• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK

A. Kebijakan Hukum Penal dan Non Penal a) Kebijakan Hukum Penal

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Perkosaan terhadap anak diatur secara normatif pada pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, demikian halnya pada Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, perkosaan terhadap anak juga tetap dicantumkan pada pasal 81. Namun didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 pasal 81 UU No 23 Tahun 2004 mengalami perubahan dimana terjadi penambahan ayat, yang sebelumnya Pasal 81 terdiri antara 2 ayat, kemudian ditambah menjadi terdiri dari 3 ayat.

95 Ismantoro Dwi Yuwono, Op.cit., halaman 18.

Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 :

3) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

4) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, atau serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 :

4) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

5) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan oranglain.

6) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik , atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dilihat dari perubahan Pasal 81 diatas, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 semakin berpihak kepada anak dan juga semakin memperhatikan masalah kekerasan seksual terhadap anak,hal ini terbukti dimana semakin diberatkannya hukuman kepada para pelaku kejahatan Perkosaan terhadap anak. Disamping itu terdapat ayat tambahan yaitu ayat c dimana ayat ini mengatur pemberatan apabila pelakunya adalah Orang-orang yang dekat dan seharusnya melindungi anak seperti yang diuraikan di dalam Pasal 81 ayat (c) tersebut.

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Ancaman pidana bagi pelaku Perkosaan terhadap anak diatur dalam Pasal 46 UU. No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT.

Demikian isi Pasal 46 :

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). “ Pasal 8 :

“Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :

c. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

d. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.”

Memang tidak secara langsung didalam Pasal 46 mengatur tentang Perkosaan terhadap anak, karena didalam Pasal 8 (a) hanya mengatur tentang pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga. Namun seperti kita ketahui bersama bahwa anak merupakan anggota keluarga, atau dengan kata lain orang yang hidup dan tinggal di dalam lingkup rumah tangga. Hal ini kemudian diperkuat kembali di dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa anak termasuk ke dalam ruang lingkup rumah tangga.

Demikian isi Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT : 3) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :

d. Suami, isteri, dan anak;

e. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana dimaksud pada angka (1) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

f. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut

Selain pidana pokok didalam undan-undang ini, hakim juga dapat memberikan hukuman tambahan, hukuman tambahan ini diatur pada Pasal 50, demikian isinya :

“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.”

b) Kebijakan Hukum Non-Penal

Kebijakan hukum Non-Penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain,

berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.96

Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang berlangsung di Havana, Cuba, menekankan pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Oleh karena aspek-aspek sosial dalam kontek pembangunan ini harus mendapat prioritas utama. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen A/CONF. 144/ L.3, yaitu sebagai berikut :97

1. Kemiskinan, penganggurang, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok;

2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial;

3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga;

96 Barda Nawawi Arief, Op.cit., halaman 46.

97 Mahmud Mulyadi, Op.cit.,halaman 56.

4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;

5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan;

6. menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga;

7. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya;

8. penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut diatas;

9. meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;

10. dorong-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran.

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan “penal”. Di sinilah keterbatasan jalur “penal” oleh karena itu,

harus ditunjang oleh jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti dikemukakan di atas adalah lewat jalut “kebijakan sosial” (social policy). Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. 98

Berdasarkan berbagai keterangan di atas, maka telah diungkap bahwa kejahatan berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat (community crime prevention) . Program-program yang dapat dilakukan oleh community crime prevention antara lain (1) pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang; (2) pembinaan tenaga kerja; (3) pendidikan; (4) rekreasi (5) pembinaan mental melalui agama; dan (6) desain tata ruang fisik kota.99

Menurut Tim Hope, pencegahan kejahatan oleh masyarakat (community crime prevention) mengarah kepada tindakan-tindakan yang diharapkan dapat merubah kondisi sosial yang mendukung terjadinya kejahatan di kediaman masyarakat. Fokus perhatiannya dikonsentrasikan pada kemampuan institusi sosial local untuk mengurangi angka kejahatan. Institusi lokal ini mewadahi anggota masyarakat dalam

98 Barda Nawawi Arief, Op Cit, halaman 50.

99 Neil C. Chamelin, Et.al, Introduction to Criminal Justice , Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, Second Edition, New Jersey : 1979, halaman, 190.

suatu komunitas untuk bekerjasama secara sungguh-sungguh, memberikan bimbingan dan mengatur etika berprilaku, khususnya bagi anak-anak muda. Community crime prevention ini dapat didekati melalui dua dimensi, pertama , melalui dimensi horizontal dari hubungan sosial antara orang-orang dan group-group masyarakat.

kedua, melalui dimensi vertical dari relasi sosial, yang menghubungkan institusi lokal dengan komunitas yang lebih luas dari civil society.100

Program-program dari community crime prevention ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:101

1. Community Organization, tipe ini ditujukan membangun sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada kerjasama dalam penanggulangan kejahatan. Kerjasama ini juga dibina melalui sekolah-sekolah lokal, tempat-tempat ibadah. Program ini juga menyediakan sarana yang efektif bagi anak-anak muda untuk bersosialisasi dalam suatu pergaulan yang positif;

2. Community defence, program pada tipe ini ditujukan untuk mencegah terjadinya viktimisasi melalui pencegahan terhadap pelaku kejahatan. Strategi yang digunakan adalah pencegahan kejahatan melalui mendesain lingkungan (crime prevention through environmental design/CPTED),defensible space measures, dan organisasi pengawasan masyarakat melalui neighbourhood watch.

100 Tim Hope, Community Crime Prevention dalam Reducing Offending. An Assessment of Research Evidence on Ways of Dealing with Offending Behavior. Peter Goldblatt dan Cris Lewis (Ed), Home Office, London : 1998, halaman 51 dan 54.

101 Ibid., halaman 56.

3. Order-maintenance, pendekatan ini dilakukan untuk mengontrol pengrusakan sarana fisik, ancaman terhadap kehidupan bertetangga dan perilaku kasar di jalanan.

4. Risk-based program, merupakan program yang menggunakan pendekatan untuk mencari faktor-faktor yang beresiko dalam komunitas kehidupan masyarakat, mengidentifikasi yang paling beresiko dan menyediakan upaya pencegahan khusus bagi mereka. Program ini meliputi pendekatan terhadap seseorang yang kemungkinan menjadi target korban kejahatan dan strategi ditujukan untuk melindungi korban dan pencegahan supaya tidak terjadi pengulangan menjadi korban (repeat victimization).

5. Community development, strategi yang digunakan adalah membangun kembali tatanan kehidupan sosial, fisik dan perekonomian lingkungan tempat tinggal.

6. Structure change, tujuan yang ingin dicapai hampir sama dengan community development, yaitu strategi yang dibangun adalah perubahan utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi terjadinya kejahatan. Pendekatan yang dilakukan berupa penerapan kebijakan di level makro pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan, perumahan yang layak, pendidikan, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan serta pelayanan sosial.

Disamping upaya-upaya yang ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam

masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif.

Sumber lain itu misalnya, media pers/ media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah “techno-prevention”) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini, Prof Sudarto pernah mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang melakukan secara kontinu termasuk upaya nonpenal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial.102

B. Analisis Putusan Pengadilan Mengenai Tindak Pidana Perkosaan Yang