• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo

PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK

B. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo

Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Masalah perlindungan terhadap anak dibawah umur yang menjadi korban perkosaan atau kekerasan seksual bukan persoalan yang mudah untuk kita selesaikan, karena dalam kenyataannya setiap terjadi suatu kejahatan, dimulai dari kejahatan yang ringan sampai kejahatan yang berat sudah tentu akan menimbulkan korban dan korbannya tersebut akan mengalami penderitaan, baik penderitaan secara fisik maupun mental, dan dalam proses penyembuhannya akan membutuhkan waktu yang cukup lama serta membutuhkan treatment-treatment khusus.

Undang-undang yang khusus memberikan perlindungan terhadap anak adalah UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Undang-undang Perlindungan Anak ). Pengertian Perlindungan Anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Adapun tujuan perlindungan anak diatur pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang bunyinya sebagai berikut :

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”

Menurut UU No 23 Tahun 2002 jenis kekerasan seksual terhadap anak dibagi menjadi :44

1. Kekerasan seksual yang diatur di dalam KUHP. Hal ini dapat ditafsirkan melalui redaksi dari ketentuan pasal 64 ayat (3) yang berbunyi,

“perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana…”

Tindak pidana yang dimaksud oleh ketentuan ini jika dihubungkan dengan ketentuan pasal 91 UU 23/2002 yang menyatakan bahwa “pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang sudah ada (termasuk KUHP-pen.) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, maka tindak pidana yang dimaksud tentunya termasuk juga tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, yang tidak bertentangan dengan UU NO 23/2002, yang ketentuan-ketentuan terdapat didalam KUHP sebagaimana telah penulis tunjukkan dan ulas di dalam bagian lain buku ini.

2. Kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk eksploitasi seksual sebagaimana diatur dalam pasal 66 UU 23/2002.

3. Kekerasan seksual terhadap anak yang didahului oleh penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana yang diatur di dalam pasal 68 UU 23/2002

44 Ismantoro Dwi Yuwono , Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta : 2015, halaman 56-57.

4. Kekerasan seksual terhadap anak sebagaimana diatur di dalam pasal 69 UU 23/2002.

Di dalam UU 23/2002 pelaku kekerasan seksual terhadap anak digolongkan menjadi beberapa jenis, yakni :45

a. Orang dewasa yang bersetubuh dengan anak ntuk kepentingan sendiri.

(Pasal 81 Ayat (1) UU 23/2002)

b. Orang dewasa yang bersetubuh dengan anak bersama dengan orang dewasa lainnya atau dengan kata lain menyetubuhi anak beramai-ramai untuk kepentingan bersama (merengkuh kenikmatan seks bersama).

(Pasal 81 ayat (1) UU 23/2002)

c. Orang dewasa yang mengiming-imingi anak dengan berbagai hal untuk bersetubuh dengannya.

(Pasal 81 ayat (2) UU 23/2002)

d. Orang dewasa yang mengiming-imingi anak dengan berbagai hal agar bersedia bersetubuh dengan orang lain.

(Pasal 81 ayat (2) UU 23/2002)

e. Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan anak.

(Pasal 82 UU 23/2002)

f. Orang dewasa secara beramai-ramai berbuat cabul dengan anak.

(Pasal 82 UU 23/2002)

45 Ibid, halaman 59-62

g. Orang dewasa yang membiarkan anak berbuat cabul (Pasal 82 UU 23/2002)

h. Orang dewasa yang melakukan eksploitasi seksual anak untuk keuntungan bisnis.

(Pasal 83 dan Pasal 88 UU 23/2002)

Pada Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tindak pidana persetubuhan terhadap anak secara normatif tercantum pada Pasal 81 , yang bunyinya sebagai berikut :

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, atau serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Namun pada Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengalami perubahan bunyi menjadi :

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan oranglain.

3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik , atau tenaga kependidikan, maka

pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bila dilihat terdapat beberapa perubahan yang terdapat pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, perubahannya antara lain terdapat pada ayat (1) dan ayat (3).

