suatu hubungan tertentu antara subjek hukum atau si pembuatnya dengan objek (orang yang dilakukan perbuatan cabul dengannya). Faktor adanya hubungan, dan hubungan itu disalah gunakannya dipandang oleh pembentuk undang-undang dapat mempermudah untuk dilakukannya perbuatan cabul, dan si pembuat menyalahgunakan kedudukannya yang demikian, yang seharusnya si pembuat melindungi kepentingan hukum korban. Karena dipandang sebagai faktor mempermudah, merupakan hal yang wajar jika pembentuk undang-undang mengancam si pembuat dengan pidana yang lebih berat daripada kejahatan perbuatan cabul terhadap orang dewasa menurut Pasal 293 (maksimal 5 tahun penjara) yang tidak terdapat unsur hubungan seperti Pasal 294 (maksimum tujuh tahun penjara)

Referensi

Dokumen terkait

Didalam kasus penulis menemukan beberapa alat bukti yang diajukan dimuka persidangan, yaitu antara lain berupa keterangan saksi, keterangan terdakwa dan juga alat bukti

5) Menimbang bahwa sekalipun dalam persidangan tidak terbukti adanya perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dan tergugat, hal ini dapat terjadi karena

1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau

Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan

DEDI menjemput 2 (dua) orang cewek TIARA dan SARI untuk dibawa ke lokalisasi Pulau Bay Bengkulu. b) Terdakwa III menjelaskan, benar orang yang menjadi korban dalam

22 Faktor diskresi POLRI adalah suatu perbuatan untuk melakukan tindakan berdasarkan kekuasaan dan kewenangan yang dinilai benar oleh seorang yang mempunyai kekuasaan

Persekongkolan tender merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha selaku peserta tender untuk memenangkan suatu tender/lelang melalui suatu persaingan

Bahwa dengan adanya persesuaian dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya, yaitu antara alat bukti dan alat bukti yang lainnya, seperti adanya kesamaan keterangan