Pada Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 denda maksimal yang dapat dikenakan adalah sebesar Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) lalu pada Pasal 81 ayat (1) Undang-undang No 35 Tahun 2014 denda maksimalnya meningkat menjadi sebesar Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah). Kemudian perbedaan lain yang terdapat pada ayat (1) adalah dari segi ketentuan pidana penjara minimalnya, pada Undang-Undang No 23 Tahun 2002 pidana penjara minimalnya selama 3 (tiga) tahun penjara, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menjadi semakin berat yaitu selama 5 (lima) tahun penjara.

Perbedaan yang selanjutnya adalah terdapat pada ayat (3), dimana sebelumnya Pasal 81 pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 hanya terbagi atas 2 ayat saja, namun pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 81 kemudian ditambah menjadi terdiri atas 3(tiga) ayat. Isi pada ayat 3 (tiga) menegaskan bahwa tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak apabila dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik , atau tenaga kependidikan, maka ancaman hukumannya akan ditambahkan 1/3 (sepertiga) dari ancaman hukuman yang terdapat pada ayat (1),

sehingga pelaku kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diancam dengan 20 tahun pidana penjara.

Dalam hukum pidana di Indonesia berlaku asas “lex specialis derogate lex generalis”,dimana asas ini mengatakan bahwa aturan khusus mengesampingkan aturan umum. Hal ini untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan suatu peraturan perundang-undangan.

Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak khususnya Pasal 81 maka dapat dikatakan bahwa Pasal 287 KUHP sudah tidak dapat diterapkan lagi pada pelaku persetubuhan yang dilakukan terhadap anak, sebab dalam Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak telah diatur secara khusus mengenai ketentuan pidana materiil delik persetubuhan yang dilakukan terhadap anak. Jadi, dalam hal ini Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan “lex specialis derogat lex generalis” dari Pasal 287 KUHP dimana dalam penerapan hukum bagi delik persetubuhan yang dilakukan terhadap anak, penggunaan Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak harus didahulukan dari Pasal 287 KUHP.

Pasal selanjutnya di dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyangkut tentang persetubuhan terhadap anak dibawah umur adalah terletak pada Pasal 88, demikian bunyi Pasal 88 :

“Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Bunyi Pasal 88 ini kemudian diubah dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2014, perubahan Pasal ini tetap tertera pada Pasal 88, yang isinya sebagai berikut :

“Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Isi Pasal 76 I :

“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.”

Bila diperhatikan secara seksama isi Pasal 88 pada UU No 23/2002 dan UU No 35/2014 tidak terdapat perbedaan yang signifikan, perbedaannya hanya terdapat pada penulisannya saja, karena jika dilihat dari deliknya serta ancaman pidana penjara dan jumlah dendanya tetaplah sama.

Berbeda dengan Pasal 81 yang telah dibahas sebelumnya, persetubuhan yang dilakukan terhadap anak yang dimaksud pada Pasal 88 ini adalah untuk tujuan eksploitasi, atau dengan kata lain adalah untuk menghasilkan keuntungan sendiri bagi pihak yang melakukan eksploitasi, eksploitasi yang diterangkan pada Pasal 88 terbagi atas 2 jenis eksploitasi yaitu Eksploitasi Ekonomi dan Eksploitasi Seksual. Salah satu contoh Eksploitasi Seksual yang sering dilakukan terhadap anak dibawah umur adalah dengan cara mempekerjakan anak sebagai penyedia jasa pemuas nafsu atau yang biasa kita sebut sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial)

Di dalam Pasal 88 ini tidaklah dicantumkan eksploitasi seksual anak-anak untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau ekonomi yang didahului dengan

iming-iming, penipuan, tipu muslihat maupun penculikan. Namun, tanpa didahului hal-hal tersebut pun orang yang melakukan eksploitasi seksual terhadap anak-anak sudah dianggap sebagai orang jahat dan diancam dengan hukuman pidana dan denda.

Artinya pula, jika eksploitasi seksual terhadap anak didahului atau dibarengi dengan hal-hal tersebut, maka si pelaku diancam dengan hukum pidana berlapis.46

C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan